“Sayang, aku pulang.”
“Jangan masuk. Aku masih ganti pakaian!”
Hans tersenyum saat mendengar istrinya yang meminta untuk tidak masuk kamar terlebih dahulu dengan memperhatikan waktu yang melingkar di pergelangan tangannya.
Hans terbiasa masuk kamar terlebih dahulu setelah pulang kerja yang seharian berada di jalan. Walaupun sang istri tidak menyukainya.
“Duh!”
Hans mendekatkan telinga ke pintu dengan mengernyitkan dahi saat mendengar keluhan suara pria seperti anggota tubuhnya terbentur benda di kamar.
“Masih lama? Kamu baru selesai mandi?” tanya Hans sambil mengetuk pintu dan memandangi pintu kokoh berwarna cokelat tua.
Wanita yang rambutnya diikat penuh berpakaian piyama berwarna ungu terlihat bentuk tubuhnya yang sempurna membuka pintu kamar dan berbalik meninggalkan pria berpakaian kusut dan aroma badan yang tidak pernah wangi saat pulang kerja.
“Kenapa kamu lama sekali membuka pintunya?”
“Aku lagi mandi tadi.”
“Mandi? Kalau kamu mandi bukannya kamu pakai baju hand—”
“Apa salahnya kalau aku langsung pakai piyama?!” ketus wanita sambil berbalik badan dan melotot.
Hans menundukkan kepala saat dibentak oleh istrinya, Sandria.
Ia sering mendapat bentakan dari istri dan keluarganya sejak pertama kali bertemu dengannya. Keluarga istri tidak mendukung pernikahannya.
Sandria sangat tidak menyukainya sejak pertama kali nikah dengannya. Dia harus menikahi seorang pria buruk rupa yang tidak memiliki apa pun dan tidak pernah membahagiakannya demi melindungi nama baik keluarga besarnya yang terpandang.
Sandria tidak ingin disentuh olehnya karena tidak ingin memiliki keturunan darinya dan merasa jijik saat bertatapan dengannya.
Hans tidak pernah mendapatkan perlakuan baik dari Sandria maupun keluarganya selama empat tahun menikah dengannya. Ia berusaha membahagiakan sang istri dengan cara bekerja keras dan memenuhi kebutuhan sekaligus keinginannya.
Namun, semua itu hanyalah sampah yang dibuang secara cuma-cuma. Kerja keras yang tidak pernah dihargai olehnya.
Hans bekerja mengelilingi alamat sesuai dengan tujuan yang ada dalam paket demi mendapatkan uang untuk makan keluarganya.
“Aku buatkan minuman teh rempah kesukaanmu.”
Kebiasaan yang seharusnya dilakukan istri malah dilakukan olehnya. Pulang kerja harus melayani istrinya dan diri sendiri.
“Tidak perlu. Aku mau tidur.”
Beberapa kali langkah dan belum sempat keluar kamar, kakinya tersandung oleh sepatu fantovel yang terguling saat Sandria menolak penawaran itu.
Kebiasaan yang tidak mudah berubah dalam sekejap membuatnya ada yang aneh dengan seprai kasur yang bergerak sedikit.
Hans terdiam selama dua menit dengan mata melotot dan tersenyum miring saat memperhatikan sepatu fantovel milik pria tergeletak di dekat nakas dan pintu kamar.
“Apakah ada orang lain di sini?” tanya Hans dengan menatap fantovel yang terpisah.
Apakah informasi yang pernah didapat selama ini dari temannya memang benar? Ia mendengar suara wanita dan pria mencapai kenikmatan dengan samar dan pintu kamar terlihat terkunci saat menaiki anak tangga menuju kamar.
Sandria terdiam dengan mata yang terpaku pada cermin rias sambil menelan air saliva.
“Kamu selesai mandi, kan?”
“Iya.”
“Kenapa tidak basah rambutmu? Bukannya kamu harus keramas?”
Sandria terdiam dan terlihat jelas dari sorot matanya bahwa ia berbohong kepadanya.
Sepasang sepatu fantovel pria berwarna hitam yang digunakan untuk bekerja membuat dadanya sangat sesak. Ia tidak pernah berbohong selama ini dan berusaha ingin membuatnya bahagia.
Ketulusan untuk mencintai wanita yang tidak dikenal dan menikahinya karena terdesak saat menolong Sandria yang kecelakaan dan dalam kondisi mengandung tiga bulan malah dihancurkan dengan pengkhianatan besar oleh istrinya.
Ia tetap berusaha sabar dan tidak melawan Sandria. Berpura-pura tidak tahu sebelum melihat dengan kedua matanya.
“Tumben? Kamu terbiasa minum teh rempah panas sebelum tidur, kan?”
