Bergeming. Menit kemudian ku akhiri telepon sepihak. Seketika aku berubah gugup dan gemetar. Namun, setelahnya aku merasa tak enak hati. Perasaan apa ini, kenapa aku begitu perduli dengan dirinya? Bukankah sejak dulu selalu ku abaikan?
Kuraih kembali benda tipis berbentuk persegi yang masih teronggok di atas kasur. Dengan jantung berdebar, jemariku mengetik pesan singkat W******p sebagai permintaan maaf. Aku menuliskan jika akan memikirkan kembali tawarannya. Namun aku minta waktu untuk hal itu.
***
Akumasih termenung memikirkan hubunganku yang baru saja berakhir. Meratapi hubungan yang sejak lama terjalin itu sesuatu yang wajar. Manusiawi. Meski sebenarnya ia tak pantas mendapatkannya.
Kutatap semua foto kebersamaan kami di layar ponselku. Perlahan jemariku mulai bergerak menghapus satu persatu gambar di layar. Ada nyeri di hatiku, ingin rasanya berontak. Tetapi pengkhianatan Priyo begitu fatal dan tidak bisa dimaafkan.
Siapa sangka jika cintaku yang tulus di balas dengan dusta dan pengkhianatan. Namun, semua tetap ku syukuri. Jika saja aku tidak mengetahui semuanya hari itu. Mungkin, semuanya lebih menyakitkan buatku.
Aku memikirkan kembali perkataan Pak Teguh, yang mengatakan ingin bertandang ke rumah. Entah kenapa akhir-akhir ini ia sering mondar-mandir di benakku sejak aku memberanikan diri berkeluh kesah.
Pikirku tidak masalah jika sekedar bermain. Toh menjalin silaturahmi itu baik dalam agama dan hubungan sesama manusia.
Tak ingin menunda, akhirnya aku memberikan diri mengirim pesan singkat via W******p untuk Pak Teguh. Mantan manager operasional ku.
[Assalamualaikum, Pak ... maaf mengganggu. Mengenai tawaran Bapak yang ingin main ke rumah. Boleh kok, silahkan.]
Begitu isi pesan yang aku kirimkan via W******p. Kemudian ku lempar ponselku sembarang di atas kasur empuk ku. Aku frustasi hingga menjambak rambutku sendiri. Tiba-tiba jantungku berdegup kencang, iramanya tak karuan. Membuatku cemas.
Menit kemudian. Ponselku bergetar. Tanda pesan masuk, karena memang sengaja saat itu aku memasang mode senyap, untuk menghindari kontak dengan Priyo yang masih berusaha menghubungiku.
[Waalaikumsalam, tolong segera kirimkan alamatnya ya.]
Ku lirik kemudian ku baca isi pesannya. Jantungku semakin bergemuruh. Namun, ada rasa senang yang luar biasa. Mungkinkah aku jatuh cinta? Bukankah aku tidak mudah mencintai. Tetapi kenapa perasaanku begini?
Jemari lentik ku kembali menari membalas pesannya. Ku kirimkan alamat lengkap ku. Kemudian aku memilih memejamkan mataku di kamar.
Samar-samar terdengar suara para tetangga yang terlanjur ikut membantu persiapan pernikahanku yang batal mulai riuh. Hatiku sakit. Aku tidak bisa membayangkan betapa malunya keluargaku menghadapi masyarakat sekitar kala itu.
Aku bangkit dari tempat tidur. Kubuka perlahan pintu agar tidak berderit. Ku tatap dari kejauhan, aku melihat ibu sedang menangis tersedu-sedu ditenangkan oleh beberapa tetangga.
Saat itu dunia seakan runtuh. Priyo. Tidak lagi penting buatku. Hal yang lebih penting adalah perasaan keluargaku. Dan bagaimana mereka menghadapi masyarakat, terlebih undangan terlanjur disebarkan. Rasanya seperti menjerit melihat duka di keluargaku.
