Beranda / Romansa / Mempelai yang Tak Diharapkan / aku tidak bisa kehilangan Sabia. Jadi, jangan buat aku memilih.

Share

aku tidak bisa kehilangan Sabia. Jadi, jangan buat aku memilih.

Penulis: iva dinata
last update Terakhir Diperbarui: 2024-09-17 21:57:41

"Kalau iya. Aku akan mengajukan gugatan untuk merebut Sabia?" Tak kuberi dia kesempatan untuk bicara. Aku memberondong dengan pernyataan berkelanjutan.

Sontak saja wajah Tari memerah, dia pasti marah dengan ucapanku. Maaf, tapi aku tak punya cara lain selain menggertaknya. Dia harus tahu aku serius.

"Mulai sekarang aku akan tinggal di Surabaya. Aku aka memastikan keamanan Sabia juga dirimu."

Matanya menyipit namun bibir masih bungkam. Terlihat jika dia tak percaya.

Kutarik nafas panjang. "Aku serius dengan ucapanku dan kamu bisa membuktikannya nanti," kataku masih dengan menatapnya lekat.

"Dan satu lagi, aku tidak bisa kehilangan Sabia. Jadi, jangan buat aku memilih." Aku memberinya peringatan agar tidak memaksaku melakukan hal yang pasti tidak diinginkannya.

"Sudah selesai bicaranya?" tanya Tari dan aku mengangguk mengiyakan.

"Kalau begitu pergilah! Kami butuh istirahat." Dia mengusirku.

Aku mendesah pelan, "Hah....masih sama," gumamku sedikit kecewa Tari tak b
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (3)
goodnovel comment avatar
Adeva Natania
Saingan berat jangan terlalu berharap
goodnovel comment avatar
Neng Heryani
wah ketemu saingan
goodnovel comment avatar
Ayu Nida
saingan berat Satya muncul satu...wkwkwkkk kira² bab selanjutnya siapa lagi ya yg datang biar Satya makin kepanasan...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Pengganggu.

    Selera makanku mendadak hilang. Kuputuskan untuk mendatangi kafe milik Tari. Mobil kupacu dengan kecepatan tinggi. Rasa kesal bercampur cemburu memenuhi dadaku membuatku tak sabar untuk segera sampai. Beraninya Rendra datang ke sini? Beraninya dia tidak mengindahkan peringatan yang kuberikan. Tapi tunggu dulu, dari mana dia tahu kalau Tari ada di Surabaya? Siapa kira-kira orang yang memberitahunya. Dalam waktu lima belas menit aku sampai di kafe yang kemarin sempat Andra tunjukkan padaku. Kuparkir mobil dan segera masuk ke bangunan dua lantai itu. Kusapu keseluruh ruangan lantai satu. Tatapanku terpaku pada meja paling ujung. Tari duduk menghadap pria yang posisinya membelakangiku. Meski begitu, dari postur tubuhnya aku sudah bisa menebak siapa dia? "Tari, di mana Sabia?" Tari mengangkat wajahnya menatapku dengan mimik terkejut. "Hah....." "Aku tanya dimana Sabia?" Kuulangi pertanyaanku dengan nada yang kubuat setenang mungkin.Kutekan amarah yang sudah membentuk

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-18
  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Kok tambah membingungkan.

    Pov Bestari. "...... Sepertinya Sabia harus terbiasa tanpa Asi." Maksudnya apa? Segera aku berlari menyusul Kak Satya. Aku semakin panik saat pria itu bukannya kembali ke lantai atas tapi malah menuju pintu keluar. Aku berlari mengejarnya, tapi langkahnya terlalu lebar dan cepat sehingga membuatku tertinggal. "Kak Satya..... kembalikan Sabia..." teriakku sambil berlari. "Kak Satya.... jangan bawa anakku..." Sampai di parkiran pria itu berhenti. Masih dengan menggendong Sabia dia menatapku tajam. "Kak tolong kembalikan anakku," pintaku berusaha mengambil Sabia tapi pria itu mengelak. Berjinjit agar aku gak bisa meraih Sabia. "Kak, aku mohon kasihan Sabia menangis,... tolong kembalikan anakku..." Aku sudah tak bisa menahan tangisku. Air mata mengucur dengan sangat deras. "Sabia juga putriku dan kamu sudah mengabaikannya," balasnya dengan wajah memerah. "Tapi aku yang mengandung dan melahirkan Sabia. Aku berjuang seorang diri, dimana kamu saat itu?" Aku tak bisa m

