"Mas lihat dari tadi sepertinya kok, murung? Kenapa? Apa tadi Putri rewel?" Deny kembali bertanya, sebab sang istri tak kunjung merespon pertanyaannya.
Dina yang sedang menidurkan Putri, anak mereka, menoleh. Dia lihat wajah lelah suaminya yang baru pulang kerja. 'Cerita nggak, ya?' Dina bertanya dalam hati. 'Nanti sajalah kalau waktunya tepat aku baru cerita.' "Nggak ada apa-apa kok, Mas." Dina menjawab sambil berusaha melepaskan diri dari putrinya yang sudah selesai menyusu namun masih menempel. "Putri juga nggak rewel, Mas." Lalu dikecup pipi anak semata wayang mereka. Dipandangi sekali lagi wajah tenang putrinya. Ada rasa bersalah sebab insiden pagi tadi yang harus disaksikan oleh anak sekecil itu. "Mas pasti capek baru pulang kerja. Mau mandi dulu apa makan dulu? Tadi sudah kusiapkan sayur asem kesukaanmu, dengan banyak kacang tanah seperti biasa." Dina lalu bangkit dari atas kasur, lalu mengajak sang suami keluar kamar dimana anak mereka tidur. "Yakin nih, nggak ada apa-apa?" Deny masih tak percaya dengan jawaban istrinya. Tak kunjung mendapatkan jawaban, Deny pun mengalah untuk tidak lagi mendesak istrinya. "Ya udah, Mas mandi dulu, setelah itu kita makan sama-sama. Nanti kalau sudah mau cerita, bilang ya, Sayang." Deny berkata sambil menangkup wajah Dina dengan kedua tangannya. "Iya ... iya. Udah ah, sana mandi. Bau tau." Dina berkata sambil pura-pura menutup hidung dan menjauhkan badan sang suami. Tentu saja Deny menjadi gemas lalu mengecup pelan pipi Dina. Deny pun berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sementara Deny mandi, Dina mengambil nasi ke piring, supaya nanti saat mereka makan, nasinya tidak panas lagi. Setelah itu dibuatkan telur dadar untuk teman makan. Sejak memiliki bayi, lauk telur jadi andalannya karena praktis dan cepat. *** "Tadi pagi mbak Dewi ke sini, Mas," Dina berkata pada sang suami saat mereka sudah bersiap tidur. Mereka biasa berbincang dan bercerita kegiatan sehari-hari secara bergantian. "Oh, ya? Dia ngapain lagi?" Deny bertanya sambil menegakkan kepala dan menoleh ke arah Dina. Tiba-tiba saja dia teringat kalau Dewi pernah memporak-porandakan isi teras mereka. Beruntung waktu itu pintu dalam kondisi terkunci, dan Dina pun tidak meladeni. "Dia bilang kalau kena air jemuran. Dia keganggu, sampai teriak-teriak tadi. Mana pas aku lagi nyuapin Putri makan lagi." Dina berkata lirih sekali. Seperti hendak menangis. "Terus dia bilang apalagi, Sayang?" Deny mulai khawatir. Istrinya bukan orang yang tahan dengan teriakan, karena ia akan terus kepikiran dalam waktu lama, bahkan terbawa tidur sampai mengigau. Deny sering menemukan istrinya menangis dalam tidurnya. Seperti beberapa waktu lalu, Dina bercerita kalau ada orang yang teriak-teriak di depan rumah mereka, bahkan semua barang yang ada di teras berpindah beberapa meter jauhnya karena dilempar-lempar. Malamnya Dina mengigau seperti orang ketakutan, lalu menangis. Dan itu terulang sampai beberapa hari. Bagaimana dengan yang sekarang, ada