Sayangnya, itu semua tak dapat diselesaikan dengan mudah.
Jam tiga pagi, Dina kembali terbangun karena mendengar suara anaknya menangis. Segera diperiksanya celana sang anak yang ternyata basah karena pipis.Dina segera mengganti dengan pakaian bersih setelah membersihkan badan anaknya terlebih dahulu dengan air hangat. Setelah semua dirasa beres, termasuk selimut dan alas tidur yang kena pipis masuk ke keranjang baju kotor, Dina memberikan ASI pada sang buah hati. Bocah kecil itupun kembali terlelap setelah kenyang dan puas menyusu.
Dina yang menyusui sambil rebahan ikut tertidur lagi, kemudian terbangun oleh suara adzan subuh. Ia lihat putrinya yang masih tertidur lelap. Ia pun segera bangkit untuk membersihkan diri, lalu melaksanakan ibadah sholat Subuh bersama suami. Kala Dina melihat anaknya masih terlelap, ia pun memutuskan untuk ke dapur merebus air untuk membuat kopi. Kebetulan, di dapur masih ada beberapa ubi jalar yang dibeli beberapa hari yang lalu. Ia pun bergegas mengambil pisau lantas mengupas ubi, dipotong-potong, kemudian dikukus setelah dicuci bersih. Inilah menu andalan Dina, karena sang suami lebih menyukai ubi daripada nasi. Dina tak terlalu pusing dengan menu sarapan untuk sang suami. Asal ada kopi dan ubi, maka paginya akan aman. Awalnya Dina memang terkejut dengan kebiasaan suaminya, sebab makan ubi bagi Dina hanya selingan, bukan menjadi makanan pokok. Namun, lama-kelamaan Dina menjadi terbiasa makan ubi sebagai menu utama. Seringkali, jika sampai matahari beranjak tinggi dan ia belum sempat masak, sedangkan ibu menyusui butuh banyak asupan, maka ngemil ubi tak masalah bagi Dina. Ia juga tak segan mengenalkan ubi pada Putri sebagai menu MPASI. "Lihat, Sayang, ibu lagi buat kopi, nih," ucap Deny seraya membawa putri mereka ke dapur. Dini sedikit terkejut dengan kedatangan mereka ketika dirinya tengah sibuk di dapur. Hal ini juga yang disyukuri oleh Dina, sang suami tak segan membantu mengurus Putri jika sedang di rumah. Dina yang baru saja menuang air panas pun menoleh, lalu tersenyum melihat putri kecilnya sudah bangun. "Hai, Sayang. Anak ibu sudah bangun, ya," sapanya, lantas bergegas mencuci tangan, kemudian mengulurkan tangan karena tangan Putri sudah menggapai-gapai seakan minta digendong sang ibu. "Kasih ASI dulu deh, Bu, kayaknya lapar dia," ucap Deny, lalu memberi kecupan kecil di pipi putri kecilnya. "Oke, Pak, ini tolong nanti dilihat udah mateng apa belum ya, Pak," Dina menitipkan ubi yang ia kukus pada suaminya, lalu mengASIhi Putri dengan kasih sayang. *** Jam setengah delapan pagi, suami Dina sudah berangkat kerja. Di rumah tinggal berdua Dina bersama Putri. Cuaca sedang cerah, jadi diajaklah Putri berjemur di lapangan. Sedang asyik berjemur, Dina mencium bau yang ia kenal. Diperiksa celana bocah kecilnya. Dan benar saja, Putri buang air besar di celana. Gegas dibawa pulang untuk dibersihkan. "Sekalian mandi ya, Sayang," ucap Dina setelah selesai membersihkan bagian belakang Putri. Bocah kecil itu malah terkekeh seakan senang mendengar kata mandi. Sembari menggendong, Dina ambil ember khusus untuk mandi putrinya. Lalu diisi dengan air keran. Putri sudah terbiasa mandi air keran sejak umur tiga bulan. Kini putri cantiknya sudah bersih dan wangi, Dina kembali mengASIhi karena setelah mandi, biasanya lapar lalu tidur. Benar saja, baru seperempat jam, mata bocah kecil itu sudah terpejam. Dina memakaikan selimut setelah meletakkan putrinya di atas kasur. Sekarang Dina bergelut dengan cucian. Ia rendam semua dengan air. Tak lupa sebelumnya dipisahkan baju anaknya yang terkena ompol. Menunggu rendaman baju kotor, Dina mengisi perut dan minum kopi sisa suaminya pagi tadi. Tak menunggu waktu lama, mumpung bocah kecilnya tidur nyenyak, ia bereskan cucian. Lalu ia memasang beberapa tali di kamar mandi untuk menjemur sementara cuciannya. 