Bila tak setenang malam, atau sehangat mentari tetapi aku aku mencoba seindah senja.
***
Aku berusaha semua berjalan semestinya. Agar siapapun di sekeliling suamiku tidak curiga tentang hubungan rumah tangga kami.
Ibu mertuaku dan juga kakak ipar memutuskan untuk tetap tinggal. Mereka masih belum bisa mempercayai Mas Teguh, setelah apa yang menimpaku.
Entah karena mereka benar-benar peduli dengan kondisi pernikahan kami, atau hanya sebatas mencemaskan Mas Teguh saja. Aku tak acuh.
"Li … mau masak apa?" tanya ibu mertuaku, ia terlihat ramah menyapaku ketika menyiapkan sarapan pagi.
Dari caranya bicara, mertuaku memang wanita ramah dan terlihat sabar. meski
Kutinggalkan suamiku yang masih berdiri mematung, lengkap dengan tatapan mengirisnya bak belati yang mengarah pada sahabat sejawatnya. Lirih kudengar suara keduanya mulai beradu mulut. Sebenarnya aku merasa tak enak hati. Tetapi jika aku memilih berada di tempat yang sama, itu namanya cari mati. Mas Teguh adalah pria kasar. Lebih baik menghindar dari pada terkena getahnya. Apabila amarah suamiku memuncak, bahkan seisi rumah akan membeku karenanya. Aku berjalan melenggang melewati ruang keluarga, suasana masih sama. Keluarga suamiku masih berkumpul di sana. Menatapku dengan tatapan penuh arti. Entah apa yang mereka pikirkan. "Lily, sini duduk," panggil ibu mertuaku.
Sejak saat itu. Aku memutuskan memberanikan diri melakukan aktivitas sesuai keinginanku. Meski Mas Teguh terkadang menentang, seringkali aku tetap melangkah melakukan inginku. Termasuk keputusanku untuk tetap bekerja.Suatu pagi, setelah kepulangan seluruh keluarga suamiku. Akhirnya aku mendapat panggilan interview dari perusahaan swasta. Setelah penantian lamaku, akhirnya waktu yang ku tunggu-tunggu datang juga.Aku merasa senang. Wajahku pun tak lagi muram. Hatiku bak disiram air es. Dingin, menyejukkan. Tentu aku bahagia, hanya dengan bekerja aku bisa memberi sedikit rejeki pada keluargaku, selain itu kesibukan akan membuatku sedikit melupakan permasalahan dengan suamiku.Mas Teguh masih belum mengetahui kab
Suamiku menatapku setengah mengejek. Kini ia berjalan mendekati diriku penuh percaya diri. Tidak ada keraguan sedikitpun. Ia bahkan dengan sengaja mengangkat daguku, wajahku tertutupi oleh anak rambut pun ia singkapkan. Hingga mata kami beradu pandang. Manik matanya yang coklat, menatapku lekat dengan sorot mengintimidasi."Jika kamu pikir dengan bekerja kamu bisa lepas dari perhatianku, kamu salah besar! Aku tidak akan membiarkan siapapun mendekati dirimu, aku juga tidak akan menceraikan kamu! Namun, kamu akan menerima akibat dari sikapmu hari ini," ucap Mas Teguh, berusaha memeringatkan diriku.Aku masih bingung tentang, siapa dirinya sebenarnya. Namun aku memilih diam, dan akan mencari tahu sendiri.Hari pertama aku bekerja, semua berjalan lanc
