Hidup tak sederhananya mata menatap. Selalu saja ada ombak, badai, bahkan angin yang berhembus kencang mengiringinya.
Ini adalah kisahku. Aku seorang gadis desa bernama Lilyana Atmaja. Suatu ketika, aku melangkahkan kaki jenjangku untuk pertama kali, di sebuah perusahaan swasta yang lumayan tenar di kota B.
Bukan tanpa alasan, aku sengaja melamar pekerjaan untuk menggantikan ayahku yang usianya sudah paruh baya, sebagai tulang punggung keluarga. Siapa sangka, jika semua petualangan kisahku akan di mulai di sini.
Aku masih duduk dengan perasaan tak nyaman di kursi tunggu, tepatnya di sebuah koridor dekat ruang satpam menerima tamu.
"Lilyana Atmaja," panggil seorang security menggunakan pengeras suara.
Aku segera bangkit dari tempat dudukku, merapikan kemeja dan rambutku yang mulai kusut akibat menunggu terlalu lama.
"Saya, Pak," sahutku, kemudian berjalan mengekor memasuki sebuah ruangan bertuliskan 'Manager Operasional' tepat di depan pintunya.
Sang security meninggalkan aku sendirian di sana. Awalnya aku ragu, tetapi aku mencoba menenangkan diri dan pikiranku.
Jantungku berdegup kencang, gugup dan juga canggung bercampur jadi satu. Takut jika harapanku pupus jika saja interview ini gagal nantinya.
Aku memberanikan diri mengetuk pintu sebelum akhirnya memasuki ruangan. Menghela napas panjang dan membuangnya secara kasarpun aku lakukan demi mengurangi rasa gugup ku.
"Permisi," sapaku, mencoba bersikap ramah meski gugup menderaku. Aku bahkan sengaja menarik sedikit bibirku agar melengkung indah dan terlihat ramah.
"Silahkan masuk, tutup pintu sebelum duduk," ucapnya, terdengar dingin namun berwibawa.
Aku mengangguk pelan menyetujui perintah seorang pria yang terlihat berkharismatik di hadapanku. Postur tubuhnya tegap, badannya tinggi besar. Sungguh pria idaman banget pokoknya.
"Dengan —" ucapannya terhenti, mencoba mengingat namaku.
"Lily, Lilyana Atmaja," sahutku, mulai menjabat tangannya yang sedari tadi ia ulurkan untukku. Kemudian, telapak tangannya mulai erat menjabat jemari lentikku.
Senyumnya yang semula tipis mulai mengembang, "Saya Teguh Wicaksono, Manager Operasional di sini."
Aku mengangguk, lalu menarik kursi agar aku bisa duduk. Sorot matanya yang terus menatap tanpa kedip, membuatku semakin tidak bisa menguasai diri. Ah … sial sekali, aku terpukau dengan kharisma calon Managerku.
"Sudah tahu kenapa aku memanggil Mbak Lily ke sini?" tanyanya, lagi. Pria ini menampakkan senyuman maut, yang membuatku salah tingkah karena pesonanya.
"Ya, um … interview," sahutku, disertai anggukan kepala sambil tertunduk menghindari tatapan matanya yang menambah kegugupan. Membuat jawabanku tidak tegas meski terdengar lugas.
"Ya, misalnya diterima kerja di sini, kapan siap bekerja?" tanya Pak Teguh. Sebenarnya itu bagian dari interview, tetapi ia memang sengaja menciptakan suasana santai serasa mengobrol biasa.
Ya. Dia berhasil mengurangi kegugupan yang aku rasakan. Sepertinya saat berjabat tangan tadi, dia menyadari jika ujung jemariku terasa dingin.
"Kapanpun, saya siap, Pak," sahutku cepat. Aku mengangkat wajah, berusaha mengumpulkan tenaga memberanikan diri menatapnya.
Kini sejenak, mata kami beradu pandang. Ia tersenyum simpul menatapku. Aku menyadari jika senyuman itu senyuman tak biasa. Bibirku terkatup seketika. Namun, aku tetap membeku karenanya.
