Hans menghela napas panjang setelah diminta untuk datang ke rumahnya. Ia sudah bisa menebak bahwa masalah semalam anak lelakinya dipukul oleh anak buahnya.
Ryan, selain pengangguran, dia tukang penasaran dengan kehidupan orang lain dan sok jadi jagoan. Dia terkenal anak yang selalu sembunyi di bawah ketiak ayahnya yang berkuasa.
Ia datang dengan pakaian kurir seperti biasa agar tidak membuat keluarga mantan istrinya curiga.
Ia tiba di kediaman Rashid dan disuguhkan pemandangan Rashid sudah duduk di sofa bersama anak buahnya yang memiliki badan besar dan tinggi, istrinya dan Ryan yang wajahnya babak belur.
“Kamu yang membalas dia?”
“Bukan.”
Rashid memukul meja dengan keras. “Jangan bohong!”
“Aku tidak tahu hal apa pun yang ada di wajahnya.”
“Lalu, kenapa wajahnya babak belur setelah mengikutimu di rumah mewah? Kamu merampok di sana?” cecar Rashid dengan intonasi penekanan.
Hans melirik Ryan dengan santai sembari pura-pura terkejut dan tidak mengetahui hal itu. Pria yang jarang berhati-hati dengan kondisi apa pun yang asing selalu mendapatkan pukulan di wajahnya.
“Saya merampok? Buat apa?”
“Halah, jangan alasan.”
“Tanya saja padanya, kenapa dia mengikuti saya?”
“Aku … aku hanya penasaran ke mana kamu pergi setelah pisah dari Sandria.”
“Apa urusanmu peduli dengannya? Bukan, kah beban kita berkurang?”
“Bukan begitu!” jawab Ryan nada tinggi.
Sontak, ayah dan ibu mertua terkejut ketika dia berteriak. Ibu mertua memegang dan mengusap tangannya perlahan seakan memahami yang dialami olehnya.
“Katakan saja.”
“Kenapa kamu berteriak di depan ibu dan ayah?”
“Aku … mendengar percakapannya dengan seseorang di handphone ketika mau turun ke lantai satu,” beber Ryan lantang.
“Seseorang? Apakah terdengar mencurigakan?” tanya Rashid penasaran.
“Bukan, itu hanya pelanggan saja.” Hans membela diri.
“Pelanggan? Kalau pelanggan harus menyebut ibu yang tidak bisa mengatasinya? Artinya, kamu masih punya orang tua dan ada masalah, kan?” cecar Ryan dengan intonasi penekanan.
Hans membisu selama satu menit setelah mendengar pertanyaan darinya. Semalam, Ryan mendengar pembicaraannya dengan Haedar dan sampai tidak menyadari keberadaannya.
Alasan dia mengikutinya adalah mendengar pembicaraannya di handphone dengan seseorang. Namun, Hans tidak boleh meremehkan Ryan yang bisa melacak IP berdasarkan nomor handphone pemiliknya berada di lokasi mana pun.
Ia teringat bahwa Ryan pernah mendapat tugas dari teman ayahnya untuk melacak nomor handphone anaknya yang dicuri oleh dua pria tak di kenal pada dua tahun yang lalu.
Apakah Haedar mengetahui keahlian Ryan?
“Kenapa kamu diam? Semua yang dikatakan oleh Ryan benar?” Rashid curiga dengan Hans.
“Ibu pada panggilan masuk di handphone tidak selalu orang tua kandung, melainkan bisa pelanggan. Saya mengatakan demikian karena beliau tidak bisa mengatasi masalah pada aplikasi pemantauan pengiriman barang. Maka dari itu, saya mampir ke rumah teman saya yang ahli perangkat lunak,” jawab Hans santai sembari menatap mereka satu per satu.
Ia merasa sedang diinterogasi di pagi buta. Masalah kecil bisa menjadi besar ketika ada seseorang yang mendengarkan pembicaraannya dengan siapa pun secara diam-diam.
“Sungguh? Aku punya buktinya berdasarkan pelacakan IP pada nomor handphone,” imbuh Ryan sambil memegang handphone yang menyala.
“Iya, saya tidak berbohong,” jawab Hans dengan senyuman lebar, tapi jantung berdegup dengan kencang.