Mataku yang semula berembun dan mulai merebak. Air mataku mengalir begitu deras melewati pelupuk mata. Tega sekali ia berteriak seperti itu tepat dihadapan wanita lainnya. Jika memang sudah tidak cinta seharusnya dibicarakan berdua, bukan justru merendahkan istri di depan wanita lain. "Terimakasih, karena dengan begini aku jadi sadar siapa diriku. Dan kenapa kamu mau menikahiku. Maka ceraikan saja aku jika aku memang bukan yang kau inginkan,"ucapku, aku membalas ucapannya yang begitu menusuk. Tatapan mataku berubah sinis. Aku tidak menyalahkan wanita yang berkencan dengannya. Karena dia selalu begitu dengan wanita yang berbeda. Beberapa orang mulai berdatangan melihat situasi yang terjadi. Membuat suamiku dan juga wanitanya segera merapikan diri. Feri mencoba memapahku berdiri. Di hadapan banyak orang, kuberanian diri melangkah dan berjalan mendekat. Meski kakiku kini sedikit pi
Mas Teguh seketika menghentikan langkahnya menatap punggung yang sedikit melengkung telah berdiri di hadapannya.Senyumku mengembang sempurna setelah mengetahui itu ayah. Ia datang untukku. Tapi entah kenapa juga ada rasa takut di sisi hatiku yang lainnya.Suamiku menatapku bingung. Ia tidak tahu mengapa tiba-tiba ayahku datang berkunjung. Ini adalah pertemuan kami yang pertama dengan ayah setelah aku menikah."Siang, Pak," Mas Teguh menyapa ayah dengan raut wajah datar tanpa ekspresi.Ayah seketika membalikkan badannya dan mengalihkan pandangannya ke arah suamiku. Kilat matanya tajam melihatku dengan bekas memar di beberapa bagian tubuhku yang masih terjangkau mata."Kamu tahu kenapa aku kemari, Guh?" Suara ayah terdengar menggema menusuk pemilik indera yang mendengarnya. Dia bahkan mengabaikan keberadaan diriku sebagai puteri kesayangannya yang lama tak pulang.&nb
"Pak, aku ingin bicara tentang hal penting," ucap Feri yang sejak hari itu diperintahkan oleh Teguh Wicaksono selalu memanggil Pak di mana pun ia berada. Itu artinya, kini tidak memandang teman atau kerabat. "Tunggu saja di ruang tamu, aku tidak mau Lily," balas Teguh, dingin kemudian meninggalkan koridor kamarnya. Feri mengikutinya dari belakang. Ia paham yang diinginkan oleh Teguh meski hanya lewat isyarat mata. Feri segera menarik kursi mempersilahkan Teguh untuk duduk.
Pagi ini aku duduk termenung menatap jemariku sendiri yang bahkan tak tersemat cincin pernikahan. Bukan karena suamiku tidak memberikan. Namun, ia telah mengambilnya dariku sejak kedatangan ayah. Mungkin ini bentuk protesnya.Aku yang jengah dengan semua sikapnya, berusaha tenang agar keadaan keluargaku baik-baik saja. Mengingat, suamiku tipe pendendam. Ia tidak segan-segan mempermalukan keluarga ku, tetapi menjaga nama baik keluarganya sendiri.Untuk menghilangkan penat. Aku berselancar di media sosial Facebook milikku. Semoga kali ini ada teman yang memang benar memiliki niat baik. Dan tidak ada keterkaitan dengan suamiku lagi.Menit setelahnya, aku berubah pikiran. Kucoba berselancar diam-diam di semua akun media sosial milik suamiku.
Lama kutatap tanpa kedip raut Pak Dimas yang masih menunggu jawabanku. Menit kemudian, kuingat ia bersitegang dengan suamiku di post satpam.Tidak menutup kemungkinan akan terjadi perang besar jika aku memaksa menerima tawaran supervisor di depanku ini."Pak Dimas, terimakasih banyak tawarannya. Mungkin lain waktu. Suami saya sudah menunggu di depan," jawabku kemudian, setelah mengingat Novi sebelumnya menyampaikan kabar itu sebelumnya.Dengan langkah lebar, aku bergegas melenggang pergi meninggalkan cubicle milikku.Tak butuh waktu lama. Aku sudah sampai di depan kantor tempat aku bekerja. Benar. Ku lihat suamiku mondar-mandir menunggu di depan mobilnya yang sengaja diparki