orang yang berteriak langsung di depan istrinya? Deny berharap kali ini istri sensitifnya lebih tabah. Dina menceritakan kejadian yang ia alami pagi hingga siang tadi. Tidak ada yang ditutupi. Deny menyimak semua yang dituturkan oleh istrinya dengan wajah prihatin. "Aku bingung, Mas. Aku musti jemur baju dimana?" Kali ini ada yang menetes dari sudut mata Dina. Sementara Deny masih menyimak. "Ya udah, jemur di kamar mandi, kalau udah nggak netes baru keluarin." Pungkas Deny mencoba memberi solusi. Dina melengak mendengar usulan suaminya. "Masa jemur di kamar mandi? Kamar mandi kita emang segede apa?" Dina membayangkan kamar mandinya yang akan penuh dengan jemuran. "Buat sementara aja, biar dia nggak ngamuk lagi. Kamu sabar ya, ini nggak akan lama kok, kita di sini. Mas lagi lihat-lihat kontrakan, tapi belum ada yang cocok. Nanti kalau sudah dapat, kita pindah ya, biar kamu nyaman kalau Mas tinggal di rumah." Deny berkata sambil mengelus kepala sang istri. "Oke, deh. Makasih ya, Mas." Dina menyetujui meski dengan berat hati. Ia pun mulai tersenyum sebab merasa terhibur dengan kalimat terakhir yang disampaikan oleh suaminya. Diam-diam dia berdoa semoga secepatnya dapat tempat tinggal yang lebih nyaman. "Makasih buat apa, sih? Kan udah kewajiban Mas buat nyediain tempat tinggal yang nyaman buat kamu. Mas minta maaf ya, selama ini belum bisa melakukan itu, malah di sini dapat tetangga yang unik." Berkata Deny sambil memeluk istrinya. "Udah, jangan sedih lagi, sekarang istirahat ya, kamu pasti capek di rumah ngurus Putri sendirian. Mumpung dia bobo cantik. Apalagi si cantik ini sekarang suka sekali nempel di ketiak ." Deny berkata dengan diakhiri tawa, berharap istrinya melupakan sejenak kesedihan karena tetangga mereka yang unik. Dina hanya tersenyum menanggapi perkataan suaminya. Bersyukur karena sang suami bisa menjadi teman curhat sekaligus memberi solusi. "Kamu lihat aja, deh. Besok, sampai beberapa hari ke depan Dewi nggak akan memperlihatkan dirinya. Orang kalau sudah berteriak-teriak di muka umum akan malu dengan sendirinya," ucap Deny lagi. "Masa sih, Mas?" tanya Dina tak percaya. "Lihat aja nanti," jawab Deny santai. "Udah ya, sekarang kalau punya makanan nggak usah ngasih dia. Kasih yang lain aja." Deny berkata bukan tanpa sebab.Dina memang suka sekali membuat jajanan, lalu dibagikan ke tetangga dekat.
Selama ini Deny tak keberatan karena yang ia tahu tetangga mereka baik, ringan memberi bantuan.
Seperti saat Dina akan melahirkan anak mereka, tetangga dengan suka rela meminjamkan sepeda motor untuk dibawa ke bidan.
Sedangkan motor itu satu-satunya yang dimiliki.
Tapi kali ini, Deny ingin supaya sang istri membatasi interaksi dengan orang yang sudah membuat rusuh di rumahnya. Terlebih ketika ia membayangkan putri pertamanya itu harus menyaksikan sang ibu dibentak-bentak tetangga.Meski dalam hati merasa geram, ia harus menahan diri supaya tidak menambah pikiran sang istri.
'Dek, mas gak akan biarkan ini terjadi lagi,' janji pria itu.