Nada panjang berdering keras dan berbunyi berkali-kali milik Hans. Ryan merampas handphone-nya saat memperhatikan nomor masuk tanpa nama di layarnya lalu mencocokkan nomor yang sama dan melacak keberadaannya.
“Berdasarkan IP-nya, pemilik nomor berada di Jakarta dan coba angkat teleponnya.”
Hans menelan air saliva dengan napas yang berusaha diatur perlahan olehnya agar tidak terlihat takut sembari memperhatikan layar laptop yang terdapat tanda biru dan nomor handphone yang menghubunginya.
Ia mengangkat panggilan masuk dari nomor itu dengan menyalakan pengeras suara di depan Ryan, ibu mertua dan Rashid.
“Halo, selamat pagi.”
“Halo, Mas. Anak saya yang semalam menghubungi Mas karena saya sudah tidur.”
“Ah, ada yang bisa dibantu, Bu?”
“Tidak ada, Mas. Saya mau berterima kasih karena penanganan aplikasinya sudah bisa diakses saat memantau pengiriman barang. Penanganannya cepat sekali, terima kasih sekali lagi.”
Hans tersenyum lebar sembari melirik Ryan dan menaikkan satu alisnya. “Baik, Bu. Terima kasih kembali. Jangan lupa bintangnya, ya, Bu dan selalu memakai pelayanan kami.”
“Iya, Mas.”
“Mas, saya tidak mengira penanganan aplikasinya cepat sekali, padahal semalam saya protes dan marah-marah ke Mas karena ibu sudah bingung tidak bisa menggunakan aplikasinya.”
“Tidak apa, Mas. Saya bisa memahaminya, terima kasih.”
“Sama-sama, Mas.”
Panggilan berakhir dengan pembicaraan seorang pria yang dikenal olehnya. Pria itu adalah anak buahnya dan wanita yang menjadi ibunya merupakan asisten rumah tangganya, tapi tidak berada pada rumah Hans dan ayahnya.
Mereka terlihat berada di lokasi perkampungan kumuh yang terpencil dan sudut di Jakarta. Ia memasukkan handphone di kantong celananya dengan tersenyum tipis.
Haedar mengetahui keahlian Ryan yang bisa melacak IP sehingga menyusun rencana serapi mungkin. Sungguh luar biasa kinerjanya.
“Bagaimana?”
“Dasar, anak kurang kerjaan,” kata Rashid sembari memukul lengan Ryan menggunakan buku yang ada di meja.
“Jangan malu-maluin ayahmu, Ryan!” tutur Ibu mertua lembut.
Untung dan hampir saja ketahuan identitasnya. Ia harus belajar banyak dengan Haedar untuk menyusun rencana dan mengetahui siapa pun yang ada di negara ini.
Tanpa terasa waktu telah pagi, tepat pukul setengah tujuh pagi hidangan sarapan pagi telah siap. Sepatu hak tinggi wanita terdengar olehnya dan tanpa sengaja menoleh ke arah Sandria yang berpakaian rapi dan selalu mempesona.
“Saya pamit pergi dulu.”
“Pergi sana!” usir Ryan nada kesal.
Hans tersenyum miring dan meninggalkan mereka dengan jantung yang tidak berdegup dengan kencang. Langkah terhenti saat berpapasan dengan sepatu fantovel yang dilihat olehnya kemarin.
Bola mata merayap perlahan ke pemiliknya. Pemilik sepatu adalah Adnan. Nama Adnan masih menjadi misteri untuknya.
“Eh, kamu ada di sini. Kangen sama Sandria?” Adnan meledeknya dengan senyuman miring.
“Tidak sama sekali. Silakan ambil semaumu.”
Hans pergi meninggalkan rumah Rashid dengan senyuman lebar lalu menciut. Ia terus melangkah tanpa menoleh sembari mengepalkan tangannya dengan erat.
Pria brengsek yang tak tahu malu. Dia merasa bangga telah mengambil istri orang lain setelah menghamilinya dan ditinggalkan saat Sandria mengalami kecelakaan dan dalam keadaan mengandung.
“Jangan lupa pakai parfum.”
Hans mengacuhkannya dan meninggalkan rumahnya dengan menunjukkan jari tengah kepadanya selama lima detik.
Tidak ada rasa penyesalan sama sekali setelah menceraikan Sandria.
