Brak!
Suara pintu yang dibuka paksa, menimbulkan suara yang memekakkan telinga.Dina yang sedang menyuapi anaknya untuk sarapan, reflek menoleh ke arah datangnya suara untuk melihat siapa yang datang dan membuka pintu dengan kasar.
Dapat dilihatnya Dewi, wanita yang setahun ini menjadi tetangga samping rumahnya, berdiri di ambang pintu dengan menatap tajam dan tangan berkacak pinggang. "Mau kamu apa, sih?!" tanya perempuan berkacamata bulat itu dengan mata melotot marah dan bibir bergetar."Tiap saya mau keluar malah kamu keluarin jemuran. Kamu pikir, enak apa ketetesan air jemuran?!" sambungnya dengan suara menggelegar.
Deg!
Jantung Dina seketika berdetak lebih kencang.
Jujur, dia tak menyangka kalau pakaian yang dijemur di depan bagian rumah itu ternyata sampai mengganggu tetangganya.
Mereka memang tinggal di rumah kontrakan berderet.
Ada lima rumah dalam satu pagar dengan dua buah pintu pagar untuk keluar masuk.
Dewi menempati rumah paling ujung di sebelah timur, sedangkan Dina di sebelah kanannya.
Di tengah ada Bu Yati, sebelahnya lagi ada Nia. Paling barat ada Iwan dan Roni, si penjual bubur ayam.
Kebetulan, pintu gerbang kontrakan ada di depan kamar Dina, sedangkan yang satu lagi di depan pintu rumah Nia.Jadi, mau tak mau Dewi memang harus memilih untuk melewati halaman Dina setiap keluar masuk pagar.
Tapi seharusnya jemuran Dina tidak mengganggu, sebab terletak di langit-langit plafon teras, bukan di halaman yang tak seberapa lebar.
"Astaghfirullah … Mbak Dewi. Mau saya ya rukun sama tetangga," jawab Dina sambil mengusap lengan anaknya, "Lagian saya kan nggak tau jadwal Mbak mau keluar rumah jam berapa."
"BOHONG!!" teriak Dewi semakin melebarkan kedua matanya. Sorot itu semakin berkilat penuh benci. Tidak peduli pada bocah berumur tujuh bulan yang terhenti kegiatan makan pagi sebab terganggu dengan kedatangannya. "Kamu pasti sengaja kan, biar kalo saya lewat kena air jemuran kamu?" sambung Dewi lagi.
Dina tidak menjawab, melainkan kembali menyuapi anaknya. Ia ingin mengusir tamu yang tak diundang itu, tapi tidak punya keberanian. Suara bentakan telah menciutkan nyali perempuan itu, hingga badannya bergetar hebat. "Saya kan sudah pernah bilang, jangan jemur baju di jalanan. Susah amat sih, dibilangin?!" bentak Dewi lagi.Sementara Dina yang mendapat bentakan demi bentakan mengucap istighfar berkali-kali.
Benar memang, beberapa Minggu sebelumnya Dewi pernah mengingatkan dirinya untuk tidak menjemur pakaian di depan rumah. Namun, kondisi yang ada, membuat Dina tidak punya pilihan. Dan secara kebetulan juga, tetangganya itu justru baru keluar setiap kali ia baru selesai dengan pekerjaan menjemur pakaian.Dina sendiri tak tahu mengapa ini terjadi.
"Jadi saya harus jemur baju dimana, Mbak?" tanya Dina pada akhirnya.Suaranya melemah, merasa putus asa dengan dirinya sendiri. Tatapannya menyorot ke luar jendela, di mana di sana sedang berbaris rapi pakaian yang sedang menari-nari sebab tertiup angin.
