Aku berusaha menghindar. Namun pria yang mengenakan jas mewah yang kini berdiri di hadapanku, dalam keadaan basah kuyup ini mencoba menenangkan aku bahwa ia bukan pria yang berbahaya dengan memegangi kedua bahuku.
"Jangan takut, aku hanya ingin memberikan tas milik anda yang tertinggal di mobil saya," ucapnya, sembari mengulurkan tangan menyerahkan clutch bag berwarna merah maroon yang segera kuraih.
"Terimakasih," ucapku dengan kepala tertunduk tak berani menatapnya.
Ia tidak membalas lagi. Hanya menatapku sesaat, kemudian pergi lagi.
Suasana pernikahan kembali melintas di benakku. Mengingatkan aku tentang kesedihan yang baru saja ku alami.
Setelah tragedi pernikahan kedua suamiku, aku memilih diam di rumah keluarga sambil menunggu proses perceraian yang ku ajukan."Aku minta cerai!" teriakanku di malam pertengkaran terakhir itu selalu terngiang di kepalaku.Suaranya terdengar mendengung ribuan kali. Entah mengapa aku sulit melupakan suamiku. Bahkan saat ini hanya menunggu putusan pengadilan.Setiap detik, setiap waktu, wajahnya, setiap keping kenangan yang kami lalui bersama seakan film yang selalu diputar berulang-ulang di benakku.Aku selalu menangis setiap kali mengingat kembali semua perlakuan kasarnya yang dulu-dulu. Tetapi terkadang juga rindu dengan kenangan indah meski itu hanya sebentar.
Napasku semakin sesak dan memburu saat menemukan sosok pria berjas hitam sedang duduk menunggu di ruang tamu.Tubuhnya terlihat tegap dan proporsional dari belakang. Dari caranya bersikap. Pria itu seperti tak asing bagiku.Aku melangkah mendekatinya. Kemudian duduk berjajar di sebuah sofa panjang di ruang tamu, setelah menoleh dan kutatap wajahnya. Aku semakin terkejut dibuatnya."Arfi—"Mulutku tercekat. Tak mampu menyelesaikan kalimat terakhirku setelah memanggil namanya. Nama yang selama ini ingin ku kubur dalam-dalam. Nama yang pernah membuatku patah hati dan hingga kini lukanya belum kering.Setelah kuingat, wajah yang sama ternyata adalah pria
Hidup tak sederhananya mata menatap. Selalu saja ada ombak, badai, bahkan angin yang berhembus kencang mengiringinya.Ini adalah kisahku. Aku seorang gadis desa bernama Lilyana Atmaja. Suatu ketika, aku melangkahkan kaki jenjangku untuk pertama kali, di sebuah perusahaan swasta yang lumayan tenar di kota B.Bukan tanpa alasan, aku sengaja melamar pekerjaan untuk menggantikan ayahku yang usianya sudah paruh baya, sebagai tulang punggung keluarga. Siapa sangka, jika semua petualangan kisahku akan di mulai di sini.Aku masih duduk dengan perasaan tak nyaman di kursi tunggu, tepatnya di sebuah koridor dekat ruang satpam menerima tamu."Lilyana Atmaja," panggil seorang sec
Pagi itu, akhirnya berangkat ke kantor diantar Priyo meski dengan perasaan tak nyaman. Pikiranku masih tertuju pada rumah kost yang membuatku tidak betah."Ada apa?" tanya Priyo, ketika menangkap wajahku yang pucat dan gelisah."Bapak kost sepertinya genit, aku tidak nyaman tinggal di tempat seperti itu," gerutuku menimpali."Kalau begitu, pindah saja 'kan beres," tukas Priyo, memberiku saran."Gak segampang itu, aku 'kan sudah terlanjur bayar kost. Ga apa-apa lah aku coba sebulan dulu," sergahku, memikirkan belum ada pemasukan."Kalau aku yang bayar, mau pindah?""Umm ... aku coba aja dulu, nanti kalau emang aku ga kuat minta tolong," ucapku, kuselingi senyum.Priyo adalah kekasih sejak SMA. Wajar jika kami dekat, sebelum ke kantor dia selalu mengajakku sarapan pagi terlebih dahulu. Entah itu di pedagang kaki lima atau bahkan di bubur Pasundan langganannya.
