Share

5. Hampir Ketahuan

Hans menghela napas panjang setelah diminta untuk datang ke rumahnya. Ia sudah bisa menebak bahwa masalah semalam anak lelakinya dipukul oleh anak buahnya.

Ryan, selain pengangguran, dia tukang penasaran dengan kehidupan orang lain dan sok jadi jagoan. Dia terkenal anak yang selalu sembunyi di bawah ketiak ayahnya yang berkuasa.

Ia datang dengan pakaian kurir seperti biasa agar tidak membuat keluarga mantan istrinya curiga.

Ia tiba di kediaman Rashid dan disuguhkan pemandangan Rashid sudah duduk di sofa bersama anak buahnya yang memiliki badan besar dan tinggi, istrinya dan Ryan yang wajahnya babak belur.

“Kamu yang membalas dia?”

“Bukan.”

Rashid memukul meja dengan keras. “Jangan bohong!”

“Aku tidak tahu hal apa pun yang ada di wajahnya.”

“Lalu, kenapa wajahnya babak belur setelah mengikutimu di rumah mewah? Kamu merampok di sana?” cecar Rashid dengan intonasi penekanan.

Hans melirik Ryan dengan santai sembari pura-pura terkejut dan tidak mengetahui hal itu. Pria yang jarang berhati-hati dengan kondisi apa pun yang asing selalu mendapatkan pukulan di wajahnya.

“Saya merampok? Buat apa?”

“Halah, jangan alasan.”

“Tanya saja padanya, kenapa dia mengikuti saya?”

“Aku … aku hanya penasaran ke mana kamu pergi setelah pisah dari Sandria.”

“Apa urusanmu peduli dengannya? Bukan, kah beban kita berkurang?”

“Bukan begitu!” jawab Ryan nada tinggi.

Sontak, ayah dan ibu mertua terkejut ketika dia berteriak. Ibu mertua memegang dan mengusap tangannya perlahan seakan memahami yang dialami olehnya.

“Katakan saja.”

“Kenapa kamu berteriak di depan ibu dan ayah?”

“Aku … mendengar percakapannya dengan seseorang di handphone ketika mau turun ke lantai satu,” beber Ryan lantang.

“Seseorang? Apakah terdengar mencurigakan?” tanya Rashid penasaran.

“Bukan, itu hanya pelanggan saja.” Hans membela diri.

“Pelanggan? Kalau pelanggan harus menyebut ibu yang tidak bisa mengatasinya? Artinya, kamu masih punya orang tua dan ada masalah, kan?” cecar Ryan dengan intonasi penekanan.

Hans membisu selama satu menit setelah mendengar pertanyaan darinya. Semalam, Ryan mendengar pembicaraannya dengan Haedar dan sampai tidak menyadari keberadaannya.

Alasan dia mengikutinya adalah mendengar pembicaraannya di handphone dengan seseorang. Namun, Hans tidak boleh meremehkan Ryan yang bisa melacak IP berdasarkan nomor handphone pemiliknya berada di lokasi mana pun.

Ia teringat bahwa Ryan pernah mendapat tugas dari teman ayahnya untuk melacak nomor handphone anaknya yang dicuri oleh dua pria tak di kenal pada dua tahun yang lalu.

Apakah Haedar mengetahui keahlian Ryan?

“Kenapa kamu diam? Semua yang dikatakan oleh Ryan benar?” Rashid curiga dengan Hans.

“Ibu pada panggilan masuk di handphone tidak selalu orang tua kandung, melainkan bisa pelanggan. Saya mengatakan demikian karena beliau tidak bisa mengatasi masalah pada aplikasi pemantauan pengiriman barang. Maka dari itu, saya mampir ke rumah teman saya yang ahli perangkat lunak,” jawab Hans santai sembari menatap mereka satu per satu.

Ia merasa sedang diinterogasi di pagi buta. Masalah kecil bisa menjadi besar ketika ada seseorang yang mendengarkan pembicaraannya dengan siapa pun secara diam-diam.

“Sungguh? Aku punya buktinya berdasarkan pelacakan IP pada nomor handphone,” imbuh Ryan sambil memegang handphone yang menyala.

“Iya, saya tidak berbohong,” jawab Hans dengan senyuman lebar, tapi jantung berdegup dengan kencang.

Nada panjang berdering keras dan berbunyi berkali-kali milik Hans. Ryan merampas handphone-nya saat memperhatikan nomor masuk tanpa nama di layarnya lalu mencocokkan nomor yang sama dan melacak keberadaannya.

“Berdasarkan IP-nya, pemilik nomor berada di Jakarta dan coba angkat teleponnya.”