***
Keesokan paginya, aku masih merebahkan diri di kasur empuk milikku. Bermalas-malasan. Seakan tak memiliki gairah hidup.
Ku lirik jam di dinding, waktu menunjukkan pukul setengah delapan. Meski sudah mandi, aku enggan berdandan dan juga sarapan. Bahkan, aku masih mengenakan daster yang kukenakan sejak semalam.
Suara ketukan pintu membuatku tersentak, "Siapa?"
Tak lama kemudian, pintu terbuka perlahan. Diikuti suara derit dan langkah kaki ibu memasuki kamarku.
"Li, keluarlah. Ganti baju dan juga rias dirimu. Ada teman kerjamu datang. Katanya, kalian sudah janjian," ucap ibu, mengejutkanku.
Mataku yang semula sendu berubah membulat sempurna. Aku terhenyak mendengar ada seseorang datang mencari ku, yang kuyakini adalah mantan manajer operasional ku.
Suasana tiba-tiba menjadi panas. Entah memang pengaruh cuaca, atau aku merasa canggung saja. Kunyalakan kipas angin di kamar sembari memoles tipis wajahku, ku oles tipis lipstik berwarna brown sugar kesukaanku. Tak lupa kukenakan maskara, dan eyeliner sebagai pelengkap. Entah kenapa, aku selalu ingin terlihat cantik di depan Pak Teguh.
Sepuluh menit menunggu. Nampaknya Pak Teguh sudah akrab dengan kedua orang tuaku. Ketika aku datang menghampiri, mereka sedang berbincang ringan. Meski aku sendiri kurang paham apa yang mereka bincangkan. Namun, berulangkali aku mendengar suara tawa menyelingi obrolan mereka.
"Pagi, Pak," sapaku, dengan suara lirih. Karena ragu. Wajahku pun berubah kaku, tidak seperti ketika aku menemuinya di kantor.
"Halo, apa kabar? Duduk, ada hal penting yang membutuhkan persetujuan kamu," balasnya, sembari bertanya kabar menunjukkan betapa perhatiannya padaku.
"Alhamdulillah, aku baik, Pak. Ummm ... ada apa ya?" Aku memasang raut wajah kebingungan.
Pak teguh terdiam. Pandangannya berpindah pada kedua orangtuaku. Ku balas tatapan matanya, yang mencoba menghindari tatapan mataku.
"Maaf, Bu ... Pak. Kedatangan saya ke sini ingin menanyakan, apakah benar pernikahan Lily dibatalkan?" tanya Pak Teguh. Raut wajahnya berubah serius. Tidak ada lagi canda tawa. Membuat jantungku semakin bergemuruh saja.
Netraku berpindah pada ayah, yang duduk berdampingan dengan ibu. Ayah adalah orang yang begitu disegani di kampung ku. Padahal ayah pribadi yang sederhana. Ayah duduk dengan mengenakan baju koko berwarna putih yang di padu padankan dengan kain sarung bermotif kotak-kotak bercorak hitam putih, lengkap dengan kopiah hitam di kepalanya.
"Ya. Benar, Nak. Lily tidak jadi menikah. Nah ... itulah Nak, mungkin sudah takdirnya Lily," sahut ayah, dengan jawaban jujurnya. Tanpa menerka apapun. Wajahnya terlihat lugu. Pasti niatnya hanya ingin mencurahkan isi hatinya.
"Pak, Bu ... ummm ... maaf atas kelancangan saya, kedatangan saya ke sini untuk melamar putri kalian," ucap Pak Teguh. Aku terperanjat, bahkan refleks menutup mulutku yang ternganga dengan kedua telapak tanganku.
Mataku, hampir saja mencelos dari tempatnya. Seakan tak percaya. Bagaimana mungkin, seorang pria berani melamar putri seseorang sendirian dan mendadak begini.
Hening.
Kedua orang tuaku yang tak kalah kagetnya saling bertukar pandang sejenak.
"Kami serahkan segalanya pada Lily, yang akan menjalani pernikahan," sahut ayah kemudian.
