Wajah wanita paruh baya itu tertekuk, tidak habis paham dengan salah satu warganya yang kini sedang duduk berdampingan dengan pemilik kontrakan.
"Ck! Saya setuju saja, Bu," jawab Dewi akhirnya. "Baiklah, kalau Bu Dewi setuju, nanti saya carikan tukang ya, Bu untuk memasang pintu dan membuat sekat disitu," ucap Bu Rini menanggapi jawaban Dewi. "Alhamdulillah sekarang sudah selesai masalahnya. Saya harap setelah ini kalian rukun lagi seperti sebelumnya," sambung Bu Rini lagi. "Baiklah, karena sudah ada titik temu, saya mau pamit ya, Bu," pamit Bu RT. "Terima kasih ya, Bu Rini sudah mau datang dan memberi solusi. Saya pamit ya, Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam," jawab Dewi dan Bu Rini bersamaan. Bu RT kemudian beranjak keluar meninggalkan rumah Dewi. Disusul Bu Rini yang ikut pamit pulang kemudian. Sementara itu, Dina di kamar masih menyusui bayinya. Dia masih terngiang-ngiang perkataan Dewi yang mengatakan anaknya berisik karena nangis dari orok. Disebutkan kata orok membuat Dina teringat dengan kejadian saat anaknya baru lahir. Kala itu, tepat beberapa jam setelah melahirkan, suami Dina pulang untuk mencuci dan mengubur ari-ari. Dibukanya dua batako di dekat pintu gerbang sebelah barat kamar Dina, lalu dikuburlah disitu ari-ari anak mereka. Tentu saja sudah diperhitungkan ukuran yang bisa dilewati sepeda motor yang lewat. Tak lama setelah selesai berdoa untuk anaknya, datanglah Bu Rini ke kontrakan menemui Deny yang baru saja istirahat melepas lelah. "Mohon maaf ya, Pak Deny. Demi kebaikan bersama, saya minta tolong ya, Pak," kata Bu Rini setelah menyampaikan pesan bahwa tetangga mereka yang di pojok, yaitu Dewi, meminta supaya kuburan ari-ari itu dipindah. Alasannya, sepeda motornya tak bisa lewat. Deny mengiyakan, meski mukanya merah padam menahan marah. Namun, sebisa mungkin menampilkan wajah yang tersenyum kepada pemilik kontrakan. Tak habis pikir, kenapa sudah selesai baru menyampaikan kalau keberatan ari-ari anaknya dikubur di sana? Dan itu pun melalui pemilik kontrakan. Bukankah tadi sebelum dikubur, waktu sedang menggali tanah juga Dewi melihat, bahkan berpapasan. Kenapa tidak mau menyampaikan langsung kepadanya? Dalam diam Deny menggali tanah lagi, kali ini tepat di depan pintu rumah. Sebenarnya ini membuat jalan yang bisa dilewati semakin sempit, tapi mau bagaimana lagi, menuruti permintaan tetangga dan demi kebaikan bersama kata Bu Rini. Diulang lagi proses mengubur ari-ari seperti sebelumnya. Dina mendengar suara langkah kaki di depan kamar, lalu membuka pintu gerbang, disusul suara sepeda motor yang bergerak menjauhi rumah kontrakan tempatnya tinggal. Itu Bu Rini juga Bu RT yang sudah beranjak pulang. Dina tidak mengetahui akhir dari pembicaraan di rumah Dewi karena bayinya masih menempel meski matanya terpejam. 