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-18
  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Menjadi ibu.

    Sepsendiri. asa, ritual pagiku bangun pukul setengah lima, sholat shubuh lalu membuatkan sarapan untuk Sabia sambil menunggu putri cantik itu bangun tidur. Sejak menginjak 10 bulan aku sudah membiasakan Sabia makan nasi tim yang kubuat sendiri sesuai petunjuk bidan bayi. Dulu saat Sabia umur enam bulan, aku memberinya bubur instan tapi Sabia kurang suka, makannya sedikit dan berat badannya susah naik. Hal itu membuatku stress dan sering menangis persis seperti saat awal-awal paska melahirkan. Kata dokter aku mengalami Baby blues. Sebuah kondisi dimana aku merasa tidak bisa menjadi ibu yang baik untuk bayiku. Setiap malam aku menangis dan menyalahkan diriku sendiriBeruntung ada Mama dan Bik Tutik yang saat itu langsung tanggap dan membawaku ke psikiater. Dengan dukungan Mama dan Bi tutik sehingga aku bisa kuat dan percaya diri kembali. "Mbak, itu ponselnya bunyi terus. Nggak dilihat dulu takutnya ada pesan penting," "Oh... iya Bik." Aku memandang benda pintar yang berben

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-19
  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Menjaga hati.

    Laki-laki semuanya sama. Kalau sudah punya yang baru, pasti lupa sama anak. Kueratkan pelukanku pada Sabia. Mama tidak akan pernah mengabaikanmu. Kamu satu-satunya cinta Mama. Kuambil ponsel dari dalam saku celana lalu memesan taksi online. Sampai di lantai satu aku dan Bibi berjalan cepat menuju lobby. Sayangnya taksi yang sudah kupesan masih belum datang. Sembari menunggu Bi Tutik mengambil biskuit bayi dan memberikannya pada Sabia. "Mungkin Sabia lapar," kata Bibik. "Makasih Bik," ucapku menatapnya sendu. Beruntung ada Bibi yang menemaniku. Membantu dan mengingatkan aku karena aku masih belum bisa jadi ibu yang baik untuk Sabia. Tak jarang rasa bersalah itu muncul dan membuatku sedih. Tapi Bibi selalu meyakinkan aku jika aku pasti bisa jadi ibu yang baik untuk Sabia. Dan itu benar-bnear bearti untukku. Tak lama sebuah mobil berhenti tak lama jendelanya terbuka. "Maaf dengan Bu Tari? tanya seorang pria dari dalam mobil. "Iya," jawabku dan pria itu langsung turu

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-19
  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Kecelakaan.

    Tengah malam aku terbangun karena suara nyaring dari ponsel baru pemberiaan Papa. Nomer lama tetap Kupakai tapi ada beberapa nomor yang aku blokir. Termasuk nomor Kak Satya. Jadi pria itu tetap tak bisa menghubungiku. Dengan malas aku bangun, kulihat nomor tidak dikenal melakukan panggilan. Kalau bukan karena takut tidur Sabia terganggu aku tidak akan peduli. Terpaksa aku bangun dan mengangakat telpon tersebut. "Ck.... siapa juga yang menelpon malam-malam begini." Aku menggerutu karena kesal. Sebuah nomor tak dikenal nampak di layar ponsel. Kuingat-ingat aku tak mengenal nomor ini jadi, kuputuskan merijek panggilan itu. Tak lama nomor itu mengirim pesan, [Tolong diangkat, penting. Ini dari rumah sakit.] Rumah sakit?? Mama, Tak lama nomor itu kembali melakukan panggilan, segera aku meneggeser gambar gagang telpon berwarna hijau. [Halo, selamat malam. Dengan Ibu Tari?] Suara lembut dari seberang sana. "Iya," jawabku. [Ini dari ruamh sakit. Kami ingin mengabarkan j

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-20
  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Jadi wanita itu bernama Erika.

