Setelah shalat subuh. Aku merias tipis wajahku. Kukenakan pakaian yang pantas. Sudah cukup keluarganya menghinaku karena aku gadis desa.
Aku mencoba menunjukkan jika mereka akan menyesal telah mengabaikan ku. Dengan tangan gemetar. Aku kembali berselancar, di akun F******k miliknya. Rasa penasaranku membuatku membuka koleksi albumnya. Aku terkejut saat membaca tanggal foto tersebut diambil, ternyata keduanya sudah memiliki hubungan selama empat tahun terakhir.
Bodohnya aku. Sibuk dengan pekerjaan sampai tidak tahu jika ditinggal selingkuh dalam waktu yang amat lama.
Aku kembali menangis. Namun, kemudian kuhapus kasar bulir bening yang menetes. Aku harus kuat. Sudah cukup air mataku mengalir.
"Tidak. Kamu tidak pantas ditangisi," desisku, lirih.
Deru suara mesin mobil terdengar terhenti di teras rumah. Aku mengintip dari balik jendela kamar. Kulihat Priyo menuruni mobil dengan dandanan berbeda. Jika selama menjalani hubungan denganku ia mengenakan kemeja dan pakaian seadanya meski aku tahu dia pria kaya, di hari terakhir kita bertemu ia mengenakan pakaian berbeda. Mengenakan pakaian gunung berkelas dengan harga yang terbilang tinggi. Sepertinya ia memiliki hobi baru yang tidak aku ketahui belakangan terakhir. Tetapi aku tidak perduli lagi.
Kumantapkan niatku. Kupatut wajahku dari pantulan cermin. Wajah yang sebelumnya dianggap berlian oleh seluruh warga desa. Di mana siapapun ingin memiliki ku dan begitu banyak orang datang melamar ku abaikan demi Priyo. Namun, ternyata bagi Priyo aku hanyalah sampah yang bahkan tak pantas menjadi miliknya.
Dari lubuk hatiku yang terdalam, aku membuat janji akan mencari tahu apa yang mendasari perselingkuhannya.
Ku lirik sebotol air mineral di atas nakas. Ku raih, kuteguk hingga tandas demi menenangkan diri. Kemudian melangkah keluar ke arah ruang tamu.
Netraku tidak berhenti menjelajahi seluruh keluarganya yang duduk dan ikut datang saat menatapku tajam. Nampaknya mereka sudah tahu, jika aku lebih dulu mengetahui rencana mereka. Untuk menikahkan Priyo dengan wanita lainnya sebelum pernikahan kami digelar.
Kejam. Sungguh kejam keluarga mereka. Belum pernah aku mengenal keluarga sekejam itu. Hanya karena perbedaan derajat sosial memandang manusia lain hina dan tak layak disandingkan dengan keluarga mereka.
Seharusnya mengatakan sejak dulu. Sejak awal. Maka aku tidak akan pernah menyia-nyiakan waktuku hingga terbuang percuma seperti ini. Tujuh tahun itu bukanlah waktu yang sedikit.
Seandainya saja mereka mengatakan sejak dulu tidak menginginkan aku. Dengan senang hati dan ikhlas aku pasti mundur. Mundur dari hati yang menciptakan luka hingga kapanpun. Bahkan sampai matipun luka itu akan tetap aku ingat keberadaannya.
Fokus ku berpindah pada Priyo. Pria itu terlihat sibuk dengan benda pipih di genggamannya. Tidak sedikitpun melempar pandangan padaku. Berbanding terbalik dengan rasa cemburunya yang menggebu sebelumnya. Kini semua sirna. Tak lagi kurasa, kecuali hambar.
Didasari rasa nyeri di ulu hati, di tambah bayangan potret kebersamaannya dengan wanita lain, aku bangkit. Entah apa yang merasuki diriku, refleks tanganku meraih paksa ponsel dari genggamannya. Mata seluruh keluarga yang berada di ruangan membulat menatapku.
Biar saja. Aku tidak lagi perduli. Hanya rasa sakit yang aku rasakan saat itu. Ku buka galeri foto satu persatu. Namun, yang mencuri perhatianku file video. Kubuka perlahan. Demi meluapkan emosiku yang membuncah.
