Hans menghela napas panjang setelah diminta untuk datang ke rumahnya. Ia sudah bisa menebak bahwa masalah semalam anak lelakinya dipukul oleh anak buahnya.
Ryan, selain pengangguran, dia tukang penasaran dengan kehidupan orang lain dan sok jadi jagoan. Dia terkenal anak yang selalu sembunyi di bawah ketiak ayahnya yang berkuasa.
Ia datang dengan pakaian kurir seperti biasa agar tidak membuat keluarga mantan istrinya curiga.
Ia tiba di kediaman Rashid dan disuguhkan pemandangan Rashid sudah duduk di sofa bersama anak buahnya yang memiliki badan besar dan tinggi, istrinya dan Ryan yang wajahnya babak belur.
“Kamu yang membalas dia?”
“Bukan.”
Rashid memukul meja dengan keras. “Jangan bohong!”
“Aku tidak tahu hal apa pun yang ada di wajahnya.”
“Lalu, kenapa wajahnya babak belur setelah mengikutimu di rumah mewah? Kamu merampok di sana?” cecar Rashid dengan intonasi penekanan.
Hans melirik Ryan dengan santai sembari pura-pura terkejut dan tidak mengetahui hal itu. Pria yang jarang berhati-hati dengan kondisi apa pun yang asing selalu mendapatkan pukulan di wajahnya.
“Saya merampok? Buat apa?”
“Halah, jangan alasan.”
“Tanya saja padanya, kenapa dia mengikuti saya?”
“Aku … aku hanya penasaran ke mana kamu pergi setelah pisah dari Sandria.”
“Apa urusanmu peduli dengannya? Bukan, kah beban kita berkurang?”
“Bukan begitu!” jawab Ryan nada tinggi.
Sontak, ayah dan ibu mertua terkejut ketika dia berteriak. Ibu mertua memegang dan mengusap tangannya perlahan seakan memahami yang dialami olehnya.
“Katakan saja.”
“Kenapa kamu berteriak di depan ibu dan ayah?”
“Aku … mendengar percakapannya dengan seseorang di handphone ketika mau turun ke lantai satu,” beber Ryan lantang.
“Seseorang? Apakah terdengar mencurigakan?” tanya Rashid penasaran.
“Bukan, itu hanya pelanggan saja.” Hans membela diri.
“Pelanggan? Kalau pelanggan harus menyebut ibu yang tidak bisa mengatasinya? Artinya, kamu masih punya orang tua dan ada masalah, kan?” cecar Ryan dengan intonasi penekanan.
Hans membisu selama satu menit setelah mendengar pertanyaan darinya. Semalam, Ryan mendengar pembicaraannya dengan Haedar dan sampai tidak menyadari keberadaannya.
Alasan dia mengikutinya adalah mendengar pembicaraannya di handphone dengan seseorang. Namun, Hans tidak boleh meremehkan Ryan yang bisa melacak IP berdasarkan nomor handphone pemiliknya berada di lokasi mana pun.
Ia teringat bahwa Ryan pernah mendapat tugas dari teman ayahnya untuk melacak nomor handphone anaknya yang dicuri oleh dua pria tak di kenal pada dua tahun yang lalu.
Apakah Haedar mengetahui keahlian Ryan?
“Kenapa kamu diam? Semua yang dikatakan oleh Ryan benar?” Rashid curiga dengan Hans.
“Ibu pada panggilan masuk di handphone tidak selalu orang tua kandung, melainkan bisa pelanggan. Saya mengatakan demikian karena beliau tidak bisa mengatasi masalah pada aplikasi pemantauan pengiriman barang. Maka dari itu, saya mampir ke rumah teman saya yang ahli perangkat lunak,” jawab Hans santai sembari menatap mereka satu per satu.
Ia merasa sedang diinterogasi di pagi buta. Masalah kecil bisa menjadi besar ketika ada seseorang yang mendengarkan pembicaraannya dengan siapa pun secara diam-diam.
“Sungguh? Aku punya buktinya berdasarkan pelacakan IP pada nomor handphone,” imbuh Ryan sambil memegang handphone yang menyala.
“Iya, saya tidak berbohong,” jawab Hans dengan senyuman lebar, tapi jantung berdegup dengan kencang.