"Di kamar mandi kan bisa!" sahut Dewi dengan tatapan mengintimidasi. "Saya juga pernah nempatin rumah di tengah begini, tapi nggak pernah saya netesin tetangga sama jemuran. Selalu saya keringkan dulu di mesin cuci, sudah setengah kering baru saya keluarin. Masa kamu nggak mau beli mesin cuci?!" Dina memejamkan mata demi mendengar curahan hati tetangganya.Semua aktifitas yang berhubungan dengan air di rumahnya, dilakukan di dalam kamar mandi.
Jika jemuran juga ditaruh di sana, bisa dipastikan tak ada lagi ruang gerak. Karena sekali nyuci pasti satu hanger bulat itu penuh dengan baju bayi yang baru berumur tujuh bulan. Belum lagi pakaian Dina dan suami. Jangan lupakan selimut dan sprei yang sering kena pipis, karena Dina tidak memakaikan popok sekali pakai pada bayinya.
Dan soal mesin cuci, tentu saja Dina mau membeli jika punya rejeki lebih. Dina juga tak ingin kepontal dengan jemuran yang seakan tak ada habisnya. Yang dijemur belum kering, sedangkan keranjang baju kotor sudah penuh lagi. Ibu-ibu yang punya bayi pasti mengerti kondisi ini. "Terus kamu bilang anakku berisik, anak kamu nangis terus dari orok kamu pikir nggak berisik apa?!" Dewi berkata dengan kekuatan penuh dan dada naik turun. Kali ini Dina terkejut dengan ucapan Dewi. Ingatannya kembali pada kejadian seminggu yang lalu ketika ia meminta tolong pada Dewi supaya menegur anaknya yang bernama Sultan. Anak lelaki satu-satunya yang berumur delapan tahun. Saat itu sudah jam sembilan malam. Sultan masih sibuk berlarian kesana-sini dengan menendang bola, gedebag gedebug di depan kamar Dina. Dina yang sedang menidurkan bayinya pun merasa terganggu. Dengan keberanian yang dipaksakan, ia keluar kamar dan menemukan Dewi sedang mengawasi anaknya yang bermain bola sendirian. Tidak ia sangka kalau Dewi tersinggung, bahkan menyebut anaknya berisik. Tidak mau memperpanjang urusan, Dina segera bangkit dan mengulurkan tangan pada sang tamu yang menatapnya penuh dendam. "Ya sudah saya minta maaf ya, Mbak, kalau saya punya salah sama Mbak," ucap Dina, menatap tangannya yang tak kunjung disambut. Dewi hanya melirik, membiarkan tangan yang terulur di depannya menggantung di udara. "Saya gak butuh maaf kamu, dan saya nggak percaya ucapan kamu!" "Ya sudahlah kalau nggak percaya, terserah Mbak aja," jawab Dina, menarik kembali tangannya.Ia baru berniat untuk kembali duduk dan melanjutkan menyuapi anaknya ketika melihat Bu RT muncul di depan pagar yang terbuka lebar, lalu menghampiri mereka.
"Assalamu'alaikum ... . Ada apa ini, kok ribut-ribut?"Alis wanita itu bertaut, seolah meminta jawaban secepatnya.
