Pagi itu, akhirnya berangkat ke kantor diantar Priyo meski dengan perasaan tak nyaman. Pikiranku masih tertuju pada rumah kost yang membuatku tidak betah.
"Ada apa?" tanya Priyo, ketika menangkap wajahku yang pucat dan gelisah.
"Bapak kost sepertinya genit, aku tidak nyaman tinggal di tempat seperti itu," gerutuku menimpali.
"Kalau begitu, pindah saja 'kan beres," tukas Priyo, memberiku saran.
"Gak segampang itu, aku 'kan sudah terlanjur bayar kost. Ga apa-apa lah aku coba sebulan dulu," sergahku, memikirkan belum ada pemasukan.
"Kalau aku yang bayar, mau pindah?"
"Umm ... aku coba aja dulu, nanti kalau emang aku ga kuat minta tolong," ucapku, kuselingi senyum.
Priyo adalah kekasih sejak SMA. Wajar jika kami dekat, sebelum ke kantor dia selalu mengajakku sarapan pagi terlebih dahulu. Entah itu di pedagang kaki lima atau bahkan di bubur Pasundan langganannya.
***
Aku mempercepat langkahku ketika mencapai gerbang masuk kantor tempatku bekerja. Ini hari pertama kali aku bekerja. Pasti gugup.
Kuedarkan pandangan ke sekeliling kantor, beberapa karyawan dan karyawati menatap ke arahku. Semoga tidak ada yang salah dengan penampilanku, jika tidak maka aku akan sangat malu.
"Pagi," sapaku pada siapapun yang berpapasan.
Maklum, aku pegawai baru. Jika kurang sopan maka akan terjadi masalah padaku. Mereka membalas ramah, meski ada beberapa yang menatap sinis menunjukkan sikap tidak suka kepadaku. Meski aku sendiri kurang mengerti apa sebabnya.
Beberapa dari mereka mengantri check clock. Sementara aku yang belum memiliki name tag memilih berdiam diri duduk di kursi tempat para staf makan.
"Lily, sini ikut aku," sapa seorang pria yang begitu familiar bagiku.
Aku mengamatinya. Mencoba mengingat ia siapa, berjaga-jaga jika saja dugaanku salah.
"Mas Adi Wijaya," ujarku memastikan.
"Ya. Aku HRD di sini. Maaf baru sempat negur, sibuk banget soalnya. Ayo ikut ke ruanganku, bikin nametag, sambil berkeliling aku kenalin ke seluruh staf," jelasnya.
"Umm ... aku panggil Bapak ya, Mas. Ini 'kan di kantor," ujarku.
"Senyaman kamu lah Lii," jawabnya seraya membuka pintu ruang kerjanya.
Ruang kerja yang nampak tak asing bagiku. Jelas saja, kemarin aku melangsungkan interview tepat di cubicle sebelahnya.
Ruang HRD memang bersebelahan dengan ruang manager operasional. Hanya bersekat kaca sebagai pembatas. Membuat kehadiranku terlihat jelas oleh Pak Teguh, yang sedang asyik menyesap secangkir kopi kala itu. Aku mengetahui sebab secara tak sengaja melihatnya dari kaca pembatas.
Pandanganku berpindah pada Mas Adi Wijaya yang sibuk mencetak nametag untukku. Menit kemudian. Telepon dengan sambungan interkom berdering.
"Halo, ya Pak," ucap Mas Adi mengawali percakapan.
Aku tidak bisa mendengar apapun hanya samar-samar mendengar Mas Adi mengucapkan kata 'ya'. Lagi pula tidak baik menguping pembicaraan orang lain. Jadi aku memilih diam.
"Setelah ini, ke ruangan Pak teguh dulu. Ada penting katanya," ujar Mas Adi Wijaya menyampaikan pesan sang atasan.
Aku hanya mengangguk sebagai persetujuan kala itu. Tak butuh waktu lama. Sepuluh menit kemudian, aku berpindah ke ruangan manager operasionalku.
Matanya mengerling genit. Membuatku semakin tak nyaman. Padahal sebenarnya wajahnya menawan dan kharismatik. Jujur saja aku bukan tipe orang yang suka dikejar. Jadi aku abaikan sikapnya. Lagi pula niatku untuk bekerja.