    "Aku...." Kak Satya menatapku lekat. Sontak jantungku berdegup kencang. Tak ingin dia mendengar degup jantungku, segera kutarik tanganku dari genggamannya . "Aku harus panggil dokter," sentakku lalu berbalik dan berjalan keluar kamar. Di depan kamar inap Pak Anton langsung berdiri begitu melihatku. "Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" tanyanya sopan. "Tolong panggilkan dokter. Katakan kalau pasien sudah sadar." Aku menghempaskan bokongku diatas kursi depan kamar inap. Kamar yang kupilihkan kelas paviliun, jadi memiliki teras yang dilengkapi dua kursi dan satu meja. Pak Anton mengangguk patuh lalu berjalan cepat menuju tempat suster jaga. Setelah Pak Anton pergi aku memegang dadaku untuk menetralkan degup jantung yang berisiknya sudah mengalah suara genderang perang. Sampai dokter datang aku masih tak beranjak. Kuminta Pak Anton yang menemani dokter masuk untuk memeriksa keadaan Kak Satya. Tak lama Pak Anton keluar dan memintaku masuk. "Kata Dokter, ingin bicara

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-21
  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Untuk sementar tinggal bersama.

    Pov Author. "Bisa tolong bantu aku makan?" pinta Satya pada Tari yang duduk di sofa. Tanpa membuka mulut Bestari beranjak lalu mengambil nampan berisi makanan yang baru saja diantar petugaa ruamh sakit dan membawanya ke Satya. "Apa mau kutelponkan Tante Aisyah dan Om Farhan untuk datang ke sini?" tanya Tari sambil menyuapi Satya. "Mungkin Kak Satya lebih nyaman dirawat Tante Aisyah," Satya langsung meggeleng. Sontak saja membuat kening Bestari menjadi berlipat-lipat. "Aku tidak mau membuat mereka kerepotan. Mama punya butik yang harus diurusnya dan Papa juga lagi sibuk-sibuknya kantor. Banyak proyek dan cabang baru yang dibangun." Satya menjelaskan setelah menelan makanannya. "Tapi kamu merepotkan aku." Tari berkata jujur. "Sabia juga butuh ibunya." "Astaghfirullah..." Satya terkesiap saat teringat putri kecilnya. "Sabia sama siapa? Apa dia nggak nyariin kamu?" Tari memutar matanya jengah, sejak tadi kemana saja? batin Tari jengah. "Sabia di rumah sama Bibi," jawab

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-22
  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Ternyata pernah menolak kehadirannya.

    Suasana jadi canggung setelah kejadian Tari keluar kamar mandi. "Maaf, tadi aku hanya ....." "Sudah gak usah dibahas." Tari memotong ucapan Satya. Malunya setengah mati. Apalagi mengingat sikap absurdnya yang berlenggak-lenggok sok cantik, rasanya ingin menenggelamkan diri ke rawa-rawa. Tanpa sadar Tari mendesah lirih sambil menepuk jidaynya berkali-kali. 'Duh.... malunya..." batin Tari. "Kamu gak usah khawatir, aku tidak berpikir aneh-aneh tentang kamu. Aku tahu kamu wanita baik-baik, gak mungkin berniat menggoda---," "Stop!!" Tari menoleh, matanya menatap tajam Satya yang duduk berjarak di sebelahnya. Tadinya ada Sabia, tapi karena bayi itu mengantuk jadinya dibawa masuk ke kamar oleh Bik Tutik. Satya langsung menutup mulutnya. Mengancungkan jempolnya lalu menundukkan kepalanya. Tak bisa dipungkiri setiap kali teringat kejadian satu jam yang lalu itu membuat Satya harus menggigit bibirnya untuk menahan tawa. Lebih dari itu, sebagai laki-laki normal Satya haeus beru

