Saat ini Andi sang suami keluar dari dalam kamar. Seharian ini memang sedang libur bekerja karena sejak kemarin mengeluh sakit pinggang."Ngapain bengong ngeliatin orang?" Andi menegur sang istri."Itu Mas, Nita sama Heru, dapat uang dari mana ya mereka? Kok bisa buat batako?" Rani bertanya sambil melirik kearah Adi dan Heru yang masih sibuk bekerja."Gak tau lah. Mungkin Mereka nabung. Kan buat batako juga gak banyak banyak amat biaya. Mereka cuma masih nyicil dulu katanya.""Oh, jadi belum langsung mau diriin ya?" Rani kembali bertanya."Kamu kira mau berapa uang habis buat rumah itu? Apa apa mahal sekarang. Kita aja yang cuma Papan seperti ini hampir habis 20 an juta. Apalagi kalau mau buat rumah batako? Mereka itu cuma nyicil aja katanya, mumpung si Heru gak ada kerjaan." Jawab Andi."Tapi itu si Adi bukannya kerja?""Paling cuma bantuin aja. Kan sama sama lagi nganggurnya."Rani mulai sedikit lega mendengar penjelasan suaminya. Dia mengira jika mereka akan langsung mendirikan rum
"Hei, lepaskan dia. Aku akan membayar hutangnya. Ayo lepaskan!" ucap Azam pada dua pria itu."Tuan, Muda?" Arumi merasa seperti tidak percaya."Kamu serius akan membayar hutangnya, Bung?""Ya. Katakan saja berapa hutangnya." jawab Azam."Sepuluh juta. Kamu bisa melunasinya sekarang? Jika tidak, kami akan tetap membawanya.""Ck, hanya segitu. Tunggu sebentar." Azam merogoh dompetnya."Sial! Tidak ada uang cash rupanya." gumam Azam. Terpaksa dia mengeluarkan selembar cek, mengambil pena di balik jasnya kemudian menulis dahulu nominal yang sengaja ia lebihi dari nominal yang di sebut mereka tadi."Aku tidak membawa uang cash. Ambil ini. Itu sudah aku lebihi. Cepat lepaskan dia!" Azam memberikan cek tersebut yang langsung disambar satu pria itu. Setelah meneliti, Pria itu tersenyum dan mendorong tubuh Arumi ke arah Azam yang cepat menangkap tubuhnya agar tidak terjatuh."Begini kan, bagus. Jadi kamu tidak merepotkan kami lagi!" ucap pria itu, melangkah pergi diikuti temannya.Azam langsun
Hari-hari telah berlalu dengan kelelahan Heru dan Adi yang masih sibuk seputar penyiapan bahan bangunan.Keringat mereka bercucuran terbakar matahari yang sangat menyengat. Capek dan haus. Mereka sampai menghabiskan es batu hingga dua teko dalam setengah hari ini.Sekarang mereka duduk di depan gubuk sambil menyalakan rokok. Dua pria itu menatap tumpukan Batako yang sudah tinggi. Jika diperkirakan ini sudah cukup bila untuk mendirikan rumah yang cukup besar bahkan beserta Dapurnya."Mungkin cukup. Kalau nanti ada kekurangan bisa pesan saja." Ucap Heru.Adi menoleh, mengerutkan dahinya."Walah. Jadi aku libur dong?" Dia sudah sedikit resah memikirkan mau cari kerja dimana lagi."Kamu mau lanjut kerja?" Tanya Heru."Ya iya kalau ada. Itu ngoret-ngoret calon belakang rumah jadi lah Her." Iba Adi.Heru tertawa jadinya. "Nggak segitunya juga kali Di, kan kita belum ada kayu. Jadi bisa cari kayu. Tapi istriku minta beli jadi saja kayunya. Biar bagus katanya."Adi yang tadi hampir lega kemba
"Aku kok jadi aneh lho, Mas. Itu gak wajar mereka. Bahan bahan itu aja udah lebih dari 100 juta. Belum bayar tukang. Dari mana coba mereka bisa dapat dana sebanyak itu dalam Waktu singkat?" Lagi-lagi Rani bertanya pada suaminya."Ya gak tau lah. Namanya juga rezeki orang. Kita gak tau dari mananya. Kalau mau lebih jelas, Sono tanya sendiri!" Jawab Andi makin terbakar rasa tidak nyaman.Selama ini menurutnya, dia sudah berusaha dengan gigih. Bekerja siang malam, ibarat kata kepala jadi kaki, kaki jadi kepala. Tapi hasilnya tetap masih begini saja. Heru yang sering tidak bekerja malah sudah punya banyak kemajuan.Dia melirik punggung Istrinya yang benar-benar pergi mendatangi Nita untuk cari informasi.Saat sampai di hadapan Nita, Rani belum bertanya apapun. Matanya membulat melihat tumpukan bahan-bahan bangunan yang begitu banyak. Dia berpikir jika mereka ini memang akan membangun rumah yang lumayan besar.Lalu dia menoleh kebelakang, menarik ujung bibir berbentuk senyuman tipis. "Mau