"Gajinya, minta berapa?" tanya Pak Teguh, kembali membuyarkan lamunanku yang masih memaku. Entah hal gila apa yang melintas di benakku tentang pria di depanku.
"Um … sesuai kreativitas kinerja saya, Pak," sahutku. Lagi. Aku gugup, ketika ia membuyarkan lamunanku. Bahkan mataku mengerjap berulang kali.
Waktu berlalu cepat. Siapa sangka, setelah interview itu beberapa jam kemudian aku telah resmi menjadi karyawati di perusahaan itu. Tidak butuh waktu lama, aku duduk di cubicle milikku. Rona bahagia di wajahku terpancar saat itu. Tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Aku segera menghubungi keluarga memberikan kabar melalui pesan singkat, pada keluarga jika aku diterima bekerja dan tidak akan pulang hari itu.
Ada rasa senang, tetapi di sisi lain hatiku terasa nyeri. Ini pertama kalinya aku jauh dari keluarga. Usai pulang kantor, seorang teman merekomendasikan sebuah kost dekat wilayah kampus dan juga pusat kota. Aku menyetujui saja, lagi pula aku ingin cepat-cepat merebahkan diri untuk meregangkan otot punggung yang sedari tadi terasa kaku.
Di sebuah rumah kost sederhana, aku menapakkan kaki jenjangku. Terlihat minimalis, tetapi juga tidak jelek. Aku merasa betah karena anak-anak yang kost terlihat bersahabat. Terlebih, rumah pemilik kost berada di tengah-tengah hunian kost. Membuatku merasa aman di awal aku memasukinya.
Sampai akhirnya, malam itu aku terlelap dalam lelah. Bahkan, aku melewatkan waktu makan malamku. Aku bahkan tidak sempat membersihkan diri terlebih dahulu, hanya meletakkan koper besar yang sebelumnya aku bawa beserta beberapa barang lainnya.
Tak lama kemudian, menjelang subuh aku terbangun dari tidurku. Mengingat aku penghuni baru, terbesit pikiran takut kesiangan karena lama antri di kamar mandi.
Aku segera bangkit dari ranjang nyamanku yang kecil namun empuk, kuraih handuk dan peralatan mandi. Perlahan ku tarik gagang pintu, agar tidak menimbulkan derit suara yang menggangu penghuni lainnya.
Mataku terbelalak, ketika dikejutkan dengan kehadiran seorang pria paruh baya yang sudah duduk di tengah pintu kamarku sambil asyik mengotak-atik motor bututnya.
"Halo … pagi, penghuni baru ya? Saya bapak kost di sini," sapa pria paruh baya itu. Diiringi senyum menyeringai tak bersahabat.
Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala, "Nama bapak, Pak Narko. Kamar mandinya berjarak dua kamar dari kamar kamu."
Pak Narko mengulurkan tangannya ke arahku. Aku tidak berani menggapainya, karena canggung aku hanya menanggapi dengan anggukan kepala saja. Lagi pula aku baru bangun tidur. Tentu saja malu. Maklum, aku adalah seorang gadis desa yang berpegang teguh dengan segala aturan yang diajarkan oleh keluargaku.
Mungkin hanya dugaan ku saja, sorot matanya menatap nakal tanpa kedip ke arahku. Setelah aku perhatikan diriku di dalam kamar mandi, benar saja aku menjadi sorotan bapak kost. Aku masih mengenakan pakaian kerja dengan rok span rempel seksi selutut.
Sekembalinya dari kamar mandi, pria itu masih berada di sana. Benar-benar tidak nyaman. Bagaimana mungkin, ia betah sekali di sana. Bahkan mentari saja belum menampakkan sinarnya. Seperti unsur kesengajaan.
Aku mempercepat langkahku memasuki kamar. Kemudian bergegas berganti pakaian, bersiap untuk pergi kerja.
Tak lama kemudian, ponselku bergetar. Tanda pesan masuk dari seorang pria yang mencintaiku. Dia sahabat lama sejak SMA. Namanya Priyo. Pria kaya raya yang terbilang sombong, tetapi tidak padaku.
Segera kuraih benda pipih berbentuk persegi yang tergeletak di atas nakas. Lalu segera ku baca isi pesannya.
