Dasar Menantu Tidak Tahu Diri!
“Kemampuanku hanya sebatas itu.”
Hans memang membeli buah, barang dan makanan yang murah di pinggir jalan saat memenuhi keinginan dan kebutuhan Sandria. Ia hanya mampu membeli dengan harga yang murah.
Pendapatan tiap bulan tidak sampai minimal pendapatan kota.
Harga menjadi tolak ukur bagi wanita kaya, seperti Sandria.
Usaha untuk membahagiakan dan menyenangkannya selama ini tidak ada artinya karena harga yang murah. Ia juga curiga kepadanya bahwa semua itu dibuang saat tidak ada dirinya.
“Kalau kemampuanmu hanya sebatas itu dan keahlianmu hanya mengirim barang, lebih baik tidak perlu ikut campur urusanku karena kapasitas otakmu takkan mampu menganalisis. Jadi, berhentilah bertanya, seperti detektif, polisi dan jaksa!” hina Sandria sampai terlihat otot lehernya.
Hans tertegun sambil mengepalkan tangannya dengan erat.
“Baiklah.”
“Kamu tidur di ruang tamu malam ini dan seterusnya!” sungut Sandria sambil mengusirnya dan menutup pintu kamar dengan keras.
Hinaan berakhir dengan pengusiran yang tak layak disebut pertengkaran antara suami dan istri. Hans membersihkan diri di kamar mandi khusus asisten rumah tangga dan mendengar beberapa suara pria dan wanita di ruang tamu.
“Akhirnya, kerja samaku dengan Ayah Adnan berhasil.”
“Iya, Ayah. Ibu senang mendengarnya. Semoga membuahkan hasil.”
“Iya, Bu. Oh, iya di mana Sandria dan Adnan? Bukannya mereka tadi ada di rumah ini?”
“Mungkin keluar, Pak.”
Rashid merupakan pengusaha elektronik yang sahamnya semakin membesar dan posisi Ayah Hans, Cody Ruth tidak terkalahkan. Dia terobsesi untuk menjadi orang terkaya di negaranya dan mengalahkan Raja bisnis, Cody Ruth.
Berbagai cara akan dilakukan olehnya untuk mendapatkan keinginannya dan merealisasikannya.
Hans membersihkan diri secepat kilat sembari mengeringkan rambut dan memperhatikan mertua dan kakaknya yang terduduk lesu.
Pria bertubuh jangkung, berparas tampan dan badan atletis menaiki anak tangga adalah Kakak Sandria, Ryan Anggara Nadim bersama ibunya. Dia hanya pengangguran yang mengikuti ke mana pun ayahnya, Rashid Omar Nadim pergi untuk berbisnis.
Ryan tidak ada minat untuk melanjutkan bisnis ayahnya, tapi ia pernah melihat Ryan mengirim barang satu kardus ke toko logistik.
Apakah ia berbisnis sesuatu yang bisa menghasilkan banyak uang?
Semua tidak ada yang tahu tentang pekerjaannya dan selalu mengatakan tenang saja pada ayahnya karena masih memiliki uang yang banyak.
“Apa yang kamu lakukan di sana? Nguping?” tukas Rashid melotot.
“Tidak, Ayah.”
“Sini kamu!”
Hans menuruti perkataan Rashid secepat kilat dan kepala tertunduk. Ia pasti mendapat hinaan dan caci makian kembali karena dianggap menguping pembicaraannya.
“Kamu sengaja menguping pembicaraan saya tadi?”
“Tidak, Ayah. Aku baru selesai mandi,” jawab Hans sembari melirik sebuah kardus yang sedikit terbuka.
Kardus berisi benda bening dan terdapat angka di tubuh bendanya dan banyak tumpukan plastik berisi cairan. Barang yang mencurigakan.
“Saya habis berbisnis dengan calon Ayah besan saya, Ayah Adnan. Dia melobi orang yang menyeramkan dan berbisnis sangat luar biasa.”
Hans mengangguk sambil menatap Rashid dan menoleh ke arah kardus yang besar.
Siapa Adnan?
Apakah dia adalah pria yang sering dibangga-banggakan olehnya?
Hans tidak pernah mendengar nama yang disebutkan oleh ayah mertuanya selama menikah dengan Sandria. Namun, ia pernah mendengar suara baritonnya yang berat melalui handphone ayah mertuanya.
Apakah Rashid sangat dekat dengan Adnan dan keluarganya?