Sandria terdiam saat merangkak dan masuk ke selimut setelah mendengar ucapannya. Tatapan yang membulat dan otot leher yang menegang membuatnya menghampiri dan duduk di tepi ranjang.
“Kenapa? Kamu lelah?”
“Ya, aku lelah dan jauh-jauh dariku.” Sandria mengusirnya saat didekati olehnya.
Hans masih tetap tersenyum tipis saat Sandria meminta untuk menjauh darinya. Ia hapal dengan ketidaksukaan istrinya lalu menoleh ke arah sepatu fantovel yang tergeletak.
“Sepatu fantovel siapa itu?”
Sandria terjingkat duduk dan mengintip posisi sepatu fantovel yang tergeletak. Dia menggigit bibir sambil memejamkan matanya.
“Sepatu fantovel kakakku. Kamu tahu, kan kalau kakakku tadi pagi datang ke kamar, berpakaian rapi ala karyawan. Tadi pulang mampir ke kamarku dan meletakkan sepatunya di sana untuk meminjam pena.”
Hans terdiam selama satu menit dan teringat sepatu fantovel kakaknya berbentuk oval dan berwarna cokelat tua yang mengkilap. Ia menatap Sandria yang mengernyitkan dahi dan tidak berbau sabun sama sekali di tubuhnya.
“Sungguh? Aku ingat dia hanya punya sat—”
“Dia punya banyak dan kamu saja tidak tahu soal itu!” Sandria memotong kalimatnya dengan cepat dan nada tinggi.
“Baiklah. Aku bawa sepatu ini ke kamar kakakmu.”
Hans mengambil sepatu fantovel itu, tetapi dicegah olehnya untuk tidak perlu diberikan kepada kakaknya secepat kilat dengan alasan yang tidak masuk akal.
“Jangan!”
“Kenapa?”
“Sepatu … sepatu itu katanya mau dikasihkan ke teman bisnis katanya.”
Hans hanya terdiam beribu bahasa saat Sandria menyampaikan hal yang tidak bisa diterima oleh logikanya. Bahkan, ia tetap berpura-pura tidak mengetahuinya sampai ketahuan sosok yang berada di dalam kamarnya.
Sepatu yang dipegang tidak asing untuknya. Ia merasa pernah melihat sepatu dalam genggaman tangannya dan berada dalam rumah ini.
“Kenapa? Kamu tidak percaya denganku?”
“Ragu karena sepatu ini tidak asing untukku.”
“Lalu, kenapa kamu tanya sepatu itu milik siapa, Hans?!”
“Kenapa kamu malah balik tanya ke aku? Bukannya kamu bilang sepatu ini untuk teman bisnis kakakmu?”
Sandria terdiam sambil mendelik dan merampas sepatu yang dipegang olehnya. Dia mendorong tubuh Hans untuk keluar kamar dan meletakkan sepatu di balik pintu.
Dia terlihat marah yang berusaha menyembunyikan kejadian yang tidak ingin diketahui oleh siapa pun.
“Siapa kamu yang mencurigaiku dan kakakku?”
“Kamu beneran mandi atau sedang berm—”
Tamparan keras mendarat di pipi kanannya.
“Kamu tidak berhak bertanya dan ikut campur urusanku. Sesuka hatiku mau berbuat apa pun tanpa menunggu persetujuanmu atau meminta izin darimu. Aku tidak pernah sudi disentuh olehmu. Bahkan, melihat wajahmu saja, aku mau muntah. Jadi, hati-hati kalau kamu bicara!”
Sandria mengelak dengan tatapan nanar kepadanya.
Semua itu dilakukan untuk menutupi kesenangan malam yang tidak ingin diketahui oleh orang tua dan kakaknya. Kelakuan Sandria yang suka minum minuman alkohol yang mahal telah diketahui oleh Hans, tapi ia tidak membongkar ke keluarganya.
Rahang menjadi tegang dengan mengepalkan tangannya erat. Lagi dan lagi, Sandria tidak jujur kepadanya dan menatap kosong ke arahnya.
“Sekali lagi, kamu ikut campur dan bertanya kepadaku tentang urusanku maka kubunuh kamu agar tidak ada lagi keributan dan biar aku bebas darimu.”
“Maaf.”
“Aku bosan mendengar kata maafmu, selama empat tahun hanya kata maaf yang sering kudengar!” sungut Sandria.
“Aku harus berbuat apa untuk membuatmu bahagia? Apakah selama ini usahaku kurang?” tanya Hans dengan intonasi penekanan.
“Usahamu? Usaha apa yang kamu lakukan? Beli buah, barang dan makanan murahan yang dibeli di pinggir jalan?” cecar Sandria nada menghina.