Aku sudah menduga jawaban ayah. Wajah kharismatik, tubuh tegap dan juga pekerjaan mapan. Siapa yang mampu menolak kharisma seorang Teguh Wicaksono.
Tatapan pria bertubuh tegap itu, kini menatap tajam ke arahku. Sedangkan aku memilih menundukkan kepala menghindari tatapan. Bukan karena malu, tetapi aku justru sungkan. Bagaimana mungkin manager yang selalu ku hormati akan menikahiku.
"Li, aku menunggu jawabanmu," desisnya, dengan penuh penekanan.
Teringat kembali tangisan ibu kemarin, membuatku mengambil keputusan cepat tanpa berpikir panjang. Seharusnya, aku menjejaki dulu bagaimana kepribadiannya meski telah mengenalnya cukup lama. Mantan tunanganku saja bisa berkhianat. Seharusnya kujadikan sebagai pelajaran berharga.
"Aku bersedia," balasku.
Begitu cepat. Aku tidak mengira. Pak Teguh, mantan manager tempat aku bekerja meraih jemari lentik ku dan menyematkan cicin di jari manis.
"Aku akan menggantikan, menjadi pengantin pria. Biarkan semua berjalan sesuai rencana," tukas Pak Teguh. Suaranya menggema memenuhi ruangan.
Senyuman indah seketika mengembang sempurna di bibir kedua orang tuaku.
— To be continued
Follow me on IG: @lia_lintang08.
Kedua orangtuaku saling bertatapan. Seolah tak percaya jika seorang pria bertubuh tegap, terlihat bergaya dan penuh wibawa datang melamarku seorang diri. Sungguh berani. Biasanya pria melamar pujaan hatinya bersama keluarganya. Tetapi berbeda dengan pria bernama Teguh Wicaksono di depanku. "Apakah Nak Teguh bercanda?" tanya ayahku kembali memastikan. Jujur saja, ayah ragu dengan keseriusan Pak Teguh. Ayah berpikir jika pria di depanku hanya iseng semata. Pak Teguh tersenyum simpul penuh arti. Menit kemudian ia tersambung dengan panggilan telepon yang sengaja ia lakukan di depanku dan keluarga. "Halo, assalamualaikum ... sepertinya mereka setuju, ya Waalaikumsalam," ucap Pak Teguh pada seseorang di seberang telepon. Entah dengan siapa ia sedang berbicara. Tetapi yang jelas, ia terlihat begitu sopan pada lawan bicaranya. S
Dengan kaki yang mulai gemetar. Aku memberanikan diri berdiri. Menahannya agar langkahku tidak goyah. Meski mataku mulai berembun, ku coba menahannya agar tidak sedikitpun lolos melewati pipiku.Sejenak kutengadahkan wajahku. Lalu, dengan napas yang mulai sesak aku melangkah sembari menyeret koper milikku. Meninggalkan suamiku yang masihterlihat sibuk dengan benda pipih berbentuk persegi di depannya."Besok akan ada tamu di rumah kita," ujar Pak Teguh menghentikan langkahku.Seketika aku menghentikan langkah. Entah kenapa ada nyeri di dadaku."Ya Pak," balasku singkat.Aku memilih menghindar. Lagi pula
