Share

Batal Menikah

Aku mempercepat makan siang, kemudian bergegas kembali ke meja kerjaku. Belajar dengan serius job descriptionku. Tentu aku tidak ingin melakukan kesalahan. Aku paham benar jika wanita yang tidak menyukaiku pasti akan mencari-cari kesalahan nantinya.

Dengan antusias, aku mempelajari semua yang diajarkan oleh Kak Ivy yang merupakan seniorku dibidang itu.

Tidak butuh waktu lama, dalam sehari aku sudah mahir melakukan seluruh pekerjaanku. Bahkan aku menyelesaikan seluruhnya sebelum jam pulang usai.

***

Pukul 04.00 WIB

Sore hari.

Waktu mulai berdenting. Jam dinding antik berukuran besar, yang sengaja di pasang di lobi gedung nyatanya mampu membuat telingaku berdengung.

Kulirik sekilas jam dinding berukuran kecil yang terpasang di sudut ruanganku.

Oh ... sudah jam pulang, batinku seraya berkacak pinggang sembari meregangkan otot-ototku yang sedari tadi kaku, akibat seharian ini amat tegang.

"Hay ... Li, mau aku antar pulang?" sapa Pak Teguh, mencoba memberikan aku tawaran tumpangan.

Entah kenapa aku refleks menggeleng cepat. Untuk yang kesekian kalinya aku melihat sendiri wajahnya nampak begitu kecewa.

"Maaf ya Pak, tidak bermaksud menolak. Tetapi saya sudah terlanjur ada janji sama teman," ujarku, yang saat itu merasa tak enak hati.

"Oh ya, gak apa-apa. Tapi lain kali mau ya," ucapnya merayuku.

Aku pun membalas dengan anggukan kepala mengiyakan. Setelahnya aku melangkah pergi.

Bruk ...!

Tumpukan lembaran berkas yang sengaja aku bawa pulang untuk aku pelajari ulang terjatuh, karena tertabrak oleh tubuh tinggi seorang wanita.

Ku pungut lembaran demi lembaran dibantu oleh Pak Teguh yang kebetulan berada di tempat kejadian. Tidak begitu ku perhatikan. Tetapi mengejutkan ketika aku perlahan mengangkat kepala, nampak wajah perempuan yang seharian ini mencoba mengganggu ku.

Aku mengesah, menarik napas dalam kemudian mencoba menyapa sopan.

"Maaf, Mbak. Gak sengaja," ujarku, sembari mengulurkan tangan.

"Ya. Namaku Hesti, aku bagian keuangan," balasnya dengan suara tegas.

"Oh ... namaku Lilyana Atmaja. Panggil saja Lily, mari semua ... saya permisi," ucapku, kemudian pandanganku berpindah pada Pak Teguh yang juga masih mematung menatapku.

***

Derita yang sebenarnya dalam hidupku belum dimulai. Setelah bekerja beberapa waktu, akhirnya pekerjaan bisa kujalani tanpa masalah. Setiap hari, Pak Teguh menunjukkan perhatiannya untukku meski tidak pernah aku tanggapi sekalipun.

 Sedangkan wanita bernama Hesti sudah tidak pernah lagi mengganggu, justru kita semakin akrab meski dia terkenal galak.

Namun, masalah datang ketika Priyo mulai meminangku. Awalnya, keluargaku sangat setuju dengan hubungan kami. Semua berjalan lancar sesuai rencana.

Sampai akhirnya, keluargaku lelah menunggu. Orang tua mana yang diam ketika anak gadisnya digantung dalam hubungan pertunangan tanpa kepastian. Tujuh tahun kami bertunangan, selama itu pula tidak sepotong kata pun terucap baik itu dari Priyo atau bahkan keluarganya untuk menunjukkan itikad baik menuju ke jenjang pernikahan.

Hingga pada akhirnya, keluargaku sampai di sebuah titik jenuh. Ayahku yang geram nekad menemui Priyo untuk membicarakan hubungan kami secara pribadi. Entah apa yang mereka rundingan, hingga mampu membuat Priyo dan juga keluarganya luluh dan menentukan tanggal pernikahan.

Priyo adalah laki-laki pencembu, yang setiap waktu tidak pernah sedikitpun lupa meski sekedar sapa untuk menghubungiku. Tidak ada yang aneh. Namun, mendekati hari pernikahan ia mulai jarang datang menemuiku.

Aku masih tenang. Karena sedang tidak enak badan, malam hari aku mencoba berselancar mencoba mencari akun F******k milik tunanganku.

