Kedua orangtuaku saling bertatapan. Seolah tak percaya jika seorang pria bertubuh tegap, terlihat bergaya dan penuh wibawa datang melamarku seorang diri.
Sungguh berani. Biasanya pria melamar pujaan hatinya bersama keluarganya. Tetapi berbeda dengan pria bernama Teguh Wicaksono di depanku.
"Apakah Nak Teguh bercanda?" tanya ayahku kembali memastikan.
Jujur saja, ayah ragu dengan keseriusan Pak Teguh. Ayah berpikir jika pria di depanku hanya iseng semata.
Pak Teguh tersenyum simpul penuh arti. Menit kemudian ia tersambung dengan panggilan telepon yang sengaja ia lakukan di depanku dan keluarga.
"Halo, assalamualaikum ... sepertinya mereka setuju, ya Waalaikumsalam," ucap Pak Teguh pada seseorang di seberang telepon. Entah dengan siapa ia sedang berbicara. Tetapi yang jelas, ia terlihat begitu sopan pada lawan bicaranya.
Selanjutnya aku memilih diam, sembari membaca novel kesukaan di ponselku. Mengalihkan tatapanku. Tentu saja hanya hal itu yang bisa kulakukan untuk mengurangi rasa gugup yang kini menderaku.
Tak lama kemudian, Pak teguh mengakhiri panggilan teleponnya. Kemudian ia mendekat dan justru memilih duduk tepat di samoingku.
"Ummm ... Bu, Pak. Keluarga saya menyetujui pilihan saya. Sebagai tanda, saya hanya bisa menyempatkan cincin di jari manis Lily. Namun, untuk selanjutnya langsung lamar nikah saja."
Kedua orang tuaku tersenyum sumringah mendengar penuturan mantan manager ku. Ku lihat sesekali ayah meraba dadanya sendiri. Entah apa yang sedang ia rasakan. Nyeri di dada atau bahagia aku tidak pernah tahu.
Setelah menyampaikan maksud dan tujuannya Pak teguh berpamitan pulang.
***
Hari berganti hari, persiapan pernikahan yang sempat tertunda kembali dilanjutkan. Para tetangga dan keluargaku terlihat begitu sibuk.
Sementara aku, memilih mengasingkan diri di kamar setiap hari. Bukannya tidak peduli dengan pernikahanku sendiri. Aku masih tidak percaya nasib mengubah takdirku begitu saja dalam hitungan hari.
Hingga tiba saatnya hari yang dinanti tiba, aku bangun lebih awal dari biasanya. Segera membersihkan diri sebelum adzan subuh berkumandang. Setelah shalat, terdengar suara ketukan dari balik pintu kamarku yang membuat jantungku bergemuruh tak karuan.
Dengan kaki gemetar, aku melangkah mendekati pintu. Menarik knop pintu perlahan. Aku terkejut melihat rombongan perias pengantin yang datang bersiap sepagi ini.
"Sudah siap dirias?" sapa Budhe Tatik yang masih kerabat dekat keluargaku.
Beliau adalah perias pengantin tersohor di desa. Karena kebetulan saudara, jadi ia juga yang meriasku kala itu.
"Sudah budhe," sahutku dengan suara lirih.
Aku merasa malu, karena sebagian orang telah mengetahui jika pengantin pria telah terganti dengan yang lain.
Orang yang tidak mengetahui masalahku secara pasti, tentu menyalahkan aku dan keluarga. Tetapi ini lebih baik, dari pada tidak jadi menikah keluargaku akan lebih menanggung malu. Dengan kata lain, aku menikah demi menutupi kesedihan dan malu.
Aku duduk di depan cermin, sembari memejamkan mata saat sedang dirias. Ketika itu juga pikiranku berkecamuk tak karuan. Rasa takut seketika datang menderaku. Apakah aku trauma? Aku takut keluarga Pak Teguh tiba-tiba membatalkan rencana seperti yang dilakukan oleh Priyo.