'Jadi yang kapan hari dia bilang ada kontrakan dengan tempat jemur baju yg luas itu karena dia terganggu dengan jemuranku?' ucap Dina dalam hati. Dina masih mengumpulkan kenangan hari-hari kemarin saat dirinya juga Dewi berinteraksi. "Mbak, katanya lagi nyari kontrakan ya?" tanya Dewi saat itu setelah mengetuk pintu rumah Dina. Saat itu masih pagi, namun kontrakan sepi. "Iya, Mbak," jawab Dina dengan pandangan bertanya. Sebabnya, jarang sekali Dewi mengajak bicara hanya berdua seperti ini. "Mari masuk, Mbak," ajaknya pada Dewi. Namun, Dewi menolak. Ia memilih berdiri di depan pintu. "Ini lho, cuma mau ngasih tau, di desa sebelah ada kontrakan kosong, dekat sekolahnya Sultan. Di sana kan dekat ya sama tempat kerja suami Mbak?" ucap dan tanya Dewi. "Saya sudah lihat dalamnya, soalnya saya juga lagi nyari-nyari kontrakan. Kalo di sini kan banjir, jadi mau nyari yang aman gitu, hehe...." Dewi kembali melanjutkan sebelum Dina menanggapi. Itu benar, mereka pernah mengalami banjir hingga selutut orang dewasa di dalam rumah. Sedangkan di luar, sampai pinggang. Banjirnya memang hanya sebentar, dalam beberapa jam air sudah surut. Namun tetap saja membuat tidak nyaman dan selalu was-was saat hujan deras. "Di sana nih, kamarnya ada dua, ada dapur di dalem, kamar mandi juga, masih bagus. Terus ada itu ... tempat jemurnya luas. Jadi itu kayaknya cocok buat Mbaknya." Dina menyimak semua penjelasan Dewi dengan menatap lekat wajahnya. Entah kenapa ia merasa ada yang aneh. Terlebih pada gerak mulut yang seperti orang grogi. 'Masak dia grogi sih? Kok gerak-gerak gitu mulutnya?' tanya Dina dalam hati. "Saya ada nomer telepon yang punya, kalo mau nanti saya kasih nomernya," ucap Dewi lagi dengan semangat memprovokasi. "Oh gitu. Makasih infonya ya, Mbak. Tapi nanti saya tanya suami saya dulu, ya?" jawab Dina membuat Dewi tersenyum lebar. "Iya ... iya. Ya udah saya pamit ya, mau masak dulu, hehehe..." Sumringah sekali, itu kesan yang Dina tangkap dari Dewi saat pamit. Malam harinya, Dina bercerita pada sang suami soal kontrakan yang diinfokan oleh Dewi. Karena lokasinya dekat dengan tempat kerja, tak butuh waktu lama, Deny pun mengecek ke lokasi keesokan harinya. "Jangan di sana lah, Bu, kalau malam bahaya di sana, banyak orang mabuk," jelas Deny. Dina menurut, ia pun meminta maaf pada Dewi, menyampaikan bahwa sang suami tidak setuju dengan lokasi yang ditunjukkan oleh Dewi. Tak pernah ia sangka, usulan tentang rumah kontrakan di desa sebelah merupakan wujud dari terganggunya Dewi pada jemuran bajunya, hingga membuat Dewi meledak pagi-pagi.Apa karena itu Dewi sekarang emosi padanya, ya?
Tak terasa, siang menjelang sore.Lapangan yang ada di depan kontrakan Bu Rini pun mulai rame. Ada banyak anak yang bermain bola, ada juga yang bermain layangan. Di ujung jalan dekat lapangan ada pos ronda. Ibu-ibu yang memiliki anak kecil, juga para asisten yang momong bocah, sering memanfaatkan tempat tersebut untuk duduk-duduk sambil menemani para bocil bermain. Dina yang sore itu baru pulang dari warung, 'dicegat' oleh beberapa ibu yang sedang ngerumpi sambil momong di pos ronda. "Itu tadi kenapa?" tanya Bu Yana, setelah Dina berhenti. Dina mengerti arah pertanyaan Bu Yana, secara rumahnya di seberang jalan rumah Dewi. Bisa dipastikan kalau Bu Yana mendengar keributan pagi tadi, karena sehari-hari Bu Yana juga seperti Dina, jaga gawang rumah. "Kena air jemuran, Budhe," jawab Dina apa adanya. "Hmmm... Untung dia nggak sama saya, kalo sama saya, saya sirram dia," kata bu Yana, nampaknya ikut emosi. "Udah tau rumahnya gitu, mau jemur dimana?" tambah Bu Yana lagi, den