Semalaman aku gak bisa tidur. Tetapi saat menjelang subuh, tiba-tiba kantuk mulai mendera. Tanpa disadari aku tertidur sembari bersandar di lemari pakaian. Tentu saja dengan kondisi badan yang tidak karuan, akibat sisa pertengkaran semalam. Mungkin saja, jika keluargaku mengetahui bahwa kenyataan pahit yang aku terima, mereka pasti akan membawaku pulang dengan paksa. Hati kecilku ingin sekali rasanya pergi dari rumah yang seharusnya menjadi istana bagiku, tetapi nyatanya malah terasa terkungkung dalam sangkar. Nuraniku berontak. Pikiranku berkecamuk memikirkan segala sesuatu, bahkan kemungkinan terburuk sekalipun. *** Hangatnya sinar mentari pagi yang menyentuh kulit, ketika menerobos masuk melalui jendela kamar, ternyata mampu membuatku terbangun dari tidur lelapku. Aku bahkan tidak mampu menggeliat meski hanya untuk peregangan oto
Terdengar suara ketukan pintu yang begitu keras dari balik kamar. Meski gemetar, ku coba untuk bangkit dan memutar knop pintu. Benar dugaanku, Mas Teguh telah berdiri tegap di sana, lengkap dengan tatapan elangnya. "Kenapa tiba-tiba pergi?" tanya Mas Teguh dengan nada datar. Aku rasanya hampir menyerah. Jika kali ini ia melampiaskan rasa kesalnya, mungkin aku nekat untuk pergi. Kali ini ia seperti menahan amarah. Entah apa lagi yang sedang ia rencanakan. "Aku tidak ingin mengganggu. Aku hanya datang untuk mengatakan jika kita tidak memiliki bahan apapun di dapur untuk dimasak," tukas ku menjelaskan. Aku tidak mau terlihat rapuh. Mulai saat itu a
Kakiku terus berjalan menyusuri trotoar yang ramai dengan lalu lalang pengendara kendaraan dan juga para pejalan kaki. Meski dengan kaki setengah diseret, aku berusaha mengangkat tas besar yang berisi barang-barangku. Sesekali kupeluk sendiri perutku yang terasa perih karena dilanda kelaparan. Aku kembali meringis menahan sakit, hingga kemudian terdengar deru mesin mobil yang kian mendekat yang kemudian mengiringi langkahku dan berjalan sejajar. Mataku melotot ketika tahu itu mobil suamiku. Perlahan kaca mobil mulai ia turunkan, "Naik, jangan bikin aku malu!" Suara yang terdengar berat dengan nada meninggi itu milik suamiku. Aku terus melangkah seakan tidak peduli. Bukankah dia sudah mengucap aku ini bukan istrinya, baga
Senja mulai terlihat, sinarnya yang perlahan redup membias rinduku pada keluarga. Aku duduk memaku di depan cermin meja rias kamar. Kusentuh bibirku perih, warnanya pun masih membiru."Sakit? Maaf, ya," ucap suamiku yang tiba-tiba sudah berdiri di ambang pintu.Suaranya yang terdengar berat dan khas membuatku tersentak dan menoleh ke arahnya.Tak lama kemudian, ia melangkah mendekat, berdiri tepat di samping, sembari menyodorkan paper bag ke tanganku.Kubuka isinya perlahan, ternyata kebaya modern berwarna putih berbahan brokat, lengkap dengan rok panjang berbahan batik berwarna gelap dan juga dilengkapi kain penutup kepala yang membuatnya terlihat serasi.Hening.