Hans berhenti di sebuah toilet umum untuk mengganti pakaian. Pertama kali membuka pintu toilet, Haedar berada di depannya sembari menyerahkan topeng yang diminta olehnya.
“Aman, kan tadi, Tuan muda?”
“Aman. Bapak sudah melakukan yang terbaik setelah membicarakan rencana sebelum bertemu dengan mereka.”
“Syukurlah.”
Hans berangkat ke kantor ayahnya dengan wajah aslinya menggunakan mobil Lamborghini berwarna hitam. Sepeda motor pengiriman barang disimpan oleh anak buahnya di gudang rumahnya.
Hans tiba di kantor dan mendapat perhatian khusus dari karyawan wanita sampai terpanah dengan ketampanannya.
“Siapa dia?”
“Apakah dia adalah Admin Keuangan yang baru?”
“Perhatian semuanya, ada anggota keuangan baru. Saya akan memperkenalkannya kepada kalian. Namanya adalah Lee.” Haedar memperkenalkan Lee Hans Cody kepada seluruh karyawannya, tapi tidak menyebutkan nama aslinya.“Halo, nama saya Lee.”“Wah, cakep banget. Halo, Lee.” Salah satu karyawan wanita memuji paras wajah yang mempesona di depannya.Karyawan yang berkumpul di depan Direktur Utama dengan baris yang melingkar berkenalan satu per satu dengannya, terutama karyawan wanita yang berebutan untuk berjabat tangan dengannya.Hans sengaja menggunakan nama depannya yang tidak diketahui oleh siapa pun karena terdapat Adnan yang bekerja di perusahaannya. Ia mulai beraksi untuk memberantas masalah di kantor, membalas dendam kepada siapa pun yang pernah merendahkan, menghina dan meremehkannya, serta mencari sosok pembunuh ayah dan adiknya.“Senang berkenalan dengan kalian,” katanya ramah dengan senyuman lebar.Beberapa karyawan wanita hampir pingsan saat melihat senyuman manis dan tampannya. Han
“Apa yang kam—”Hans membekap mulut rekan kerjanya yang tiba-tiba hadir saat sedang mencari tahu yang dikerjakan oleh mantan kakak iparnya selama ini dan pergerakan Adnan yang mencurigakan.Suara baritonnya bisa mengacaukan segalanya. Hans membawa rekan kerja keluar dari toilet dan bersembunyi di belakang lift.“Apa-apaan kamu?” Rekan kerja protes sambil melepaskan tangan kekar dari mulutnya.“Kamu tadi mengagetkanku dari … sesuatu tak kasat mata yang kulihat dan mendengar isak tangis perempuan di toilet pria,” kilah Hans.“Sungguh? Kamu melihat dan mendengarnya?” tanya rekan kerja yang malah antusias dengan cerita bohongnya.Hans tersenyum miring dengan mulut yang sedikit terbuka sambil mengangguk pelan. Ia tidak percaya bahwa rekan kerjanya tertarik dengan perkataannya yang tidak benar.Tidak masalah kalau dia tidak percaya dengan perkataannya, yang terpenting adalah tidak ketahuan mereka. Siapa pun bisa datang begitu saja ke toilet.Hans harus berhati-hati lain kali. Risiko ketahuan
“Buah enak ini. Jadi, makanlah,” kata Adnan sambil tersenyum miring.Hans membisu sembari memperhatikan buah yang ada di tangan kekarnya. Dia terlihat mencurigakan karena memaksa untuk memakan buah pemberiannya.Semakin tidak menjawab pertanyaannya maka membuat Hans semakin bermain-main dengannya. Dia memang sangat pintar memengaruhi banyak orang hingga mendapat pujian dari beberapa rekan kerjanya.Ia menerima buah dari tangan kekarnya dan dimasukkan ke dalam lacinya. “Saya akan memakannya ketika jam istirahat bukan sedang jam bekerja masih berlangsung,” balasnya tegas.Hans tidak bisa dipaksa oleh siapa pun. Bahkan, ia tidak percaya dengan pemberian dari siapa pun untuk saat ini.Jemari dan mata kembali ke layar monitor dan mengacuhkan keberadaan Adnan yang masih berada di sampingnya. Tatapan seluruh rekan kerja membulat saat melihat aksi penolakannya.“Baiklah. Jangan lupa nanti dimakan.” Adnan berucap sambil menepuk lengan kekarnya dan kembali ke mejanya.Hans tidak menyangka bahwa