“Mandi? Kamu mandi di sana?”
“Iya. Say—”
“Saya tidak heran kalau Sandria tidak ingin dekat denganmu,” sela Rashid sambil mengusap dagunya lalu mengambil suntikan dan satu kantong plastik berisi cairan di kardus dan dimasukkan ke dalam benda itu.
Rashid, ayah mertuanya tidak pernah menyukainya dan selalu berharap anaknya berpisah dengan pria buruk rupa dan tidak memiliki pengetahuan berbisnis.
Hans memicingkan mata sekilas saat memperhatikan ekspresi ayah mertuanya. Dia terlihat tahu sesuatu yang berhubungan dengan Sandria dan memperhatikannya yang akan menyuntikkan diri menggunakan cairan itu.
‘Apakah ….’ Hans bertanya dalam batin dan tersadar dengan Rashid yang mencari keberadaan Sandria dan Adnan.
“Ayah tahu mereka ada di sini?”
“Ya, mereka bilang mau menghabiskan waktu bersama di luar.”
“Siapa Adnan?”
“Kenapa kamu seperti detektif?” Hans terkekeh sembari memasukkan cairan ke tubuhnya.
“Siapa dia?”
Rashid tertawa. “Dia adalah teman lama Sandria dan orang tuanya merupakan orang penting di dunia kepolisian. Keren sekali keluarganya.” Rashid membanggakan keluarga Adnan tanpa ragu di depannya.
“Apakah itu obat insulin?” tanya Hans sekali lagi sambil membulatkan bola mata lalu membuka isi kardus yang terdapat banyak sekali suntikan dan cairan dalam plastik.
Rashid tidak menjawab.
Sejak kapan Rashid suntik insulin? Apakah baru-baru ini dia diagnosis sakit diabetes?
Ia melihat banyak suntikan bening dan cairan dalam plastik berjumlah yang sangat banyak. Ia mengambil satu suntikan dan cairan itu.
Rasa penasaran yang tinggi, ia membuka plastik itu dan perlahan menciumnya dengan berjarak dua sentimeter.
Sontak, Hans tersedak dan tanpa sengaja menjatuhkan suntikan bening yang terbuat dari plastik dan cairannya hingga pecah.
“Haaaannnss!” pekik Rashid melotot.
Hans mengambil tisu dan membersihkan lantainya yang basah. “Maaf, aku tidak sengaja,” katanya sembari menutup hidung menggunakan lengannya.
Pakaian Hans ditarik dan dicengkeram erat oleh Rashid. Mata merah dan tatapannya sangat tajam dan menakutkan.
“Dasar menantu tidak tahu diri!”
“Saya tidak sengaja.”
“Kamu bilang tidak sengaja? Bagaimana bisa?!” sungut Rashid sambil menggerakkan tubuhnya.
“Maaf.”
“Maaf, maaf, kamu hanya bisa bilang maaf saja. Saya tidak butuh kata maaf darimu!”
“Berapa harga yang harus saya bayar?”
“Kamu mau membayarnya?”
“Berapa?”
“Kamu tidak akan mampu membayarnya, Hans karena satu suntikan sangat mahal. Bahkan harga ginjalmu tidak cukup untuk membeli barang itu, Hans!”
Rashid membara saat satu barang suntikan pecah. Dia tidak akan memaafkan siapa pun yang menghancurkan barang atau bisnis kesayangannya.
Hans memerhatikan tatapan ayah mertuanya yang sangat menyeramkan dari pada sebelumnya. Walaupun dia marah, tetapi tidak semenakutkan beberapa menit yang lalu.
Tatapan yang tidak asing untuknya semakin jelas memperhatikan mata merah dan pupil yang membesar. Tatapan yang tajam dan menyeramkan hanya dimiliki oleh pecandu narkoba.
Apakah ayah mertuanya pecandu narkoba selama ini?
“Berapa mahalnya?” tanya Hans sambil menelan air saliva.
“Kalau satu suntikan harganya dua puluh juta. Kamu mampu membayarnya, hah?!”
Rashid lagi dan lagi meremehkan dan merendahkan menantunya yang hanya kurir. Namun, Hans bukanlah kurir sembarangan.
Hans merupakan pewaris tunggal Ruthens Group dan pemegang saham nomor satu di berbagai perusahaan sekaligus CEO di perusahaan pangan terbesar dan ternama di dalam negeri.