"Hay Li, aku mau kasih kamu pilihan. Dengan kata lain sebuah penawaran baru. Kamu mau tetap jadi admin penjualan, atau jadi asisten pribadiku," ucapnya tanpa berbasa-basi.
Dengan tegas ku jawab, "Admin penjualan."
Dia menatapku tajam, kali ini aku tidak tinggal diam. Aku pun membalas tatapan matanya tak kalah tajam menghujam.
Bukannya menghindar tetapi sepertinya ia justru tertarik padaku. Ia memberikan sebuah kartu nama untuk ku simpan. Aku tidak mau bermasalah. Tentu saja ku raih kertas kecil bertuliskan namanya lengkap dengan alamat dan juga nomor ponsel tertera di sana.
"Saya permisi Pak, dan maaf karena tidak bisa mengikuti kemauan Bapak. Namun, jika nanti ada keperluan saya bersedia membantu," tuturku sopan, kemudian bangkit dan meninggalkan tempat itu.
Aku tidak lagi memperhatikan pak Teguh, kecuali wajah kecewa yang terlihat sebelum kepergianku.
"Dor!" teriak Mas Adi mengagetkanku di koridor.
Ternyata ia sudah menungguku sejak tadi. Aku lupa jika ia yang akan memandu ku berkeliling kantor, kemudian menunjukkan cubicle milikku.
Setelah selesai melakukan serangkaian kegiatan bersama Mas Adi Wijaya, aku kembali ke cubicle milikku. Seorang wanita bertubuh subur dengan kacamata sebagai ciri khas penampilannya telah menungguku.
"Hay Li, namaku Ivy. Aku yang akan mengawasi kamu saat training berlangsung," ujarnya.
"Ya, Mbak," sahutku disertai senyuman sumringah karena Mbak Ivy terkesan lemah lembut ketika menyapa.
Semua berawal biasa saja, hingga menjelang jam makan siang dimulai, seorang wanita dengan tubuh proporsional, rambutnya digarai indah meski memiliki dua warna. Warna hitam, tetapi diselingi putih lebih mendominasi datang menghampiri sambil menggebrak meja melempar setumpuk faktur.
Aku terkejut. Wajahnya yang sinis membuatku semakin histeris. Wajahku yang semula terlihat berseri kini berubah mendung.
Jantungku berdegup kencang. Ada rasa takut menyelimuti hatiku. Namun, aku mencoba tenang dan menerka apa yang sebenarnya wanita itu inginkan.
"Ada banyak tagihan yang tidak selesai! Cari tiap toko, berapa nominalnya. Itu ada banyak faktur! Pilah pertoko dan sertakan jumlah tagihan di register!" bentaknya, membuat mataku yang semula berembun merebak menjadi lelehan air mata.
"Ya Mbak, maaf. Saya anak baru. Saya tidak tahu menahu—," belum selesai ucapanku perempuan itu menendang kursi milikku. Aku sangat terkejut dan refleks memegangi dadaku.
Aku sendiri saat itu. Belum ada yang berani membela, sepertinya mereka takut pada wanita yang datang padaku dengan tiba-tiba.
"Ada apa?" Pak Teguh tiba-tiba memasuki ruangan. Berjalan mendekati aku, lalu tangannya nakal dengan sengaja mengusap puncak kepalaku di depan staf lainnya.
Aahh ... rasanya saat itu aku ingin berhenti dan tidak ingin lagi melanjutkan pekerjaanku. Ku tepis tangan managerku, aku mulai memberanikan diri menegakkan kepala menatap keduanya bergantian.
"Maaf, job description saya apa?" tanyaku.
Hening.
Menit kemudian, seorang wanita yang memiliki jabatan sebagai chef accounting datang bersama seorang IT menengahi. Menyampaikan dan menjelaskan job description ku. Merasa bersalah, wanita yang semula marah tak jelas akhirnya meminta maaf.
Aku sedikit lega. Tetapi saat aku makan siang, di warung kecil seberang jalan. Wanita itu juga ada di sana. Lengkap dengan tatapan sinisnya.
"Li, makan di sini juga. Abaikan yang merusak mental kamu. Persaingan di dunia kerja memang begitu," ujar Mas Adi Wijaya, yang tiba-tiba duduk di sebelahku mencoba menenangkan.