Sepekat apapun malam, mentari pasti datang menyinari. Harapku suatu saat nanti, sama dengan hadirnya mentari. Bersinar dan menemukan bahagia. Meskipun bahagiaku telah ternoda oleh dusta dari suamiku. Diriku bukan yang pertama, itu faktanya.***Tidak ada yang bisa kulakukan kecuali pasrah dengan keadaan. Mentari pagi, menyeruak masuk lewat celah kaca jendela, menyapaku yang duduk termenung lengkap memasang wajah sendu.Penampilanku tak karuan. Di sampingku masih terbaring pria tampan dengan tubuh tegap kharismatik yang dulu menjadi atasanku. Pria yang digandrungi banyak wanita namun memilih menikahiku. Entah apa yang menjadi alasannya memilih ku.Pria berkulit sawo matang, berambut ikal, tubuhnya tinggi tegap, d
Bila tak setenang malam, atau sehangat mentari tetapi aku aku mencoba seindah senja. *** Aku berusaha semua berjalan semestinya. Agar siapapun di sekeliling suamiku tidak curiga tentang hubungan rumah tangga kami. Ibu mertuaku dan juga kakak ipar memutuskan untuk tetap tinggal. Mereka masih belum bisa mempercayai Mas Teguh, setelah apa yang menimpaku. Entah karena mereka benar-benar peduli dengan kondisi pernikahan kami, atau hanya sebatas mencemaskan Mas Teguh saja. Aku tak acuh. "Li … mau masak apa?" tanya ibu mertuaku, ia terlihat ramah menyapaku ketika menyiapkan sarapan pagi. Dari caranya bicara, mertuaku memang wanita ramah dan terlihat sabar. meski
Napasku semakin sesak dan memburu saat menemukan sosok pria berjas hitam sedang duduk menunggu di ruang tamu.Tubuhnya terlihat tegap dan proporsional dari belakang. Dari caranya bersikap. Pria itu seperti tak asing bagiku.Aku melangkah mendekatinya. Kemudian duduk berjajar di sebuah sofa panjang di ruang tamu, setelah menoleh dan kutatap wajahnya. Aku semakin terkejut dibuatnya."Arfi—"Mulutku tercekat. Tak mampu menyelesaikan kalimat terakhirku setelah memanggil namanya. Nama yang selama ini ingin ku kubur dalam-dalam. Nama yang pernah membuatku patah hati dan hingga kini lukanya belum kering.Setelah kuingat, wajah yang sama ternyata adalah pria
Setelah tragedi pernikahan kedua suamiku, aku memilih diam di rumah keluarga sambil menunggu proses perceraian yang ku ajukan."Aku minta cerai!" teriakanku di malam pertengkaran terakhir itu selalu terngiang di kepalaku.Suaranya terdengar mendengung ribuan kali. Entah mengapa aku sulit melupakan suamiku. Bahkan saat ini hanya menunggu putusan pengadilan.Setiap detik, setiap waktu, wajahnya, setiap keping kenangan yang kami lalui bersama seakan film yang selalu diputar berulang-ulang di benakku.Aku selalu menangis setiap kali mengingat kembali semua perlakuan kasarnya yang dulu-dulu. Tetapi terkadang juga rindu dengan kenangan indah meski itu hanya sebentar.
Aku berusaha menghindar. Namun pria yang mengenakan jas mewah yang kini berdiri di hadapanku, dalam keadaan basah kuyup ini mencoba menenangkan aku bahwa ia bukan pria yang berbahaya dengan memegangi kedua bahuku."Jangan takut, aku hanya ingin memberikan tas milik anda yang tertinggal di mobil saya," ucapnya, sembari mengulurkan tangan menyerahkan clutch bag berwarna merah maroon yang segera kuraih."Terimakasih," ucapku dengan kepala tertunduk tak berani menatapnya.Ia tidak membalas lagi. Hanya menatapku sesaat, kemudian pergi lagi.Suasana pernikahan kembali melintas di benakku. Mengingatkan aku tentang kesedihan yang baru saja ku alami.