Ia memiliki trauma terhadap perempuan masa kecil saat melihat ibunya selingkuh dengan pria di luar negeri ketika Ayah mengunjunginya bersama Ibu hingga terjadi kecelakaan di wajahnya.
Ia berniat kembali ke Indonesia untuk mencari sosok pembunuh ayah dan adiknya malah dituduh menghamili anak orang. Fokus Hans terpecah dan tidak pernah menghubungi tangan kanannya lagi setelah menikah dengan Sandria.
Selama empat tahun menikah dengan putri kesayangan pengusaha Nadim tidak pernah mendapatkan kasih sayang dan perlakuan baik dari keluarganya.
Fisik yang rusak menjadi petaka sekaligus berkah untuknya karena tidak ada yang mengenalinya di dunia ini. Ayah, Cody Ruth menyembunyikan keberadaan kedua anaknya dengan alasan tidak ingin diketahui oleh musuh dan media.
“Saya bisa membayarnya, tapi beritahu barang apa itu,” jawab Hans tegas sambil menatap lamat.
“Kamu curiga kepadaku!” geram Rashid sampai air liur keluar.
“Saya tidak mengatakan itu dan hanya meminta memberitahu barang apa itu.” Kesabaran Hans telah mencapai limit.
“Haaannnnsss!” sungut Rashid sembari melayangkan tangannya yang menggenggam erat.
Rashid mendaratkan pukulan di wajahnya hingga Hans tersungkur di lantai dan sudut bibir berdarah. Saat dia marah dengannya tidak pernah memukul wajahnya menggunakan tangan yang mengepal erat dan hanya tamparan.Tidak hanya itu, dia bisa menyuruh dan memerintah banyak orang untuk membunuhnya saat sedang amarah membara. Namun, kemarahannya sangat berbeda saat ini.Apakah karena pengaruh obat suntikan itu?Hans berdiri sambil menatap Rashid yang berdiri sempoyongan dan mengeluarkan banyak keringat di dahi. Dia memegang kepala dan hitungan detik terkapar di lantai dan mengenai kardus itu dan lima suntikan beserta cairannya pecah di lantai.Suara suntikan yang pecah membuat ibu mertua dan Ryan mendatangi sumber arah. Ibu mertua berteriak histeris saat melihat suaminya terkapar di lantai dan pecahan kaca berserakan di mana-mana.“Apa yang kamu lakukan kepada suamiku, Haaannss?” pekik Ibu mertua sambil terisak dan melotot. Dia terduduk dan menepuk pipi Rashid.“Saya tidak melakukan apa pun, B
“Ibu tanyakan pada Sandria sekarang dan … bukankah perpisahan saya dengan Sandria sudah diinginkan oleh keluarga ini?”“Sandria tidak ada salah apa pun, Bu. Dia yang salah!” sambar Ryan dari lorong kamar Sandria.“Jika ibu ingin lebih jelas, datangi dia di kamar,” kata Hans lembut sembari melirik Ryan yang mendelik dan mengancam untuk memukulnya.Ibu mertua berbalik badan dan menyingkirkan tubuh kekar anaknya. Dia bergegas mendatanginya di kamar, tapi Sandria muncul di hadapan ibunya sebelum berbelok ke lorong menuju kamarnya.“Dia memang bukan suami Sandria lagi, Bu.”“Apa? Bagaimana kalau media tahu?” Ibu mertua mengkhawatirkan nama keluarga besarnya hancur.“Tenang saja, Bu. Sandria sedang tidak hamil, kan?”“Tapi, kenapa dia menceraikanmu?” tanya Ibu mertua yang masih ingin tahu alasannya.“Karena dia selingkuh.”“Hans selingkuh?” Ibu mertua terlihat tidak percaya dengan jawabannya.“Iya, dia selingkuh.”“Pembohong dan pezina!” ujar Hans sembari menatap tajam dan rahang menegang.“
Hans menghela napas panjang setelah diminta untuk datang ke rumahnya. Ia sudah bisa menebak bahwa masalah semalam anak lelakinya dipukul oleh anak buahnya.Ryan, selain pengangguran, dia tukang penasaran dengan kehidupan orang lain dan sok jadi jagoan. Dia terkenal anak yang selalu sembunyi di bawah ketiak ayahnya yang berkuasa.Ia datang dengan pakaian kurir seperti biasa agar tidak membuat keluarga mantan istrinya curiga.Ia tiba di kediaman Rashid dan disuguhkan pemandangan Rashid sudah duduk di sofa bersama anak buahnya yang memiliki badan besar dan tinggi, istrinya dan Ryan yang wajahnya babak belur.“Kamu yang membalas dia?”“Bukan.”Rashid memukul meja dengan keras. “Jangan bohong!”“Aku tidak tahu hal apa pun yang ada di wajahnya.”“Lalu, kenapa wajahnya babak belur setelah mengikutimu di rumah mewah? Kamu merampok di sana?” cecar Rashid dengan intonasi penekanan.Hans melirik Ryan dengan santai sembari pura-pura terkejut dan tidak mengetahui hal itu. Pria yang jarang berhati-h