"Ya, Mas. Aku gak tahu salahku apa, kecuali jika aku memang salah," keluhku, mendesah.
"Tentu karena dia melihat Pak Teguh mendekati kamu," tukas, Adi Wijaya memberikan penjelasan.
Aku tertawa geli, aneh saja bagiku. Ada orang iri mencampur adukkan pekerjaan dengan masalah hati yang bahkan belum tentu kebenarannya.
Kulirik sorot matanya tidak sedikitpun melepaskan pergerakanku. Seolah mengancam akan berbuat hal buruk sekali lagi. Mata tajam yang terus menatapku membuatku ingin mengundurkan diri seketika dari pekerjaan baruku.
Aku mempercepat makan siang, kemudian bergegas kembali ke meja kerjaku. Belajar dengan serius job descriptionku. Tentu aku tidak ingin melakukan kesalahan. Aku paham benar jika wanita yang tidak menyukaiku pasti akan mencari-cari kesalahan nantinya.Dengan antusias, aku mempelajari semua yang diajarkan oleh Kak Ivy yang merupakan seniorku dibidang itu.Tidak butuh waktu lama, dalam sehari aku sudah mahir melakukan seluruh pekerjaanku. Bahkan aku menyelesaikan seluruhnya sebelum jam pulang usai.***Pukul 04.00 WIBSore hari.Waktu mulai berdenting. Jam dinding antik berukuran besar, yang sengaja di pasang di lobi gedung nyatanya mampu membuat telingaku berdengung.Kulirik sekilas jam dinding berukuran kecil yang terpasang di sudut ruanganku.Oh ... sudah jam pulang, batinku seraya berkacak pinggang sembari meregangkan otot-ototku yang sedari tadi kaku, akibat
Setelah shalat subuh. Aku merias tipis wajahku. Kukenakan pakaian yang pantas. Sudah cukup keluarganya menghinaku karena aku gadis desa.Aku mencoba menunjukkan jika mereka akan menyesal telah mengabaikan ku. Dengan tangan gemetar. Aku kembali berselancar, di akun Facebook miliknya. Rasa penasaranku membuatku membuka koleksi albumnya. Aku terkejut saat membaca tanggal foto tersebut diambil, ternyata keduanya sudah memiliki hubungan selama empat tahun terakhir.Bodohnya aku. Sibuk dengan pekerjaan sampai tidak tahu jika ditinggal selingkuh dalam waktu yang amat lama.Aku kembali menangis. Namun, kemudian kuhapus kasar bulir bening yang menetes. Aku harus kuat. Sudah cukup air mataku mengalir."Tidak. Kamu tidak pantas ditangisi," desisku, lirih.Deru suara mesin mobil terdengar terhenti di teras rumah. Aku mengintip dari balik jendela kamar. Kulihat Priyo menuruni mobil dengan dandanan berbeda.
Bergeming. Menit kemudian ku akhiri telepon sepihak. Seketika aku berubah gugup dan gemetar. Namun, setelahnya aku merasa tak enak hati. Perasaan apa ini, kenapa aku begitu perduli dengan dirinya? Bukankah sejak dulu selalu ku abaikan?Kuraih kembali benda tipis berbentuk persegi yang masih teronggok di atas kasur. Dengan jantung berdebar, jemariku mengetik pesan singkat WhatsApp sebagai permintaan maaf. Aku menuliskan jika akan memikirkan kembali tawarannya. Namun aku minta waktu untuk hal itu.***Akumasih termenung memikirkan hubunganku yang baru saja berakhir. Meratapi hubungan yang sejak lama terjalin itu sesuatu yang wajar. Manusiawi. Meski sebenarnya ia tak pantas mendapatkannya.Kutatap semua foto kebersamaan kami di layar ponselku. Perlahan jemariku mulai bergerak menghapus satu persatu gambar di layar. Ada nyeri di hatiku, ingin rasanya berontak. Tetap