[Aku sudah menunggu di depan, lekas keluar]
Begitulah isi pesan via W******p yang aku terima darinya. Dengan gerakan cepat, jemari lentik ku menari membalas pesan itu.
[Aku segera keluar]
Kumasukkan benda pipih tersebut ke dalam tas, ku pakai sepatu runcing milikku, kemudian aku membuka pintu dengan perlahan.
Mengejutkan, bapak kost sudah duduk bersandar tepat di depan kamarku. Membuatku terlonjak kaget saat itu. Wah … aku jadi tidak tenang. Ancaman baru terasa datang tiba-tiba. Tatapan matanya yang menjelajahi seluruh tubuhku membuatku risih dan jijik.
"Mau berangkat, Li?" sapanya, menghentikan langkahku.
Aku menoleh sejenak ke arahnya. Cukup singkat. Aku hanya mengangguk emudian aku berjalan setengah berlari menghampiri Priyo yang sudah lama menunggu di luar pintu gerbang.
— To Be Continued
Salam cintaku.
Lintang (Lia Taufik).Found me on IG: lia_lintang08
Pagi itu, akhirnya berangkat ke kantor diantar Priyo meski dengan perasaan tak nyaman. Pikiranku masih tertuju pada rumah kost yang membuatku tidak betah."Ada apa?" tanya Priyo, ketika menangkap wajahku yang pucat dan gelisah."Bapak kost sepertinya genit, aku tidak nyaman tinggal di tempat seperti itu," gerutuku menimpali."Kalau begitu, pindah saja 'kan beres," tukas Priyo, memberiku saran."Gak segampang itu, aku 'kan sudah terlanjur bayar kost. Ga apa-apa lah aku coba sebulan dulu," sergahku, memikirkan belum ada pemasukan."Kalau aku yang bayar, mau pindah?""Umm ... aku coba aja dulu, nanti kalau emang aku ga kuat minta tolong," ucapku, kuselingi senyum.Priyo adalah kekasih sejak SMA. Wajar jika kami dekat, sebelum ke kantor dia selalu mengajakku sarapan pagi terlebih dahulu. Entah itu di pedagang kaki lima atau bahkan di bubur Pasundan langganannya.
Aku mempercepat makan siang, kemudian bergegas kembali ke meja kerjaku. Belajar dengan serius job descriptionku. Tentu aku tidak ingin melakukan kesalahan. Aku paham benar jika wanita yang tidak menyukaiku pasti akan mencari-cari kesalahan nantinya.Dengan antusias, aku mempelajari semua yang diajarkan oleh Kak Ivy yang merupakan seniorku dibidang itu.Tidak butuh waktu lama, dalam sehari aku sudah mahir melakukan seluruh pekerjaanku. Bahkan aku menyelesaikan seluruhnya sebelum jam pulang usai.***Pukul 04.00 WIBSore hari.Waktu mulai berdenting. Jam dinding antik berukuran besar, yang sengaja di pasang di lobi gedung nyatanya mampu membuat telingaku berdengung.Kulirik sekilas jam dinding berukuran kecil yang terpasang di sudut ruanganku.Oh ... sudah jam pulang, batinku seraya berkacak pinggang sembari meregangkan otot-ototku yang sedari tadi kaku, akibat
Setelah shalat subuh. Aku merias tipis wajahku. Kukenakan pakaian yang pantas. Sudah cukup keluarganya menghinaku karena aku gadis desa.Aku mencoba menunjukkan jika mereka akan menyesal telah mengabaikan ku. Dengan tangan gemetar. Aku kembali berselancar, di akun Facebook miliknya. Rasa penasaranku membuatku membuka koleksi albumnya. Aku terkejut saat membaca tanggal foto tersebut diambil, ternyata keduanya sudah memiliki hubungan selama empat tahun terakhir.Bodohnya aku. Sibuk dengan pekerjaan sampai tidak tahu jika ditinggal selingkuh dalam waktu yang amat lama.Aku kembali menangis. Namun, kemudian kuhapus kasar bulir bening yang menetes. Aku harus kuat. Sudah cukup air mataku mengalir."Tidak. Kamu tidak pantas ditangisi," desisku, lirih.Deru suara mesin mobil terdengar terhenti di teras rumah. Aku mengintip dari balik jendela kamar. Kulihat Priyo menuruni mobil dengan dandanan berbeda.
