Share

7. Pekerjaan Ryan

“Apa yang kam—”

Hans membekap mulut rekan kerjanya yang tiba-tiba hadir saat sedang mencari tahu yang dikerjakan oleh mantan kakak iparnya selama ini dan pergerakan Adnan yang mencurigakan.

Suara baritonnya bisa mengacaukan segalanya. Hans membawa rekan kerja keluar dari toilet dan bersembunyi di belakang lift.

“Apa-apaan kamu?” Rekan kerja protes sambil melepaskan tangan kekar dari mulutnya.

“Kamu tadi mengagetkanku dari … sesuatu tak kasat mata yang kulihat dan mendengar isak tangis perempuan di toilet pria,” kilah Hans.

“Sungguh? Kamu melihat dan mendengarnya?” tanya rekan kerja yang malah antusias dengan cerita bohongnya.

Hans tersenyum miring dengan mulut yang sedikit terbuka sambil mengangguk pelan. Ia tidak percaya bahwa rekan kerjanya tertarik dengan perkataannya yang tidak benar.

Tidak masalah kalau dia tidak percaya dengan perkataannya, yang terpenting adalah tidak ketahuan mereka. Siapa pun bisa datang begitu saja ke toilet.

Hans harus berhati-hati lain kali. Risiko ketahuan sangat besar ketika ingin tahu yang dilakukan oleh musuhnya.

Apalagi, dia pernah mengambil istrinya dengan cara yang tidak pantas.

“Iya. Apakah ada cerita seperti itu di perusahaan ini?” tanya Hans yang berusaha mengikuti antusias rekannya.

“Beritanya seperti itu dan semakin menyeramkan sejak Pak Cody Ruth, pemilik perusahaan ini meninggal dunia dan digantikan oleh istrinya yang terkenal tanpa ampun dengan karyawannya.”

“Tanpa ampun? Maksudnya?” tanya Hans tidak mengerti dengan ucapan rekan kerjanya.

“Dia terkenal sadis terhadap karyawannya. Jika ada kesalahan kecil maka langsung dipecat dan ….”

Hans meninggalkan rekan kerjanya saat Adnan melewati belakang lift menuju halaman belakang perusahaan bersama Ryan. Ia masih penasaran dengan aktivitas dan pembicaraan mereka.

Pembicaraan antara Ryan dengan Adnan tampak belum selesai dan terlihat seperti sedang bertransaksi barang yang sangat mahal.

“Hei, kamu mau ke mana?”

“Apa? Ada masalah kamu dengan saya?!” Adnan membalas ucapan rekan kerjanya nada tinggi.

Hans bersembunyi di balik pilar yang terlihat oleh rekan kerjanya sembari meletakkan telunjuk di depan mulut kepadanya.

Rekan kerja yang mulutnya tidak bisa ditahan saat menegur dan tidak membiarkannya pergi saat bercerita kepadanya membuatnya hampir ketahuan saat mengikutinya.

Ia mengikuti mereka setelah dia pergi dari hadapannya. Hans harus mencari tahu apa yang dijual olehnya sehingga spekulasinya tidak hanya dalam bentuk imajinasi yang tak berwujud.

Mereka berhenti tepat di dekat sampah. Ryan mengambil tas yang terlihat seperti terbuat dari rotan dan tas plastik berwarna hitam dari tangan Adnan.

“Kamu harus menjual buah itu karena harga buah itu sangat mahal bagi yang membutuhkannya. Jika kamu ingin kaya dan bersenang-senang dengan wanita lain maka berusaha keraslah.”

“Apakah buah ini sangat langka?” tanya Ryan yang tidak percaya dengannya.

“Apakah kamu tidak ingin semakin kaya selain menjual serbuk dan serpihan sabu dan ganja?” tanya Adnan yang mencengkeram kerah bajunya.

Bola mata membulat saat mendengar barang yang dijual oleh Ryan selama ini. Pantas saja, dia terlihat tenang dan santai ketika Rashid memintanya untuk melanjutkan bisnisnya.