Kedua orangtuaku saling bertatapan. Seolah tak percaya jika seorang pria bertubuh tegap, terlihat bergaya dan penuh wibawa datang melamarku seorang diri. Sungguh berani. Biasanya pria melamar pujaan hatinya bersama keluarganya. Tetapi berbeda dengan pria bernama Teguh Wicaksono di depanku. "Apakah Nak Teguh bercanda?" tanya ayahku kembali memastikan. Jujur saja, ayah ragu dengan keseriusan Pak Teguh. Ayah berpikir jika pria di depanku hanya iseng semata. Pak Teguh tersenyum simpul penuh arti. Menit kemudian ia tersambung dengan panggilan telepon yang sengaja ia lakukan di depanku dan keluarga. "Halo, assalamualaikum ... sepertinya mereka setuju, ya Waalaikumsalam," ucap Pak Teguh pada seseorang di seberang telepon. Entah dengan siapa ia sedang berbicara. Tetapi yang jelas, ia terlihat begitu sopan pada lawan bicaranya. S
Dengan kaki yang mulai gemetar. Aku memberanikan diri berdiri. Menahannya agar langkahku tidak goyah. Meski mataku mulai berembun, ku coba menahannya agar tidak sedikitpun lolos melewati pipiku.Sejenak kutengadahkan wajahku. Lalu, dengan napas yang mulai sesak aku melangkah sembari menyeret koper milikku. Meninggalkan suamiku yang masihterlihat sibuk dengan benda pipih berbentuk persegi di depannya."Besok akan ada tamu di rumah kita," ujar Pak Teguh menghentikan langkahku.Seketika aku menghentikan langkah. Entah kenapa ada nyeri di dadaku."Ya Pak," balasku singkat.Aku memilih menghindar. Lagi pula
Semalaman aku gak bisa tidur. Tetapi saat menjelang subuh, tiba-tiba kantuk mulai mendera. Tanpa disadari aku tertidur sembari bersandar di lemari pakaian. Tentu saja dengan kondisi badan yang tidak karuan, akibat sisa pertengkaran semalam. Mungkin saja, jika keluargaku mengetahui bahwa kenyataan pahit yang aku terima, mereka pasti akan membawaku pulang dengan paksa. Hati kecilku ingin sekali rasanya pergi dari rumah yang seharusnya menjadi istana bagiku, tetapi nyatanya malah terasa terkungkung dalam sangkar. Nuraniku berontak. Pikiranku berkecamuk memikirkan segala sesuatu, bahkan kemungkinan terburuk sekalipun. *** Hangatnya sinar mentari pagi yang menyentuh kulit, ketika menerobos masuk melalui jendela kamar, ternyata mampu membuatku terbangun dari tidur lelapku. Aku bahkan tidak mampu menggeliat meski hanya untuk peregangan oto
Terdengar suara ketukan pintu yang begitu keras dari balik kamar. Meski gemetar, ku coba untuk bangkit dan memutar knop pintu. Benar dugaanku, Mas Teguh telah berdiri tegap di sana, lengkap dengan tatapan elangnya. "Kenapa tiba-tiba pergi?" tanya Mas Teguh dengan nada datar. Aku rasanya hampir menyerah. Jika kali ini ia melampiaskan rasa kesalnya, mungkin aku nekat untuk pergi. Kali ini ia seperti menahan amarah. Entah apa lagi yang sedang ia rencanakan. "Aku tidak ingin mengganggu. Aku hanya datang untuk mengatakan jika kita tidak memiliki bahan apapun di dapur untuk dimasak," tukas ku menjelaskan. Aku tidak mau terlihat rapuh. Mulai saat itu a
Kakiku terus berjalan menyusuri trotoar yang ramai dengan lalu lalang pengendara kendaraan dan juga para pejalan kaki. Meski dengan kaki setengah diseret, aku berusaha mengangkat tas besar yang berisi barang-barangku. Sesekali kupeluk sendiri perutku yang terasa perih karena dilanda kelaparan. Aku kembali meringis menahan sakit, hingga kemudian terdengar deru mesin mobil yang kian mendekat yang kemudian mengiringi langkahku dan berjalan sejajar. Mataku melotot ketika tahu itu mobil suamiku. Perlahan kaca mobil mulai ia turunkan, "Naik, jangan bikin aku malu!" Suara yang terdengar berat dengan nada meninggi itu milik suamiku. Aku terus melangkah seakan tidak peduli. Bukankah dia sudah mengucap aku ini bukan istrinya, baga