Bergeming. Menit kemudian ku akhiri telepon sepihak. Seketika aku berubah gugup dan gemetar. Namun, setelahnya aku merasa tak enak hati. Perasaan apa ini, kenapa aku begitu perduli dengan dirinya? Bukankah sejak dulu selalu ku abaikan?Kuraih kembali benda tipis berbentuk persegi yang masih teronggok di atas kasur. Dengan jantung berdebar, jemariku mengetik pesan singkat WhatsApp sebagai permintaan maaf. Aku menuliskan jika akan memikirkan kembali tawarannya. Namun aku minta waktu untuk hal itu.***Akumasih termenung memikirkan hubunganku yang baru saja berakhir. Meratapi hubungan yang sejak lama terjalin itu sesuatu yang wajar. Manusiawi. Meski sebenarnya ia tak pantas mendapatkannya.Kutatap semua foto kebersamaan kami di layar ponselku. Perlahan jemariku mulai bergerak menghapus satu persatu gambar di layar. Ada nyeri di hatiku, ingin rasanya berontak. Tetap
Kedua orangtuaku saling bertatapan. Seolah tak percaya jika seorang pria bertubuh tegap, terlihat bergaya dan penuh wibawa datang melamarku seorang diri. Sungguh berani. Biasanya pria melamar pujaan hatinya bersama keluarganya. Tetapi berbeda dengan pria bernama Teguh Wicaksono di depanku. "Apakah Nak Teguh bercanda?" tanya ayahku kembali memastikan. Jujur saja, ayah ragu dengan keseriusan Pak Teguh. Ayah berpikir jika pria di depanku hanya iseng semata. Pak Teguh tersenyum simpul penuh arti. Menit kemudian ia tersambung dengan panggilan telepon yang sengaja ia lakukan di depanku dan keluarga. "Halo, assalamualaikum ... sepertinya mereka setuju, ya Waalaikumsalam," ucap Pak Teguh pada seseorang di seberang telepon. Entah dengan siapa ia sedang berbicara. Tetapi yang jelas, ia terlihat begitu sopan pada lawan bicaranya. S
Dengan kaki yang mulai gemetar. Aku memberanikan diri berdiri. Menahannya agar langkahku tidak goyah. Meski mataku mulai berembun, ku coba menahannya agar tidak sedikitpun lolos melewati pipiku.Sejenak kutengadahkan wajahku. Lalu, dengan napas yang mulai sesak aku melangkah sembari menyeret koper milikku. Meninggalkan suamiku yang masihterlihat sibuk dengan benda pipih berbentuk persegi di depannya."Besok akan ada tamu di rumah kita," ujar Pak Teguh menghentikan langkahku.Seketika aku menghentikan langkah. Entah kenapa ada nyeri di dadaku."Ya Pak," balasku singkat.Aku memilih menghindar. Lagi pula
Semalaman aku gak bisa tidur. Tetapi saat menjelang subuh, tiba-tiba kantuk mulai mendera. Tanpa disadari aku tertidur sembari bersandar di lemari pakaian. Tentu saja dengan kondisi badan yang tidak karuan, akibat sisa pertengkaran semalam. Mungkin saja, jika keluargaku mengetahui bahwa kenyataan pahit yang aku terima, mereka pasti akan membawaku pulang dengan paksa. Hati kecilku ingin sekali rasanya pergi dari rumah yang seharusnya menjadi istana bagiku, tetapi nyatanya malah terasa terkungkung dalam sangkar. Nuraniku berontak. Pikiranku berkecamuk memikirkan segala sesuatu, bahkan kemungkinan terburuk sekalipun. *** Hangatnya sinar mentari pagi yang menyentuh kulit, ketika menerobos masuk melalui jendela kamar, ternyata mampu membuatku terbangun dari tidur lelapku. Aku bahkan tidak mampu menggeliat meski hanya untuk peregangan oto