Aku masih berteman benci, menatap sayu mata suamiku yang sedang duduk bersandar di dinding kamar sambil termangu. Aku memilih menjauh. Ketimbang duduk berjajar yang membuat dadaku terasa sesak. "Besok," ucapnya lirih memulai pembicaraan kami yang sebelumnya hening. Aku membelalakkan mata, keningku berkerut mencoba mencerna ucapannya. "Apa?" tanyaku, berpura-pura tidak memahami maksud ucapannya yang begitu singkat. "Pernikahanku dengan dia digelar," jawabnya dengan suara serak. Kini Teguh yang kukenal kejam seolah beruba
Lama kutatap tanpa kedip raut Pak Dimas yang masih menunggu jawabanku. Menit kemudian, kuingat ia bersitegang dengan suamiku di post satpam.Tidak menutup kemungkinan akan terjadi perang besar jika aku memaksa menerima tawaran supervisor di depanku ini."Pak Dimas, terimakasih banyak tawarannya. Mungkin lain waktu. Suami saya sudah menunggu di depan," jawabku kemudian, setelah mengingat Novi sebelumnya menyampaikan kabar itu sebelumnya.Dengan langkah lebar, aku bergegas melenggang pergi meninggalkan cubicle milikku.Tak butuh waktu lama. Aku sudah sampai di depan kantor tempat aku bekerja. Benar. Ku lihat suamiku mondar-mandir menunggu di depan mobilnya yang sengaja diparki
Pagi ini aku duduk termenung menatap jemariku sendiri yang bahkan tak tersemat cincin pernikahan. Bukan karena suamiku tidak memberikan. Namun, ia telah mengambilnya dariku sejak kedatangan ayah. Mungkin ini bentuk protesnya.Aku yang jengah dengan semua sikapnya, berusaha tenang agar keadaan keluargaku baik-baik saja. Mengingat, suamiku tipe pendendam. Ia tidak segan-segan mempermalukan keluarga ku, tetapi menjaga nama baik keluarganya sendiri.Untuk menghilangkan penat. Aku berselancar di media sosial Facebook milikku. Semoga kali ini ada teman yang memang benar memiliki niat baik. Dan tidak ada keterkaitan dengan suamiku lagi.Menit setelahnya, aku berubah pikiran. Kucoba berselancar diam-diam di semua akun media sosial milik suamiku.
"Pak, aku ingin bicara tentang hal penting," ucap Feri yang sejak hari itu diperintahkan oleh Teguh Wicaksono selalu memanggil Pak di mana pun ia berada. Itu artinya, kini tidak memandang teman atau kerabat. "Tunggu saja di ruang tamu, aku tidak mau Lily," balas Teguh, dingin kemudian meninggalkan koridor kamarnya. Feri mengikutinya dari belakang. Ia paham yang diinginkan oleh Teguh meski hanya lewat isyarat mata. Feri segera menarik kursi mempersilahkan Teguh untuk duduk.
Mas Teguh seketika menghentikan langkahnya menatap punggung yang sedikit melengkung telah berdiri di hadapannya.Senyumku mengembang sempurna setelah mengetahui itu ayah. Ia datang untukku. Tapi entah kenapa juga ada rasa takut di sisi hatiku yang lainnya.Suamiku menatapku bingung. Ia tidak tahu mengapa tiba-tiba ayahku datang berkunjung. Ini adalah pertemuan kami yang pertama dengan ayah setelah aku menikah."Siang, Pak," Mas Teguh menyapa ayah dengan raut wajah datar tanpa ekspresi.Ayah seketika membalikkan badannya dan mengalihkan pandangannya ke arah suamiku. Kilat matanya tajam melihatku dengan bekas memar di beberapa bagian tubuhku yang masih terjangkau mata."Kamu tahu kenapa aku kemari, Guh?" Suara ayah terdengar menggema menusuk pemilik indera yang mendengarnya. Dia bahkan mengabaikan keberadaan diriku sebagai puteri kesayangannya yang lama tak pulang.&nb
Mataku yang semula berembun dan mulai merebak. Air mataku mengalir begitu deras melewati pelupuk mata. Tega sekali ia berteriak seperti itu tepat dihadapan wanita lainnya. Jika memang sudah tidak cinta seharusnya dibicarakan berdua, bukan justru merendahkan istri di depan wanita lain. "Terimakasih, karena dengan begini aku jadi sadar siapa diriku. Dan kenapa kamu mau menikahiku. Maka ceraikan saja aku jika aku memang bukan yang kau inginkan,"ucapku, aku membalas ucapannya yang begitu menusuk. Tatapan mataku berubah sinis. Aku tidak menyalahkan wanita yang berkencan dengannya. Karena dia selalu begitu dengan wanita yang berbeda. Beberapa orang mulai berdatangan melihat situasi yang terjadi. Membuat suamiku dan juga wanitanya segera merapikan diri. Feri mencoba memapahku berdiri. Di hadapan banyak orang, kuberanian diri melangkah dan berjalan mendekat. Meski kakiku kini sedikit pi