"Mas lihat dari tadi sepertinya kok, murung? Kenapa? Apa tadi Putri rewel?" Deny kembali bertanya, sebab sang istri tak kunjung merespon pertanyaannya. Dina yang sedang menidurkan Putri, anak mereka, menoleh. Dia lihat wajah lelah suaminya yang baru pulang kerja. 'Cerita nggak, ya?' Dina bertanya dalam hati. 'Nanti sajalah kalau waktunya tepat aku baru cerita.' "Nggak ada apa-apa kok, Mas." Dina menjawab sambil berusaha melepaskan diri dari putrinya yang sudah selesai menyusu namun masih menempel. "Putri juga nggak rewel, Mas." Lalu dikecup pipi anak semata wayang mereka. Dipandangi sekali lagi wajah tenang putrinya. Ada rasa bersalah sebab insiden pagi tadi yang harus disaksikan oleh anak sekecil itu. "Mas pasti capek baru pulang kerja. Mau mandi dulu apa makan dulu? Tadi sudah kusiapkan sayur asem kesukaanmu, dengan banyak kacang tanah seperti biasa." Dina lalu bangkit dari atas kasur, lalu mengajak sang suami keluar kamar dimana anak mereka tidur. "Yakin nih, nggak a
Sayangnya, itu semua tak dapat diselesaikan dengan mudah. Jam tiga pagi, Dina kembali terbangun karena mendengar suara anaknya menangis. Segera diperiksanya celana sang anak yang ternyata basah karena pipis.Dina segera mengganti dengan pakaian bersih setelah membersihkan badan anaknya terlebih dahulu dengan air hangat. Setelah semua dirasa beres, termasuk selimut dan alas tidur yang kena pipis masuk ke keranjang baju kotor, Dina memberikan ASI pada sang buah hati. Bocah kecil itupun kembali terlelap setelah kenyang dan puas menyusu. Dina yang menyusui sambil rebahan ikut tertidur lagi, kemudian terbangun oleh suara adzan subuh. Ia lihat putrinya yang masih tertidur lelap. Ia pun segera bangkit untuk membersihkan diri, lalu melaksanakan ibadah sholat Subuh bersama suami. Kala Dina melihat anaknya masih terlelap, ia pun memutuskan untuk ke dapur merebus air untuk membuat kopi. Kebetulan, di dapur masih ada beberapa ubi jalar yang dibeli beberapa hari yang lalu. Ia pun berg
"Dulu nih, ya, yang tinggal di sini sebelum Tante, dia kan punya anak kecil juga tuh, tengah malam dah dia nyuci biar nggak kena dia," Bu Yati menambahkan. Dina lalu teringat kalau Dewi pun pernah bercerita padanya, bahwa yang menempati rumah ini dulu kalau nyuci tengah malam. Awalnya ia pikir karena repot kalau siang, jadi mengerjakan pekerjaan rumah saat malam. Rupanya itu ada hubungannya dengan Dewi. "Sama saya juga kan nggak pernah ngomong dia. Soalnya waktu itu pernah, pas ayahnya Keysha lagi makan ... di situ tuh, depan rumah. Anak dia main bola, kena dah itu ... piring ayah Keysha sampe pecah." Bu Yati berkata sambil menunjuk halaman rumahnya. Sementara itu, Dina masih menyimak semua yang disampaikan oleh tetangganya. Keysha itu anak lelaki Bu Yati yang umurnya sekitar lima tahun. "Oh, ya, terus gimana tuh, Budhe?" tanya Dina penasaran. "Ya berantem. Ngamuk ayahnya Keysha, tapi mamanya yang maju nggak terima anaknya dimarahi. Dari itu kita nggak pernah negur," ja
Keduanya masih melanjutkan obrolan, sampai kemudian Nia pamit pulang sebab malam telah semakin tinggi.Ketika sampai, ia melihat Bu Yati yang masih terjaga dan duduk santai di teras, membuat Nia menceritakan perbincangan dengan Bu Rini pada tetangganya. Kini Dina dan Bu Yati sibuk dengan pikiran masing-masing. Bu Yati yang menyesal sebab kemarin tidak ada di rumah, hingga tidak bisa melindungi Dina. Wanita berumur tiga puluh tiga tahun itu yakin, Dewi sengaja melabrak Dina saat dia tidak di rumah. Seperti hari itu saat Dewi melempar segala macam benda di teras rumah Dina, ia juga sedang bepergian, hingga tidak tahu menahu, kecuali mendengar cerita dari sana sini.Sementara itu, Dina sibuk bertanya dalam hati, di mana pintu pagar yang baru akan dibuat, dan bagaimana caranya Dewi keluar masuk halaman dengan sepeda motornya, sementara rumah itu berada di ujung jalan. "Baguslah Bude, kalau disekat, tapi gimana dia ngeluarin motor, orang