"Kok enak-enakan nganggur? Setiap hari mas Heru kepanasan. Bercucuran keringat. Angkat batako angkat semen. Ngaduk pasir. Itu kalau kalau kerja tempat orang ya dapat uang. Berhubung kerja ditempat sendiri gak dapat uang. Tapi kan mengurangi biaya. Jadi sama aja mas Heru gak nganggur." Jawab Nita. Dia sedikit kesal karena Akhir akhir ini Heru sering mengeluh karena tidak bekerja."Mas." Sekarang Nita duduk di samping Heru sambil menyodorkan secangkir kopi."Aku tuh ada rencana. Ini kalau mas Heru setuju. Jadi begini, doain aku terus dapat pendapatan seperti ini."Heru menoleh, menatap wajah serius Nita."Rencana gimana?""Jadi begini. Nanti setelah kita pindah, buatlah bangunan di samping teras itu. Nanti kita isi bahan-bahan sembako. Kita buka toko kecil-kecilan dulu. Disana kan belum ada warung maupun toko. Mana calonnya disana itu rame lho Mas. Percaya deh sama aku. Dikit-dikit, tapi kita lengkapi semua. Ada Bensin dan juga pulsa. Pasti lumayan."Heru terperangah. Dia tidak menyangk
"Aku tidak sengaja melihat mobilmu. Pas aku ingin mengintipmu, aku sangat terkejut melihat dua pria tadi sudah menyeretmu. Kebetulan aku sedang memegang ini. Jadi, ku pukul saja dia . Dan ku injak-injak saja tangannya." Jelas gadis itu."Hebat kan aku! Bisa merobohkan seorang berandalan!" Arumi membusungkan dadanya."Hebat kepalamu itu! Lain kali jangan bertindak ceroboh!"Azam malah membentaknya."Kamu ya, tidak berterima kasih padaku karena sudah menolongmu, malah marah!Dasar payah! Kamu itu manusia bukan sih?" Umpat Arumi.Azam menyerngitkan alisnya, merasa bersalah dengan suara kerasnya tadi."Masalahnya, kalau pria tadi tidak terjatuh. Kepalamu yang akan pecah, bodoh! Ini pistol asli. Kamu pikir mainan??" Dia menodongkan pistol milik pria tadi ke dada Arumi."Aa.. singkirkan itu dari ku!" Teriak Arumi langsung menepis tangan Azam dengan wajahnya yang menjadi pucat.Azam hanya tersenyum tipis kemudian menyelipkan pistol itu di balik kemejanya. Sambil berpikir, siapa orang-orang ta
"Aku akan membayarnya. Tiga bulan gaji. Sudah cepat makan. Aku buru-buru!""Benar ya? Tiga bulan gaji. Kalau bohong awas ya? Aku akan menyumpahi mu lagi." Arumi menuding hidung Azam , yang langsung menepisnya."Jangan dipotong hutang dulu!" kembali Arumi menuding.'Ya Ampun!' Azam sangatlah dongkol. Baru kali ini hidungnya di tunjuk seseorang. Gadis ini, sudah dekil kurang ajar pula. Untung dia sudah menyelamatkannya. Jika tidak, entahlah.Azam sudah selesai makan, dia melirik Arumi yang juga sudah selesai. Dia menggelengkan kepala saat Arumi dengan sengaja membungkus sisa makanan mereka ke dalam kantong plastik yang baru saja dia minta dari pelayan."Eh, rumput! Sudah! Bikin malu saja kamu ini!" Azam menegur karena kesal."Sayang, Tuan muda. Kan sudah dibayar. Mubazir. Mending kubawa pulang. Bisa untuk makan malam." Arumi menjawab tanpa mempedulikan ekspresi kesal Azam yang sejak tadi sudah tengok sana sini."Ah, terserahlah. Cepat, cepat!" Dia melangkah duluan meninggalkan Arumi.A
Sementara itu di kampung.Hari ini Nita dan Heru sudah mulai pindah setelah rumah mereka selesai dipasang keramik dan kWh. Hanya bagian dalam yang sengaja mereka bagusi terlebih dahulu karena ingin segera dihuni. Bagian luar urusan nanti menurut mereka.Kalau dulu mereka sering pindah dengan menggunakan motor dan mengusung barang milik mereka dengan mondar mandir beberapa kali, sekarang tidak. Mereka menyewa sebuah mobil kijang milik tetangganya karena perlu membawa beberapa barang yang sempat mereka beli saat masih di kontrakan. Seperti lemari dan rak piring.Rani melotot saat melihat mereka sibuk. Beberapa tetangga turun tangan untuk membantu memindai barang tapi dia hanya melotot saja dari teras rumah. Alasannya, anak masih demam. Jadi tidak bisa membantu.Beberapa bapak-bapak membantu memasukkan barang dan langsung menata. Dan beberapa ibu-ibu menurunkan belanjaan. Malam ini Nita berencana untuk memasak besar dan mengadakan syukuran untuk rumah baru mereka.Bu Nur dan Pak Rahmat j