Nada panjang berdering keras dan berbunyi berkali-kali milik Hans. Ryan merampas handphone-nya saat memperhatikan nomor masuk tanpa nama di layarnya lalu mencocokkan nomor yang sama dan melacak keberadaannya.
“Berdasarkan IP-nya, pemilik nomor berada di Jakarta dan coba angkat teleponnya.”
Hans menelan air saliva dengan napas yang berusaha diatur perlahan olehnya agar tidak terlihat takut sembari memperhatikan layar laptop yang terdapat tanda biru dan nomor handphone yang menghubunginya.
Ia mengangkat panggilan masuk dari nomor itu dengan menyalakan pengeras suara di depan Ryan, ibu mertua dan Rashid.
“Halo, selamat pagi.”
“Halo, Mas. Anak saya yang semalam menghubungi Mas karena saya sudah tidur.”
“Ah, ada yang bisa dibantu, Bu?”
“Tidak ada, Mas. Saya mau berterima kasih karena penanganan aplikasinya sudah bisa diakses saat memantau pengiriman barang. Penanganannya cepat sekali, terima kasih sekali lagi.”
Hans tersenyum lebar sembari melirik Ryan dan menaikkan satu alisnya. “Baik, Bu. Terima kasih kembali. Jangan lupa bintangnya, ya, Bu dan selalu memakai pelayanan kami.”
“Iya, Mas.”
“Mas, saya tidak mengira penanganan aplikasinya cepat sekali, padahal semalam saya protes dan marah-marah ke Mas karena ibu sudah bingung tidak bisa menggunakan aplikasinya.”
“Tidak apa, Mas. Saya bisa memahaminya, terima kasih.”
“Sama-sama, Mas.”
Panggilan berakhir dengan pembicaraan seorang pria yang dikenal olehnya. Pria itu adalah anak buahnya dan wanita yang menjadi ibunya merupakan asisten rumah tangganya, tapi tidak berada pada rumah Hans dan ayahnya.
Mereka terlihat berada di lokasi perkampungan kumuh yang terpencil dan sudut di Jakarta. Ia memasukkan handphone di kantong celananya dengan tersenyum tipis.
Haedar mengetahui keahlian Ryan yang bisa melacak IP sehingga menyusun rencana serapi mungkin. Sungguh luar biasa kinerjanya.
“Bagaimana?”
“Dasar, anak kurang kerjaan,” kata Rashid sembari memukul lengan Ryan menggunakan buku yang ada di meja.
“Jangan malu-maluin ayahmu, Ryan!” tutur Ibu mertua lembut.
Untung dan hampir saja ketahuan identitasnya. Ia harus belajar banyak dengan Haedar untuk menyusun rencana dan mengetahui siapa pun yang ada di negara ini.
Tanpa terasa waktu telah pagi, tepat pukul setengah tujuh pagi hidangan sarapan pagi telah siap. Sepatu hak tinggi wanita terdengar olehnya dan tanpa sengaja menoleh ke arah Sandria yang berpakaian rapi dan selalu mempesona.
“Saya pamit pergi dulu.”
“Pergi sana!” usir Ryan nada kesal.
Hans tersenyum miring dan meninggalkan mereka dengan jantung yang tidak berdegup dengan kencang. Langkah terhenti saat berpapasan dengan sepatu fantovel yang dilihat olehnya kemarin.
Bola mata merayap perlahan ke pemiliknya. Pemilik sepatu adalah Adnan. Nama Adnan masih menjadi misteri untuknya.
“Eh, kamu ada di sini. Kangen sama Sandria?” Adnan meledeknya dengan senyuman miring.
“Tidak sama sekali. Silakan ambil semaumu.”
Hans pergi meninggalkan rumah Rashid dengan senyuman lebar lalu menciut. Ia terus melangkah tanpa menoleh sembari mengepalkan tangannya dengan erat.
Pria brengsek yang tak tahu malu. Dia merasa bangga telah mengambil istri orang lain setelah menghamilinya dan ditinggalkan saat Sandria mengalami kecelakaan dan dalam keadaan mengandung.
“Jangan lupa pakai parfum.”
Hans mengacuhkannya dan meninggalkan rumahnya dengan menunjukkan jari tengah kepadanya selama lima detik.
Tidak ada rasa penyesalan sama sekali setelah menceraikan Sandria.