“Perhatian semuanya, ada anggota keuangan baru. Saya akan memperkenalkannya kepada kalian. Namanya adalah Lee.” Haedar memperkenalkan Lee Hans Cody kepada seluruh karyawannya, tapi tidak menyebutkan nama aslinya.“Halo, nama saya Lee.”“Wah, cakep banget. Halo, Lee.” Salah satu karyawan wanita memuji paras wajah yang mempesona di depannya.Karyawan yang berkumpul di depan Direktur Utama dengan baris yang melingkar berkenalan satu per satu dengannya, terutama karyawan wanita yang berebutan untuk berjabat tangan dengannya.Hans sengaja menggunakan nama depannya yang tidak diketahui oleh siapa pun karena terdapat Adnan yang bekerja di perusahaannya. Ia mulai beraksi untuk memberantas masalah di kantor, membalas dendam kepada siapa pun yang pernah merendahkan, menghina dan meremehkannya, serta mencari sosok pembunuh ayah dan adiknya.“Senang berkenalan dengan kalian,” katanya ramah dengan senyuman lebar.Beberapa karyawan wanita hampir pingsan saat melihat senyuman manis dan tampannya. Han
“Apa yang kam—”Hans membekap mulut rekan kerjanya yang tiba-tiba hadir saat sedang mencari tahu yang dikerjakan oleh mantan kakak iparnya selama ini dan pergerakan Adnan yang mencurigakan.Suara baritonnya bisa mengacaukan segalanya. Hans membawa rekan kerja keluar dari toilet dan bersembunyi di belakang lift.“Apa-apaan kamu?” Rekan kerja protes sambil melepaskan tangan kekar dari mulutnya.“Kamu tadi mengagetkanku dari … sesuatu tak kasat mata yang kulihat dan mendengar isak tangis perempuan di toilet pria,” kilah Hans.“Sungguh? Kamu melihat dan mendengarnya?” tanya rekan kerja yang malah antusias dengan cerita bohongnya.Hans tersenyum miring dengan mulut yang sedikit terbuka sambil mengangguk pelan. Ia tidak percaya bahwa rekan kerjanya tertarik dengan perkataannya yang tidak benar.Tidak masalah kalau dia tidak percaya dengan perkataannya, yang terpenting adalah tidak ketahuan mereka. Siapa pun bisa datang begitu saja ke toilet.Hans harus berhati-hati lain kali. Risiko ketahuan
“Buah enak ini. Jadi, makanlah,” kata Adnan sambil tersenyum miring.Hans membisu sembari memperhatikan buah yang ada di tangan kekarnya. Dia terlihat mencurigakan karena memaksa untuk memakan buah pemberiannya.Semakin tidak menjawab pertanyaannya maka membuat Hans semakin bermain-main dengannya. Dia memang sangat pintar memengaruhi banyak orang hingga mendapat pujian dari beberapa rekan kerjanya.Ia menerima buah dari tangan kekarnya dan dimasukkan ke dalam lacinya. “Saya akan memakannya ketika jam istirahat bukan sedang jam bekerja masih berlangsung,” balasnya tegas.Hans tidak bisa dipaksa oleh siapa pun. Bahkan, ia tidak percaya dengan pemberian dari siapa pun untuk saat ini.Jemari dan mata kembali ke layar monitor dan mengacuhkan keberadaan Adnan yang masih berada di sampingnya. Tatapan seluruh rekan kerja membulat saat melihat aksi penolakannya.“Baiklah. Jangan lupa nanti dimakan.” Adnan berucap sambil menepuk lengan kekarnya dan kembali ke mejanya.Hans tidak menyangka bahwa
