Dengan kaki yang mulai gemetar. Aku memberanikan diri berdiri. Menahannya agar langkahku tidak goyah. Meski mataku mulai berembun, ku coba menahannya agar tidak sedikitpun lolos melewati pipiku.
Sejenak kutengadahkan wajahku. Lalu, dengan napas yang mulai sesak aku melangkah sembari menyeret koper milikku. Meninggalkan suamiku yang masih terlihat sibuk dengan benda pipih berbentuk persegi di depannya.
"Besok akan ada tamu di rumah kita," ujar Pak Teguh menghentikan langkahku.
Seketika aku menghentikan langkah. Entah kenapa ada nyeri di dadaku.
"Ya Pak," balasku singkat.
Aku memilih menghindar. Lagi pula
Semalaman aku gak bisa tidur. Tetapi saat menjelang subuh, tiba-tiba kantuk mulai mendera. Tanpa disadari aku tertidur sembari bersandar di lemari pakaian. Tentu saja dengan kondisi badan yang tidak karuan, akibat sisa pertengkaran semalam. Mungkin saja, jika keluargaku mengetahui bahwa kenyataan pahit yang aku terima, mereka pasti akan membawaku pulang dengan paksa. Hati kecilku ingin sekali rasanya pergi dari rumah yang seharusnya menjadi istana bagiku, tetapi nyatanya malah terasa terkungkung dalam sangkar. Nuraniku berontak. Pikiranku berkecamuk memikirkan segala sesuatu, bahkan kemungkinan terburuk sekalipun. *** Hangatnya sinar mentari pagi yang menyentuh kulit, ketika menerobos masuk melalui jendela kamar, ternyata mampu membuatku terbangun dari tidur lelapku. Aku bahkan tidak mampu menggeliat meski hanya untuk peregangan oto
Terdengar suara ketukan pintu yang begitu keras dari balik kamar. Meski gemetar, ku coba untuk bangkit dan memutar knop pintu. Benar dugaanku, Mas Teguh telah berdiri tegap di sana, lengkap dengan tatapan elangnya. "Kenapa tiba-tiba pergi?" tanya Mas Teguh dengan nada datar. Aku rasanya hampir menyerah. Jika kali ini ia melampiaskan rasa kesalnya, mungkin aku nekat untuk pergi. Kali ini ia seperti menahan amarah. Entah apa lagi yang sedang ia rencanakan. "Aku tidak ingin mengganggu. Aku hanya datang untuk mengatakan jika kita tidak memiliki bahan apapun di dapur untuk dimasak," tukas ku menjelaskan. Aku tidak mau terlihat rapuh. Mulai saat itu a
Kakiku terus berjalan menyusuri trotoar yang ramai dengan lalu lalang pengendara kendaraan dan juga para pejalan kaki. Meski dengan kaki setengah diseret, aku berusaha mengangkat tas besar yang berisi barang-barangku. Sesekali kupeluk sendiri perutku yang terasa perih karena dilanda kelaparan. Aku kembali meringis menahan sakit, hingga kemudian terdengar deru mesin mobil yang kian mendekat yang kemudian mengiringi langkahku dan berjalan sejajar. Mataku melotot ketika tahu itu mobil suamiku. Perlahan kaca mobil mulai ia turunkan, "Naik, jangan bikin aku malu!" Suara yang terdengar berat dengan nada meninggi itu milik suamiku. Aku terus melangkah seakan tidak peduli. Bukankah dia sudah mengucap aku ini bukan istrinya, baga
Senja mulai terlihat, sinarnya yang perlahan redup membias rinduku pada keluarga. Aku duduk memaku di depan cermin meja rias kamar. Kusentuh bibirku perih, warnanya pun masih membiru."Sakit? Maaf, ya," ucap suamiku yang tiba-tiba sudah berdiri di ambang pintu.Suaranya yang terdengar berat dan khas membuatku tersentak dan menoleh ke arahnya.Tak lama kemudian, ia melangkah mendekat, berdiri tepat di samping, sembari menyodorkan paper bag ke tanganku.Kubuka isinya perlahan, ternyata kebaya modern berwarna putih berbahan brokat, lengkap dengan rok panjang berbahan batik berwarna gelap dan juga dilengkapi kain penutup kepala yang membuatnya terlihat serasi.Hening.