Hans berhenti di sebuah toilet umum untuk mengganti pakaian. Pertama kali membuka pintu toilet, Haedar berada di depannya sembari menyerahkan topeng yang diminta olehnya.
“Aman, kan tadi, Tuan muda?”
“Aman. Bapak sudah melakukan yang terbaik setelah membicarakan rencana sebelum bertemu dengan mereka.”
“Syukurlah.”
Hans berangkat ke kantor ayahnya dengan wajah aslinya menggunakan mobil Lamborghini berwarna hitam. Sepeda motor pengiriman barang disimpan oleh anak buahnya di gudang rumahnya.
Hans tiba di kantor dan mendapat perhatian khusus dari karyawan wanita sampai terpanah dengan ketampanannya.
“Siapa dia?”
“Apakah dia adalah Admin Keuangan yang baru?”
“Perhatian semuanya, ada anggota keuangan baru. Saya akan memperkenalkannya kepada kalian. Namanya adalah Lee.” Haedar memperkenalkan Lee Hans Cody kepada seluruh karyawannya, tapi tidak menyebutkan nama aslinya.“Halo, nama saya Lee.”“Wah, cakep banget. Halo, Lee.” Salah satu karyawan wanita memuji paras wajah yang mempesona di depannya.Karyawan yang berkumpul di depan Direktur Utama dengan baris yang melingkar berkenalan satu per satu dengannya, terutama karyawan wanita yang berebutan untuk berjabat tangan dengannya.Hans sengaja menggunakan nama depannya yang tidak diketahui oleh siapa pun karena terdapat Adnan yang bekerja di perusahaannya. Ia mulai beraksi untuk memberantas masalah di kantor, membalas dendam kepada siapa pun yang pernah merendahkan, menghina dan meremehkannya, serta mencari sosok pembunuh ayah dan adiknya.“Senang berkenalan dengan kalian,” katanya ramah dengan senyuman lebar.Beberapa karyawan wanita hampir pingsan saat melihat senyuman manis dan tampannya. Han
“Apa yang kam—”Hans membekap mulut rekan kerjanya yang tiba-tiba hadir saat sedang mencari tahu yang dikerjakan oleh mantan kakak iparnya selama ini dan pergerakan Adnan yang mencurigakan.Suara baritonnya bisa mengacaukan segalanya. Hans membawa rekan kerja keluar dari toilet dan bersembunyi di belakang lift.“Apa-apaan kamu?” Rekan kerja protes sambil melepaskan tangan kekar dari mulutnya.“Kamu tadi mengagetkanku dari … sesuatu tak kasat mata yang kulihat dan mendengar isak tangis perempuan di toilet pria,” kilah Hans.“Sungguh? Kamu melihat dan mendengarnya?” tanya rekan kerja yang malah antusias dengan cerita bohongnya.Hans tersenyum miring dengan mulut yang sedikit terbuka sambil mengangguk pelan. Ia tidak percaya bahwa rekan kerjanya tertarik dengan perkataannya yang tidak benar.Tidak masalah kalau dia tidak percaya dengan perkataannya, yang terpenting adalah tidak ketahuan mereka. Siapa pun bisa datang begitu saja ke toilet.Hans harus berhati-hati lain kali. Risiko ketahuan
“Buah enak ini. Jadi, makanlah,” kata Adnan sambil tersenyum miring.Hans membisu sembari memperhatikan buah yang ada di tangan kekarnya. Dia terlihat mencurigakan karena memaksa untuk memakan buah pemberiannya.Semakin tidak menjawab pertanyaannya maka membuat Hans semakin bermain-main dengannya. Dia memang sangat pintar memengaruhi banyak orang hingga mendapat pujian dari beberapa rekan kerjanya.Ia menerima buah dari tangan kekarnya dan dimasukkan ke dalam lacinya. “Saya akan memakannya ketika jam istirahat bukan sedang jam bekerja masih berlangsung,” balasnya tegas.Hans tidak bisa dipaksa oleh siapa pun. Bahkan, ia tidak percaya dengan pemberian dari siapa pun untuk saat ini.Jemari dan mata kembali ke layar monitor dan mengacuhkan keberadaan Adnan yang masih berada di sampingnya. Tatapan seluruh rekan kerja membulat saat melihat aksi penolakannya.“Baiklah. Jangan lupa nanti dimakan.” Adnan berucap sambil menepuk lengan kekarnya dan kembali ke mejanya.Hans tidak menyangka bahwa