Kutepis jauh pikiran buruk itu. Tak lama kemudian, ritual merias pengantin selesai. Tiba saatnya aku mengganti pakaian dengan kebaya modern berwarna putih berbahan satin air. Tempelan motif membuat kebaya menjadi terasa berat namun terkesan mewah.
Pak Teguh sendiri yang memilihnya untukku. Berbeda dengan sebelumnya, kebaya ini juga tidak direncanakan keberadaannya.
Rencana Allah memang luar biasa. Terkadang sesuatu yang tidak kita rencanakan justru lebih indah. Atau mungkin ini hanya di awal saja? Aku sejujurnya ragu. Namun aku memberanikan diri melalui proses pernikahan yang terjadi di luar rencanaku.
"Sudah, buka matamu nduk! Kamu cantik sekali Ly," ucap budhe Tatik memujiku.
Aku membuka kelopak mataku perlahan, hingga terbuka sempurna. Seolah tak percaya melihat diriku saat ini. Impian pernikahan yang sebelumnya kandas, yang aku pikir tidak akan memiliki pendamping. Namun, ternyata Tuhan menghadirkan sosok pengantin pengganti untukku.
"Terimakasih, Budhe," lirihku dengan suara bergetar.
Mataku tiba-tiba merebak lolos begitu saja, amat deras tak dapat kutahan melewati pipi mulusku. Entah rasa haru, atau justru sebaliknya.
Suara langkah berderap berjalan mendekat membuatku segera menghapus bulir bening yang mengalir dengan tissu yang berada di atas meja rias.
Aku tidak berani menoleh. Namun, ku tangkap bayangannya lewat pantulan cermin. Pak teguh nampak gagah dengan balutan jas putih, bertambah lengkap ketika budhe Tatik memasangkan rangkaian bunga melati di lehernya.
"Kamu sudah siap? Semua keluarga dan tamu sudah menunggu. Ini waktunya untuk ijab kabul," ucap Pak Teguh, jemari hangatnya bertengger di bahuku.
Ku lirik jemarinya. Namun aku tak bergeming. Bibirku seakan kaku dan membeku, terkatup rapat. Tak bisa menyerukan sepatah katapun kecuali amggukan kepala perlahan sebagai isyarat.
Kami berjalan beriringan menuju sebuah meja. Tempat kami melakukan upacara sakral perkawinan. Semua mata para tamu tertuju pada kami.
Sepanjang proses pernikahan aku hanya diam menundukkan kepala. Terdengar samar-samar suara tamu yang sedang membicarakan tentang pengantin priaku. Tiba-tiba dadaku terasa sesak.
Anehnya Pak Teguh nampak tegar menghadapi semua itu. Aku sangat berterima kasih atas kebaikannya yang sudi menikahi aku dalam keadaan mendadak seperti ini.
Suara riuh bersorak sorai dan juga ucapan selamat setelah Pak Teguh, yang kini resmi menjadi suamiku mendaratkan bibirnya di keningku.
Acara berlangsung meriah hingga malam hari. Aku bahkan mengganti busana pengantin hingga 4 kali. Namun yang paling mengesankan adalah saat mengenakan pas ageng. Itu memang busana pengantin impianku sejak kecil. Maklum aku orang jawa. Menurutku riasannya unik. Sehingga membuat siapapun yang memandang terpesona.
***
Waktu telah menunjukkan pukul 22.00 malam hari. Tamu sudah mulai sepi, tetapi detak jantungku justru semakin berdebar hebat.
Ketika itu, kami berada di kamar yang sama untuk pertama kalinya.
"Aku tahu dan sangat mengerti jika ini bukan pernikahan impian kamu. Namun, kita sudah sah menjadi sepasang suami istri. Akan aneh jika tidak tidur seranjang. Aku tidak memaksa, aku akan menunggu sampai kamu siap," ucap Pak Teguh.
