Brak!
Suara pintu yang dibuka paksa, menimbulkan suara yang memekakkan telinga.Dina yang sedang menyuapi anaknya untuk sarapan, reflek menoleh ke arah datangnya suara untuk melihat siapa yang datang dan membuka pintu dengan kasar.
Dapat dilihatnya Dewi, wanita yang setahun ini menjadi tetangga samping rumahnya, berdiri di ambang pintu dengan menatap tajam dan tangan berkacak pinggang. "Mau kamu apa, sih?!" tanya perempuan berkacamata bulat itu dengan mata melotot marah dan bibir bergetar."Tiap saya mau keluar malah kamu keluarin jemuran. Kamu pikir, enak apa ketetesan air jemuran?!" sambungnya dengan suara menggelegar.
Deg!
Jantung Dina seketika berdetak lebih kencang.
Jujur, dia tak menyangka kalau pakaian yang dijemur di depan bagian rumah itu ternyata sampai mengganggu tetangganya.
Mereka memang tinggal di rumah kontrakan berderet.
Ada lima rumah dalam satu pagar dengan dua buah pintu pagar untuk keluar masuk.
Dewi menempati rumah paling ujung di sebelah timur, sedangkan Dina di sebelah kanannya.
Di tengah ada Bu Yati, sebelahnya lagi ada Nia. Paling barat ada Iwan dan Roni, si penjual bubur ayam.
Kebetulan, pintu gerbang kontrakan ada di depan kamar Dina, sedangkan yang satu lagi di depan pintu rumah Nia.Jadi, mau tak mau Dewi memang harus memilih untuk melewati halaman Dina setiap keluar masuk pagar.
Tapi seharusnya jemuran Dina tidak mengganggu, sebab terletak di langit-langit plafon teras, bukan di halaman yang tak seberapa lebar.
"Astaghfirullah … Mbak Dewi. Mau saya ya rukun sama tetangga," jawab Dina sambil mengusap lengan anaknya, "Lagian saya kan nggak tau jadwal Mbak mau keluar rumah jam berapa."
"BOHONG!!" teriak Dewi semakin melebarkan kedua matanya. Sorot itu semakin berkilat penuh benci. Tidak peduli pada bocah berumur tujuh bulan yang terhenti kegiatan makan pagi sebab terganggu dengan kedatangannya. "Kamu pasti sengaja kan, biar kalo saya lewat kena air jemuran kamu?" sambung Dewi lagi.
Dina tidak menjawab, melainkan kembali menyuapi anaknya. Ia ingin mengusir tamu yang tak diundang itu, tapi tidak punya keberanian. Suara bentakan telah menciutkan nyali perempuan itu, hingga badannya bergetar hebat. "Saya kan sudah pernah bilang, jangan jemur baju di jalanan. Susah amat sih, dibilangin?!" bentak Dewi lagi.Sementara Dina yang mendapat bentakan demi bentakan mengucap istighfar berkali-kali.
Benar memang, beberapa Minggu sebelumnya Dewi pernah mengingatkan dirinya untuk tidak menjemur pakaian di depan rumah. Namun, kondisi yang ada, membuat Dina tidak punya pilihan. Dan secara kebetulan juga, tetangganya itu justru baru keluar setiap kali ia baru selesai dengan pekerjaan menjemur pakaian.Dina sendiri tak tahu mengapa ini terjadi.
"Jadi saya harus jemur baju dimana, Mbak?" tanya Dina pada akhirnya.Suaranya melemah, merasa putus asa dengan dirinya sendiri. Tatapannya menyorot ke luar jendela, di mana di sana sedang berbaris rapi pakaian yang sedang menari-nari sebab tertiup angin.
"Di kamar mandi kan bisa!" sahut Dewi dengan tatapan mengintimidasi. "Saya juga pernah nempatin rumah di tengah begini, tapi nggak pernah saya netesin tetangga sama jemuran. Selalu saya keringkan dulu di mesin cuci, sudah setengah kering baru saya keluarin. Masa kamu nggak mau beli mesin cuci?!" Dina memejamkan mata demi mendengar curahan hati tetangganya.Semua aktifitas yang berhubungan dengan air di rumahnya, dilakukan di dalam kamar mandi.