‘Kenapa selalu disuguhkan buah hijau? Jika dia bertanya seperti itu, artinya baru dikasih oleh Adnan dan tidak pernah melihat buah seperti itu sebelumnya?’Hans membatin dengan siapa pun yang menanyakan buah berwarna hijau, seperti rambutan. Mereka tidak pernah melihat buah dengan bentukan seperti itu.Namun, hanya ada satu pertanyaan di kepalanya saat Adnan memberikan buah itu. Kenapa selalu buah hijau yang berduri yang diberikan kepada seseorang yang sedih atau membutuhkan semangat lagi?“Buah ini jarang banget di sini dan adanya di Kalimantan. Jadi, saya mendapatkan ini dari teman saya karena katanya enak dikonsumsi. Nanti pasti ketagihan dan mencari buah ini.”“Oh, begitu. Makasih, ya.”“Sama-sama. Semoga suka dan tidak mahal kalau beli di aku.”Hans bergegas sembunyi di balik truk dengan merapatkan tubuhnya ke badan truk hingga melihat Adnan yang telah pergi dari kantor.Adnan merupakan pria yang pintar merayu seseorang atau mengajak siapa pun untuk mengonsumsi makanan yang tidak
Tiga pria berbadan besar dengan pakaian berwarna hitam melepaskan Ryan yang ada di depan rumahnya. Tatapan tajamnya terlihat seakan menerkamnya.Ryan mendekati dan memukul wajahnya sebelah kiri. Hans memegang pipi dan menggerakan rahang sekilas sembari tersenyum miring dan berdesis.“Apa yang kamu lakukan di depan rumah orang mewah?” tanya Hans yang berpura-pura tidak mengetahui sesuatu yang terjadi di depannya.“Rumah mewah? Katakan, siapa kamu sebenarnya, Hans? Kamu bisa saja membohongi ayah dan ibuku, tapi tidak denganku karena aku yakin kamu pasti bekerja sama dengan mereka, kan?” tukas Ryan yang penasaran dengan sosok Hans sebenarnya.Hans tersenyum miring. “Pria yang tidak pernah berpikir terlebih dahulu sebelum bertindak maka akibatnya sangat membahayakan. Semua yang kamu lihat dan lacak bukan berarti itu yang sesungguhnya terjadi. Teknologi bisa saja salah karena buatan manusia,” jawab Hans santai sambil menatap lamat.“Sungguh? Jika terbukti akurat dan aku bisa membongkarmu,
“Pak Haedar tahu, Tuan muda dan ….”“Katakan.”“Semua itu dari Pak Haedar dan memberikan informasi kepada kami.”Hans hanya mengangguk sambil memasukkan handphone ke kantong kemeja. Ia tidak heran kalau informasi yang didapatkan sangat cepat.Pertempuran baru saja dimulai. Ia sudah mendapat beberapa hal yang menjadi untuk pembalasannya terhadap orang-orang yang pernah meremehkan dan merendahkannya.Hans menginap di hotel mewah dan meminta anak buahnya untuk berjaga di rumah. Ia juga mengambil kunci mobil yang diantar oleh pengawalnya.Ia teringat sesuatu saat pengawal yang ada dalam mobil masih berputar balik. Ia mengetuk kaca mobil dan meminta untuk tidak pergi dulu.Hans mengambil buah berwarna hijau dan ditunjukkan kepada mereka. Ia berharap salah satu atau banyak orang di antara mereka yang mengetahui buah hijau ini.“Kalian tahu buah ini?”Empat pengawalnya mengernyitkan dahi saat Hans menunjukkan buah yang terlihat antara asing atau pernah dilihat sebelumnya. Ali Muhammad mengam