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-22

Bab terbaru

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Permintaan Gibran

    Sudah sebulan ini keluarga Rahardian menjadi topik utama pemberitaan di semua acara berita di televisi nasional maupun portal berita online. Hampir semua infotainment memberitakan tentang rumor hubungan gelap antara Tari dan Gibran karena beredarnya foto-foto mereka saat masuk ke sebuah hotel ketika menemui Anindya. Gambar dan judul berita yang menggiring opini jika rumah tangga Anindya Aditama dan Gibran Narendra Wiratama sedang terguncang dan sedang dalam proses perceraian karena kehadiran Bestari Ayu Rahardian sebagai orang ketiga. Selain menyeret nama Rahardian, salah satu keluarga terkaya di negara ini, gosip itu juga membawa-bawa nama salah satu keluarga keturunan kerajaan di jawa yang membuat rumor itu sedikit sulit diredam dan semakin meluas. Beberapa pihak memanfaatkan berita itu untuk mendapatkan keuntungan dengan mencari antusias netizen yang selalu haus akan berita dan rasa keingintahuan yang tinggi. Jadilah berita itu terus bergulir dan sempat membuat nilai sa

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   "Kau harus menebus semua kesalahanmu dengan nyawamu."

    "Membun*hmu," ucap Anindya dengan mengacungkan pist*l yang dibawanya tepat di kening Danisa. Sekektika tubuh Danisa membeku, matanya melebar dengan degup jantung berdentum kencang. "Yakin mau membun*hku?" ujarnya berusaha untuk tenang. "Katakan, mereka dulu atau kamu?" tanya Anindya yang langsung membuat dua orang kawan Danisa seketika panik. Dengan menahan sakit dua orang itu pun berusaha untuk bangun. "Diam atau satu peluru akan lepas dari tempatnya," ujar Anindya seraya mundur dua langkah memastikan ketiga targetnya dalam pengawasannya. "Kamu tidak akan bisa melakukannya. Kamu mencintaiku begitu juga aku. Kita terikat satu sama lain," ucap Danisa berusaha mempengaruhi pikiran Anindya. "Kamu tidak boleh lupa saat-saat kita bersama. Kita melakukan banyak hal untuk pertama kalinya. Akulah satu-satunya orang yang selalu memprioritaskan kamu. Aku yang selalu menuruti keinginanmu." Danisa berusaha membawa Anindya kembali pada kenangan-kenangan kebersamaan mereka dulu. "A

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Tidak. Selama Danisa masih hidup, dia pasti akan kembali,"

    "Ini semua harus berakhir dan akulah yang harus mengakhirinya," gumam Anindya dengan keteguhan hati. "Kamu mau menyusul mereka?" Dilla terlihat tidak setuju dengan keputusan Anindya. "Kamu tahu kemana mereka pergi?" Tak menjawab Anindya malah mengajukan pertanyaan. Dilla berdecak kesal. Pertanyaannya malah dijawab dengan pertanyaan lagi. Meski begitu tetap menjawab. "Ke dermaga, di sana sudah menunggu kapal yang akan membawa mereka ke Batam setelah itu ke Singapura." Anindya menganggukkan kepalanya. "Danisa bilang akan membawamu tapi aku tinggal di sini sampai kuliahku selesai baru menyusul kalian. Tapi tenyata..... " Dilla tidak pernah menyangka orang yang dianggapnya sebagai seorang kakak yang datang ketika dirinya terpuruk ternyata orang jahat yang hanya memanfaatkannya dan setelah merasa tak butuh berniat menghabisi nyawanya. Beruntung Dilla mengikuti ucapan Anindya. Meski sempat tak percaya. "Turuti kataku, jika aku salah kamu juga takkan rugi. Namun jika ak

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   "Gibran mencintaimu. Tapi kamu tidak pantas karena itu aku datang dan mengacaukannya."