Jika jemuran juga ditaruh di sana, bisa dipastikan tak ada lagi ruang gerak. Karena sekali nyuci pasti satu hanger bulat itu penuh dengan baju bayi yang baru berumur tujuh bulan. Belum lagi pakaian Dina dan suami. Jangan lupakan selimut dan sprei yang sering kena pipis, karena Dina tidak memakaikan popok sekali pakai pada bayinya.
Dan soal mesin cuci, tentu saja Dina mau membeli jika punya rejeki lebih. Dina juga tak ingin kepontal dengan jemuran yang seakan tak ada habisnya. Yang dijemur belum kering, sedangkan keranjang baju kotor sudah penuh lagi. Ibu-ibu yang punya bayi pasti mengerti kondisi ini. "Terus kamu bilang anakku berisik, anak kamu nangis terus dari orok kamu pikir nggak berisik apa?!" Dewi berkata dengan kekuatan penuh dan dada naik turun. Kali ini Dina terkejut dengan ucapan Dewi. Ingatannya kembali pada kejadian seminggu yang lalu ketika ia meminta tolong pada Dewi supaya menegur anaknya yang bernama Sultan. Anak lelaki satu-satunya yang berumur delapan tahun. Saat itu sudah jam sembilan malam. Sultan masih sibuk berlarian kesana-sini dengan menendang bola, gedebag gedebug di depan kamar Dina. Dina yang sedang menidurkan bayinya pun merasa terganggu. Dengan keberanian yang dipaksakan, ia keluar kamar dan menemukan Dewi sedang mengawasi anaknya yang bermain bola sendirian. Tidak ia sangka kalau Dewi tersinggung, bahkan menyebut anaknya berisik. Tidak mau memperpanjang urusan, Dina segera bangkit dan mengulurkan tangan pada sang tamu yang menatapnya penuh dendam. "Ya sudah saya minta maaf ya, Mbak, kalau saya punya salah sama Mbak," ucap Dina, menatap tangannya yang tak kunjung disambut. Dewi hanya melirik, membiarkan tangan yang terulur di depannya menggantung di udara. "Saya gak butuh maaf kamu, dan saya nggak percaya ucapan kamu!" "Ya sudahlah kalau nggak percaya, terserah Mbak aja," jawab Dina, menarik kembali tangannya.Ia baru berniat untuk kembali duduk dan melanjutkan menyuapi anaknya ketika melihat Bu RT muncul di depan pagar yang terbuka lebar, lalu menghampiri mereka.
"Assalamu'alaikum ... . Ada apa ini, kok ribut-ribut?"Alis wanita itu bertaut, seolah meminta jawaban secepatnya.
"I--itu....""Ada sedikit masalah, Bu karena jemuran," jawab Dina. "Maaf ya Bu, saya masuk dulu, anak saya belum selesai makan tadi." Untungnya, Bu RT mengangguk mengiyakan, lalu Dina masuk dan kembali menyuapi anaknya makan. Sementara Dewi terdengar berbicara dengan Bu RT. "Saya tu kesel Bu, sama dia. Masa tiap hari asal saya mau keluar dia malah ngeluarin jemuran. Kan airnya netes kena saya, Bu," ucap Dewi. Wajahnya masih ditekuk. Diliriknya Dina dengan lirikan tajam penuh kebencian. "Jadi begitu. Maaf ya, Bu Dewi, bukan saya mau ikut campur. Kalau ada masalah kan bisa kita bicarakan baik-baik. Terus ini kan rumahnya begini, nggak ada tempat lagi buat jemur. Kan kasihan, lho." Bu RT coba menengahi. Dewi justru mencebik tak suka. "Saya sampai nggak pernah nyapa atau ngajak main anaknya karena kesel sama mamanya. Padahal saya nggak gitu, saya itu seneng kalau ada anak kecil. Suka saya ajak main." Dewi berkata sebelum bu RT menghabiskan kalimatnya. "Begini saja, saya panggil Bu Rini kesini ya,