Suaranya menggema memenuhi kamar, bahkan selalu berdengung di telingaku. Aku begitu memuja kebaikan dan ketulusan hatinya kala itu. Hatinya begitu baik ketika kami berada di rumah keluargaku.
Namun, keesokan harinya semuanya berubah seratus delapan puluh derajat. Ia yang kemudian membawaku pulang ke rumah yang lumayan megah mulai menunjukkan sikap aslinya yang membuatku bingung.
Perilakunya sedikit kasar. Ia bahkan memilih untuk tidur di kamar yang berbeda.
Saat itu, ketika kami baru saja sampai di rumah kami. Ia duduk sembari menyilangkan kakinya di sebuah sofa beludru.
"Kita tidur di kamar berbeda sampai kau siap, dan aku juga menginginkan kamu."
Jantungku seolah berhenti berdetak kala itu. Ucapannya seolah membuatku bak tersambar petir.
Saat itulah derita batinku dimulai. Namun, aku tetap menyimpannya dari seluruh keluarga bahkan siapapun.
Dengan kaki yang mulai gemetar. Aku memberanikan diri berdiri. Menahannya agar langkahku tidak goyah. Meski mataku mulai berembun, ku coba menahannya agar tidak sedikitpun lolos melewati pipiku.Sejenak kutengadahkan wajahku. Lalu, dengan napas yang mulai sesak aku melangkah sembari menyeret koper milikku. Meninggalkan suamiku yang masihterlihat sibuk dengan benda pipih berbentuk persegi di depannya."Besok akan ada tamu di rumah kita," ujar Pak Teguh menghentikan langkahku.Seketika aku menghentikan langkah. Entah kenapa ada nyeri di dadaku."Ya Pak," balasku singkat.Aku memilih menghindar. Lagi pula
Semalaman aku gak bisa tidur. Tetapi saat menjelang subuh, tiba-tiba kantuk mulai mendera. Tanpa disadari aku tertidur sembari bersandar di lemari pakaian. Tentu saja dengan kondisi badan yang tidak karuan, akibat sisa pertengkaran semalam. Mungkin saja, jika keluargaku mengetahui bahwa kenyataan pahit yang aku terima, mereka pasti akan membawaku pulang dengan paksa. Hati kecilku ingin sekali rasanya pergi dari rumah yang seharusnya menjadi istana bagiku, tetapi nyatanya malah terasa terkungkung dalam sangkar. Nuraniku berontak. Pikiranku berkecamuk memikirkan segala sesuatu, bahkan kemungkinan terburuk sekalipun. *** Hangatnya sinar mentari pagi yang menyentuh kulit, ketika menerobos masuk melalui jendela kamar, ternyata mampu membuatku terbangun dari tidur lelapku. Aku bahkan tidak mampu menggeliat meski hanya untuk peregangan oto
Terdengar suara ketukan pintu yang begitu keras dari balik kamar. Meski gemetar, ku coba untuk bangkit dan memutar knop pintu. Benar dugaanku, Mas Teguh telah berdiri tegap di sana, lengkap dengan tatapan elangnya. "Kenapa tiba-tiba pergi?" tanya Mas Teguh dengan nada datar. Aku rasanya hampir menyerah. Jika kali ini ia melampiaskan rasa kesalnya, mungkin aku nekat untuk pergi. Kali ini ia seperti menahan amarah. Entah apa lagi yang sedang ia rencanakan. "Aku tidak ingin mengganggu. Aku hanya datang untuk mengatakan jika kita tidak memiliki bahan apapun di dapur untuk dimasak," tukas ku menjelaskan. Aku tidak mau terlihat rapuh. Mulai saat itu a