Terdengar suara ketukan pintu yang begitu keras dari balik kamar. Meski gemetar, ku coba untuk bangkit dan memutar knop pintu. Benar dugaanku, Mas Teguh telah berdiri tegap di sana, lengkap dengan tatapan elangnya. "Kenapa tiba-tiba pergi?" tanya Mas Teguh dengan nada datar. Aku rasanya hampir menyerah. Jika kali ini ia melampiaskan rasa kesalnya, mungkin aku nekat untuk pergi. Kali ini ia seperti menahan amarah. Entah apa lagi yang sedang ia rencanakan. "Aku tidak ingin mengganggu. Aku hanya datang untuk mengatakan jika kita tidak memiliki bahan apapun di dapur untuk dimasak," tukas ku menjelaskan. Aku tidak mau terlihat rapuh. Mulai saat itu a
Napasku semakin sesak dan memburu saat menemukan sosok pria berjas hitam sedang duduk menunggu di ruang tamu.Tubuhnya terlihat tegap dan proporsional dari belakang. Dari caranya bersikap. Pria itu seperti tak asing bagiku.Aku melangkah mendekatinya. Kemudian duduk berjajar di sebuah sofa panjang di ruang tamu, setelah menoleh dan kutatap wajahnya. Aku semakin terkejut dibuatnya."Arfi—"Mulutku tercekat. Tak mampu menyelesaikan kalimat terakhirku setelah memanggil namanya. Nama yang selama ini ingin ku kubur dalam-dalam. Nama yang pernah membuatku patah hati dan hingga kini lukanya belum kering.Setelah kuingat, wajah yang sama ternyata adalah pria
Setelah tragedi pernikahan kedua suamiku, aku memilih diam di rumah keluarga sambil menunggu proses perceraian yang ku ajukan."Aku minta cerai!" teriakanku di malam pertengkaran terakhir itu selalu terngiang di kepalaku.Suaranya terdengar mendengung ribuan kali. Entah mengapa aku sulit melupakan suamiku. Bahkan saat ini hanya menunggu putusan pengadilan.Setiap detik, setiap waktu, wajahnya, setiap keping kenangan yang kami lalui bersama seakan film yang selalu diputar berulang-ulang di benakku.Aku selalu menangis setiap kali mengingat kembali semua perlakuan kasarnya yang dulu-dulu. Tetapi terkadang juga rindu dengan kenangan indah meski itu hanya sebentar.
Aku berusaha menghindar. Namun pria yang mengenakan jas mewah yang kini berdiri di hadapanku, dalam keadaan basah kuyup ini mencoba menenangkan aku bahwa ia bukan pria yang berbahaya dengan memegangi kedua bahuku."Jangan takut, aku hanya ingin memberikan tas milik anda yang tertinggal di mobil saya," ucapnya, sembari mengulurkan tangan menyerahkan clutch bag berwarna merah maroon yang segera kuraih."Terimakasih," ucapku dengan kepala tertunduk tak berani menatapnya.Ia tidak membalas lagi. Hanya menatapku sesaat, kemudian pergi lagi.Suasana pernikahan kembali melintas di benakku. Mengingatkan aku tentang kesedihan yang baru saja ku alami.