Klik ...!
Video diputar. Dan mengejutkan. Priyo sudah berhubungan badan dengan wanita lain. Menyedihkan. Menjijikkan. Dia merekam seluruh adegan ranjang dengan wanita lain yang belum menjadi istrinya.
Awalnya. Aku tidak rela melepaskan Priyo. Mengetahui dia buruk, hatiku lega. Semua berubah ikhlas. Meski ada rasa sakit yang seketika membuat dadaku sesak di hari itu.
Kuangkat tinggi ponsel miliknya, kukeraskan speaker ponselnya. Semua mata tertuju padaku. Aku tidak perduli lagi.
"Li ... hentikan! Apa-apaan ini, turunkan ponselku! Cukup, bukankah kita sudah berakhir!" sergah Priyo. Ia seakan tak rela dirinya di permalukan.
Aku tersenyum sinis menatapnya. Mataku berembun tak bisa kucegah. Begitu pula bulir bening yang seketika lolos begitu saja melewati pipi putihku.
"Apa ini?" tanyaku, dengan nada meninggi.
Mama Priyo tersentak, refleks tangannya memegangi dadanya. Entah nyeri atau malu, aku tak lagi perduli.
Aku berubah liar seolah menjadi gadis kejam hari itu. Ingin ku luapkan semua sakit hatiku di hari itu juga.
Masih teringat jelas. Ketika para tetangganya bertanya aku ini siapa. Ya. Aku masih mengingatnya, ketika mama Priyo mengatakan aku hanya sebatas saudari jauh Priyo yang sedang datang berkunjung, tidak lebih. Bodoh! Seharusnya aku menyadarinya sejak dulu.
Kembali ke situasi ruang tamu rumahku.
Priyo berjalan mendekati, kulihat kedua tangannya yang semula menggantung di udara ia lipat sebagai permohonan maaf.
Sementara ibuku, berteriak mengucapkan sumpah serapah tidak terima mengetahui aku diperlakukan seperti itu.
Orang tua mana yang tega. Melihat harga diri anak gadisnya diinjak-injak. Tanpa rasa bersalah menjelang pernikahan, tiba-tiba terjadi pembatalan begitu saja.
"Aku tidak bisa memaafkan kamu! Seharusnya mengatakan semua sejak awal," ucapku.
"Benar, bagaimana keluarga kami menghadapi masyarakat sekitar! Undangan sudah terlanjur disebarkan, Lily juga terlanjur berhenti kerja, surat nikah juga rampung diurus di KUA," cerocos ibuku menimpali.
"Aku hanya bisa meminta maaf, semua terjadi begitu saja. Tadinya, aku dan keluargaku akan tetap menikahi dia secara siri, sedangkan pernikahanku denganmu tetap dilaksanakan sah secara hukum. Tetapi kamu terlanjur mengetahuinya," jelas Priyo.
Seketika situasi berubah riuh. Kedua keluarga saling berargumen satu sama lain. Aku bergeming. Meski perih kuterima. Meski pahit dan sedih kunikmati.
Priyo, pria yang dulu amat kupercaya ... tak disangka sebenarnya ia tak perduli. Ia memiliki wanita idaman lain dengan alasan aku selalu sibuk. Karena aku bukan penganut seks bebas seperti wanitanya. Dan ... alasan lainnya, karena status sosial kami tak sebanding. Aku hanya gadis desa dengan gelar diploma, bukan sarjana. Begitu ucapan keluarganya padaku.
Setelah dua jam kami berselisih paham. Aku memutuskan untuk mengubur semuanya sebagai luka lama dalam-dalam.
Aku memantapkan hati mengusir Priyo dan keluarganya.
Namun, masalah baru muncul setelah kepulangannya. Aku dan keluargaku memikirkan bagaimana menghadapi masalah kedepannya.
Ku raih benda berbentuk persegi milikku yang sejak tadi bertengger di atas nakas. Ku buka phone book. Ku jelajahi satu persatu nama yang tersimpan.
Fokusku terhenti pada nama 'Teguh Wicaksono'.