Aku mempercepat makan siang, kemudian bergegas kembali ke meja kerjaku. Belajar dengan serius job descriptionku. Tentu aku tidak ingin melakukan kesalahan. Aku paham benar jika wanita yang tidak menyukaiku pasti akan mencari-cari kesalahan nantinya.Dengan antusias, aku mempelajari semua yang diajarkan oleh Kak Ivy yang merupakan seniorku dibidang itu.Tidak butuh waktu lama, dalam sehari aku sudah mahir melakukan seluruh pekerjaanku. Bahkan aku menyelesaikan seluruhnya sebelum jam pulang usai.***Pukul 04.00 WIBSore hari.Waktu mulai berdenting. Jam dinding antik berukuran besar, yang sengaja di pasang di lobi gedung nyatanya mampu membuat telingaku berdengung.Kulirik sekilas jam dinding berukuran kecil yang terpasang di sudut ruanganku.Oh ... sudah jam pulang, batinku seraya berkacak pinggang sembari meregangkan otot-ototku yang sedari tadi kaku, akibat
Setelah shalat subuh. Aku merias tipis wajahku. Kukenakan pakaian yang pantas. Sudah cukup keluarganya menghinaku karena aku gadis desa.Aku mencoba menunjukkan jika mereka akan menyesal telah mengabaikan ku. Dengan tangan gemetar. Aku kembali berselancar, di akun Facebook miliknya. Rasa penasaranku membuatku membuka koleksi albumnya. Aku terkejut saat membaca tanggal foto tersebut diambil, ternyata keduanya sudah memiliki hubungan selama empat tahun terakhir.Bodohnya aku. Sibuk dengan pekerjaan sampai tidak tahu jika ditinggal selingkuh dalam waktu yang amat lama.Aku kembali menangis. Namun, kemudian kuhapus kasar bulir bening yang menetes. Aku harus kuat. Sudah cukup air mataku mengalir."Tidak. Kamu tidak pantas ditangisi," desisku, lirih.Deru suara mesin mobil terdengar terhenti di teras rumah. Aku mengintip dari balik jendela kamar. Kulihat Priyo menuruni mobil dengan dandanan berbeda.
Bergeming. Menit kemudian ku akhiri telepon sepihak. Seketika aku berubah gugup dan gemetar. Namun, setelahnya aku merasa tak enak hati. Perasaan apa ini, kenapa aku begitu perduli dengan dirinya? Bukankah sejak dulu selalu ku abaikan?Kuraih kembali benda tipis berbentuk persegi yang masih teronggok di atas kasur. Dengan jantung berdebar, jemariku mengetik pesan singkat WhatsApp sebagai permintaan maaf. Aku menuliskan jika akan memikirkan kembali tawarannya. Namun aku minta waktu untuk hal itu.***Akumasih termenung memikirkan hubunganku yang baru saja berakhir. Meratapi hubungan yang sejak lama terjalin itu sesuatu yang wajar. Manusiawi. Meski sebenarnya ia tak pantas mendapatkannya.Kutatap semua foto kebersamaan kami di layar ponselku. Perlahan jemariku mulai bergerak menghapus satu persatu gambar di layar. Ada nyeri di hatiku, ingin rasanya berontak. Tetap
Kedua orangtuaku saling bertatapan. Seolah tak percaya jika seorang pria bertubuh tegap, terlihat bergaya dan penuh wibawa datang melamarku seorang diri. Sungguh berani. Biasanya pria melamar pujaan hatinya bersama keluarganya. Tetapi berbeda dengan pria bernama Teguh Wicaksono di depanku. "Apakah Nak Teguh bercanda?" tanya ayahku kembali memastikan. Jujur saja, ayah ragu dengan keseriusan Pak Teguh. Ayah berpikir jika pria di depanku hanya iseng semata. Pak Teguh tersenyum simpul penuh arti. Menit kemudian ia tersambung dengan panggilan telepon yang sengaja ia lakukan di depanku dan keluarga. "Halo, assalamualaikum ... sepertinya mereka setuju, ya Waalaikumsalam," ucap Pak Teguh pada seseorang di seberang telepon. Entah dengan siapa ia sedang berbicara. Tetapi yang jelas, ia terlihat begitu sopan pada lawan bicaranya. S