Hans bergegas pergi ke sebuah bar mewah yang lokasinya tidak jauh dari tempat menginap. Ia pergi ke Bar untuk mencari informasi tentang buah kecubung dan berharap mendapatkan informasi yang lebih banyak dan akurat.Ia memasuki bar yang berjudul tiga ratus enam puluh derajat dengan lampu gantung yang mewah berwarna oranye dan warna-warni lampu disko yang memenuhi ruangan bagian bar dan penari striptis.Banyak orang berjas dan berpakaian rapi berada di lingkaran penari striptis sambil menyawer penarinya. Bahkan, tidak sedikit tamu yang hanya duduk sambil bermain kasino dengan ditemani oleh beberapa perempuan dan tampak menyedot cairan hingga membuatnya melayang.Hans memesan minum bir tahun 1986 sembari memerhatikan sekilas untuk bertanya kepada seseorang yang tepat dan bisa ditanya oleh seseorang.Ia tidak menemukan seseorang yang bisa ditanya hingga melanjutkan minumnya. Saat Hans mengalami kebuntuan untuk mencari jalan, mendapatkan pesan dari Haedar.[Tuan muda sedang berada di bar t
“Siapa kamu?” Seorang pria berambut klimis dengan tato bintang di leher meletakkan botol itu lalu berdiri dan mendekatinya.Langkah pria itu sempoyongan sambil mengisap rokok elektrik dan tersenyum miring.“Hai, teman-teman. Kita kedatangan tamu pria yang kelihatannya tampan, tapi … separuh wajah kirinya rusak.”“Apakah Anda, Tuan Carlos Antonio Swegen? Mantan intel dari kepolisian?” tanya Hans pelan sambil menatapnya.Senyuman miring yang sumringah menjadi ciut saat mendengar pertanyaannya. Dia tampak terkejut saat mengetahui sosoknya.Dia merasa tidak mengenalnya, tapi Hans bisa mengetahui sosok dirinya yang jarang diketahui oleh banyak orang dan hanya orang tertentu.Pria itu mendekatinya dan menatap lamat. “Siapa kamu? bagaimana kamu tahu siapa aku sebenarnya?” tanya pria itu yang berusaha berdiri tegap sambil mencolek lengannya yang kekar.“Bisa bicara di ruang privasi?”“Dia mengajakku berduaan. Jangan-jangan ….”“Sikat saja, siapa tahu kamu mendapatkan bayaran lebih dari hasil
Abigail terdiam saat ditembak pertanyaan tentang Rashid dirawat di rumah sakit. Hans tersenyum miring sambil menghela napas dan menggeleng pelan. “Ibu tahu.”Hans hendak membuka pintu ruangan Abigail terhenti dengan tangan mungil yang sudah tidak muda lagi dan jemari dipenuhi oleh perhiasan yang melingkar di sana.Bola mata Hans merayap perlahan ke arah ibunya. Ia menatap lamat dengan mulut tertutup lalu menyingkirkan tangan ibunya perlahan. “Aku tidak ingin membahas dia lagi.” Hans menolak secara halus.Tatapan Abigail menunjukkan ada sebuah rahasia yang harus diberitahu kepadanya. Namun, jika itu membahas Rashid maka tidak ingin lagi mendengar dan memperhatikannya.Kedua kali hendak membuka pintu, lagi dan lagi pandangannya teralihkan dengan perkataan ibunya.“Penyakit ibu tidak sembuh.”Hans menyingkirkan tangan dari pegangan pintu. “Apa maksudnya?”“Operasi kemarin berjalan lancar, tapi tidak bisa mengangkat akarnya karena sudah menyebar di beberapa anggota tubuh ibu. Ibu memin
“Kenapa terkejut seperti itu, Pak? Apakah bapak mengenal saya?” tanya Hans meledek dengan senyuman iblisnya yang memperhatikan tubuh Rashid yang tampak sehat bugar.“Tidak. Saya tidak mengenalmu.” Rashid terbata-bata dan berusaha menghindar kontak mata darinya. Lagi dan lagi, kebiasaan keluarga Rashid ketika berbuat salah atau menyembunyikan sesuatu maka berpaling dari lawan bicaranya dan berusaha menutupi apa pun yang diketahui olehnya. Ciri khas itu sudah dipelajari olehnya, sama halnya ketika dia menyuntikkan benda cair ke dalam tubuhnya lalu kolaps hingga dipanggil oleh Dokter yang menanganinya. Dokter yang menangani Rashid adalah dokter yang bekerja di rumah sakit Internasional dan telah berbicara yang sesungguhnya bahwa dia kecanduan obat terlarang sehingga membuka bisnis demi melancarkan pengedaran obat terlarang.“Sungguh? Bukankah Anda mengenal saya, Pak Rashid Omar Nadim?” tanya Hans santai sambil melangkah mendekatinya. Rashid menjauh perlahan dengan kedua tangan yang m