"I--itu....""Ada sedikit masalah, Bu karena jemuran," jawab Dina. "Maaf ya Bu, saya masuk dulu, anak saya belum selesai makan tadi." Untungnya, Bu RT mengangguk mengiyakan, lalu Dina masuk dan kembali menyuapi anaknya makan. Sementara Dewi terdengar berbicara dengan Bu RT. "Saya tu kesel Bu, sama dia. Masa tiap hari asal saya mau keluar dia malah ngeluarin jemuran. Kan airnya netes kena saya, Bu," ucap Dewi. Wajahnya masih ditekuk. Diliriknya Dina dengan lirikan tajam penuh kebencian. "Jadi begitu. Maaf ya, Bu Dewi, bukan saya mau ikut campur. Kalau ada masalah kan bisa kita bicarakan baik-baik. Terus ini kan rumahnya begini, nggak ada tempat lagi buat jemur. Kan kasihan, lho." Bu RT coba menengahi. Dewi justru mencebik tak suka. "Saya sampai nggak pernah nyapa atau ngajak main anaknya karena kesel sama mamanya. Padahal saya nggak gitu, saya itu seneng kalau ada anak kecil. Suka saya ajak main." Dewi berkata sebelum bu RT menghabiskan kalimatnya. "Begini saja, saya panggil Bu Rini kesini ya,
Wajah wanita paruh baya itu tertekuk, tidak habis paham dengan salah satu warganya yang kini sedang duduk berdampingan dengan pemilik kontrakan. "Ck! Saya setuju saja, Bu," jawab Dewi akhirnya. "Baiklah, kalau Bu Dewi setuju, nanti saya carikan tukang ya, Bu untuk memasang pintu dan membuat sekat disitu," ucap Bu Rini menanggapi jawaban Dewi. "Alhamdulillah sekarang sudah selesai masalahnya. Saya harap setelah ini kalian rukun lagi seperti sebelumnya," sambung Bu Rini lagi. "Baiklah, karena sudah ada titik temu, saya mau pamit ya, Bu," pamit Bu RT. "Terima kasih ya, Bu Rini sudah mau datang dan memberi solusi. Saya pamit ya, Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam," jawab Dewi dan Bu Rini bersamaan. Bu RT kemudian beranjak keluar meninggalkan rumah Dewi. Disusul Bu Rini yang ikut pamit pulang kemudian. Sementara itu, Dina di kamar masih menyusui bayinya. Dia masih terngiang-ngiang perkataan Dewi yang mengatakan anaknya berisik karena nangis dari orok. Disebutkan kata orok membuat
Tak terasa, siang menjelang sore.Lapangan yang ada di depan kontrakan Bu Rini pun mulai rame. Ada banyak anak yang bermain bola, ada juga yang bermain layangan. Di ujung jalan dekat lapangan ada pos ronda. Ibu-ibu yang memiliki anak kecil, juga para asisten yang momong bocah, sering memanfaatkan tempat tersebut untuk duduk-duduk sambil menemani para bocil bermain. Dina yang sore itu baru pulang dari warung, 'dicegat' oleh beberapa ibu yang sedang ngerumpi sambil momong di pos ronda. "Itu tadi kenapa?" tanya Bu Yana, setelah Dina berhenti. Dina mengerti arah pertanyaan Bu Yana, secara rumahnya di seberang jalan rumah Dewi. Bisa dipastikan kalau Bu Yana mendengar keributan pagi tadi, karena sehari-hari Bu Yana juga seperti Dina, jaga gawang rumah. "Kena air jemuran, Budhe," jawab Dina apa adanya. "Hmmm... Untung dia nggak sama saya, kalo sama saya, saya sirram dia," kata bu Yana, nampaknya ikut emosi. "Udah tau rumahnya gitu, mau jemur dimana?" tambah Bu Yana lagi, den