‘Kenapa selalu disuguhkan buah hijau? Jika dia bertanya seperti itu, artinya baru dikasih oleh Adnan dan tidak pernah melihat buah seperti itu sebelumnya?’Hans membatin dengan siapa pun yang menanyakan buah berwarna hijau, seperti rambutan. Mereka tidak pernah melihat buah dengan bentukan seperti itu.Namun, hanya ada satu pertanyaan di kepalanya saat Adnan memberikan buah itu. Kenapa selalu buah hijau yang berduri yang diberikan kepada seseorang yang sedih atau membutuhkan semangat lagi?“Buah ini jarang banget di sini dan adanya di Kalimantan. Jadi, saya mendapatkan ini dari teman saya karena katanya enak dikonsumsi. Nanti pasti ketagihan dan mencari buah ini.”“Oh, begitu. Makasih, ya.”“Sama-sama. Semoga suka dan tidak mahal kalau beli di aku.”Hans bergegas sembunyi di balik truk dengan merapatkan tubuhnya ke badan truk hingga melihat Adnan yang telah pergi dari kantor.Adnan merupakan pria yang pintar merayu seseorang atau mengajak siapa pun untuk mengonsumsi makanan yang tidak
Tiga pria berbadan besar dengan pakaian berwarna hitam melepaskan Ryan yang ada di depan rumahnya. Tatapan tajamnya terlihat seakan menerkamnya.Ryan mendekati dan memukul wajahnya sebelah kiri. Hans memegang pipi dan menggerakan rahang sekilas sembari tersenyum miring dan berdesis.“Apa yang kamu lakukan di depan rumah orang mewah?” tanya Hans yang berpura-pura tidak mengetahui sesuatu yang terjadi di depannya.“Rumah mewah? Katakan, siapa kamu sebenarnya, Hans? Kamu bisa saja membohongi ayah dan ibuku, tapi tidak denganku karena aku yakin kamu pasti bekerja sama dengan mereka, kan?” tukas Ryan yang penasaran dengan sosok Hans sebenarnya.Hans tersenyum miring. “Pria yang tidak pernah berpikir terlebih dahulu sebelum bertindak maka akibatnya sangat membahayakan. Semua yang kamu lihat dan lacak bukan berarti itu yang sesungguhnya terjadi. Teknologi bisa saja salah karena buatan manusia,” jawab Hans santai sambil menatap lamat.“Sungguh? Jika terbukti akurat dan aku bisa membongkarmu,
Abigail terdiam saat ditembak pertanyaan tentang Rashid dirawat di rumah sakit. Hans tersenyum miring sambil menghela napas dan menggeleng pelan. “Ibu tahu.”Hans hendak membuka pintu ruangan Abigail terhenti dengan tangan mungil yang sudah tidak muda lagi dan jemari dipenuhi oleh perhiasan yang melingkar di sana.Bola mata Hans merayap perlahan ke arah ibunya. Ia menatap lamat dengan mulut tertutup lalu menyingkirkan tangan ibunya perlahan. “Aku tidak ingin membahas dia lagi.” Hans menolak secara halus.Tatapan Abigail menunjukkan ada sebuah rahasia yang harus diberitahu kepadanya. Namun, jika itu membahas Rashid maka tidak ingin lagi mendengar dan memperhatikannya.Kedua kali hendak membuka pintu, lagi dan lagi pandangannya teralihkan dengan perkataan ibunya.“Penyakit ibu tidak sembuh.”Hans menyingkirkan tangan dari pegangan pintu. “Apa maksudnya?”“Operasi kemarin berjalan lancar, tapi tidak bisa mengangkat akarnya karena sudah menyebar di beberapa anggota tubuh ibu. Ibu memin
“Kenapa terkejut seperti itu, Pak? Apakah bapak mengenal saya?” tanya Hans meledek dengan senyuman iblisnya yang memperhatikan tubuh Rashid yang tampak sehat bugar.“Tidak. Saya tidak mengenalmu.” Rashid terbata-bata dan berusaha menghindar kontak mata darinya. Lagi dan lagi, kebiasaan keluarga Rashid ketika berbuat salah atau menyembunyikan sesuatu maka berpaling dari lawan bicaranya dan berusaha menutupi apa pun yang diketahui olehnya. Ciri khas itu sudah dipelajari olehnya, sama halnya ketika dia menyuntikkan benda cair ke dalam tubuhnya lalu kolaps hingga dipanggil oleh Dokter yang menanganinya. Dokter yang menangani Rashid adalah dokter yang bekerja di rumah sakit Internasional dan telah berbicara yang sesungguhnya bahwa dia kecanduan obat terlarang sehingga membuka bisnis demi melancarkan pengedaran obat terlarang.“Sungguh? Bukankah Anda mengenal saya, Pak Rashid Omar Nadim?” tanya Hans santai sambil melangkah mendekatinya. Rashid menjauh perlahan dengan kedua tangan yang m