Dasar Menantu Tidak Tahu Diri!“Kemampuanku hanya sebatas itu.”Hans memang membeli buah, barang dan makanan yang murah di pinggir jalan saat memenuhi keinginan dan kebutuhan Sandria. Ia hanya mampu membeli dengan harga yang murah.Pendapatan tiap bulan tidak sampai minimal pendapatan kota.Harga menjadi tolak ukur bagi wanita kaya, seperti Sandria.Usaha untuk membahagiakan dan menyenangkannya selama ini tidak ada artinya karena harga yang murah. Ia juga curiga kepadanya bahwa semua itu dibuang saat tidak ada dirinya.“Kalau kemampuanmu hanya sebatas itu dan keahlianmu hanya mengirim barang, lebih baik tidak perlu ikut campur urusanku karena kapasitas otakmu takkan mampu menganalisis. Jadi, berhentilah bertanya, seperti detektif, polisi dan jaksa!” hina Sandria sampai terlihat otot lehernya.Hans tertegun sambil mengepalkan tangannya dengan erat.“Baiklah.”“Kamu tidur di ruang tamu malam ini dan seterusnya!” sungut Sandria sambil mengusirnya dan menutup pintu kamar dengan keras.Hina
Rashid mendaratkan pukulan di wajahnya hingga Hans tersungkur di lantai dan sudut bibir berdarah. Saat dia marah dengannya tidak pernah memukul wajahnya menggunakan tangan yang mengepal erat dan hanya tamparan.Tidak hanya itu, dia bisa menyuruh dan memerintah banyak orang untuk membunuhnya saat sedang amarah membara. Namun, kemarahannya sangat berbeda saat ini.Apakah karena pengaruh obat suntikan itu?Hans berdiri sambil menatap Rashid yang berdiri sempoyongan dan mengeluarkan banyak keringat di dahi. Dia memegang kepala dan hitungan detik terkapar di lantai dan mengenai kardus itu dan lima suntikan beserta cairannya pecah di lantai.Suara suntikan yang pecah membuat ibu mertua dan Ryan mendatangi sumber arah. Ibu mertua berteriak histeris saat melihat suaminya terkapar di lantai dan pecahan kaca berserakan di mana-mana.“Apa yang kamu lakukan kepada suamiku, Haaannss?” pekik Ibu mertua sambil terisak dan melotot. Dia terduduk dan menepuk pipi Rashid.“Saya tidak melakukan apa pun, B
“Ibu tanyakan pada Sandria sekarang dan … bukankah perpisahan saya dengan Sandria sudah diinginkan oleh keluarga ini?”“Sandria tidak ada salah apa pun, Bu. Dia yang salah!” sambar Ryan dari lorong kamar Sandria.“Jika ibu ingin lebih jelas, datangi dia di kamar,” kata Hans lembut sembari melirik Ryan yang mendelik dan mengancam untuk memukulnya.Ibu mertua berbalik badan dan menyingkirkan tubuh kekar anaknya. Dia bergegas mendatanginya di kamar, tapi Sandria muncul di hadapan ibunya sebelum berbelok ke lorong menuju kamarnya.“Dia memang bukan suami Sandria lagi, Bu.”“Apa? Bagaimana kalau media tahu?” Ibu mertua mengkhawatirkan nama keluarga besarnya hancur.“Tenang saja, Bu. Sandria sedang tidak hamil, kan?”“Tapi, kenapa dia menceraikanmu?” tanya Ibu mertua yang masih ingin tahu alasannya.“Karena dia selingkuh.”“Hans selingkuh?” Ibu mertua terlihat tidak percaya dengan jawabannya.“Iya, dia selingkuh.”“Pembohong dan pezina!” ujar Hans sembari menatap tajam dan rahang menegang.“
Hans menghela napas panjang setelah diminta untuk datang ke rumahnya. Ia sudah bisa menebak bahwa masalah semalam anak lelakinya dipukul oleh anak buahnya.Ryan, selain pengangguran, dia tukang penasaran dengan kehidupan orang lain dan sok jadi jagoan. Dia terkenal anak yang selalu sembunyi di bawah ketiak ayahnya yang berkuasa.Ia datang dengan pakaian kurir seperti biasa agar tidak membuat keluarga mantan istrinya curiga.Ia tiba di kediaman Rashid dan disuguhkan pemandangan Rashid sudah duduk di sofa bersama anak buahnya yang memiliki badan besar dan tinggi, istrinya dan Ryan yang wajahnya babak belur.“Kamu yang membalas dia?”“Bukan.”Rashid memukul meja dengan keras. “Jangan bohong!”“Aku tidak tahu hal apa pun yang ada di wajahnya.”“Lalu, kenapa wajahnya babak belur setelah mengikutimu di rumah mewah? Kamu merampok di sana?” cecar Rashid dengan intonasi penekanan.Hans melirik Ryan dengan santai sembari pura-pura terkejut dan tidak mengetahui hal itu. Pria yang jarang berhati-h