Iseng ceritanya. Ku kirimkan pesan jika pernikahanku dibatalkan. Dengan sederet lukaku. Tanpa di sadari aku mencurahkan segala kesedihanku padanya. Siapa sangka. Gayung bersambut.
Ia menjadi pendengar yang baik. Sikapnya yang ramah dan berwibawa membuatku nyaman. Aku tidak sedikitpun memikirkan hati dan perasaan. Niatku semata-mata ingin mencari teman dan tempat berkeluh kesah sembari memikirkan bagaimana menghadapi masyarakat sekitar nantinya.
"Li, bisa kirimkan alamat lengkap rumahmu?" tanya Pak Teguh mengejutkanku.
"Ada apa ya Pak?" Aku menimpali dengan berbalik tanya.
"Besok, aku mau main ke rumah kamu," tukasnya.
Namun, suara pria tegas berkharismatik, dan berwibawa itu berubah parau. Jantungku berdegup kencang. Entah kenapa kini perasaanku serasa tak nyaman.
— To be continued
Bergeming. Menit kemudian ku akhiri telepon sepihak. Seketika aku berubah gugup dan gemetar. Namun, setelahnya aku merasa tak enak hati. Perasaan apa ini, kenapa aku begitu perduli dengan dirinya? Bukankah sejak dulu selalu ku abaikan?Kuraih kembali benda tipis berbentuk persegi yang masih teronggok di atas kasur. Dengan jantung berdebar, jemariku mengetik pesan singkat WhatsApp sebagai permintaan maaf. Aku menuliskan jika akan memikirkan kembali tawarannya. Namun aku minta waktu untuk hal itu.***Akumasih termenung memikirkan hubunganku yang baru saja berakhir. Meratapi hubungan yang sejak lama terjalin itu sesuatu yang wajar. Manusiawi. Meski sebenarnya ia tak pantas mendapatkannya.Kutatap semua foto kebersamaan kami di layar ponselku. Perlahan jemariku mulai bergerak menghapus satu persatu gambar di layar. Ada nyeri di hatiku, ingin rasanya berontak. Tetap
Kedua orangtuaku saling bertatapan. Seolah tak percaya jika seorang pria bertubuh tegap, terlihat bergaya dan penuh wibawa datang melamarku seorang diri. Sungguh berani. Biasanya pria melamar pujaan hatinya bersama keluarganya. Tetapi berbeda dengan pria bernama Teguh Wicaksono di depanku. "Apakah Nak Teguh bercanda?" tanya ayahku kembali memastikan. Jujur saja, ayah ragu dengan keseriusan Pak Teguh. Ayah berpikir jika pria di depanku hanya iseng semata. Pak Teguh tersenyum simpul penuh arti. Menit kemudian ia tersambung dengan panggilan telepon yang sengaja ia lakukan di depanku dan keluarga. "Halo, assalamualaikum ... sepertinya mereka setuju, ya Waalaikumsalam," ucap Pak Teguh pada seseorang di seberang telepon. Entah dengan siapa ia sedang berbicara. Tetapi yang jelas, ia terlihat begitu sopan pada lawan bicaranya. S
Dengan kaki yang mulai gemetar. Aku memberanikan diri berdiri. Menahannya agar langkahku tidak goyah. Meski mataku mulai berembun, ku coba menahannya agar tidak sedikitpun lolos melewati pipiku.Sejenak kutengadahkan wajahku. Lalu, dengan napas yang mulai sesak aku melangkah sembari menyeret koper milikku. Meninggalkan suamiku yang masihterlihat sibuk dengan benda pipih berbentuk persegi di depannya."Besok akan ada tamu di rumah kita," ujar Pak Teguh menghentikan langkahku.Seketika aku menghentikan langkah. Entah kenapa ada nyeri di dadaku."Ya Pak," balasku singkat.Aku memilih menghindar. Lagi pula