Wajah wanita paruh baya itu tertekuk, tidak habis paham dengan salah satu warganya yang kini sedang duduk berdampingan dengan pemilik kontrakan. "Ck! Saya setuju saja, Bu," jawab Dewi akhirnya. "Baiklah, kalau Bu Dewi setuju, nanti saya carikan tukang ya, Bu untuk memasang pintu dan membuat sekat disitu," ucap Bu Rini menanggapi jawaban Dewi. "Alhamdulillah sekarang sudah selesai masalahnya. Saya harap setelah ini kalian rukun lagi seperti sebelumnya," sambung Bu Rini lagi. "Baiklah, karena sudah ada titik temu, saya mau pamit ya, Bu," pamit Bu RT. "Terima kasih ya, Bu Rini sudah mau datang dan memberi solusi. Saya pamit ya, Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam," jawab Dewi dan Bu Rini bersamaan. Bu RT kemudian beranjak keluar meninggalkan rumah Dewi. Disusul Bu Rini yang ikut pamit pulang kemudian. Sementara itu, Dina di kamar masih menyusui bayinya. Dia masih terngiang-ngiang perkataan Dewi yang mengatakan anaknya berisik karena nangis dari orok. Disebutkan kata orok membuat
Tak terasa, siang menjelang sore.Lapangan yang ada di depan kontrakan Bu Rini pun mulai rame. Ada banyak anak yang bermain bola, ada juga yang bermain layangan. Di ujung jalan dekat lapangan ada pos ronda. Ibu-ibu yang memiliki anak kecil, juga para asisten yang momong bocah, sering memanfaatkan tempat tersebut untuk duduk-duduk sambil menemani para bocil bermain. Dina yang sore itu baru pulang dari warung, 'dicegat' oleh beberapa ibu yang sedang ngerumpi sambil momong di pos ronda. "Itu tadi kenapa?" tanya Bu Yana, setelah Dina berhenti. Dina mengerti arah pertanyaan Bu Yana, secara rumahnya di seberang jalan rumah Dewi. Bisa dipastikan kalau Bu Yana mendengar keributan pagi tadi, karena sehari-hari Bu Yana juga seperti Dina, jaga gawang rumah. "Kena air jemuran, Budhe," jawab Dina apa adanya. "Hmmm... Untung dia nggak sama saya, kalo sama saya, saya sirram dia," kata bu Yana, nampaknya ikut emosi. "Udah tau rumahnya gitu, mau jemur dimana?" tambah Bu Yana lagi, den
"Mas lihat dari tadi sepertinya kok, murung? Kenapa? Apa tadi Putri rewel?" Deny kembali bertanya, sebab sang istri tak kunjung merespon pertanyaannya. Dina yang sedang menidurkan Putri, anak mereka, menoleh. Dia lihat wajah lelah suaminya yang baru pulang kerja. 'Cerita nggak, ya?' Dina bertanya dalam hati. 'Nanti sajalah kalau waktunya tepat aku baru cerita.' "Nggak ada apa-apa kok, Mas." Dina menjawab sambil berusaha melepaskan diri dari putrinya yang sudah selesai menyusu namun masih menempel. "Putri juga nggak rewel, Mas." Lalu dikecup pipi anak semata wayang mereka. Dipandangi sekali lagi wajah tenang putrinya. Ada rasa bersalah sebab insiden pagi tadi yang harus disaksikan oleh anak sekecil itu. "Mas pasti capek baru pulang kerja. Mau mandi dulu apa makan dulu? Tadi sudah kusiapkan sayur asem kesukaanmu, dengan banyak kacang tanah seperti biasa." Dina lalu bangkit dari atas kasur, lalu mengajak sang suami keluar kamar dimana anak mereka tidur. "Yakin nih, nggak a
Sayangnya, itu semua tak dapat diselesaikan dengan mudah. Jam tiga pagi, Dina kembali terbangun karena mendengar suara anaknya menangis. Segera diperiksanya celana sang anak yang ternyata basah karena pipis.Dina segera mengganti dengan pakaian bersih setelah membersihkan badan anaknya terlebih dahulu dengan air hangat. Setelah semua dirasa beres, termasuk selimut dan alas tidur yang kena pipis masuk ke keranjang baju kotor, Dina memberikan ASI pada sang buah hati. Bocah kecil itupun kembali terlelap setelah kenyang dan puas menyusu. Dina yang menyusui sambil rebahan ikut tertidur lagi, kemudian terbangun oleh suara adzan subuh. Ia lihat putrinya yang masih tertidur lelap. Ia pun segera bangkit untuk membersihkan diri, lalu melaksanakan ibadah sholat Subuh bersama suami. Kala Dina melihat anaknya masih terlelap, ia pun memutuskan untuk ke dapur merebus air untuk membuat kopi. Kebetulan, di dapur masih ada beberapa ubi jalar yang dibeli beberapa hari yang lalu. Ia pun berg