    "Eh.... tunggu jangan salah faham! Ini tidak seperti yang kamu pikirkan," ujar Gibran panik. Tanpa bicara Satya langsung mendekati istrinya. "Kamu nggak papa kan?" tanyanya khawatir sambil kedua tangan besarnya menakup wajah sang istri. Tari menggelengkan kepalanya. "Syukurlah," ucapnya Satya menghembuskan nafas lega. "Loh..... kamu gak salah faham?" Gibran melihat pasangan suami istri itu dengan tatapan takjub. Tadinya dia pikir Satya akan marah-marah menuduhnya dan Tari berbuat yang tidak-tidak karena berada di dalam kamar hotel sendirian. "Kamu pikir aku bodoh? Setelah semua masalah yang kami hadapi istriku akan mengkhianatiku? Yang benar saja," ujar Satya. "Aku salut padamu, kamu sanga pencemburu tapi sangat percaya pada istrimu." Gibran kagum. "Dimana Anindya?" tanya Satya. "Tadi dia pergi angkat telpon tadi sudah lima belas menit belum kembali," jelas Gibran. "Kenapa kamu biarkan dia pergi sendirian? Dia pasti sudah kabur," geram Satya. "Bodoh," umpat

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Menemui Anindya.

    "Aku mau pergi sebentar. Nitip Sabia ya," ucap Tari pada Jihan yang sedang menghabiskan waktu senggangnya dengan menonton drakor kesukaannya di ruang tengah. "Nanti kalau Papa atau Mas Satya tanya, bilang aja aku mau keluar beli kebutuhan Sabia." Sambungnya setelah menyerahkan putrinya pada kakak iparnya itu. "Emang kamu mau kemana?" Jihan menatap Tari curiga. Tangannya mendekap Sabia yang ada di pangkuannya. Tari menggigit bibir bawahnya, bingung mau bohong atau jujur. "Mau pergi sebentar ketemu orang?" "Siapa?" "Teman," "Namanya siapa?" Jihan makin curiga. "Tak ada temanmu yang aku nggak kenal. Sebutkan namanya siapa?" Tari mendesah berat, Jihan lebih protective dari Ganendra. Sulit sekali membohongimu wanita itu. "Aku mau ketemu Anindya," jujur Tari tak bisa mengelak. "Apa? Kamu mau ketemu Anindya?" tanya Jihan dengan mata menyipit. "Kalau memang ada perlu kenapa di gak datang kesini aja? Emang Satya tahu kamu kamu mau keluar untuk ketemu Anindya?" Istri Gan

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Dibawah ancaman Danisa.

    "Sekarang kamu pilih, membantuku membalas Tari atau semua keluargamu akan mengalami hal yang sama dengan anak buah suamimu. Satu mat* dan satu terbaring koma di ranjang rumah sakit." Suara Danisa terdengar dari balik maskernya. "Pilih!!!" sentaknya. Anindya menelan ludahnya, tatapan tajam Danisa membuatnya bergidik ngeri. Setahun di rumah sakit jiwa tidak membuat kejiwaan kembaran Clarissa itu menjadi lebih baik tapi sepertinya malah bertambah parah. "Aku mohon jangan libatkan orang tuaku," mohon Anindya yang langsung disambut dengan tawa keras oleh Danisa. "Bukankah waktu itu aku sudah bilang, aku ingin memberimu kesempatan untuk melihat sendiri wajah-wajah orang-orang di sekitarmu. Dan aku memberimu bantuan namun untuk bayarannya kamu harus kembali padaku," terang Danisa mengingatkan Anindya tentang kesepakatan yang di tentukannya. "Apa kamu mau berpura-pura lupa?" tambah wanita berbaju serba hitam itu. "Ck..... kamu benar-benar mengecewakanku. Ingatlah kemarin kamu