'Hmm ... , jadi kerja dua kali,' Dina berkata dalam hati setelah menjemur sebagian cuciannya, karena tak muat jika ia jemur semua di dalam kamar mandi. Ia pasang telinga baik-baik, menunggu Dewi keluar rumah supaya bisa mengeluarkan semua jemurannya di luar. 'Mudahan nggak keburu Putri bangun,' Dina membatin lagi. Tak berapa lama kemudian, terdengar suara mesin motor dinyalakan, kemudian berhenti. Tak lama kemudian hidup lagi, dan perlahan bergerak mendekati pintu gerbang di depan kamar Dina. Setelah itu keluar dan perlahan bergerak menjauh dari rumah kontrakan. Sementara itu, Dina mengintip dari jendela, lega sekali melihat Dewi sudah keluar, jadi ia bisa mengeluarkan semua cuciannya, tentu saja supaya cepat kering. Baru saja Dina meluruskan kaki sambil menonton acara televisi, setelah selesai dengan cucian segambreng, datanglah Bu Yati. Bu Yati ini tetangga samping kanan rumah Dina, rumah nomer tiga dari ujung. Saat itu, pintu rumah Dina dalam keadaan terbuka. "Tante," panggil Bu Yati yang sudah ada di depan pintu. Dina sedikit terlonjak kaget karena kemunculan Bu Yati yang tiba-tiba. "Dalem Budhe," semenjak punya anak, Dina lebih sering memanggil Budhe daripada Mbak. Usianya memang beda empat tahun lebih tua dari Dina. "Kemarin si itu habis ngamuk, ya?" Bu Yati berkata sambil mukanya mengisyaratkan rumah sebelah. "Teteh yang ngasih tau," lanjutnya lagi ketika melihat wajah Dina yang terlihat bertanya. Teteh yang dimaksud adalah Nia. "Ya gitulah, Budhe," Dina menjawab setelah Bu Yati duduk di depan pintu, penuh rasa penasaran."Emang ya, itu orang nggak ada capeknya. Semua yang di sini kayak dimusuhin tau sama dia, Tante," Bu Yati langsung bercerita dengan berapi-api .
."Dulu nih, ya, yang tinggal di sini sebelum Tante, dia kan punya anak kecil juga tuh, tengah malam dah dia nyuci biar nggak kena dia," Bu Yati menambahkan. Dina lalu teringat kalau Dewi pun pernah bercerita padanya, bahwa yang menempati rumah ini dulu kalau nyuci tengah malam. Awalnya ia pikir karena repot kalau siang, jadi mengerjakan pekerjaan rumah saat malam. Rupanya itu ada hubungannya dengan Dewi. "Sama saya juga kan nggak pernah ngomong dia. Soalnya waktu itu pernah, pas ayahnya Keysha lagi makan ... di situ tuh, depan rumah. Anak dia main bola, kena dah itu ... piring ayah Keysha sampe pecah." Bu Yati berkata sambil menunjuk halaman rumahnya. Sementara itu, Dina masih menyimak semua yang disampaikan oleh tetangganya. Keysha itu anak lelaki Bu Yati yang umurnya sekitar lima tahun. "Oh, ya, terus gimana tuh, Budhe?" tanya Dina penasaran. "Ya berantem. Ngamuk ayahnya Keysha, tapi mamanya yang maju nggak terima anaknya dimarahi. Dari itu kita nggak pernah negur," ja
