Tari memutar matanya jengah. Terlihat sangat kesal mendengar jawabanku. "Mana kuncinya biar aku bantu buka," kataku lagi sambil menengadahkan tangan di depannya berpura-pura tidak mengerti arti tatapan tak sukanya. "Ada di tas. Bantu bawa Sabia aja," katanya menyerahkan Sabia. Tak menunggu lama kau langsung mengulurkan tanganku mengambil alih baumhi cantik itu dan mendekapnya dipelukan. Sabia menggeliat, merasa tidurnya terganggu. Cepat aku menganyun dan menepuk pelan punggungnya, Sabia pun tenang kembali. Setelah menutup kembali pintu pagar, pelan aku berjalan masuk menyusul Tari yang sudah berdiri di depan pintu. "Sini, kamu tunggu aja di teras." Tari mengulurkan tangannya hendak mengambil alih Sabia. Tapi aku menghindar. "Biar aku saja, kasihan tadi hampir aja kebangun. Nanti malah rewel," kataku memberi alasan. "Ck.... sok tahu. Kayak pernah ngurusin bayi." Tari mencibir. "Belum, tapi aku dapat banyak pelajaran tentang mengasuh bayi dari karyawanku yang ba
"Kalau iya. Aku akan mengajukan gugatan untuk merebut Sabia?" Tak kuberi dia kesempatan untuk bicara. Aku memberondong dengan pernyataan berkelanjutan. Sontak saja wajah Tari memerah, dia pasti marah dengan ucapanku. Maaf, tapi aku tak punya cara lain selain menggertaknya. Dia harus tahu aku serius. "Mulai sekarang aku akan tinggal di Surabaya. Aku aka memastikan keamanan Sabia juga dirimu." Matanya menyipit namun bibir masih bungkam. Terlihat jika dia tak percaya. Kutarik nafas panjang. "Aku serius dengan ucapanku dan kamu bisa membuktikannya nanti," kataku masih dengan menatapnya lekat. "Dan satu lagi, aku tidak bisa kehilangan Sabia. Jadi, jangan buat aku memilih." Aku memberinya peringatan agar tidak memaksaku melakukan hal yang pasti tidak diinginkannya. "Sudah selesai bicaranya?" tanya Tari dan aku mengangguk mengiyakan. "Kalau begitu pergilah! Kami butuh istirahat." Dia mengusirku. Aku mendesah pelan, "Hah....masih sama," gumamku sedikit kecewa Tari tak b
Selera makanku mendadak hilang. Kuputuskan untuk mendatangi kafe milik Tari. Mobil kupacu dengan kecepatan tinggi. Rasa kesal bercampur cemburu memenuhi dadaku membuatku tak sabar untuk segera sampai. Beraninya Rendra datang ke sini? Beraninya dia tidak mengindahkan peringatan yang kuberikan. Tapi tunggu dulu, dari mana dia tahu kalau Tari ada di Surabaya? Siapa kira-kira orang yang memberitahunya. Dalam waktu lima belas menit aku sampai di kafe yang kemarin sempat Andra tunjukkan padaku. Kuparkir mobil dan segera masuk ke bangunan dua lantai itu. Kusapu keseluruh ruangan lantai satu. Tatapanku terpaku pada meja paling ujung. Tari duduk menghadap pria yang posisinya membelakangiku. Meski begitu, dari postur tubuhnya aku sudah bisa menebak siapa dia? "Tari, di mana Sabia?" Tari mengangkat wajahnya menatapku dengan mimik terkejut. "Hah....." "Aku tanya dimana Sabia?" Kuulangi pertanyaanku dengan nada yang kubuat setenang mungkin.Kutekan amarah yang sudah membentuk
Pov Bestari. "...... Sepertinya Sabia harus terbiasa tanpa Asi." Maksudnya apa? Segera aku berlari menyusul Kak Satya. Aku semakin panik saat pria itu bukannya kembali ke lantai atas tapi malah menuju pintu keluar. Aku berlari mengejarnya, tapi langkahnya terlalu lebar dan cepat sehingga membuatku tertinggal. "Kak Satya..... kembalikan Sabia..." teriakku sambil berlari. "Kak Satya.... jangan bawa anakku..." Sampai di parkiran pria itu berhenti. Masih dengan menggendong Sabia dia menatapku tajam. "Kak tolong kembalikan anakku," pintaku berusaha mengambil Sabia tapi pria itu mengelak. Berjinjit agar aku gak bisa meraih Sabia. "Kak, aku mohon kasihan Sabia menangis,... tolong kembalikan anakku..." Aku sudah tak bisa menahan tangisku. Air mata mengucur dengan sangat deras. "Sabia juga putriku dan kamu sudah mengabaikannya," balasnya dengan wajah memerah. "Tapi aku yang mengandung dan melahirkan Sabia. Aku berjuang seorang diri, dimana kamu saat itu?" Aku tak bisa m