"Mas lihat dari tadi sepertinya kok, murung? Kenapa? Apa tadi Putri rewel?" Deny kembali bertanya, sebab sang istri tak kunjung merespon pertanyaannya. Dina yang sedang menidurkan Putri, anak mereka, menoleh. Dia lihat wajah lelah suaminya yang baru pulang kerja. 'Cerita nggak, ya?' Dina bertanya dalam hati. 'Nanti sajalah kalau waktunya tepat aku baru cerita.' "Nggak ada apa-apa kok, Mas." Dina menjawab sambil berusaha melepaskan diri dari putrinya yang sudah selesai menyusu namun masih menempel. "Putri juga nggak rewel, Mas." Lalu dikecup pipi anak semata wayang mereka. Dipandangi sekali lagi wajah tenang putrinya. Ada rasa bersalah sebab insiden pagi tadi yang harus disaksikan oleh anak sekecil itu. "Mas pasti capek baru pulang kerja. Mau mandi dulu apa makan dulu? Tadi sudah kusiapkan sayur asem kesukaanmu, dengan banyak kacang tanah seperti biasa." Dina lalu bangkit dari atas kasur, lalu mengajak sang suami keluar kamar dimana anak mereka tidur. "Yakin nih, nggak a
Sayangnya, itu semua tak dapat diselesaikan dengan mudah. Jam tiga pagi, Dina kembali terbangun karena mendengar suara anaknya menangis. Segera diperiksanya celana sang anak yang ternyata basah karena pipis.Dina segera mengganti dengan pakaian bersih setelah membersihkan badan anaknya terlebih dahulu dengan air hangat. Setelah semua dirasa beres, termasuk selimut dan alas tidur yang kena pipis masuk ke keranjang baju kotor, Dina memberikan ASI pada sang buah hati. Bocah kecil itupun kembali terlelap setelah kenyang dan puas menyusu. Dina yang menyusui sambil rebahan ikut tertidur lagi, kemudian terbangun oleh suara adzan subuh. Ia lihat putrinya yang masih tertidur lelap. Ia pun segera bangkit untuk membersihkan diri, lalu melaksanakan ibadah sholat Subuh bersama suami. Kala Dina melihat anaknya masih terlelap, ia pun memutuskan untuk ke dapur merebus air untuk membuat kopi. Kebetulan, di dapur masih ada beberapa ubi jalar yang dibeli beberapa hari yang lalu. Ia pun berg
"Dulu nih, ya, yang tinggal di sini sebelum Tante, dia kan punya anak kecil juga tuh, tengah malam dah dia nyuci biar nggak kena dia," Bu Yati menambahkan. Dina lalu teringat kalau Dewi pun pernah bercerita padanya, bahwa yang menempati rumah ini dulu kalau nyuci tengah malam. Awalnya ia pikir karena repot kalau siang, jadi mengerjakan pekerjaan rumah saat malam. Rupanya itu ada hubungannya dengan Dewi. "Sama saya juga kan nggak pernah ngomong dia. Soalnya waktu itu pernah, pas ayahnya Keysha lagi makan ... di situ tuh, depan rumah. Anak dia main bola, kena dah itu ... piring ayah Keysha sampe pecah." Bu Yati berkata sambil menunjuk halaman rumahnya. Sementara itu, Dina masih menyimak semua yang disampaikan oleh tetangganya. Keysha itu anak lelaki Bu Yati yang umurnya sekitar lima tahun. "Oh, ya, terus gimana tuh, Budhe?" tanya Dina penasaran. "Ya berantem. Ngamuk ayahnya Keysha, tapi mamanya yang maju nggak terima anaknya dimarahi. Dari itu kita nggak pernah negur," ja
Keduanya masih melanjutkan obrolan, sampai kemudian Nia pamit pulang sebab malam telah semakin tinggi.Ketika sampai, ia melihat Bu Yati yang masih terjaga dan duduk santai di teras, membuat Nia menceritakan perbincangan dengan Bu Rini pada tetangganya. Kini Dina dan Bu Yati sibuk dengan pikiran masing-masing. Bu Yati yang menyesal sebab kemarin tidak ada di rumah, hingga tidak bisa melindungi Dina. Wanita berumur tiga puluh tiga tahun itu yakin, Dewi sengaja melabrak Dina saat dia tidak di rumah. Seperti hari itu saat Dewi melempar segala macam benda di teras rumah Dina, ia juga sedang bepergian, hingga tidak tahu menahu, kecuali mendengar cerita dari sana sini.Sementara itu, Dina sibuk bertanya dalam hati, di mana pintu pagar yang baru akan dibuat, dan bagaimana caranya Dewi keluar masuk halaman dengan sepeda motornya, sementara rumah itu berada di ujung jalan. "Baguslah Bude, kalau disekat, tapi gimana dia ngeluarin motor, orang