Keduanya masih melanjutkan obrolan, sampai kemudian Nia pamit pulang sebab malam telah semakin tinggi.Ketika sampai, ia melihat Bu Yati yang masih terjaga dan duduk santai di teras, membuat Nia menceritakan perbincangan dengan Bu Rini pada tetangganya. Kini Dina dan Bu Yati sibuk dengan pikiran masing-masing. Bu Yati yang menyesal sebab kemarin tidak ada di rumah, hingga tidak bisa melindungi Dina. Wanita berumur tiga puluh tiga tahun itu yakin, Dewi sengaja melabrak Dina saat dia tidak di rumah. Seperti hari itu saat Dewi melempar segala macam benda di teras rumah Dina, ia juga sedang bepergian, hingga tidak tahu menahu, kecuali mendengar cerita dari sana sini.Sementara itu, Dina sibuk bertanya dalam hati, di mana pintu pagar yang baru akan dibuat, dan bagaimana caranya Dewi keluar masuk halaman dengan sepeda motornya, sementara rumah itu berada di ujung jalan. "Baguslah Bude, kalau disekat, tapi gimana dia ngeluarin motor, orang
Hari menjelang siang ketika Dina mendengar suara motor Dewi di luar. Seperti biasa, suara itu terhenti di depan kamarnya. Namun, kali ini durasinya lebih lama.Dina yang baru saja membereskan peralatan makan pun memilih untuk tidak mempedulikan. Tiba-tiba terdengar suara berisik entah apa, membuat Dina bergegas memeriksa keluar begitu suara motor Dewi terdengar menjauh.'Suara apa, ya?' Dina bertanya dalam hati. 'Nggak ada siapa-siapa di luar, jadi tadi itu suara apa?' Dina masih bertanya-tanya sambil melihat sekeliling. Sepi.Kemudian dia bergerak maju ke halaman. Wanita itu begitu terkejut saat menoleh ke sebelah kanan, melihat sesuatu teronggok tepat di bawah jendela kamarnya. Dihampiri benda itu, benda yang ia hafal dan kenal betul. Lalu ia melihat ke atas untuk memastikan.“Astagfirullah ... . Tega banget, sih.” Dina berbisik lirih.Dina masuk ke dalam rumah, ia ambil ponsel lalu ia foto. Hal yang sama ia lakukan dulu
Selama ini, aku selalu mendapatkan apa yang kuinginkan. Termasuk rumah yang kutempati ini. Meski ngontrak, tapi rumah ini sudah kupesan jauh hari sebelum rumah ini jadi. Saat masih proses pembangunan sudah kupesan pada pemilik rumah kontrakan ini, supaya aku bisa menempati rumah yang di pojok. Dari semua penyewa, akulah yang paling lama tinggal di sini. Aku merasa tertipu waktu baru tinggal di sini beberapa bulan, saat tiba-tiba banjir semata kaki. Dulu aku pikir rumah di sini bebas banjir. Lama-lama banjirnya makin tinggi sampai lutut.Sebenarnya, aku tau kalau Dina tidak bersalah. Aku hanya mencari-cari celah untuk bisa menjatuhkan dia. Aku lihat hidupnya lurus-lurus saja. Gimana nggak lurus, aku dengar dia baru nikah waktu ngontrak di situ. Belum dua bulan, dia hamil.Suaminya juga baik dan perhatian, ini yang membuatku iri. Aku tau suaminya perhatian karena sering lihat dia pulang kerja membawa tentengan, hal yang hampir tidak pernah dilakuk
Sejak kejadian hari itu, aku lihat kondisi selalu aman. Jemuran basah yang seakan menyambut ketika aku hendak mengantar jagoan kecilku ke sekolah, tidak lagi kutemukan.Manjur juga ngomelin Dina. Tau gitu kan dari dulu aja. Nggak perlu aku pakai payung segala kalau mau lewat situ. Iya, kan?Hari ini aku ingin pulang lebih cepat setelah mengantar sekolah. Ingin segera rebahan dan nonton Drakor. Namun, lagi-lagi pemandangan yang mengesalkan itu sudah tersaji begitu saja.Dari kejauhan, aku lihat si Dina lagi manjat kursi sambil tangannya naruh jemuran. Huh, pasti bakal kena tetesan air lagi ini. Awas aja kalau aku udah sampai, dia belum turun. Aku tabrak aja kali, ya, biar hilang juga tuh, janinnya. Kesel melulu bawaannya kalau lihat dia.Rupanya dia tau kalau aku datang. Belum juga kubuka pintu pagar, dia sudah buru-buru turun. Baguslah kalau tau diri. Pas lewat, aku lihat masih ada setengah ember jemuran dia. Kan, kena air lagi kan aku?