Sayangnya, itu semua tak dapat diselesaikan dengan mudah. Jam tiga pagi, Dina kembali terbangun karena mendengar suara anaknya menangis. Segera diperiksanya celana sang anak yang ternyata basah karena pipis.Dina segera mengganti dengan pakaian bersih setelah membersihkan badan anaknya terlebih dahulu dengan air hangat. Setelah semua dirasa beres, termasuk selimut dan alas tidur yang kena pipis masuk ke keranjang baju kotor, Dina memberikan ASI pada sang buah hati. Bocah kecil itupun kembali terlelap setelah kenyang dan puas menyusu. Dina yang menyusui sambil rebahan ikut tertidur lagi, kemudian terbangun oleh suara adzan subuh. Ia lihat putrinya yang masih tertidur lelap. Ia pun segera bangkit untuk membersihkan diri, lalu melaksanakan ibadah sholat Subuh bersama suami. Kala Dina melihat anaknya masih terlelap, ia pun memutuskan untuk ke dapur merebus air untuk membuat kopi. Kebetulan, di dapur masih ada beberapa ubi jalar yang dibeli beberapa hari yang lalu. Ia pun berg
"Dulu nih, ya, yang tinggal di sini sebelum Tante, dia kan punya anak kecil juga tuh, tengah malam dah dia nyuci biar nggak kena dia," Bu Yati menambahkan. Dina lalu teringat kalau Dewi pun pernah bercerita padanya, bahwa yang menempati rumah ini dulu kalau nyuci tengah malam. Awalnya ia pikir karena repot kalau siang, jadi mengerjakan pekerjaan rumah saat malam. Rupanya itu ada hubungannya dengan Dewi. "Sama saya juga kan nggak pernah ngomong dia. Soalnya waktu itu pernah, pas ayahnya Keysha lagi makan ... di situ tuh, depan rumah. Anak dia main bola, kena dah itu ... piring ayah Keysha sampe pecah." Bu Yati berkata sambil menunjuk halaman rumahnya. Sementara itu, Dina masih menyimak semua yang disampaikan oleh tetangganya. Keysha itu anak lelaki Bu Yati yang umurnya sekitar lima tahun. "Oh, ya, terus gimana tuh, Budhe?" tanya Dina penasaran. "Ya berantem. Ngamuk ayahnya Keysha, tapi mamanya yang maju nggak terima anaknya dimarahi. Dari itu kita nggak pernah negur," ja
Keduanya masih melanjutkan obrolan, sampai kemudian Nia pamit pulang sebab malam telah semakin tinggi.Ketika sampai, ia melihat Bu Yati yang masih terjaga dan duduk santai di teras, membuat Nia menceritakan perbincangan dengan Bu Rini pada tetangganya. Kini Dina dan Bu Yati sibuk dengan pikiran masing-masing. Bu Yati yang menyesal sebab kemarin tidak ada di rumah, hingga tidak bisa melindungi Dina. Wanita berumur tiga puluh tiga tahun itu yakin, Dewi sengaja melabrak Dina saat dia tidak di rumah. Seperti hari itu saat Dewi melempar segala macam benda di teras rumah Dina, ia juga sedang bepergian, hingga tidak tahu menahu, kecuali mendengar cerita dari sana sini.Sementara itu, Dina sibuk bertanya dalam hati, di mana pintu pagar yang baru akan dibuat, dan bagaimana caranya Dewi keluar masuk halaman dengan sepeda motornya, sementara rumah itu berada di ujung jalan. "Baguslah Bude, kalau disekat, tapi gimana dia ngeluarin motor, orang
Hari menjelang siang ketika Dina mendengar suara motor Dewi di luar. Seperti biasa, suara itu terhenti di depan kamarnya. Namun, kali ini durasinya lebih lama.Dina yang baru saja membereskan peralatan makan pun memilih untuk tidak mempedulikan. Tiba-tiba terdengar suara berisik entah apa, membuat Dina bergegas memeriksa keluar begitu suara motor Dewi terdengar menjauh.'Suara apa, ya?' Dina bertanya dalam hati. 'Nggak ada siapa-siapa di luar, jadi tadi itu suara apa?' Dina masih bertanya-tanya sambil melihat sekeliling. Sepi.Kemudian dia bergerak maju ke halaman. Wanita itu begitu terkejut saat menoleh ke sebelah kanan, melihat sesuatu teronggok tepat di bawah jendela kamarnya. Dihampiri benda itu, benda yang ia hafal dan kenal betul. Lalu ia melihat ke atas untuk memastikan.“Astagfirullah ... . Tega banget, sih.” Dina berbisik lirih.Dina masuk ke dalam rumah, ia ambil ponsel lalu ia foto. Hal yang sama ia lakukan dulu