Hari menjelang siang ketika Dina mendengar suara motor Dewi di luar. Seperti biasa, suara itu terhenti di depan kamarnya. Namun, kali ini durasinya lebih lama.Dina yang baru saja membereskan peralatan makan pun memilih untuk tidak mempedulikan. Tiba-tiba terdengar suara berisik entah apa, membuat Dina bergegas memeriksa keluar begitu suara motor Dewi terdengar menjauh.'Suara apa, ya?' Dina bertanya dalam hati. 'Nggak ada siapa-siapa di luar, jadi tadi itu suara apa?' Dina masih bertanya-tanya sambil melihat sekeliling. Sepi.Kemudian dia bergerak maju ke halaman. Wanita itu begitu terkejut saat menoleh ke sebelah kanan, melihat sesuatu teronggok tepat di bawah jendela kamarnya. Dihampiri benda itu, benda yang ia hafal dan kenal betul. Lalu ia melihat ke atas untuk memastikan.“Astagfirullah ... . Tega banget, sih.” Dina berbisik lirih.Dina masuk ke dalam rumah, ia ambil ponsel lalu ia foto. Hal yang sama ia lakukan dulu
“Dapat arisan kan, kamu? Kebetulan, sudah saatnya kirim ke ibu.”Hati Lila meradang mendengar ucapan suaminya. Terlebih lagi, melihat ekspresi pria di depannya yang tidak merasa bersalah sedikitpun. “Itu tabungan aku, Yah!?” seru Lila tak terima.Setelah sekian lama ia menyusul suami ke ibukota, lalu berusaha menyisihkan sedikit tabungan, kini dengan mudahnya lelaki itu merampas apa yang ia punya. Ya, meski semua dari pemberian sang suami. Namun, sebagai istri, dia juga punya hak bukan?“Tabungan kamu kan dari aku juga,” sahut Gema yang langsung menyimpan lembaran-lembaran merah itu ke dalam saku celananya.“Dah lah, sana urusin Ari. Ayah mau tidur biar bisa bangun cepat lalu masak bubur,” pungkas Gema lalu berlalu ke kamar. Lila ingin mendebat, tapi seakan tidak bertenaga. Dalam diam, wanita itu mencari cara supaya bisa mengambil kembali haknya..Tengah malam, Lila terbangun dengan kepala yang pusing luar biasa.
Beberapa saat sebelumnya …Lila memasuki halaman kontrakan dengan berdendang ringan. Wanita itu baru saja pulang dari arisan di komplek sebelah.Aroma masakan langsung menyapa indera penciuman begitu ia membuka pintu. Pemandangan pertama yang terlihat adalah Ari yang sedang duduk manis di depan kotak nasi yang terbuka dan menampilkan isinya.Beberapa bungkus makanan ringan berserakan di sekitar bocah berumur tiga tahun itu. Melihat siapa yang datang, Ari langsung melebarkan senyum dan menyapa, “Bunda!”Lila tersenyum malas, dan lebih tertarik dengan nasi kotak yang terlihat lezat.“Ayah mana, Nak?” tanya Lila setelah mendaratkan bibir di pipi gembul anak sulungnya.“Ayah masak di dapur!”Gema menyahut sebelum Ari menjawab pertanyaan sang Bunda.“Jam segini baru pulang. Pasti ngerumpi lagi!” gerutu Gema yang segera beranjak dari dapur menuju ruang tamu.“Nggak ingat anak. Main pergi nggak pulang-pulang.”Gema masih meluapkan kekesalannya pada sang istri yang pergi sejak sore hingga mal