Sepsendiri. asa, ritual pagiku bangun pukul setengah lima, sholat shubuh lalu membuatkan sarapan untuk Sabia sambil menunggu putri cantik itu bangun tidur. Sejak menginjak 10 bulan aku sudah membiasakan Sabia makan nasi tim yang kubuat sendiri sesuai petunjuk bidan bayi. Dulu saat Sabia umur enam bulan, aku memberinya bubur instan tapi Sabia kurang suka, makannya sedikit dan berat badannya susah naik. Hal itu membuatku stress dan sering menangis persis seperti saat awal-awal paska melahirkan. Kata dokter aku mengalami Baby blues. Sebuah kondisi dimana aku merasa tidak bisa menjadi ibu yang baik untuk bayiku. Setiap malam aku menangis dan menyalahkan diriku sendiriBeruntung ada Mama dan Bik Tutik yang saat itu langsung tanggap dan membawaku ke psikiater. Dengan dukungan Mama dan Bi tutik sehingga aku bisa kuat dan percaya diri kembali. "Mbak, itu ponselnya bunyi terus. Nggak dilihat dulu takutnya ada pesan penting," "Oh... iya Bik." Aku memandang benda pintar yang berben
Laki-laki semuanya sama. Kalau sudah punya yang baru, pasti lupa sama anak. Kueratkan pelukanku pada Sabia. Mama tidak akan pernah mengabaikanmu. Kamu satu-satunya cinta Mama. Kuambil ponsel dari dalam saku celana lalu memesan taksi online. Sampai di lantai satu aku dan Bibi berjalan cepat menuju lobby. Sayangnya taksi yang sudah kupesan masih belum datang. Sembari menunggu Bi Tutik mengambil biskuit bayi dan memberikannya pada Sabia. "Mungkin Sabia lapar," kata Bibik. "Makasih Bik," ucapku menatapnya sendu. Beruntung ada Bibi yang menemaniku. Membantu dan mengingatkan aku karena aku masih belum bisa jadi ibu yang baik untuk Sabia. Tak jarang rasa bersalah itu muncul dan membuatku sedih. Tapi Bibi selalu meyakinkan aku jika aku pasti bisa jadi ibu yang baik untuk Sabia. Dan itu benar-bnear bearti untukku. Tak lama sebuah mobil berhenti tak lama jendelanya terbuka. "Maaf dengan Bu Tari? tanya seorang pria dari dalam mobil. "Iya," jawabku dan pria itu langsung turu
Tengah malam aku terbangun karena suara nyaring dari ponsel baru pemberiaan Papa. Nomer lama tetap Kupakai tapi ada beberapa nomor yang aku blokir. Termasuk nomor Kak Satya. Jadi pria itu tetap tak bisa menghubungiku. Dengan malas aku bangun, kulihat nomor tidak dikenal melakukan panggilan. Kalau bukan karena takut tidur Sabia terganggu aku tidak akan peduli. Terpaksa aku bangun dan mengangakat telpon tersebut. "Ck.... siapa juga yang menelpon malam-malam begini." Aku menggerutu karena kesal. Sebuah nomor tak dikenal nampak di layar ponsel. Kuingat-ingat aku tak mengenal nomor ini jadi, kuputuskan merijek panggilan itu. Tak lama nomor itu mengirim pesan, [Tolong diangkat, penting. Ini dari rumah sakit.] Rumah sakit?? Mama, Tak lama nomor itu kembali melakukan panggilan, segera aku meneggeser gambar gagang telpon berwarna hijau. [Halo, selamat malam. Dengan Ibu Tari?] Suara lembut dari seberang sana. "Iya," jawabku. [Ini dari ruamh sakit. Kami ingin mengabarkan
"Berhenti bersikap seolah kamu istri yang baik di depan keluargaku, Tari." Ucapan Kak Abisatya membuatku yang tengah menunduk hendak melepas sepatu high heels, terkesiap. Aku sudah sangat lelah setelah makan malam di keluarga mertuaku. Perlukah kami bertengkar lagi malam ini? "Kamu dengar, tidak? Jawab!!" sentaknya dengan suara keras yang hampir membuat jantungku copot dari tempatnya. Pelan, aku mengelus dadaku karena kaget. "Maaf." Hanya kata itu yang kurasa aman untuk kuucapkan. Aku sadar membela diri akan semakin membuatnya marah. Namun, mengapa Kak Abisatya malah menatapku tajam? Sepertinya aku memilih kata yang salah. "Maaf? Tidak perlu minta maaf jika kamu terus mengulangi kesalahan yang sama," ucapnya, "Ingat baik-baik, Tari. Pernikahan kita hanya di atas kertas. Jika bukan karena Ganendra yang memintaku, aku tidak sudi menikahimu. Jangan pernah lupa, aku menikahimu hanya—" "—untuk membantu menutupi aib keluargaku akibat kesalahanku memilih calon suami," poton