Semalaman aku gak bisa tidur. Tetapi saat menjelang subuh, tiba-tiba kantuk mulai mendera. Tanpa disadari aku tertidur sembari bersandar di lemari pakaian. Tentu saja dengan kondisi badan yang tidak karuan, akibat sisa pertengkaran semalam. Mungkin saja, jika keluargaku mengetahui bahwa kenyataan pahit yang aku terima, mereka pasti akan membawaku pulang dengan paksa. Hati kecilku ingin sekali rasanya pergi dari rumah yang seharusnya menjadi istana bagiku, tetapi nyatanya malah terasa terkungkung dalam sangkar. Nuraniku berontak. Pikiranku berkecamuk memikirkan segala sesuatu, bahkan kemungkinan terburuk sekalipun. *** Hangatnya sinar mentari pagi yang menyentuh kulit, ketika menerobos masuk melalui jendela kamar, ternyata mampu membuatku terbangun dari tidur lelapku. Aku bahkan tidak mampu menggeliat meski hanya untuk peregangan oto
Terdengar suara ketukan pintu yang begitu keras dari balik kamar. Meski gemetar, ku coba untuk bangkit dan memutar knop pintu. Benar dugaanku, Mas Teguh telah berdiri tegap di sana, lengkap dengan tatapan elangnya. "Kenapa tiba-tiba pergi?" tanya Mas Teguh dengan nada datar. Aku rasanya hampir menyerah. Jika kali ini ia melampiaskan rasa kesalnya, mungkin aku nekat untuk pergi. Kali ini ia seperti menahan amarah. Entah apa lagi yang sedang ia rencanakan. "Aku tidak ingin mengganggu. Aku hanya datang untuk mengatakan jika kita tidak memiliki bahan apapun di dapur untuk dimasak," tukas ku menjelaskan. Aku tidak mau terlihat rapuh. Mulai saat itu a
Kakiku terus berjalan menyusuri trotoar yang ramai dengan lalu lalang pengendara kendaraan dan juga para pejalan kaki. Meski dengan kaki setengah diseret, aku berusaha mengangkat tas besar yang berisi barang-barangku. Sesekali kupeluk sendiri perutku yang terasa perih karena dilanda kelaparan. Aku kembali meringis menahan sakit, hingga kemudian terdengar deru mesin mobil yang kian mendekat yang kemudian mengiringi langkahku dan berjalan sejajar. Mataku melotot ketika tahu itu mobil suamiku. Perlahan kaca mobil mulai ia turunkan, "Naik, jangan bikin aku malu!" Suara yang terdengar berat dengan nada meninggi itu milik suamiku. Aku terus melangkah seakan tidak peduli. Bukankah dia sudah mengucap aku ini bukan istrinya, baga
Senja mulai terlihat, sinarnya yang perlahan redup membias rinduku pada keluarga. Aku duduk memaku di depan cermin meja rias kamar. Kusentuh bibirku perih, warnanya pun masih membiru."Sakit? Maaf, ya," ucap suamiku yang tiba-tiba sudah berdiri di ambang pintu.Suaranya yang terdengar berat dan khas membuatku tersentak dan menoleh ke arahnya.Tak lama kemudian, ia melangkah mendekat, berdiri tepat di samping, sembari menyodorkan paper bag ke tanganku.Kubuka isinya perlahan, ternyata kebaya modern berwarna putih berbahan brokat, lengkap dengan rok panjang berbahan batik berwarna gelap dan juga dilengkapi kain penutup kepala yang membuatnya terlihat serasi.Hening.
Sepekat apapun malam, mentari pasti datang menyinari. Harapku suatu saat nanti, sama dengan hadirnya mentari. Bersinar dan menemukan bahagia. Meskipun bahagiaku telah ternoda oleh dusta dari suamiku. Diriku bukan yang pertama, itu faktanya.***Tidak ada yang bisa kulakukan kecuali pasrah dengan keadaan. Mentari pagi, menyeruak masuk lewat celah kaca jendela, menyapaku yang duduk termenung lengkap memasang wajah sendu.Penampilanku tak karuan. Di sampingku masih terbaring pria tampan dengan tubuh tegap kharismatik yang dulu menjadi atasanku. Pria yang digandrungi banyak wanita namun memilih menikahiku. Entah apa yang menjadi alasannya memilih ku.Pria berkulit sawo matang, berambut ikal, tubuhnya tinggi tegap, d