Hans duduk di depan kamar VIP yang jaraknya dua dari kamar Rashid Omar Nadim. Ia bersandar di dinding sambil bermain handphone dan mendengarkan pembicaraan mereka. Sandria tertawa dengan seorang pria yang terlihat seperti Ryan. Ia berusaha fokus terhadap pembicaraan mereka yang terdengar samar.“Ayah sungguh luar biasa.”“Saat mengetahui liputan dari Alan seorang Jurnalis handal yang terpercaya di negara ini, langsung bertindak,” kata Sandria sambil menepuk pundak pria itu. Hans terus menundukkan kepala dengan sibuk di layar handphone sembari berpura-pura menghubungi keluarga yang berada di dalam kamar itu. Mata Hans tidak luput dari pandangan ke arah Sandria dan pria itu. Senyuman Sandria masih terlihat sumringah dan tidak menunjukkan kesedihan sama sekali. Hans perlahan mengarahkan handphone ke Sandria dan pria itu untuk merekam kegiatan dan pembicaraannya. Namun, Sandria menyadari aktivitas Hans yang sengaja merekam perkataan dan aktivitasnya. Ia menggerakkan handphone ke sega
“Saya masih berpegang teguh dengan pendirian apa pun itu. Walaupun pernah memiliki hubungan dengan saya.”“Lalu, apa penilaian bapak terkait hal ini? apakah semuanya akan berhubungan secara kebetulan atau sudah direncanakan oleh mereka hingga tidak menyelidiki kasus kematian Pak Cody, Raja bisnis. Semua dunia akan membicarakan berita ini.” Agustinus menekan.Hans membisu lalu meminum minum kopi dingin sambil menghela napas panjang.Ia tidak bisa menilai sebelum mengamati, mengetahui dan menganalisis hasil yang didapatkan dari usahanya bersama rekan tim. Musuh yang dihadapi oleh Hans bukanlah musuh kelas bawah, melainkan mereka adalah musuh kelas kakap. Musuh yang memiliki banyak orang yang digunakan untuk menghabisi nyawa seseorang.Semua yang didapat olehnya seperti kebetulan dan atau bisa dikatakan dengan satu kata, yaitu takdir. Takdir yang mempertemukan Hans dengan keluarga Rashid dan Adnan yang memiliki niat buruk kepada keluarganya saat bertemu dengan seorang pria di London y
Tono mengangguk sambil tersenyum lebar. Semua menatap khawatir ke Tono yang berkorban untuk mencari tahu informasi penembak jitu ke dalam kandang yang berbahaya.“Maaf, Pak, Pak Tono lebih baik datang ke rumah Adnan saat saya melakukan liputan dengan alat yang dipasang karena ingin tahu ekspresi mereka ketika membahas malam tragis dan menyebut nama mereka.” Alan memberi saran kepada Pak Tono. Tono menoleh ke arah Hans dengan menatap lamat lalu Hans mengangguk. “Baiklah. Semangat,” kata Tono sambil mengepalkan tangan erat dan menggerakkannya dari atas ke bawah dengan senyuman lebar.Semua rekan tim mengikuti gerakan dia dengan senyuman lebar. “Aku sela,” potong Carlos.“Ada apa?” tanya Hans santai.“Kamu tadi bilang kalau ibu Abigail dan Pak Haedar mengawasi Alan yang meliput di depan hotel mewah, kan?” tanya Carlos menekan sambil mengusap dagu.“Iya. Kenapa?”“Sebaiknya, jangan. Jangan membawa ibumu ke hotel mewah karena mereka akan tahu keberadaannya.”“Lalu?” tanya Hans dengan in