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Danisa ikut berperan membantu Anindya,

    "Katakan!!" Sentak Satya marah. "Mas, tenanglah.." Tari memegangi lengan suaminya. Meminta pria itu untuk tenang. "Anin, aku minta maaf karena aku tidak bisa membantumu membatalkan perjodohan itu. Tapi kamu tahu kan, kita semua sayang sama kamu. Jadi kumohon jujurlah, apa kamu berhubungan lagi dengan wanita itu?" tanya Tari menatap Anindya lekat. Anindya menatap Tari melas. "Mbak lebih percaya sama Gibran? Semua yang pria itu katakan bohong. Gibran dan mamanya itu sangat licik Mbak," Tari terdiam, matanya menatap Anindya dengan sorot kecewa. Dia tidak yakin Gibran jujur tapi dia tahu Anindya sedang berbohong. Bukannya menjawab Anindya berusaha mengalahkan dengan menjelekkan Gibran dan mamanya. "Ganendra sudah menyelidiki semuanya. Lima menit yang lalu dia menelponku. Katanya, ada indikasi campur tangan Danisa dalam kejadian kemarin. Masih mau berbohong?" ujar Satya menahan geram. Kecewa, pasti. Dia tidak menyangka adiknya masih saja berhubungan dengan wanita yang dulu

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Penjelasan Gibran 2

    "Pukul dan hajar aku sesukamu. Aku tidak minta untuk dimaafkan. Tapi aku mohon izin aku bertemu dengan Anindya sekali saja," mohon Gibran sambil memegang kaki Satya. "Ada yang harus aku jelaskan," "Bangunlah, jangan seperti ini?" Satya melihat ke sekelilingnya. Beberapa pengunjung kafe melihat kearah mereka. "Tidak, aku tidak akan berdiri sebelum kamu berjanji mengizinkan aku bertemu Anindya," tolak Gibran kekeh pada pendiriannya. "Semua keputusan bukan di tanganku. Sekalipun aku mengizinkanmu belum tentu Anindya mau bertemu denganmu," ujar Satya dengan tatapan kesal. "Mas Satya benar. Anindya sudah memutuskan untuk mengajukan perceraian dan pergi ke luar negeri untuk sekolah." Tari menyahut. "Apa?" Gibran langsung bangkit. "Kamu serius?" tanyanya menatap Tari dengan tatapan melas. "Duduklah," suruh Tari dan pria itu langsung menurut. Satya menghembuskan nafas kasar. Melihat Gibran seperti melihat dirinya sendiri empat tahun lalu. Saat dirinya dipaksa menceraikan

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Penjelasan Gibran.

    "Cepat katakan, aku tidak punya banyak waktu." Satya menatap tajam pria berwajah kusut di depannya. Sudah sepuluh menit Satya dan Tari menunggu tapi tidak sepatah katapun keluar dari mulut Gibran. "Kau ingin bicara atau tidak?" geram Satya mulai habis kesabaran. "Mas, bersabarlah." Tari memegang lengan suaminya yang sudah mengepal diatas meja. "Apa kamu tidak lihat dia sedang kebingungan," sambungnya dengan tatapan mengarah pada pria yang sudah berulang kali mengusap wajahnya. Gibran seperti orang yang sedang gelisah. Tatapannya sayu dan wajahnya pucat. Satya menarik nafas panjang, berusaha meredam emosinya. Setelah mengetahui perbuatan Gibran pada Anindya membuat suami Tari itu kesulitan menahan emasinya. Meski begitu Satya sadar, dirinya juga bersalah karena tidak mendengarkan Tari untuk membatalkan perjodohan Anindya dna Gibran. "Mas, tadi janji apa? Kalau kayak gini mending tadi gak usah datang," ujar Tari mengingatkan janji yang sudah diucapkan Satya sebelum bera

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status