‘Kenapa selalu disuguhkan buah hijau? Jika dia bertanya seperti itu, artinya baru dikasih oleh Adnan dan tidak pernah melihat buah seperti itu sebelumnya?’Hans membatin dengan siapa pun yang menanyakan buah berwarna hijau, seperti rambutan. Mereka tidak pernah melihat buah dengan bentukan seperti itu.Namun, hanya ada satu pertanyaan di kepalanya saat Adnan memberikan buah itu. Kenapa selalu buah hijau yang berduri yang diberikan kepada seseorang yang sedih atau membutuhkan semangat lagi?“Buah ini jarang banget di sini dan adanya di Kalimantan. Jadi, saya mendapatkan ini dari teman saya karena katanya enak dikonsumsi. Nanti pasti ketagihan dan mencari buah ini.”“Oh, begitu. Makasih, ya.”“Sama-sama. Semoga suka dan tidak mahal kalau beli di aku.”Hans bergegas sembunyi di balik truk dengan merapatkan tubuhnya ke badan truk hingga melihat Adnan yang telah pergi dari kantor.Adnan merupakan pria yang pintar merayu seseorang atau mengajak siapa pun untuk mengonsumsi makanan yang tidak
Tiga pria berbadan besar dengan pakaian berwarna hitam melepaskan Ryan yang ada di depan rumahnya. Tatapan tajamnya terlihat seakan menerkamnya.Ryan mendekati dan memukul wajahnya sebelah kiri. Hans memegang pipi dan menggerakan rahang sekilas sembari tersenyum miring dan berdesis.“Apa yang kamu lakukan di depan rumah orang mewah?” tanya Hans yang berpura-pura tidak mengetahui sesuatu yang terjadi di depannya.“Rumah mewah? Katakan, siapa kamu sebenarnya, Hans? Kamu bisa saja membohongi ayah dan ibuku, tapi tidak denganku karena aku yakin kamu pasti bekerja sama dengan mereka, kan?” tukas Ryan yang penasaran dengan sosok Hans sebenarnya.Hans tersenyum miring. “Pria yang tidak pernah berpikir terlebih dahulu sebelum bertindak maka akibatnya sangat membahayakan. Semua yang kamu lihat dan lacak bukan berarti itu yang sesungguhnya terjadi. Teknologi bisa saja salah karena buatan manusia,” jawab Hans santai sambil menatap lamat.“Sungguh? Jika terbukti akurat dan aku bisa membongkarmu,
“Pak Haedar tahu, Tuan muda dan ….”“Katakan.”“Semua itu dari Pak Haedar dan memberikan informasi kepada kami.”Hans hanya mengangguk sambil memasukkan handphone ke kantong kemeja. Ia tidak heran kalau informasi yang didapatkan sangat cepat.Pertempuran baru saja dimulai. Ia sudah mendapat beberapa hal yang menjadi untuk pembalasannya terhadap orang-orang yang pernah meremehkan dan merendahkannya.Hans menginap di hotel mewah dan meminta anak buahnya untuk berjaga di rumah. Ia juga mengambil kunci mobil yang diantar oleh pengawalnya.Ia teringat sesuatu saat pengawal yang ada dalam mobil masih berputar balik. Ia mengetuk kaca mobil dan meminta untuk tidak pergi dulu.Hans mengambil buah berwarna hijau dan ditunjukkan kepada mereka. Ia berharap salah satu atau banyak orang di antara mereka yang mengetahui buah hijau ini.“Kalian tahu buah ini?”Empat pengawalnya mengernyitkan dahi saat Hans menunjukkan buah yang terlihat antara asing atau pernah dilihat sebelumnya. Ali Muhammad mengam
