Share

Menantu Kurir Kaya Tujuh Turunan
Menantu Kurir Kaya Tujuh Turunan
Penulis: Angdan

1. Sepatu Fantovel

“Sayang, aku pulang.”

“Jangan masuk. Aku masih ganti pakaian!”

Hans tersenyum saat mendengar istrinya yang meminta untuk tidak masuk kamar terlebih dahulu dengan memperhatikan waktu yang melingkar di pergelangan tangannya.

Hans terbiasa masuk kamar terlebih dahulu setelah pulang kerja yang seharian berada di jalan. Walaupun sang istri tidak menyukainya.

“Duh!”

Hans mendekatkan telinga ke pintu dengan mengernyitkan dahi saat mendengar keluhan suara pria seperti anggota tubuhnya terbentur benda di kamar.

“Masih lama? Kamu baru selesai mandi?” tanya Hans sambil mengetuk pintu dan memandangi pintu kokoh berwarna cokelat tua.

Wanita yang rambutnya diikat penuh berpakaian piyama berwarna ungu terlihat bentuk tubuhnya yang sempurna membuka pintu kamar dan berbalik meninggalkan pria berpakaian kusut dan aroma badan yang tidak pernah wangi saat pulang kerja.

“Kenapa kamu lama sekali membuka pintunya?”

“Aku lagi mandi tadi.”

“Mandi? Kalau kamu mandi bukannya kamu pakai baju hand—”

“Apa salahnya kalau aku langsung pakai piyama?!” ketus wanita sambil berbalik badan dan melotot.

Hans menundukkan kepala saat dibentak oleh istrinya, Sandria.

Ia sering mendapat bentakan dari istri dan keluarganya sejak pertama kali bertemu dengannya. Keluarga istri tidak mendukung pernikahannya.

Sandria sangat tidak menyukainya sejak pertama kali nikah dengannya. Dia harus menikahi seorang pria buruk rupa yang tidak memiliki apa pun dan tidak pernah membahagiakannya demi melindungi nama baik keluarga besarnya yang terpandang.

Sandria tidak ingin disentuh olehnya karena tidak ingin memiliki keturunan darinya dan merasa jijik saat bertatapan dengannya.

Hans tidak pernah mendapatkan perlakuan baik dari Sandria maupun keluarganya selama empat tahun menikah dengannya. Ia berusaha membahagiakan sang istri dengan cara bekerja keras dan memenuhi kebutuhan sekaligus keinginannya.

Namun, semua itu hanyalah sampah yang dibuang secara cuma-cuma. Kerja keras yang tidak pernah dihargai olehnya.

Hans bekerja mengelilingi alamat sesuai dengan tujuan yang ada dalam paket demi mendapatkan uang untuk makan keluarganya.

“Aku buatkan minuman teh rempah kesukaanmu.”

Kebiasaan yang seharusnya dilakukan istri malah dilakukan olehnya. Pulang kerja harus melayani istrinya dan diri sendiri.

“Tidak perlu. Aku mau tidur.”

Beberapa kali langkah dan belum sempat keluar kamar, kakinya tersandung oleh sepatu fantovel yang terguling saat Sandria menolak penawaran itu.

Kebiasaan yang tidak mudah berubah dalam sekejap membuatnya ada yang aneh dengan seprai kasur yang bergerak sedikit.

Hans terdiam selama dua menit dengan mata melotot dan tersenyum miring saat memperhatikan sepatu fantovel milik pria tergeletak di dekat nakas dan pintu kamar.

“Apakah ada orang lain di sini?” tanya Hans dengan menatap fantovel yang terpisah.

Apakah informasi yang pernah didapat selama ini dari temannya memang benar? Ia mendengar suara wanita dan pria mencapai kenikmatan dengan samar dan pintu kamar terlihat terkunci saat menaiki anak tangga menuju kamar.

Sandria terdiam dengan mata yang terpaku pada cermin rias sambil menelan air saliva.

“Kamu selesai mandi, kan?”

“Iya.”

“Kenapa tidak basah rambutmu? Bukannya kamu harus keramas?”

Sandria terdiam dan terlihat jelas dari sorot matanya bahwa ia berbohong kepadanya.

Sepasang sepatu fantovel pria berwarna hitam yang digunakan untuk bekerja membuat dadanya sangat sesak. Ia tidak pernah berbohong selama ini dan berusaha ingin membuatnya bahagia.

Ketulusan untuk mencintai wanita yang tidak dikenal dan menikahinya karena terdesak saat menolong Sandria yang kecelakaan dan dalam kondisi mengandung tiga bulan malah dihancurkan dengan pengkhianatan besar oleh istrinya.

Ia tetap berusaha sabar dan tidak melawan Sandria. Berpura-pura tidak tahu sebelum melihat dengan kedua matanya.

