Terdengar suara ketukan pintu yang begitu keras dari balik kamar. Meski gemetar, ku coba untuk bangkit dan memutar knop pintu. Benar dugaanku, Mas Teguh telah berdiri tegap di sana, lengkap dengan tatapan elangnya.
"Kenapa tiba-tiba pergi?" tanya Mas Teguh dengan nada datar.
Aku rasanya hampir menyerah. Jika kali ini ia melampiaskan rasa kesalnya, mungkin aku nekat untuk pergi.
Kali ini ia seperti menahan amarah. Entah apa lagi yang sedang ia rencanakan.
"Aku tidak ingin mengganggu. Aku hanya datang untuk mengatakan jika kita tidak memiliki bahan apapun di dapur untuk dimasak," tukas ku menjelaskan.
Aku tidak mau terlihat rapuh. Mulai saat itu a
Kakiku terus berjalan menyusuri trotoar yang ramai dengan lalu lalang pengendara kendaraan dan juga para pejalan kaki. Meski dengan kaki setengah diseret, aku berusaha mengangkat tas besar yang berisi barang-barangku. Sesekali kupeluk sendiri perutku yang terasa perih karena dilanda kelaparan. Aku kembali meringis menahan sakit, hingga kemudian terdengar deru mesin mobil yang kian mendekat yang kemudian mengiringi langkahku dan berjalan sejajar. Mataku melotot ketika tahu itu mobil suamiku. Perlahan kaca mobil mulai ia turunkan, "Naik, jangan bikin aku malu!" Suara yang terdengar berat dengan nada meninggi itu milik suamiku. Aku terus melangkah seakan tidak peduli. Bukankah dia sudah mengucap aku ini bukan istrinya, baga
Senja mulai terlihat, sinarnya yang perlahan redup membias rinduku pada keluarga. Aku duduk memaku di depan cermin meja rias kamar. Kusentuh bibirku perih, warnanya pun masih membiru."Sakit? Maaf, ya," ucap suamiku yang tiba-tiba sudah berdiri di ambang pintu.Suaranya yang terdengar berat dan khas membuatku tersentak dan menoleh ke arahnya.Tak lama kemudian, ia melangkah mendekat, berdiri tepat di samping, sembari menyodorkan paper bag ke tanganku.Kubuka isinya perlahan, ternyata kebaya modern berwarna putih berbahan brokat, lengkap dengan rok panjang berbahan batik berwarna gelap dan juga dilengkapi kain penutup kepala yang membuatnya terlihat serasi.Hening.
Sepekat apapun malam, mentari pasti datang menyinari. Harapku suatu saat nanti, sama dengan hadirnya mentari. Bersinar dan menemukan bahagia. Meskipun bahagiaku telah ternoda oleh dusta dari suamiku. Diriku bukan yang pertama, itu faktanya.***Tidak ada yang bisa kulakukan kecuali pasrah dengan keadaan. Mentari pagi, menyeruak masuk lewat celah kaca jendela, menyapaku yang duduk termenung lengkap memasang wajah sendu.Penampilanku tak karuan. Di sampingku masih terbaring pria tampan dengan tubuh tegap kharismatik yang dulu menjadi atasanku. Pria yang digandrungi banyak wanita namun memilih menikahiku. Entah apa yang menjadi alasannya memilih ku.Pria berkulit sawo matang, berambut ikal, tubuhnya tinggi tegap, d
Bila tak setenang malam, atau sehangat mentari tetapi aku aku mencoba seindah senja. *** Aku berusaha semua berjalan semestinya. Agar siapapun di sekeliling suamiku tidak curiga tentang hubungan rumah tangga kami. Ibu mertuaku dan juga kakak ipar memutuskan untuk tetap tinggal. Mereka masih belum bisa mempercayai Mas Teguh, setelah apa yang menimpaku. Entah karena mereka benar-benar peduli dengan kondisi pernikahan kami, atau hanya sebatas mencemaskan Mas Teguh saja. Aku tak acuh. "Li … mau masak apa?" tanya ibu mertuaku, ia terlihat ramah menyapaku ketika menyiapkan sarapan pagi. Dari caranya bicara, mertuaku memang wanita ramah dan terlihat sabar. meski
Kutinggalkan suamiku yang masih berdiri mematung, lengkap dengan tatapan mengirisnya bak belati yang mengarah pada sahabat sejawatnya. Lirih kudengar suara keduanya mulai beradu mulut. Sebenarnya aku merasa tak enak hati. Tetapi jika aku memilih berada di tempat yang sama, itu namanya cari mati. Mas Teguh adalah pria kasar. Lebih baik menghindar dari pada terkena getahnya. Apabila amarah suamiku memuncak, bahkan seisi rumah akan membeku karenanya. Aku berjalan melenggang melewati ruang keluarga, suasana masih sama. Keluarga suamiku masih berkumpul di sana. Menatapku dengan tatapan penuh arti. Entah apa yang mereka pikirkan. "Lily, sini duduk," panggil ibu mertuaku.