Hans menelan air saliva dengan napas yang berusaha diatur perlahan olehnya agar tidak terlihat takut sembari memperhatikan layar laptop yang terdapat tanda biru dan nomor handphone yang menghubunginya.

Ia mengangkat panggilan masuk dari nomor itu dengan menyalakan pengeras suara di depan Ryan, ibu mertua dan Rashid.

“Halo, selamat pagi.”

“Halo, Mas. Anak saya yang semalam menghubungi Mas karena saya sudah tidur.”

“Ah, ada yang bisa dibantu, Bu?”

“Tidak ada, Mas. Saya mau berterima kasih karena penanganan aplikasinya sudah bisa diakses saat memantau pengiriman barang. Penanganannya cepat sekali, terima kasih sekali lagi.”

Hans tersenyum lebar sembari melirik Ryan dan menaikkan satu alisnya. “Baik, Bu. Terima kasih kembali. Jangan lupa bintangnya, ya, Bu dan selalu memakai pelayanan kami.”

“Iya, Mas.”

“Mas, saya tidak mengira penanganan aplikasinya cepat sekali, padahal semalam saya protes dan marah-marah ke Mas karena ibu sudah bingung tidak bisa menggunakan aplikasinya.”

“Tidak apa, Mas. Saya bisa memahaminya, terima kasih.”

“Sama-sama, Mas.”

Panggilan berakhir dengan pembicaraan seorang pria yang dikenal olehnya. Pria itu adalah anak buahnya dan wanita yang menjadi ibunya merupakan asisten rumah tangganya, tapi tidak berada pada rumah Hans dan ayahnya.

Mereka terlihat berada di lokasi perkampungan kumuh yang terpencil dan sudut di Jakarta. Ia memasukkan handphone di kantong celananya dengan tersenyum tipis.

Haedar mengetahui keahlian Ryan yang bisa melacak IP sehingga menyusun rencana serapi mungkin. Sungguh luar biasa kinerjanya.

“Bagaimana?”

“Dasar, anak kurang kerjaan,” kata Rashid sembari memukul lengan Ryan menggunakan buku yang ada di meja.

“Jangan malu-maluin ayahmu, Ryan!” tutur Ibu mertua lembut.

Untung dan hampir saja ketahuan identitasnya. Ia harus belajar banyak dengan Haedar untuk menyusun rencana dan mengetahui siapa pun yang ada di negara ini.

Tanpa terasa waktu telah pagi, tepat pukul setengah tujuh pagi hidangan sarapan pagi telah siap. Sepatu hak tinggi wanita terdengar olehnya dan tanpa sengaja menoleh ke arah Sandria yang berpakaian rapi dan selalu mempesona.

“Saya pamit pergi dulu.”

“Pergi sana!” usir Ryan nada kesal.

Hans tersenyum miring dan meninggalkan mereka dengan jantung yang tidak berdegup dengan kencang. Langkah terhenti saat berpapasan dengan sepatu fantovel yang dilihat olehnya kemarin.

Bola mata merayap perlahan ke pemiliknya. Pemilik sepatu adalah Adnan. Nama Adnan masih menjadi misteri untuknya.

“Eh, kamu ada di sini. Kangen sama Sandria?” Adnan meledeknya dengan senyuman miring.

“Tidak sama sekali. Silakan ambil semaumu.”

Hans pergi meninggalkan rumah Rashid dengan senyuman lebar lalu menciut. Ia terus melangkah tanpa menoleh sembari mengepalkan tangannya dengan erat.

Pria brengsek yang tak tahu malu. Dia merasa bangga telah mengambil istri orang lain setelah menghamilinya dan ditinggalkan saat Sandria mengalami kecelakaan dan dalam keadaan mengandung.

“Jangan lupa pakai parfum.”

Hans mengacuhkannya dan meninggalkan rumahnya dengan menunjukkan jari tengah kepadanya selama lima detik.

Tidak ada rasa penyesalan sama sekali setelah menceraikan Sandria.

Hans berhenti di sebuah toilet umum untuk mengganti pakaian. Pertama kali membuka pintu toilet, Haedar berada di depannya sembari menyerahkan topeng yang diminta olehnya.

“Aman, kan tadi, Tuan muda?”

“Aman. Bapak sudah melakukan yang terbaik setelah membicarakan rencana sebelum bertemu dengan mereka.”

“Syukurlah.”

Hans berangkat ke kantor ayahnya dengan wajah aslinya menggunakan mobil Lamborghini berwarna hitam. Sepeda motor pengiriman barang disimpan oleh anak buahnya di gudang rumahnya.

Hans tiba di kantor dan mendapat perhatian khusus dari karyawan wanita sampai terpanah dengan ketampanannya.

“Siapa dia?”

“Apakah dia adalah Admin Keuangan yang baru?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status