Sepekat apapun malam, mentari pasti datang menyinari. Harapku suatu saat nanti, sama dengan hadirnya mentari. Bersinar dan menemukan bahagia. Meskipun bahagiaku telah ternoda oleh dusta dari suamiku. Diriku bukan yang pertama, itu faktanya.***Tidak ada yang bisa kulakukan kecuali pasrah dengan keadaan. Mentari pagi, menyeruak masuk lewat celah kaca jendela, menyapaku yang duduk termenung lengkap memasang wajah sendu.Penampilanku tak karuan. Di sampingku masih terbaring pria tampan dengan tubuh tegap kharismatik yang dulu menjadi atasanku. Pria yang digandrungi banyak wanita namun memilih menikahiku. Entah apa yang menjadi alasannya memilih ku.Pria berkulit sawo matang, berambut ikal, tubuhnya tinggi tegap, d
Bila tak setenang malam, atau sehangat mentari tetapi aku aku mencoba seindah senja. *** Aku berusaha semua berjalan semestinya. Agar siapapun di sekeliling suamiku tidak curiga tentang hubungan rumah tangga kami. Ibu mertuaku dan juga kakak ipar memutuskan untuk tetap tinggal. Mereka masih belum bisa mempercayai Mas Teguh, setelah apa yang menimpaku. Entah karena mereka benar-benar peduli dengan kondisi pernikahan kami, atau hanya sebatas mencemaskan Mas Teguh saja. Aku tak acuh. "Li … mau masak apa?" tanya ibu mertuaku, ia terlihat ramah menyapaku ketika menyiapkan sarapan pagi. Dari caranya bicara, mertuaku memang wanita ramah dan terlihat sabar. meski
Kutinggalkan suamiku yang masih berdiri mematung, lengkap dengan tatapan mengirisnya bak belati yang mengarah pada sahabat sejawatnya. Lirih kudengar suara keduanya mulai beradu mulut. Sebenarnya aku merasa tak enak hati. Tetapi jika aku memilih berada di tempat yang sama, itu namanya cari mati. Mas Teguh adalah pria kasar. Lebih baik menghindar dari pada terkena getahnya. Apabila amarah suamiku memuncak, bahkan seisi rumah akan membeku karenanya. Aku berjalan melenggang melewati ruang keluarga, suasana masih sama. Keluarga suamiku masih berkumpul di sana. Menatapku dengan tatapan penuh arti. Entah apa yang mereka pikirkan. "Lily, sini duduk," panggil ibu mertuaku.
Sejak saat itu. Aku memutuskan memberanikan diri melakukan aktivitas sesuai keinginanku. Meski Mas Teguh terkadang menentang, seringkali aku tetap melangkah melakukan inginku. Termasuk keputusanku untuk tetap bekerja.Suatu pagi, setelah kepulangan seluruh keluarga suamiku. Akhirnya aku mendapat panggilan interview dari perusahaan swasta. Setelah penantian lamaku, akhirnya waktu yang ku tunggu-tunggu datang juga.Aku merasa senang. Wajahku pun tak lagi muram. Hatiku bak disiram air es. Dingin, menyejukkan. Tentu aku bahagia, hanya dengan bekerja aku bisa memberi sedikit rejeki pada keluargaku, selain itu kesibukan akan membuatku sedikit melupakan permasalahan dengan suamiku.Mas Teguh masih belum mengetahui kab
Napasku semakin sesak dan memburu saat menemukan sosok pria berjas hitam sedang duduk menunggu di ruang tamu.Tubuhnya terlihat tegap dan proporsional dari belakang. Dari caranya bersikap. Pria itu seperti tak asing bagiku.Aku melangkah mendekatinya. Kemudian duduk berjajar di sebuah sofa panjang di ruang tamu, setelah menoleh dan kutatap wajahnya. Aku semakin terkejut dibuatnya."Arfi—"Mulutku tercekat. Tak mampu menyelesaikan kalimat terakhirku setelah memanggil namanya. Nama yang selama ini ingin ku kubur dalam-dalam. Nama yang pernah membuatku patah hati dan hingga kini lukanya belum kering.Setelah kuingat, wajah yang sama ternyata adalah pria
Setelah tragedi pernikahan kedua suamiku, aku memilih diam di rumah keluarga sambil menunggu proses perceraian yang ku ajukan."Aku minta cerai!" teriakanku di malam pertengkaran terakhir itu selalu terngiang di kepalaku.Suaranya terdengar mendengung ribuan kali. Entah mengapa aku sulit melupakan suamiku. Bahkan saat ini hanya menunggu putusan pengadilan.Setiap detik, setiap waktu, wajahnya, setiap keping kenangan yang kami lalui bersama seakan film yang selalu diputar berulang-ulang di benakku.Aku selalu menangis setiap kali mengingat kembali semua perlakuan kasarnya yang dulu-dulu. Tetapi terkadang juga rindu dengan kenangan indah meski itu hanya sebentar.
Aku berusaha menghindar. Namun pria yang mengenakan jas mewah yang kini berdiri di hadapanku, dalam keadaan basah kuyup ini mencoba menenangkan aku bahwa ia bukan pria yang berbahaya dengan memegangi kedua bahuku."Jangan takut, aku hanya ingin memberikan tas milik anda yang tertinggal di mobil saya," ucapnya, sembari mengulurkan tangan menyerahkan clutch bag berwarna merah maroon yang segera kuraih."Terimakasih," ucapku dengan kepala tertunduk tak berani menatapnya.Ia tidak membalas lagi. Hanya menatapku sesaat, kemudian pergi lagi.Suasana pernikahan kembali melintas di benakku. Mengingatkan aku tentang kesedihan yang baru saja ku alami.