Hans duduk di depan kamar VIP yang jaraknya dua dari kamar Rashid Omar Nadim. Ia bersandar di dinding sambil bermain handphone dan mendengarkan pembicaraan mereka. Sandria tertawa dengan seorang pria yang terlihat seperti Ryan. Ia berusaha fokus terhadap pembicaraan mereka yang terdengar samar.“Ayah sungguh luar biasa.”“Saat mengetahui liputan dari Alan seorang Jurnalis handal yang terpercaya di negara ini, langsung bertindak,” kata Sandria sambil menepuk pundak pria itu. Hans terus menundukkan kepala dengan sibuk di layar handphone sembari berpura-pura menghubungi keluarga yang berada di dalam kamar itu. Mata Hans tidak luput dari pandangan ke arah Sandria dan pria itu. Senyuman Sandria masih terlihat sumringah dan tidak menunjukkan kesedihan sama sekali. Hans perlahan mengarahkan handphone ke Sandria dan pria itu untuk merekam kegiatan dan pembicaraannya. Namun, Sandria menyadari aktivitas Hans yang sengaja merekam perkataan dan aktivitasnya. Ia menggerakkan handphone ke sega
“Saya masih berpegang teguh dengan pendirian apa pun itu. Walaupun pernah memiliki hubungan dengan saya.”“Lalu, apa penilaian bapak terkait hal ini? apakah semuanya akan berhubungan secara kebetulan atau sudah direncanakan oleh mereka hingga tidak menyelidiki kasus kematian Pak Cody, Raja bisnis. Semua dunia akan membicarakan berita ini.” Agustinus menekan.Hans membisu lalu meminum minum kopi dingin sambil menghela napas panjang.Ia tidak bisa menilai sebelum mengamati, mengetahui dan menganalisis hasil yang didapatkan dari usahanya bersama rekan tim. Musuh yang dihadapi oleh Hans bukanlah musuh kelas bawah, melainkan mereka adalah musuh kelas kakap. Musuh yang memiliki banyak orang yang digunakan untuk menghabisi nyawa seseorang.Semua yang didapat olehnya seperti kebetulan dan atau bisa dikatakan dengan satu kata, yaitu takdir. Takdir yang mempertemukan Hans dengan keluarga Rashid dan Adnan yang memiliki niat buruk kepada keluarganya saat bertemu dengan seorang pria di London y
Tono mengangguk sambil tersenyum lebar. Semua menatap khawatir ke Tono yang berkorban untuk mencari tahu informasi penembak jitu ke dalam kandang yang berbahaya.“Maaf, Pak, Pak Tono lebih baik datang ke rumah Adnan saat saya melakukan liputan dengan alat yang dipasang karena ingin tahu ekspresi mereka ketika membahas malam tragis dan menyebut nama mereka.” Alan memberi saran kepada Pak Tono. Tono menoleh ke arah Hans dengan menatap lamat lalu Hans mengangguk. “Baiklah. Semangat,” kata Tono sambil mengepalkan tangan erat dan menggerakkannya dari atas ke bawah dengan senyuman lebar.Semua rekan tim mengikuti gerakan dia dengan senyuman lebar. “Aku sela,” potong Carlos.“Ada apa?” tanya Hans santai.“Kamu tadi bilang kalau ibu Abigail dan Pak Haedar mengawasi Alan yang meliput di depan hotel mewah, kan?” tanya Carlos menekan sambil mengusap dagu.“Iya. Kenapa?”“Sebaiknya, jangan. Jangan membawa ibumu ke hotel mewah karena mereka akan tahu keberadaannya.”“Lalu?” tanya Hans dengan in