Selama ini, aku selalu mendapatkan apa yang kuinginkan. Termasuk rumah yang kutempati ini. Meski ngontrak, tapi rumah ini sudah kupesan jauh hari sebelum rumah ini jadi. Saat masih proses pembangunan sudah kupesan pada pemilik rumah kontrakan ini, supaya aku bisa menempati rumah yang di pojok. Dari semua penyewa, akulah yang paling lama tinggal di sini. Aku merasa tertipu waktu baru tinggal di sini beberapa bulan, saat tiba-tiba banjir semata kaki. Dulu aku pikir rumah di sini bebas banjir. Lama-lama banjirnya makin tinggi sampai lutut.Sebenarnya, aku tau kalau Dina tidak bersalah. Aku hanya mencari-cari celah untuk bisa menjatuhkan dia. Aku lihat hidupnya lurus-lurus saja. Gimana nggak lurus, aku dengar dia baru nikah waktu ngontrak di situ. Belum dua bulan, dia hamil.Suaminya juga baik dan perhatian, ini yang membuatku iri. Aku tau suaminya perhatian karena sering lihat dia pulang kerja membawa tentengan, hal yang hampir tidak pernah dilakuk
Sejak kejadian hari itu, aku lihat kondisi selalu aman. Jemuran basah yang seakan menyambut ketika aku hendak mengantar jagoan kecilku ke sekolah, tidak lagi kutemukan.Manjur juga ngomelin Dina. Tau gitu kan dari dulu aja. Nggak perlu aku pakai payung segala kalau mau lewat situ. Iya, kan?Hari ini aku ingin pulang lebih cepat setelah mengantar sekolah. Ingin segera rebahan dan nonton Drakor. Namun, lagi-lagi pemandangan yang mengesalkan itu sudah tersaji begitu saja.Dari kejauhan, aku lihat si Dina lagi manjat kursi sambil tangannya naruh jemuran. Huh, pasti bakal kena tetesan air lagi ini. Awas aja kalau aku udah sampai, dia belum turun. Aku tabrak aja kali, ya, biar hilang juga tuh, janinnya. Kesel melulu bawaannya kalau lihat dia.Rupanya dia tau kalau aku datang. Belum juga kubuka pintu pagar, dia sudah buru-buru turun. Baguslah kalau tau diri. Pas lewat, aku lihat masih ada setengah ember jemuran dia. Kan, kena air lagi kan aku?
Dewi kembali berselancar mencari lowongan kerja melalui internet. Ia cari yang lokasinya paling dekat dengan rumah. Ini karena ia harus mengantar jemput anak semata wayangnya ke sekolah. Banyak yang menarik, tapi terkendala usia. Saat masih sibuk menelusuri lowongan demi lowongan, ada satu yang menarik perhatian Dewi. Sebuah produk susu yogurt membuka cabang baru, butuh sales untuk meningkatkan penjualan. Sedangkan umur tak jadi masalah. Tak menunggu lama, ia menyiapkan segala persyaratan untuk melamar kerja. Pagi ini, setelah mengantar Sultan ke sekolah, Dewi bergegas menuju kantor cabang susu yogurt untuk memenuni panggilan interview. Seperti kebanyakan orang yang baru melamar kerja, Dewi juga merasakan dag dig dug. Ada perasaan kuatir jika tak diterima, apalagi melihat orang yang datang tidak sedikit. Namun, Dewi tetap optimis jika dirinya akan diterima bekerja. Dewi diterima kerja setelah melalui proses interview. Tentu saj
Pagi hari yang cerah, Dina bermaksud keluar rumah untuk mengeluarkan jemuran setelah mendengar suara motor Dewi keluar pagar. Ibu satu anak itu membuka pintu terlebih dahulu untuk memudahkan mengeluarkan keranjang cucian. Namun sesampainya di depan pintu, wanita itu sangat terkejut ketika melihat pintu gerbang yang ada di sebelah kiri rumahnya dalam keadaan terbuka. Selama ini, jika Dewi keluar atau masuk, pasti menutup kembali pintu itu meski tidak dikunci. Dina hampiri pintu itu bermaksud untuk menutupnya. Namun, lagi-lagi Dina dikejutkan oleh kenyataan bahwa pintu itu dikunci menggunakan rantai yang biasa dipakai untuk mengunci sepeda ontel. Bagaimana bisa ditutup kalau dirantai begitu? 'Astagfirullah ... perbuatan siapa ini?' Dina bertanya dalam hati. "Kenapa, Mbak?" tanya Bu Yati yang tiba-tiba muncul di depan rumah. Ia hampiri Dina yang masih berdiri di dekat pintu pagar di depan rumah Dewi. "Itu kok, kebuka pintunya?" tanya Bu Yati lagi. "Iya nih, Bude. Dikunci l