Hans bergegas pergi ke sebuah bar mewah yang lokasinya tidak jauh dari tempat menginap. Ia pergi ke Bar untuk mencari informasi tentang buah kecubung dan berharap mendapatkan informasi yang lebih banyak dan akurat.Ia memasuki bar yang berjudul tiga ratus enam puluh derajat dengan lampu gantung yang mewah berwarna oranye dan warna-warni lampu disko yang memenuhi ruangan bagian bar dan penari striptis.Banyak orang berjas dan berpakaian rapi berada di lingkaran penari striptis sambil menyawer penarinya. Bahkan, tidak sedikit tamu yang hanya duduk sambil bermain kasino dengan ditemani oleh beberapa perempuan dan tampak menyedot cairan hingga membuatnya melayang.Hans memesan minum bir tahun 1986 sembari memerhatikan sekilas untuk bertanya kepada seseorang yang tepat dan bisa ditanya oleh seseorang.Ia tidak menemukan seseorang yang bisa ditanya hingga melanjutkan minumnya. Saat Hans mengalami kebuntuan untuk mencari jalan, mendapatkan pesan dari Haedar.[Tuan muda sedang berada di bar t
“Siapa kamu?” Seorang pria berambut klimis dengan tato bintang di leher meletakkan botol itu lalu berdiri dan mendekatinya.Langkah pria itu sempoyongan sambil mengisap rokok elektrik dan tersenyum miring.“Hai, teman-teman. Kita kedatangan tamu pria yang kelihatannya tampan, tapi … separuh wajah kirinya rusak.”“Apakah Anda, Tuan Carlos Antonio Swegen? Mantan intel dari kepolisian?” tanya Hans pelan sambil menatapnya.Senyuman miring yang sumringah menjadi ciut saat mendengar pertanyaannya. Dia tampak terkejut saat mengetahui sosoknya.Dia merasa tidak mengenalnya, tapi Hans bisa mengetahui sosok dirinya yang jarang diketahui oleh banyak orang dan hanya orang tertentu.Pria itu mendekatinya dan menatap lamat. “Siapa kamu? bagaimana kamu tahu siapa aku sebenarnya?” tanya pria itu yang berusaha berdiri tegap sambil mencolek lengannya yang kekar.“Bisa bicara di ruang privasi?”“Dia mengajakku berduaan. Jangan-jangan ….”“Sikat saja, siapa tahu kamu mendapatkan bayaran lebih dari hasil
Hans memandangi televisi yang menyuguhkan pemandangan Rashid, Ayah Adnan, Adnan, Sandria, Ryan dan ajudan Ayah Adnan tertangkap dengan kedua tangan diborgol ke belakang bersama istri Rashid yang menutupi proses penyelidikan selama ini. Otak dari kematian Raja bisnis adalah Rashid Omar Nadim karena keserakahannya sehingga mendekati istri Pak Cody Ruth untuk bisa mendapatkan kekayaannya. Tidak hanya itu, Rashid juga pemarah sehingga membunuh anak lelaki dengan cara yang sama, seperti sudah direncanakan. Beruntung, Ibu Abigail tidak tertipu dengan rayuan maut yang dilakukan olehnya karena seorang lelaki yang selalu mengingatkan dan membantu untuk menyelesaikan masalah yang tidak rampung karena permainan orang dalam pihak berwajib. Siapakah dia yang selama ini berada di sampingnya? Apakah kekasih baru atau yang lain? Kita belum tahu dan tunggu kabar selanjutnya.“Apakah bapak memberitahu rekan kerja yang membantu kita untuk menyelesaikan kasus ini?” tanya Hans datar sembari memandangi
“Kekasih pengawal pribadimu,” jawab Agustinus santai.“Di mana dia sekarang?““Dia ada di halaman belakang bersama wanita itu karena aku tadi bertanya kepada pengawal lainnya.”“Suruh mereka ke sini. Aku ingin mendengarnya secara langsung.”Agustinus menyampaikan seruan dari Hans kepada pengawal yang berjaga di ruang tamu untuk meminta mereka memasuki ruangannya. Satu menit berlalu, mereka telah tiba di ruangan diskusi dengan menatap Hans dan lainnya yang bingung dan datar. “Ada apa?”“Terima kasih untuk semuanya.”“Tidak perlu khawatir, aku melakukan semua ini demi hidupku sendiri dan masa depanku kelak jika tinggal bersama dengan kekasihku.”“Apa yang kalian inginkan dariku? Aku ingin memberi hadiah untuk kalian.”“Tidak ada.”“Kalian mendapatkan pernikahan mewah di hotel mewah. Semua ditanggung olehku, jadi katakan kapan kalian menikah,” kata Hans santai.Wanita itu dan pengawal pribadi melongo saat mendengar hadiah darinya lalu bersalaman dengannya sebagai tanda terima kasih.“T