Dewi kembali berselancar mencari lowongan kerja melalui internet. Ia cari yang lokasinya paling dekat dengan rumah. Ini karena ia harus mengantar jemput anak semata wayangnya ke sekolah. Banyak yang menarik, tapi terkendala usia. Saat masih sibuk menelusuri lowongan demi lowongan, ada satu yang menarik perhatian Dewi. Sebuah produk susu yogurt membuka cabang baru, butuh sales untuk meningkatkan penjualan. Sedangkan umur tak jadi masalah. Tak menunggu lama, ia menyiapkan segala persyaratan untuk melamar kerja. Pagi ini, setelah mengantar Sultan ke sekolah, Dewi bergegas menuju kantor cabang susu yogurt untuk memenuni panggilan interview. Seperti kebanyakan orang yang baru melamar kerja, Dewi juga merasakan dag dig dug. Ada perasaan kuatir jika tak diterima, apalagi melihat orang yang datang tidak sedikit. Namun, Dewi tetap optimis jika dirinya akan diterima bekerja. Dewi diterima kerja setelah melalui proses interview. Tentu saj
Pagi hari yang cerah, Dina bermaksud keluar rumah untuk mengeluarkan jemuran setelah mendengar suara motor Dewi keluar pagar. Ibu satu anak itu membuka pintu terlebih dahulu untuk memudahkan mengeluarkan keranjang cucian. Namun sesampainya di depan pintu, wanita itu sangat terkejut ketika melihat pintu gerbang yang ada di sebelah kiri rumahnya dalam keadaan terbuka. Selama ini, jika Dewi keluar atau masuk, pasti menutup kembali pintu itu meski tidak dikunci. Dina hampiri pintu itu bermaksud untuk menutupnya. Namun, lagi-lagi Dina dikejutkan oleh kenyataan bahwa pintu itu dikunci menggunakan rantai yang biasa dipakai untuk mengunci sepeda ontel. Bagaimana bisa ditutup kalau dirantai begitu? 'Astagfirullah ... perbuatan siapa ini?' Dina bertanya dalam hati. "Kenapa, Mbak?" tanya Bu Yati yang tiba-tiba muncul di depan rumah. Ia hampiri Dina yang masih berdiri di dekat pintu pagar di depan rumah Dewi. "Itu kok, kebuka pintunya?" tanya Bu Yati lagi. "Iya nih, Bude. Dikunci l
"Yah … berkurang satu dong, teman main Putri,” sahut Dina serupa keluhan setelah beberapa saat terdiam dan sibuk dengan pikirannya.. Putri dan Hana memang seumuran, Hana lahir satu bulan lebih awal dari Putri. Bisa dikatakan mereka berteman sejak masih dalam kandungan. “Jadi gimana? Kalau di sana kan lumayan tinggi, tuh. Aman lah dari banjir,” desak Bu Maya "Mau aja sih, kalau cocok, tapi tetap tanya bapak dulu. Ya kan, Nak?" Kali ini Dina mengajak bicara anaknya. Putri yang belum mengerti hanya senyum-senyum sambil memainkan boneka jerapah. "Iya lah, wajib itu, kan nanti yang nempati sama-sama." Bu Maya membenarkan ucapan Dina. "Emang mau pindah ke mana?" Dina bertanya keheranan. "Itu di seberang jalan raya, dekat jalan yang dilewati kalau pijat bayi," jawab Bu Maya. "Wah, daerah sana kan dekat juga sama tempat kerja bapaknya Putri," ucap Dina. "Lalu nenek bagaimana?" tanya Dina lagi. Beberapa hari sebelumnya, Bu Maya pernah bercerita kalau cekcok dengan ibu suami