“Perhatian semuanya, ada anggota keuangan baru. Saya akan memperkenalkannya kepada kalian. Namanya adalah Lee.” Haedar memperkenalkan Lee Hans Cody kepada seluruh karyawannya, tapi tidak menyebutkan nama aslinya.“Halo, nama saya Lee.”“Wah, cakep banget. Halo, Lee.” Salah satu karyawan wanita memuji paras wajah yang mempesona di depannya.Karyawan yang berkumpul di depan Direktur Utama dengan baris yang melingkar berkenalan satu per satu dengannya, terutama karyawan wanita yang berebutan untuk berjabat tangan dengannya.Hans sengaja menggunakan nama depannya yang tidak diketahui oleh siapa pun karena terdapat Adnan yang bekerja di perusahaannya. Ia mulai beraksi untuk memberantas masalah di kantor, membalas dendam kepada siapa pun yang pernah merendahkan, menghina dan meremehkannya, serta mencari sosok pembunuh ayah dan adiknya.“Senang berkenalan dengan kalian,” katanya ramah dengan senyuman lebar.Beberapa karyawan wanita hampir pingsan saat melihat senyuman manis dan tampannya. Han
“Apa yang kam—”Hans membekap mulut rekan kerjanya yang tiba-tiba hadir saat sedang mencari tahu yang dikerjakan oleh mantan kakak iparnya selama ini dan pergerakan Adnan yang mencurigakan.Suara baritonnya bisa mengacaukan segalanya. Hans membawa rekan kerja keluar dari toilet dan bersembunyi di belakang lift.“Apa-apaan kamu?” Rekan kerja protes sambil melepaskan tangan kekar dari mulutnya.“Kamu tadi mengagetkanku dari … sesuatu tak kasat mata yang kulihat dan mendengar isak tangis perempuan di toilet pria,” kilah Hans.“Sungguh? Kamu melihat dan mendengarnya?” tanya rekan kerja yang malah antusias dengan cerita bohongnya.Hans tersenyum miring dengan mulut yang sedikit terbuka sambil mengangguk pelan. Ia tidak percaya bahwa rekan kerjanya tertarik dengan perkataannya yang tidak benar.Tidak masalah kalau dia tidak percaya dengan perkataannya, yang terpenting adalah tidak ketahuan mereka. Siapa pun bisa datang begitu saja ke toilet.Hans harus berhati-hati lain kali. Risiko ketahuan
“Buah enak ini. Jadi, makanlah,” kata Adnan sambil tersenyum miring.Hans membisu sembari memperhatikan buah yang ada di tangan kekarnya. Dia terlihat mencurigakan karena memaksa untuk memakan buah pemberiannya.Semakin tidak menjawab pertanyaannya maka membuat Hans semakin bermain-main dengannya. Dia memang sangat pintar memengaruhi banyak orang hingga mendapat pujian dari beberapa rekan kerjanya.Ia menerima buah dari tangan kekarnya dan dimasukkan ke dalam lacinya. “Saya akan memakannya ketika jam istirahat bukan sedang jam bekerja masih berlangsung,” balasnya tegas.Hans tidak bisa dipaksa oleh siapa pun. Bahkan, ia tidak percaya dengan pemberian dari siapa pun untuk saat ini.Jemari dan mata kembali ke layar monitor dan mengacuhkan keberadaan Adnan yang masih berada di sampingnya. Tatapan seluruh rekan kerja membulat saat melihat aksi penolakannya.“Baiklah. Jangan lupa nanti dimakan.” Adnan berucap sambil menepuk lengan kekarnya dan kembali ke mejanya.Hans tidak menyangka bahwa
‘Kenapa selalu disuguhkan buah hijau? Jika dia bertanya seperti itu, artinya baru dikasih oleh Adnan dan tidak pernah melihat buah seperti itu sebelumnya?’Hans membatin dengan siapa pun yang menanyakan buah berwarna hijau, seperti rambutan. Mereka tidak pernah melihat buah dengan bentukan seperti itu.Namun, hanya ada satu pertanyaan di kepalanya saat Adnan memberikan buah itu. Kenapa selalu buah hijau yang berduri yang diberikan kepada seseorang yang sedih atau membutuhkan semangat lagi?“Buah ini jarang banget di sini dan adanya di Kalimantan. Jadi, saya mendapatkan ini dari teman saya karena katanya enak dikonsumsi. Nanti pasti ketagihan dan mencari buah ini.”“Oh, begitu. Makasih, ya.”“Sama-sama. Semoga suka dan tidak mahal kalau beli di aku.”Hans bergegas sembunyi di balik truk dengan merapatkan tubuhnya ke badan truk hingga melihat Adnan yang telah pergi dari kantor.Adnan merupakan pria yang pintar merayu seseorang atau mengajak siapa pun untuk mengonsumsi makanan yang tidak