Sejak saat itu. Aku memutuskan memberanikan diri melakukan aktivitas sesuai keinginanku. Meski Mas Teguh terkadang menentang, seringkali aku tetap melangkah melakukan inginku. Termasuk keputusanku untuk tetap bekerja.Suatu pagi, setelah kepulangan seluruh keluarga suamiku. Akhirnya aku mendapat panggilan interview dari perusahaan swasta. Setelah penantian lamaku, akhirnya waktu yang ku tunggu-tunggu datang juga.Aku merasa senang. Wajahku pun tak lagi muram. Hatiku bak disiram air es. Dingin, menyejukkan. Tentu aku bahagia, hanya dengan bekerja aku bisa memberi sedikit rejeki pada keluargaku, selain itu kesibukan akan membuatku sedikit melupakan permasalahan dengan suamiku.Mas Teguh masih belum mengetahui kab
Suamiku menatapku setengah mengejek. Kini ia berjalan mendekati diriku penuh percaya diri. Tidak ada keraguan sedikitpun. Ia bahkan dengan sengaja mengangkat daguku, wajahku tertutupi oleh anak rambut pun ia singkapkan. Hingga mata kami beradu pandang. Manik matanya yang coklat, menatapku lekat dengan sorot mengintimidasi."Jika kamu pikir dengan bekerja kamu bisa lepas dari perhatianku, kamu salah besar! Aku tidak akan membiarkan siapapun mendekati dirimu, aku juga tidak akan menceraikan kamu! Namun, kamu akan menerima akibat dari sikapmu hari ini," ucap Mas Teguh, berusaha memeringatkan diriku.Aku masih bingung tentang, siapa dirinya sebenarnya. Namun aku memilih diam, dan akan mencari tahu sendiri.Hari pertama aku bekerja, semua berjalan lanc
Mataku yang semula berembun dan mulai merebak. Air mataku mengalir begitu deras melewati pelupuk mata. Tega sekali ia berteriak seperti itu tepat dihadapan wanita lainnya. Jika memang sudah tidak cinta seharusnya dibicarakan berdua, bukan justru merendahkan istri di depan wanita lain. "Terimakasih, karena dengan begini aku jadi sadar siapa diriku. Dan kenapa kamu mau menikahiku. Maka ceraikan saja aku jika aku memang bukan yang kau inginkan,"ucapku, aku membalas ucapannya yang begitu menusuk. Tatapan mataku berubah sinis. Aku tidak menyalahkan wanita yang berkencan dengannya. Karena dia selalu begitu dengan wanita yang berbeda. Beberapa orang mulai berdatangan melihat situasi yang terjadi. Membuat suamiku dan juga wanitanya segera merapikan diri. Feri mencoba memapahku berdiri. Di hadapan banyak orang, kuberanian diri melangkah dan berjalan mendekat. Meski kakiku kini sedikit pi