Hans tiba di ruang diskusi di rumahnya dengan melepas jaket kulit dan diletakkan di sofa dengan tangan dan dada bagian kiri yang masih terasa nyeri dan sakit sehingga duduk perlahan.Semua rekan tim dan Haedar berada dalam ruangan itu sembari memperhatikannya yang tidak bisa dilarang ketika keinginan menggebu dalam dirinya.“Apakah anak buah dari Rashid dan Adnan masih ada dalam ruangan di rumah ini?” tanya Hans pelan.Lima pria bertato bulan dan bintang dan kepala tengkorak pernah ditangkap olehnya saat melakukan penyelidikan di sebuah gudang tua samping laboratorium mereka.“Masih ada, Tuan muda. Saya pindahkan ke ruang bawah tanah karena mereka berisik dan mengancam membunuh kami semua setelah mendengar kabar Tuan muda ditembak oleh anak dari tuannya dan menganggap mati.”“Aku dianggap mati oleh mereka?”Haedar dan seluruh rekan tim membisu saat ia menanyakan perihal kematian dirinya. Ada sesuatu yang tidak disampaikan oleh mereka kepadanya.Semua rekan tim dan Haedar dua bulan la
“Anak dari pengusaha elektronik bebas dari jeratan hukum setelah dalam penjara dalam kasus penembakan wanita berambut pendek yang diduga wanita simpanan Rashid Omar Nadim.”Suara berita yang menggelegar berasal dari televisi merasuki telinga Hans yang mengalami koma selama dua bulan lamanya setelah kejadian penembakan di pemakaman ibunya. Hans mengalami peristiwa yang mengerikan demi mengungkapkan pelaku kejahatan penembakan dan penghilangan nyawa Raja bisnis dan anak laki-laki yang diduga tidak memiliki identitas. Hans membuka mata perlahan saat mengingat kejadian kematian ibunya yang tidak ada di sampingnya saat dibutuhkan dengan meneteskan air mata. Sesak sekali rasanya.Napas Hans terengah-engah dengan pemandangan langit kamar rumah sakit berwarna putih tanpa bersuara. Pandangan lurus ke atas dan tidak menyadari seseorang di sampingnya. “Hans.” Carlos memanggil namanya pelan. Haedar mendekati Hans dengan memegang tangan dan mengusap kepalanya sembari berkata, “Tuan muda, syuku
“Aku tidak mendua!” bentak Rashid sambil melotot ke arah Hans.Hans dan semua rekan tim memakai kacamata hitam dan pakaian serba hitam mulai dari atasan hingga sepatu sehingga tidak mengetahui sosok yang berada di balik kacamata hitam.“Sungguh? Apakah kamu bisa membuktikannya?” tanya Hans menantang. Rashid mengalihkan pandangan dengan menggerakkan tangan di depan dada sembari meremas dan mengeluarkan banyak keringat. Semua orang terpaku pada Hans hingga kamera perusahaan media menyorotinya tanpa membuka kacamata. Rashid terdiam.Hans mengeluarkan semua foto yang sudah dicetak olehnya sebelum berbicara dengan rekan tim lalu membuang semua foto yang terdiri dari lima belas lembar di depan wajah Rashid, Istri dan wanita berambut pendek. Hans pergi dari hadapan banyak wartawan dan keluarga cemara yang sedang dipermalukan oleh kepala keluarga yang dipandang hebat dan cinta kepada keluarga. “Ma, maafkan aku. Semua ini bukan karena aku.”“Halah, hidung belang. Kamu juga bilang bahwa ak