Dia yang notabenenya seorang manager perkebunan jati, sangat tidak mungkin jika tidak memiliki akun di media sosial manapun. Berbekal rasa penasaran, jemariku mulai menari mengetik namanya.

Kutuliskan nama 'Priyo', tidak ketemu. Aku mencoba nama terakhirnya, yang aku gabungkan dengan nama ayahnya. 

Klik ...!

Di beranda muncul foto lengkap dengan profil pribadinya. Jantungku terpacu cepat. Sungguh tidak percaya, aku melebarkan mata mencoba melihat sekali lagi. Ya. Benar. Pria di beranda itu memang benar tunanganku.

Bulir bening seketika merebak membasahi pipiku ketika netraku menangkap sebuah gambar yang membuatku histeris. Terlihat Priyo sedang berswa photo prewedding di tempat terbuka dengan mesra dengan wanita lain yang usianya terlihat lebih muda dariku.

Rasanya, itu adalah jawaban yang meluluh lantakkan jiwaku malam itu. Aku hancur. Benar-benar hancur. Semua rencanaku, musnah seketika.

Kulirik setumpuk sisa undangan yang belum dibagikan, bersebelahan dengan kebaya yang baru saja selesai di jahit di meja rias kamarku hatiku semakin menjerit malam itu.

Dengan langkah goyah, aku mencoba melangkah menuju kamar kedua orang tuaku yang sedang terlelap. Kubuka pintu kamar perlahan, derai air mataku semakin deras. Rasanya tidak tega mengatakan jika aku ingin mengakhiri semuanya.

"Ada apa Li?" Ibu tiba-tiba terduduk mengagetkan aku yang bersandar di pintu dengan lelehan bening yang masih mengalir deras membasahi pipiku.

Aku semakin terisak sesenggukan. Tubuhku ambruk, meringkuk bersujut di telapak kaki ibuku yang menggantung di ranjang. Kutumpahkan air mataku malam itu. Perlahan jemari itu terasa membelai rambutku yang terurai.

"Kamu kenapa?" tanya ibu, sekali lagi. Karena aku masih tak kuasa mengeluarkan sepatah katapun.

Aku menghela napas sejenak, mencoba mengangkat wajah meski mataku masih berembun, kemudian menjadi lelehan bening yang tak dapat ku tahan. Ku tatap wajah cantik yang mulai menua dan mulai memiliki beberapa kerutan di bagian wajahnya.

"P-Priyo ... selingkuh Bu," ucapku, dengan suara terbata.

Mendengar isakan tangisku, akhirnya ayah ikut terbangun. Keduanya mendengar kisahku dengan sabar. Tidak tampak rasa duka dari raut wajah keduanya. Entah tidak tega menunjukkan kesedihan di depanku, atau bagaimana aku tidak tahu.

"Li, jangan sedih. Alhamdulillah jika kamu tahu sekarang, dari pada kamu mengetahui semuanya setelah menikah," ujar ibu mencoba menenangkan aku.

Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala pelan, sembari sesekali mengusap bulir bening di wajahku dengan tissue yang entah berapa banyak habisnya.

Ibu mengatakan bahwa ayah akan menyelesaikan semuanya, agar aku tidak cemas. Namun, yang membuatku terluka adalah undangan sebagian besar sudah tersebar, beberapa tetangga sudah mulai berdatangan membantu persiapan pernikahan, bahkan yang menyakiti hatiku begitu dalam aku terlanjur resign dari pekerjaan yang amat aku sayangi. Pekerjaan pertama yang bahkan sampai detik ini tidak pernah lupakan.

Setelah lelah menangis. Aku memutuskan untuk tidur, kupeluk kebaya pengantin modern berbahan satin air, yang seharusnya indah ketika aku mengenakannya. Tapi justru keberadaannya sebagai pengingat luka. 

Aku terlelap dengan luka menjelang subuh. Ketika adzan subuh berkumandang, kelopak mataku kembali terbuka sempurna. Perlahan aku menoleh ke arah pintu. Aku terkejut. Kedua orang tuaku masih berdiri di pintu kamar sambil menangisiku.

Sejak hari itu, cintaku menjadi luka, dan lukaku menjadi dendam. Kuraih benda pipih di samping tempat tidurku. Kirimkan sebuah pesan W******p pada Priyo.

[Aku menunggumu datang pagi ini juga bersama kedua orang tuamu, ada hal penting yang harus kedua belah pihak bicarakan]

Begitulah isi pesan singkat yang aku kirim untuknya terakhir kali. Kemudian, kulemparkan ponselku sembarang tempat. Lalu aku beranjak membersihkan diri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status