“Aku melibatkan ibu agar Pak Presiden tahu bahwa seorang istri dari Raja bisnis juga membutuhkan keadilan,” jawab Hans menekan.“Maaf, Pak, boleh saya beri saran?” tanya Komar.“Silakan.”“Jika Bapak melibatkan ibu Abigail yang ada memperkeruh suasana karena Pak Presiden pasti mengabaikan hal itu. Posisi ibu Abigail juga berbahaya kalau berada di luar.”Hans membisu sambil menegangkan rahang dan mengepalkan tangannya dengan erat. Perkataan Komar ada benarnya. Banyak musuh yang masih berkeliaran di luar sana.“Baiklah. Alan saja yang meliput di luar sana di depan hotel Santorini yang di mana bisa dipantau oleh Pak Haedar dan ibu Abigail.”“Oke, setuju.”Hans menjelaskan strategi berikutnya di papan transparan yang terbuat dari kaca yang diterangi oleh lampu LED.Langkah selanjutnya adalah memancing pelaku yang terdeteksi dan paling menonjol ketika berita peliputan itu muncul. Alan sebagai umpan untuk memancing mereka ketika tidak terlihat lama di depan publik. Banyak masyarakat dan s
Saat Hans dan Carlos berdebat untuk mengutarakan argumentasi membuat Alan tak tinggal diam.Tanpa ada yang tahu, Alan memeriksa postingan dengan anonim di sosial media sudah jutaan orang yang melihat dan menyukai postingannya.“Apa yang kamu lakukan, Alan?” tanya Hans nada tinggi.Alan terkejut. “Aku hanya melihat postinganku sebelumnya.”“Postingan tentang kisah kematian Raja bisnis yang memiliki motif sama dengan kematian anak laki-laki tanpa identitas atau adiknya?” tanya Mira pelan.Alan mengangguk. Semua rekan tim mendekati dan menatap ke layar laptop yang ada dalam pangkuannya.Sontak, semua sorot mata terbelalak ketika melihat jumlah orang yang melihat, membagikan, menyukai dan berkomentar.“Serius itu jumlahnya?”“Aku juga kaget.”“Keren, baru dua jam kamu sudah mendapatkan satu juta orang yang menyukai, membagikan, komen dan melihat,” puji Mira sambil menatap rekan tim bergantian.Hans dan Carlos saling memandang saat melihat jumlah pengikut dan pembaca kisah kematian Raja bi
“Kami memilih untuk bekerja dengan Bapak.”“Oke. Jika kalian berkhianat maka tanggung sendiri akibatnya.”“Iya, Pak.”“Kami sudah mengirim nomor rekening,” kata pria berambut panjang sambil menunjukkan nomor rekening yang sudah dicatat olehnya.Hans mengambil handphone-nya lalu mencatat lima rekening pria itu lalu mengirim uang sebesar seratus lima puluh juta rupiah ke masing-masing rekening. “Saya sudah mengirim uang ke kalian, silakan cek.”Kelima pria itu bergegas memeriksa nomor rekeningnya untuk memeriksa ada uang masuk atau tidak.Hitungan detik, bola mata mereka membulat bersama lalu merayap ke arah Hans dengan mulut sedikit terbuka.“Kenapa?”“Apakah ini tidak kebanyakan, Pak?”“Kalian dibayar berapa sama dia?” tanya Hans datar.“Kami dibayar dua puluh juta saat itu.”Hans hanya menatap sadis ke arah mereka sambil memasukkan handphone ke dalam kantong celana jeans. “Buat bekal hidup kalian yang lebih baik.”“Terima kasih, Pak.”Hans mengangguk lalu keluar dari kamar berisi l
“Dia adalah seorang pengusaha elektronik yang memiliki pelindung kuat dari kepolisian.” Pria bertato menjawab terbata-bata. Hans mengernyitkan dahi hingga kedua alis saling bertautan sambil mengalihkan kepalan tangan dari wajahnya. Seseorang yang memimpin geng bertato bulan dan bintang serta kepala tengkorak adalah Rashid Omar Nadim. ‘Apakah dia adalah dalang dari pembunuhan ayah dan adik serta mengendalikan enam perusahaan media besar nan berpengaruh di kotanya?’ batin Hans bertanya-tanya.Hans merasakan nyeri di bagian kepala belakang saat melamun dan berasumsi dengan pernyataan pria itu bak dipukul menggunakan benda yang terbuat dari kayu.Hans tergeletak di lantai dengan pandangan yang berkunang-kunang hingga semua urat di kepala menonjol. Sakit sekali kepala bagian belakang lalu mengalihkan tangan di hadapannya.Kepala Hans berdarah. Salah satu dari mereka hendak memukulnya, tetapi Hans berhasil menghindar dengan memutar badannya ke arah kiri lalu berdiri secara perlahan. “