Hari menjelang siang ketika Dina mendengar suara motor Dewi di luar. Seperti biasa, suara itu terhenti di depan kamarnya. Namun, kali ini durasinya lebih lama.Dina yang baru saja membereskan peralatan makan pun memilih untuk tidak mempedulikan. Tiba-tiba terdengar suara berisik entah apa, membuat Dina bergegas memeriksa keluar begitu suara motor Dewi terdengar menjauh.'Suara apa, ya?' Dina bertanya dalam hati. 'Nggak ada siapa-siapa di luar, jadi tadi itu suara apa?' Dina masih bertanya-tanya sambil melihat sekeliling. Sepi.Kemudian dia bergerak maju ke halaman. Wanita itu begitu terkejut saat menoleh ke sebelah kanan, melihat sesuatu teronggok tepat di bawah jendela kamarnya. Dihampiri benda itu, benda yang ia hafal dan kenal betul. Lalu ia melihat ke atas untuk memastikan.“Astagfirullah ... . Tega banget, sih.” Dina berbisik lirih.Dina masuk ke dalam rumah, ia ambil ponsel lalu ia foto. Hal yang sama ia lakukan dulu
Selama ini, aku selalu mendapatkan apa yang kuinginkan. Termasuk rumah yang kutempati ini. Meski ngontrak, tapi rumah ini sudah kupesan jauh hari sebelum rumah ini jadi. Saat masih proses pembangunan sudah kupesan pada pemilik rumah kontrakan ini, supaya aku bisa menempati rumah yang di pojok. Dari semua penyewa, akulah yang paling lama tinggal di sini. Aku merasa tertipu waktu baru tinggal di sini beberapa bulan, saat tiba-tiba banjir semata kaki. Dulu aku pikir rumah di sini bebas banjir. Lama-lama banjirnya makin tinggi sampai lutut.Sebenarnya, aku tau kalau Dina tidak bersalah. Aku hanya mencari-cari celah untuk bisa menjatuhkan dia. Aku lihat hidupnya lurus-lurus saja. Gimana nggak lurus, aku dengar dia baru nikah waktu ngontrak di situ. Belum dua bulan, dia hamil.Suaminya juga baik dan perhatian, ini yang membuatku iri. Aku tau suaminya perhatian karena sering lihat dia pulang kerja membawa tentengan, hal yang hampir tidak pernah dilakuk
Sejak kejadian hari itu, aku lihat kondisi selalu aman. Jemuran basah yang seakan menyambut ketika aku hendak mengantar jagoan kecilku ke sekolah, tidak lagi kutemukan.Manjur juga ngomelin Dina. Tau gitu kan dari dulu aja. Nggak perlu aku pakai payung segala kalau mau lewat situ. Iya, kan?Hari ini aku ingin pulang lebih cepat setelah mengantar sekolah. Ingin segera rebahan dan nonton Drakor. Namun, lagi-lagi pemandangan yang mengesalkan itu sudah tersaji begitu saja.Dari kejauhan, aku lihat si Dina lagi manjat kursi sambil tangannya naruh jemuran. Huh, pasti bakal kena tetesan air lagi ini. Awas aja kalau aku udah sampai, dia belum turun. Aku tabrak aja kali, ya, biar hilang juga tuh, janinnya. Kesel melulu bawaannya kalau lihat dia.Rupanya dia tau kalau aku datang. Belum juga kubuka pintu pagar, dia sudah buru-buru turun. Baguslah kalau tau diri. Pas lewat, aku lihat masih ada setengah ember jemuran dia. Kan, kena air lagi kan aku?