"Gimana Dek, setuju nggak kalau kita pindah ke sana?"Deny sungguh ingin tahu pendapat sang istri, meski sudah terbaca dari raut wajahnya saat berada di sana sore tadi."Setuju sih, Mas. Tapi ... ," jawaban Dina menggantung, seakan ada hal yang berat untuk disampaikan. Biar bagaimana pun, ia sudah jatuh hati dengan rumah yang mereka kunjungi, terlebih dengan halaman di belakang rumah. Ia tak perlu ke luar rumah untuk menjemur cucian, bukan? Juga akan merasa aman menemani anaknya bermain di halaman depan karena sudah memiliki pagar."Tapi kenapa, Dek?" kali ini Deny memandang lekat penuh tanya pada sang istri."Apa nggak mahal sewanya, Mas?” cicit Dina membuat salah satu sudut bibir suaminya tertarik ke atas.“Sudah kuduga,” batin Deny.Dina menghembuskan napas panjang, lalu berkata, “Rumahnya bagus, lho. Halaman ada dua, sudah dipagar lagi," terucap juga pertanyaan yang mengganjal hati wanita itu. Se
Di tempat kerja, Deny disambut dengan ungkapan belasungkawa dari teman-teman kerja. Pria yang masih berduka itu menerima sumbangan kematian dari rekan kerja yang dimasukkan di dalam amplop berwarna putih. Sudah menjadi hal wajar di tempat ia bekerja. Namun, belum ada niat untuk membuka dan melihat isinya. Ia pun menyimpan amplop itu di dalam tas. "Ayo Den, kita ke luar, yuk," ajak Sapto saat jam makan siang."Mau ke mana?""Makan di depan yuk. Aku yang traktir, deh," jawab Sapto dengan senyum tulus."Ya udah, ayok."Mereka berjalan beriringan. Ada empat orang lagi yang ikut serta. Mereka semua teman satu divisi, berusaha menghibur Deny yang masih dalam suasana berkabung dengan bermacam cara.."Dek, ini tadi Mas dapat uang kematian dari teman-teman," ucap Deni saat buah hati mereka sudah terlelap, sambil menyerahkan amplop tebal."Ini buat Ibu kan, Mas? Dikirim aja uangnya," saran Dina begitu sa
Wajah Dina menjadi seputih kapas begitu meninggalkan dapur."Kenapa, Bu?" Deni saat melihat perubahan istrinya."I-itu, Pak. Ada ekor di dalam kompor," ucap Dina dengan nada panik mode on.Deni tersenyum menanggapi. Tanpa berkata lagi, ia beranjak untuk membuka pintu depan. "Tutup dulu pintu kamarnya, Bu."Dina menurut meski tak mengerti dengan maksud sang suami.Deni kembali ke dapur untuk melepaskan sambungan regulator, kemudian mengangkat kompor dua tungku tersebut ke luar rumah.Deni berhenti di luar pagar, lantas membalik kompor itu, dan benar saja, si pemilik ekor yang ditemukan oleh istrinya melompat ke luar."Pergi yang jauh, jangan kembali lagi, ya," ucap Deni sambil dadah dadah.Deni kembali ke dalam rumah, mengambil lap untuk membersihkan kompor."Sudah ketemu, Pak?" ia disambut dengan pertanyaan dari istrinya yang baru ke luar dari kamar mandi."Sudah, Bu. Sudah pergi malah.""Alhamdulillah ... ."Dina menghembuskan napas lega, sambil menepuk dada."Senang sekali dengar
Pukul empat sore, ibu-ibu sudah memenuhi halaman rumah Bu Sari. Sudah menjadi kebiasaan di sana, jika ada warga meninggal, warga lain bergantian membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an. Sore hari setelah Ashar untuk ibu-ibu, sedang untuk bapak-bapak setelah sholat Maghrib. Bu Sari serta Dina ikut bergabung dengan para ibu. Sesekali Bu Sari masih meneteskan air mata. Dina tetap setia di samping Bu Sari mencoba menguatkan.Sedikit hiburan untuk Bu Sari dengan adanya Putri. Sesekali diajak bercanda untuk melupakan kesedihan karena ditinggal belahan jiwa. Tak jarang pula kenangan demi kenangan berkelebat dalam ingatan, membuat butiran mutiara berdesakan hendak ke luar dari indera penglihatan.***Tak terasa sudah tiga hari Dina dan Deny menemani Bu Sari di rumah setelah kepergian sang suami. Bu Sari sedikit terhibur dengan adanya Putri, cucu satu-satunya yang bertingkah lucu. Tak jarang Bu Sari menggendong dan menemani bermain saat Dina harus beristirahat. Kondisinya yang sedang berbadan dua d