“Aku melibatkan ibu agar Pak Presiden tahu bahwa seorang istri dari Raja bisnis juga membutuhkan keadilan,” jawab Hans menekan.“Maaf, Pak, boleh saya beri saran?” tanya Komar.“Silakan.”“Jika Bapak melibatkan ibu Abigail yang ada memperkeruh suasana karena Pak Presiden pasti mengabaikan hal itu. Posisi ibu Abigail juga berbahaya kalau berada di luar.”Hans membisu sambil menegangkan rahang dan mengepalkan tangannya dengan erat. Perkataan Komar ada benarnya. Banyak musuh yang masih berkeliaran di luar sana.“Baiklah. Alan saja yang meliput di luar sana di depan hotel Santorini yang di mana bisa dipantau oleh Pak Haedar dan ibu Abigail.”“Oke, setuju.”Hans menjelaskan strategi berikutnya di papan transparan yang terbuat dari kaca yang diterangi oleh lampu LED.Langkah selanjutnya adalah memancing pelaku yang terdeteksi dan paling menonjol ketika berita peliputan itu muncul. Alan sebagai umpan untuk memancing mereka ketika tidak terlihat lama di depan publik. Banyak masyarakat dan s
Saat Hans dan Carlos berdebat untuk mengutarakan argumentasi membuat Alan tak tinggal diam.Tanpa ada yang tahu, Alan memeriksa postingan dengan anonim di sosial media sudah jutaan orang yang melihat dan menyukai postingannya.“Apa yang kamu lakukan, Alan?” tanya Hans nada tinggi.Alan terkejut. “Aku hanya melihat postinganku sebelumnya.”“Postingan tentang kisah kematian Raja bisnis yang memiliki motif sama dengan kematian anak laki-laki tanpa identitas atau adiknya?” tanya Mira pelan.Alan mengangguk. Semua rekan tim mendekati dan menatap ke layar laptop yang ada dalam pangkuannya.Sontak, semua sorot mata terbelalak ketika melihat jumlah orang yang melihat, membagikan, menyukai dan berkomentar.“Serius itu jumlahnya?”“Aku juga kaget.”“Keren, baru dua jam kamu sudah mendapatkan satu juta orang yang menyukai, membagikan, komen dan melihat,” puji Mira sambil menatap rekan tim bergantian.Hans dan Carlos saling memandang saat melihat jumlah pengikut dan pembaca kisah kematian Raja bi
“Kami memilih untuk bekerja dengan Bapak.”“Oke. Jika kalian berkhianat maka tanggung sendiri akibatnya.”“Iya, Pak.”“Kami sudah mengirim nomor rekening,” kata pria berambut panjang sambil menunjukkan nomor rekening yang sudah dicatat olehnya.Hans mengambil handphone-nya lalu mencatat lima rekening pria itu lalu mengirim uang sebesar seratus lima puluh juta rupiah ke masing-masing rekening. “Saya sudah mengirim uang ke kalian, silakan cek.”Kelima pria itu bergegas memeriksa nomor rekeningnya untuk memeriksa ada uang masuk atau tidak.Hitungan detik, bola mata mereka membulat bersama lalu merayap ke arah Hans dengan mulut sedikit terbuka.“Kenapa?”“Apakah ini tidak kebanyakan, Pak?”“Kalian dibayar berapa sama dia?” tanya Hans datar.“Kami dibayar dua puluh juta saat itu.”Hans hanya menatap sadis ke arah mereka sambil memasukkan handphone ke dalam kantong celana jeans. “Buat bekal hidup kalian yang lebih baik.”“Terima kasih, Pak.”Hans mengangguk lalu keluar dari kamar berisi l
“Dia adalah seorang pengusaha elektronik yang memiliki pelindung kuat dari kepolisian.” Pria bertato menjawab terbata-bata. Hans mengernyitkan dahi hingga kedua alis saling bertautan sambil mengalihkan kepalan tangan dari wajahnya. Seseorang yang memimpin geng bertato bulan dan bintang serta kepala tengkorak adalah Rashid Omar Nadim. ‘Apakah dia adalah dalang dari pembunuhan ayah dan adik serta mengendalikan enam perusahaan media besar nan berpengaruh di kotanya?’ batin Hans bertanya-tanya.Hans merasakan nyeri di bagian kepala belakang saat melamun dan berasumsi dengan pernyataan pria itu bak dipukul menggunakan benda yang terbuat dari kayu.Hans tergeletak di lantai dengan pandangan yang berkunang-kunang hingga semua urat di kepala menonjol. Sakit sekali kepala bagian belakang lalu mengalihkan tangan di hadapannya.Kepala Hans berdarah. Salah satu dari mereka hendak memukulnya, tetapi Hans berhasil menghindar dengan memutar badannya ke arah kiri lalu berdiri secara perlahan. “