Aku masih berteman benci, menatap sayu mata suamiku yang sedang duduk bersandar di dinding kamar sambil termangu. Aku memilih menjauh. Ketimbang duduk berjajar yang membuat dadaku terasa sesak. "Besok," ucapnya lirih memulai pembicaraan kami yang sebelumnya hening. Aku membelalakkan mata, keningku berkerut mencoba mencerna ucapannya. "Apa?" tanyaku, berpura-pura tidak memahami maksud ucapannya yang begitu singkat. "Pernikahanku dengan dia digelar," jawabnya dengan suara serak. Kini Teguh yang kukenal kejam seolah beruba
Lama kutatap tanpa kedip raut Pak Dimas yang masih menunggu jawabanku. Menit kemudian, kuingat ia bersitegang dengan suamiku di post satpam.Tidak menutup kemungkinan akan terjadi perang besar jika aku memaksa menerima tawaran supervisor di depanku ini."Pak Dimas, terimakasih banyak tawarannya. Mungkin lain waktu. Suami saya sudah menunggu di depan," jawabku kemudian, setelah mengingat Novi sebelumnya menyampaikan kabar itu sebelumnya.Dengan langkah lebar, aku bergegas melenggang pergi meninggalkan cubicle milikku.Tak butuh waktu lama. Aku sudah sampai di depan kantor tempat aku bekerja. Benar. Ku lihat suamiku mondar-mandir menunggu di depan mobilnya yang sengaja diparki
Pagi ini aku duduk termenung menatap jemariku sendiri yang bahkan tak tersemat cincin pernikahan. Bukan karena suamiku tidak memberikan. Namun, ia telah mengambilnya dariku sejak kedatangan ayah. Mungkin ini bentuk protesnya.Aku yang jengah dengan semua sikapnya, berusaha tenang agar keadaan keluargaku baik-baik saja. Mengingat, suamiku tipe pendendam. Ia tidak segan-segan mempermalukan keluarga ku, tetapi menjaga nama baik keluarganya sendiri.Untuk menghilangkan penat. Aku berselancar di media sosial Facebook milikku. Semoga kali ini ada teman yang memang benar memiliki niat baik. Dan tidak ada keterkaitan dengan suamiku lagi.Menit setelahnya, aku berubah pikiran. Kucoba berselancar diam-diam di semua akun media sosial milik suamiku.
"Pak, aku ingin bicara tentang hal penting," ucap Feri yang sejak hari itu diperintahkan oleh Teguh Wicaksono selalu memanggil Pak di mana pun ia berada. Itu artinya, kini tidak memandang teman atau kerabat. "Tunggu saja di ruang tamu, aku tidak mau Lily," balas Teguh, dingin kemudian meninggalkan koridor kamarnya. Feri mengikutinya dari belakang. Ia paham yang diinginkan oleh Teguh meski hanya lewat isyarat mata. Feri segera menarik kursi mempersilahkan Teguh untuk duduk.
Mas Teguh seketika menghentikan langkahnya menatap punggung yang sedikit melengkung telah berdiri di hadapannya.Senyumku mengembang sempurna setelah mengetahui itu ayah. Ia datang untukku. Tapi entah kenapa juga ada rasa takut di sisi hatiku yang lainnya.Suamiku menatapku bingung. Ia tidak tahu mengapa tiba-tiba ayahku datang berkunjung. Ini adalah pertemuan kami yang pertama dengan ayah setelah aku menikah."Siang, Pak," Mas Teguh menyapa ayah dengan raut wajah datar tanpa ekspresi.Ayah seketika membalikkan badannya dan mengalihkan pandangannya ke arah suamiku. Kilat matanya tajam melihatku dengan bekas memar di beberapa bagian tubuhku yang masih terjangkau mata."Kamu tahu kenapa aku kemari, Guh?" Suara ayah terdengar menggema menusuk pemilik indera yang mendengarnya. Dia bahkan mengabaikan keberadaan diriku sebagai puteri kesayangannya yang lama tak pulang.&nb
Mataku yang semula berembun dan mulai merebak. Air mataku mengalir begitu deras melewati pelupuk mata. Tega sekali ia berteriak seperti itu tepat dihadapan wanita lainnya. Jika memang sudah tidak cinta seharusnya dibicarakan berdua, bukan justru merendahkan istri di depan wanita lain. "Terimakasih, karena dengan begini aku jadi sadar siapa diriku. Dan kenapa kamu mau menikahiku. Maka ceraikan saja aku jika aku memang bukan yang kau inginkan,"ucapku, aku membalas ucapannya yang begitu menusuk. Tatapan mataku berubah sinis. Aku tidak menyalahkan wanita yang berkencan dengannya. Karena dia selalu begitu dengan wanita yang berbeda. Beberapa orang mulai berdatangan melihat situasi yang terjadi. Membuat suamiku dan juga wanitanya segera merapikan diri. Feri mencoba memapahku berdiri. Di hadapan banyak orang, kuberanian diri melangkah dan berjalan mendekat. Meski kakiku kini sedikit pi