“Mohon maaf, ibu Abigail sudah mengembuskan napas terakhirnya. Beliau menyerah selama operasi berjalan.” Dokter menyampaikan berita duka dengan lembut.Sontak, Hans melotot dan kaki terasa lemah untuk berdiri setelah mendengar kabar duka dari ibunya. Pandangan Hans yang sedari tadi samar menjadi buram dan mengalirkan butiran bening dengan deras di pipi. Ia tidak percaya mendengar kabar duka sebelum menangkap pelaku kejahatan. Abigail melanggar janji yang dibuat bersama dengan Hans. Tangan Hans mengepal dengan erat sembari menenangkan diri di kursi besi panjang yang dingin.Hans terpukul mendengar kepergian sang ibu yang terakhir kali sempat berdebat dan kesal dengannya. Ia tidak akan berbuat seperti itu jika mengetahui semua sakit yang dirasakan oleh Abigail.Tuhan menghukum Hans dengan cara yang sangat menyakitkan. Tidak ada hukuman yang menyakitkan, seperti yang dialami olehnya saat ini.Hans masih terduduk di kursi besi yang panjang saat banyak orang berlalu lalang di depannya. B
“Tidak. Tetap menggunakan nomor itu karena tidak akan bisa mendeteksi lokasi dari pemilik nomor ponsel dan identitasnya.”Semua terdiam dengan ide gila yang keluar dari mulutnya. Mereka terlihat tidak percaya bahwa Hans memiliki ide yang berdampak besar untuknya jika ketahuan identitas yang sesungguhnya. “Apakah kamu lupa dengan misimu hingga akhir sebelum pelaku pembunuh Pak Cody dan adikmu tertangkap?” Komar bertanya dengan nada peringatan. “Aku tidak lupa.”“Lalu?”“Kalian takut akan identitasku terbongkar sebelum waktunya dan mengira aku gegabah dalam mengambil keputusan saat punya ide seperti itu?” tanya Hans dengan intonasi penekanan sambil menatap semua rekan tim.“Buk—”“Semua sudah terpikirkan olehku.”“Baiklah. Kalau kamu ingin seperti itu.”Hans duduk sambil memperhatikan laptop yang terbuka di meja kerjanya. Ia teringat dengan ibu yang berada di ruangan yang paling aman untuk sementara waktu lalu menelepon Haedar.Hans menunggu Haedar untuk menjawab panggilan keluarnya.
Hans meletakkan botol di meja balkon dengan santai dan bersandar di kursi santai yang terbuat dari kayu, berlubang dan bantal putih sebagai tempat duduk.Mira dan Alan mendekatinya setelah saling melempar tatapan. Hans masih mengendalikan emosi dan tidak memiliki gairah untuk menyelesaikan masalah yang ditugaskan dan diamanahkan oleh Abigail.“Kamu tidak ingin tahu beritanya?” tanya Mira nada pelan sembari sedikit membungkuk dan memegang bahunya. “Apakah kamu tidak tahu kalau saya ingin masih menyendiri di kamar ini sambil mengamati pemandangan kota besar di sore hari yang mendung dan terasa nyaman, tapi banyak penjahat yang berkeliaran di luar sana?”“Maaf,” balas Mira lalu menoleh ke arah Alan.Hans mendengar helaan napas Alan dan bertukar posisi dengan Mira. “Sampai kapan kamu begini? Sampai ibumu mati karena dipermalukan di sosial media?” cecar Alan nada pedas. Hans terbangun dari duduk dengan menghadap ke arah Alan sembari melotot dan tangan mengepal erat. Mira terkejut meliha
“Pak Cody membantu ayahku untuk memberantas pengedaran dan konsumsi obat terlarang dengan bantuan Pak Haedar.”Hans membisu dengan mengingat semua kejadian padanya mulai dari masih muda menempuh pendidikan di luar negeri dan melihat ibu mendua, pengakuan ibu, hubungan pernikahan yang kandas di tengah jalan dan keserakahan Rashid dan Ayah Adnan yang diketahui olehnya. Hans mendesis sembari menyeka rambut hitam yang lurus secara perlahan sambil memejamkan mata dan menghentakkan kepalan tangan erat ke meja kayu. Tidak ada yang namanya kebetulan dalam dunia ini. Semua telah ditunjukkan oleh sang maha kuasa bahwa ada sesuatu yang diberantas dan dibersihkan. “Unggah dan sebar rekaman Rashid ke media sosial, buat kalimat yang mengajak masyarakat menganalisis,” kata Hans dengan kepala tertunduk dan tangan masih mengepal erat.“Kamu yakin mau menyebar itu sekarang?” tanya Carlos nada ragu.Hans menoleh ke arah Carlos dengan menatap tajam. “Aku sangat yakin dan tidak ada ampun untuknya.”“Ba