"Bu, Bapak baik-baik saja, kan?" Deny bertanya sekali lagi. Sementara Bu Sari masih terisak. Perasaan Deny mulai tak nyaman."Bapakmu baik. Bapak sudah tenang, Nak. Kalian pulang, ya," ucap Bu Sari di antara isak tangisnya.“Maksud ibu tenang bagaimana?” kejar Deny, mengabaikan isakan sang ibu.“Bapakmu meninggal, Nak. Jam satu dini hari tadi. Pulanglah kalau masih ingin melihat bapakmu untuk terakhir kalinya,” jelas Bu Sari, membuat tangis Deny meledak.“Bu … Bapak meninggal, Bu …,” raung Deny yang reflek memeluk istrinya.Dina sendiri terdiam untuk beberapa saat melihat reaksi suaminya. “Innaa lillaahi wa Innaa ilaihi raaji'uun,” gumamnya nyaris tak terdengar.“Mas, istighfar, Mas …,” ucap Dina kemudian, sambil menepuk-nepuk punggung suaminya. “Yang ikhlas, ya, biar lapang jalan Bapak,” lanjut Dina, yang sedikit menenangkan pria yang masih terisak dalam pelukannya.Teringat pada sang ibu yang masih terhubung melalui sambungan telepon, lelaki itu pun berkata, “Baik, Bu. Aku akan car
Sore harinya ….Dina tertegun melihat genangan air di depan kontrakan. Tingginya menyentuh bagian bawah pintu pagar. Hujan baru berhenti beberapa menit yang lalu. Wanita bergamis hijau toska itu berharap air tidak naik lagi, seperti beberapa waktu lalu, yang justru jadi penyebab banjir karena air kiriman.Sempat tertidur setelah menidurkan putri kecilnya, Dina terbangun saat mendengar suara hujan yang turun bagai dicurahkan dari langit. Atap rumah tempat ia tinggal bukan dari genteng yang terbuat dari tanah, sehingga saat hujan turun meski gerimis kecil, ia bisa mengetahui dari dalam rumah.Istri dari Deny itu melihat anak-anak bermain air banjir. Ada yang membawa ban mobil yang besar untuk mereka naiki bergantian. Ada juga yang membawa kursi rusak untuk dinaiki rame-rame."Aku woy … woy … gantian!"Byurr ….Seorang anak menceburkan diri ke genangan air di ujung lapangan."Ganti aku!"Seorang anak lainnya hendak menaiki kursi rusak yang sudah diduduki oleh temannya. Namun, sudah asy
Dina melihat Putri telah bangun dengan badan yang basah. Pemandangan yang biasa ia temui, sebab tidak menggunakan popok bayi pada anaknya.Jika ada Deny, lelaki itu akan sigap memegang anaknya dalam kondisi seperti sekarang. Dina menghela napas teringat suaminya yang ringan tangan membantunya mengurus anak.Toilet training sudah diajarkan sedini mungkin. Namun, sejauh ini belum membuahkan hasil. Menghela napas sejenak, mengulas senyum tipis, lantas bergegas mengangkat bocah kecilnya untuk dibersihkan di kamar mandi.Pakaian yang bersih telah menempel di badan Putri. Dina mengoleskan minyak telon ke beberapa bagian badan anaknya yang terbuka, lantas kembali mengASIhi putri kecilnya yang kini sudah wangi. "Kalau masih ngantuk boleh bobok lagi ya, Nak. Tapi ini sudah pagi, mau main juga boleh," ucap Dina sambil mengASIhi Putri. Satu tangannya yang bebas, mengusap-usap kepala bocah kecil itu dengan penuh rasa sayang."Mmm ... mmm