Kakiku terus berjalan menyusuri trotoar yang ramai dengan lalu lalang pengendara kendaraan dan juga para pejalan kaki. Meski dengan kaki setengah diseret, aku berusaha mengangkat tas besar yang berisi barang-barangku. Sesekali kupeluk sendiri perutku yang terasa perih karena dilanda kelaparan. Aku kembali meringis menahan sakit, hingga kemudian terdengar deru mesin mobil yang kian mendekat yang kemudian mengiringi langkahku dan berjalan sejajar. Mataku melotot ketika tahu itu mobil suamiku. Perlahan kaca mobil mulai ia turunkan, "Naik, jangan bikin aku malu!" Suara yang terdengar berat dengan nada meninggi itu milik suamiku. Aku terus melangkah seakan tidak peduli. Bukankah dia sudah mengucap aku ini bukan istrinya, baga
Senja mulai terlihat, sinarnya yang perlahan redup membias rinduku pada keluarga. Aku duduk memaku di depan cermin meja rias kamar. Kusentuh bibirku perih, warnanya pun masih membiru."Sakit? Maaf, ya," ucap suamiku yang tiba-tiba sudah berdiri di ambang pintu.Suaranya yang terdengar berat dan khas membuatku tersentak dan menoleh ke arahnya.Tak lama kemudian, ia melangkah mendekat, berdiri tepat di samping, sembari menyodorkan paper bag ke tanganku.Kubuka isinya perlahan, ternyata kebaya modern berwarna putih berbahan brokat, lengkap dengan rok panjang berbahan batik berwarna gelap dan juga dilengkapi kain penutup kepala yang membuatnya terlihat serasi.Hening.
Sepekat apapun malam, mentari pasti datang menyinari. Harapku suatu saat nanti, sama dengan hadirnya mentari. Bersinar dan menemukan bahagia. Meskipun bahagiaku telah ternoda oleh dusta dari suamiku. Diriku bukan yang pertama, itu faktanya.***Tidak ada yang bisa kulakukan kecuali pasrah dengan keadaan. Mentari pagi, menyeruak masuk lewat celah kaca jendela, menyapaku yang duduk termenung lengkap memasang wajah sendu.Penampilanku tak karuan. Di sampingku masih terbaring pria tampan dengan tubuh tegap kharismatik yang dulu menjadi atasanku. Pria yang digandrungi banyak wanita namun memilih menikahiku. Entah apa yang menjadi alasannya memilih ku.Pria berkulit sawo matang, berambut ikal, tubuhnya tinggi tegap, d
Bila tak setenang malam, atau sehangat mentari tetapi aku aku mencoba seindah senja. *** Aku berusaha semua berjalan semestinya. Agar siapapun di sekeliling suamiku tidak curiga tentang hubungan rumah tangga kami. Ibu mertuaku dan juga kakak ipar memutuskan untuk tetap tinggal. Mereka masih belum bisa mempercayai Mas Teguh, setelah apa yang menimpaku. Entah karena mereka benar-benar peduli dengan kondisi pernikahan kami, atau hanya sebatas mencemaskan Mas Teguh saja. Aku tak acuh. "Li … mau masak apa?" tanya ibu mertuaku, ia terlihat ramah menyapaku ketika menyiapkan sarapan pagi. Dari caranya bicara, mertuaku memang wanita ramah dan terlihat sabar. meski
Kutinggalkan suamiku yang masih berdiri mematung, lengkap dengan tatapan mengirisnya bak belati yang mengarah pada sahabat sejawatnya. Lirih kudengar suara keduanya mulai beradu mulut. Sebenarnya aku merasa tak enak hati. Tetapi jika aku memilih berada di tempat yang sama, itu namanya cari mati. Mas Teguh adalah pria kasar. Lebih baik menghindar dari pada terkena getahnya. Apabila amarah suamiku memuncak, bahkan seisi rumah akan membeku karenanya. Aku berjalan melenggang melewati ruang keluarga, suasana masih sama. Keluarga suamiku masih berkumpul di sana. Menatapku dengan tatapan penuh arti. Entah apa yang mereka pikirkan. "Lily, sini duduk," panggil ibu mertuaku.