“Tumben? Kamu terbiasa minum teh rempah panas sebelum tidur, kan?”

Sandria terdiam saat merangkak dan masuk ke selimut setelah mendengar ucapannya. Tatapan yang membulat dan otot leher yang menegang membuatnya menghampiri dan duduk di tepi ranjang.

“Kenapa? Kamu lelah?”

“Ya, aku lelah dan jauh-jauh dariku.” Sandria mengusirnya saat didekati olehnya.

Hans masih tetap tersenyum tipis saat Sandria meminta untuk menjauh darinya. Ia hapal dengan ketidaksukaan istrinya lalu menoleh ke arah sepatu fantovel yang tergeletak.

“Sepatu fantovel siapa itu?”

Sandria terjingkat duduk dan mengintip posisi sepatu fantovel yang tergeletak. Dia menggigit bibir sambil memejamkan matanya.

“Sepatu fantovel kakakku. Kamu tahu, kan kalau kakakku tadi pagi datang ke kamar, berpakaian rapi ala karyawan. Tadi pulang mampir ke kamarku dan meletakkan sepatunya di sana untuk meminjam pena.”

Hans terdiam selama satu menit dan teringat sepatu fantovel kakaknya berbentuk oval dan berwarna cokelat tua yang mengkilap. Ia menatap Sandria yang mengernyitkan dahi dan tidak berbau sabun sama sekali di tubuhnya.

“Sungguh? Aku ingat dia hanya punya sat—”

“Dia punya banyak dan kamu saja tidak tahu soal itu!” Sandria memotong kalimatnya dengan cepat dan nada tinggi.

“Baiklah. Aku bawa sepatu ini ke kamar kakakmu.”

Hans mengambil sepatu fantovel itu, tetapi dicegah olehnya untuk tidak perlu diberikan kepada kakaknya secepat kilat dengan alasan yang tidak masuk akal.

“Jangan!”

“Kenapa?”

“Sepatu … sepatu itu katanya mau dikasihkan ke teman bisnis katanya.”

Hans hanya terdiam beribu bahasa saat Sandria menyampaikan hal yang tidak bisa diterima oleh logikanya. Bahkan, ia tetap berpura-pura tidak mengetahuinya sampai ketahuan sosok yang berada di dalam kamarnya.

Sepatu yang dipegang tidak asing untuknya. Ia merasa pernah melihat sepatu dalam genggaman tangannya dan berada dalam rumah ini.

“Kenapa? Kamu tidak percaya denganku?”

“Ragu karena sepatu ini tidak asing untukku.”

“Lalu, kenapa kamu tanya sepatu itu milik siapa, Hans?!”

“Kenapa kamu malah balik tanya ke aku? Bukannya kamu bilang sepatu ini untuk teman bisnis kakakmu?”

Sandria terdiam sambil mendelik dan merampas sepatu yang dipegang olehnya. Dia mendorong tubuh Hans untuk keluar kamar dan meletakkan sepatu di balik pintu.

Dia terlihat marah yang berusaha menyembunyikan kejadian yang tidak ingin diketahui oleh siapa pun.

“Siapa kamu yang mencurigaiku dan kakakku?”

“Kamu beneran mandi atau sedang berm—”

Tamparan keras mendarat di pipi kanannya.

“Kamu tidak berhak bertanya dan ikut campur urusanku. Sesuka hatiku mau berbuat apa pun tanpa menunggu persetujuanmu atau meminta izin darimu. Aku tidak pernah sudi disentuh olehmu. Bahkan, melihat wajahmu saja, aku mau muntah. Jadi, hati-hati kalau kamu bicara!”

Sandria mengelak dengan tatapan nanar kepadanya.

Semua itu dilakukan untuk menutupi kesenangan malam yang tidak ingin diketahui oleh orang tua dan kakaknya. Kelakuan Sandria yang suka minum minuman alkohol yang mahal telah diketahui oleh Hans, tapi ia tidak membongkar ke keluarganya.

Rahang menjadi tegang dengan mengepalkan tangannya erat. Lagi dan lagi, Sandria tidak jujur kepadanya dan menatap kosong ke arahnya.

“Sekali lagi, kamu ikut campur dan bertanya kepadaku tentang urusanku maka kubunuh kamu agar tidak ada lagi keributan dan biar aku bebas darimu.”

“Maaf.”

“Aku bosan mendengar kata maafmu, selama empat tahun hanya kata maaf yang sering kudengar!” sungut Sandria.

“Aku harus berbuat apa untuk membuatmu bahagia? Apakah selama ini usahaku kurang?” tanya Hans dengan intonasi penekanan.

“Usahamu? Usaha apa yang kamu lakukan? Beli buah, barang dan makanan murahan yang dibeli di pinggir jalan?” cecar Sandria nada menghina.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status