Ryan lebih memilih menjual narkoba dari pada melanjutkan bisnis yang menguntungkan milik ayahnya.

Hans mengambil gambar transaksi Ryan dengan Adnan secara diam-diam dari balik dinding yang tidak jauh dari mereka. Ia tersenyum miring saat mendapatkan gambar yang sesuai dengan keinginannya.

“Ternyata, pekerjaanmu selama ini menjual narkoba dalam bentuk serbuk. Pantas saja, kamu terlihat tenang dan berusaha meyakinkan ayahmu,” kata Hans lirih sambil menggeser foto yang baru didapatkan beberapa detik yang lalu.

Hans kembali ke mejanya yang tanpa terasa sudah tiga puluh menit meninggalkan ruangan. Ia mengerjakan pekerjaannya dengan semua sorot mata beralih kepadanya.

“Kamu habis dari mana?” tanya salah satu rekan kerja keuangan.

“Aku … habis buang air besar,” jawab Hans sambil menatap lamat.

“Kamu membuang hajat harus sangat lama?” tanya rekan kerjanya dan disusul oleh Adnan yang memasuki ruangan.

Adnan menoleh ke arahnya saat berbicara dengan salah satu rekan kerjanya yang bernama Tono. Pembicaraan itu membuatnya curiga kepada Hans.

“Ada apa? Kenapa kamu tampak tidak terima dengan Hans? Apa yang habis dilakukan olehnya?” tanya Adnan yang berusaha terlihat adil sembari meliriknya dan duduk bersandar di kursi kerja.

Dia terlihat sok peduli dan baik di depan rekan kerja, padahal tidak tahu sifat aslinya.

“Dia buang hajat aja tiga puluh menit. Sedangkan, saya tidak pernah segitu lamanya.”

“Apakah membuang hajat harus dihitung waktunya? Bagaimana kalau yang dikeluarkan sangat banyak? Apakah kita perlu menghitung waktu saat membuang hajat sendiri?” cecar Hans sembari menatap Tono dan melirik Adnan yang memperhatikannya.

Semua orang yang berada di ruang keuangan terdiam setelah Hans mengeluarkan argumentasi saat membuang hajat di toilet. Semua pertanyaan itu sangat bisa diterima oleh siapa pun.

Argumentasi yang masuk akal. Semua terdiam.

“Dia saja sampai berkeringat seperti itu, pastinya banyak yang dikeluarkan,” ujar salah satu rekan kerjanya bernama Supedjo.

Ucapan yang baru saja dikeluarkan olehnya disetujui oleh beberapa rekan kerjanya yang lain hingga pernyataan Tono ditolak oleh banyak orang.

Hans hanya tersenyum tipis sembari menatap Tono dengan mengangkat alisnya bahwa tidak ada yang setuju dengan pernyatannya.

Ia berhasil mengambil hati beberapa rekan kerja di hari pertama dengan alasan yang logis dalam keadaan yang terpojok.

Bahkan, tatapan Adnan yang curiga kepadanya pun kembali normal dengan senyuman lebar dan menghampirinya sambil membawa buah berwarna hijau dan bentuknya sama dengan yang telah dilihat.

Ia harus berusaha untuk terlihat baik di depan banyak orang dan menyingkirkan masalah pribadi pada Adnan.

“Makanlah ini, Hans.” Hans menyerahkan buah berwarna hijau yang mirip dengan rambutan.

“Kenapa Bapak tiba-tiba memberi saya buah? Buah apa ini, Pak?” tanya Hans yang berusaha santai saat Adnan mendekatinya.

“Wah, dapat buah dari Manajer. Kita jarang dan hampir tidak pernah dapat dari Pak Adnan, loh, Hans.” Beberapa rekan kerja merasa iri dengannya.

“Terima dan makanlah!” Adnan memaksa Hans untuk menerima dan memakannya.

“Tapi, buah apa ini, Pak?” tanyanya sekali lagi sembari menatap buah itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status