Aku masih berteman benci, menatap sayu mata suamiku yang sedang duduk bersandar di dinding kamar sambil termangu. Aku memilih menjauh. Ketimbang duduk berjajar yang membuat dadaku terasa sesak. "Besok," ucapnya lirih memulai pembicaraan kami yang sebelumnya hening. Aku membelalakkan mata, keningku berkerut mencoba mencerna ucapannya. "Apa?" tanyaku, berpura-pura tidak memahami maksud ucapannya yang begitu singkat. "Pernikahanku dengan dia digelar," jawabnya dengan suara serak. Kini Teguh yang kukenal kejam seolah beruba
Lama kutatap tanpa kedip raut Pak Dimas yang masih menunggu jawabanku. Menit kemudian, kuingat ia bersitegang dengan suamiku di post satpam.Tidak menutup kemungkinan akan terjadi perang besar jika aku memaksa menerima tawaran supervisor di depanku ini."Pak Dimas, terimakasih banyak tawarannya. Mungkin lain waktu. Suami saya sudah menunggu di depan," jawabku kemudian, setelah mengingat Novi sebelumnya menyampaikan kabar itu sebelumnya.Dengan langkah lebar, aku bergegas melenggang pergi meninggalkan cubicle milikku.Tak butuh waktu lama. Aku sudah sampai di depan kantor tempat aku bekerja. Benar. Ku lihat suamiku mondar-mandir menunggu di depan mobilnya yang sengaja diparki
Pagi ini aku duduk termenung menatap jemariku sendiri yang bahkan tak tersemat cincin pernikahan. Bukan karena suamiku tidak memberikan. Namun, ia telah mengambilnya dariku sejak kedatangan ayah. Mungkin ini bentuk protesnya.Aku yang jengah dengan semua sikapnya, berusaha tenang agar keadaan keluargaku baik-baik saja. Mengingat, suamiku tipe pendendam. Ia tidak segan-segan mempermalukan keluarga ku, tetapi menjaga nama baik keluarganya sendiri.Untuk menghilangkan penat. Aku berselancar di media sosial Facebook milikku. Semoga kali ini ada teman yang memang benar memiliki niat baik. Dan tidak ada keterkaitan dengan suamiku lagi.Menit setelahnya, aku berubah pikiran. Kucoba berselancar diam-diam di semua akun media sosial milik suamiku.
"Pak, aku ingin bicara tentang hal penting," ucap Feri yang sejak hari itu diperintahkan oleh Teguh Wicaksono selalu memanggil Pak di mana pun ia berada. Itu artinya, kini tidak memandang teman atau kerabat. "Tunggu saja di ruang tamu, aku tidak mau Lily," balas Teguh, dingin kemudian meninggalkan koridor kamarnya. Feri mengikutinya dari belakang. Ia paham yang diinginkan oleh Teguh meski hanya lewat isyarat mata. Feri segera menarik kursi mempersilahkan Teguh untuk duduk.
Mas Teguh seketika menghentikan langkahnya menatap punggung yang sedikit melengkung telah berdiri di hadapannya.Senyumku mengembang sempurna setelah mengetahui itu ayah. Ia datang untukku. Tapi entah kenapa juga ada rasa takut di sisi hatiku yang lainnya.Suamiku menatapku bingung. Ia tidak tahu mengapa tiba-tiba ayahku datang berkunjung. Ini adalah pertemuan kami yang pertama dengan ayah setelah aku menikah."Siang, Pak," Mas Teguh menyapa ayah dengan raut wajah datar tanpa ekspresi.Ayah seketika membalikkan badannya dan mengalihkan pandangannya ke arah suamiku. Kilat matanya tajam melihatku dengan bekas memar di beberapa bagian tubuhku yang masih terjangkau mata."Kamu tahu kenapa aku kemari, Guh?" Suara ayah terdengar menggema menusuk pemilik indera yang mendengarnya. Dia bahkan mengabaikan keberadaan diriku sebagai puteri kesayangannya yang lama tak pulang.&nb
Mataku yang semula berembun dan mulai merebak. Air mataku mengalir begitu deras melewati pelupuk mata. Tega sekali ia berteriak seperti itu tepat dihadapan wanita lainnya. Jika memang sudah tidak cinta seharusnya dibicarakan berdua, bukan justru merendahkan istri di depan wanita lain. "Terimakasih, karena dengan begini aku jadi sadar siapa diriku. Dan kenapa kamu mau menikahiku. Maka ceraikan saja aku jika aku memang bukan yang kau inginkan,"ucapku, aku membalas ucapannya yang begitu menusuk. Tatapan mataku berubah sinis. Aku tidak menyalahkan wanita yang berkencan dengannya. Karena dia selalu begitu dengan wanita yang berbeda. Beberapa orang mulai berdatangan melihat situasi yang terjadi. Membuat suamiku dan juga wanitanya segera merapikan diri. Feri mencoba memapahku berdiri. Di hadapan banyak orang, kuberanian diri melangkah dan berjalan mendekat. Meski kakiku kini sedikit pi