"Dulu nih, ya, yang tinggal di sini sebelum Tante, dia kan punya anak kecil juga tuh, tengah malam dah dia nyuci biar nggak kena dia," Bu Yati menambahkan. Dina lalu teringat kalau Dewi pun pernah bercerita padanya, bahwa yang menempati rumah ini dulu kalau nyuci tengah malam. Awalnya ia pikir karena repot kalau siang, jadi mengerjakan pekerjaan rumah saat malam. Rupanya itu ada hubungannya dengan Dewi. "Sama saya juga kan nggak pernah ngomong dia. Soalnya waktu itu pernah, pas ayahnya Keysha lagi makan ... di situ tuh, depan rumah. Anak dia main bola, kena dah itu ... piring ayah Keysha sampe pecah." Bu Yati berkata sambil menunjuk halaman rumahnya. Sementara itu, Dina masih menyimak semua yang disampaikan oleh tetangganya. Keysha itu anak lelaki Bu Yati yang umurnya sekitar lima tahun. "Oh, ya, terus gimana tuh, Budhe?" tanya Dina penasaran. "Ya berantem. Ngamuk ayahnya Keysha, tapi mamanya yang maju nggak terima anaknya dimarahi. Dari itu kita nggak pernah negur," ja
Keduanya masih melanjutkan obrolan, sampai kemudian Nia pamit pulang sebab malam telah semakin tinggi.Ketika sampai, ia melihat Bu Yati yang masih terjaga dan duduk santai di teras, membuat Nia menceritakan perbincangan dengan Bu Rini pada tetangganya. Kini Dina dan Bu Yati sibuk dengan pikiran masing-masing. Bu Yati yang menyesal sebab kemarin tidak ada di rumah, hingga tidak bisa melindungi Dina. Wanita berumur tiga puluh tiga tahun itu yakin, Dewi sengaja melabrak Dina saat dia tidak di rumah. Seperti hari itu saat Dewi melempar segala macam benda di teras rumah Dina, ia juga sedang bepergian, hingga tidak tahu menahu, kecuali mendengar cerita dari sana sini.Sementara itu, Dina sibuk bertanya dalam hati, di mana pintu pagar yang baru akan dibuat, dan bagaimana caranya Dewi keluar masuk halaman dengan sepeda motornya, sementara rumah itu berada di ujung jalan. "Baguslah Bude, kalau disekat, tapi gimana dia ngeluarin motor, orang
Hari menjelang siang ketika Dina mendengar suara motor Dewi di luar. Seperti biasa, suara itu terhenti di depan kamarnya. Namun, kali ini durasinya lebih lama.Dina yang baru saja membereskan peralatan makan pun memilih untuk tidak mempedulikan. Tiba-tiba terdengar suara berisik entah apa, membuat Dina bergegas memeriksa keluar begitu suara motor Dewi terdengar menjauh.'Suara apa, ya?' Dina bertanya dalam hati. 'Nggak ada siapa-siapa di luar, jadi tadi itu suara apa?' Dina masih bertanya-tanya sambil melihat sekeliling. Sepi.Kemudian dia bergerak maju ke halaman. Wanita itu begitu terkejut saat menoleh ke sebelah kanan, melihat sesuatu teronggok tepat di bawah jendela kamarnya. Dihampiri benda itu, benda yang ia hafal dan kenal betul. Lalu ia melihat ke atas untuk memastikan.“Astagfirullah ... . Tega banget, sih.” Dina berbisik lirih.Dina masuk ke dalam rumah, ia ambil ponsel lalu ia foto. Hal yang sama ia lakukan dulu