“Dari mana kamu dapat kabar itu, Adisti? Siapa yang memberitahumu?”“Aku—” Perempuan itu mengusap wajahnya. “Aku enggak sengaja dengar percakapan antara orangtua kita. Mereka kayaknya masih di hotel tempat ayahku menginap.”Ternyata ke sana Salma pergi. Namun, untuk apa pula dia menemui ayah Adisti di hotel alih-alih rumah sakit?“Apa kamu mendengar semua isi percakapan mereka?” Menilai dari kabar yang disampaikan istrinya, Biyan ragu mereka membicarakan kondisi kesehatan yang dialaminya.“Hanya sepotong-sepotong,” sahut Adisti dengan suara bergetar. “Awalnya, yang kutangkap hanya ayahku yang mempermasalahkan sikap ibumu padaku. Terus tiba-tiba mereka… menyinggung sesuatu yang terjadi si masa lalu.”Kedua alis Biyan bertaut. “Masa lalu?”“Ya, aku sendiri enggak bisa menyimpulkan semuanya karena terlalu kaget.” Adisti mengambil tisu di ujung meja bar. “Ayahku bilang tentang sakit hati, lalu ibumu mengeluhkan sikapnya, sampai ada ucapan aku tetap anak ayahku walau enggak sedarah….“Juju
Sesampainya di vila—serta membayar uang bensin kepada Kyro—Adisti bergegas masuk ke dalam ruangan. Suasana yang sepi menguntungkannya untuk masuk tanpa perlu memasang senyum palsu. Akan tetapi mendekati puncak tangga, dia malah berpapasan dengan Batara.“Kupikir kamu bakap pulang agak malam.” Batara memiringkan kepala kala Adisti berusaha menghindari tatapannya. “Hei, apa sesuatu yang buruk terjadi di Athena?”“Enggak apa-apa, aku—” Adisti menggerutu mendengar suaranya yang agak serak. “Aku mau istirahat sebentar di kamar sebelum makan malam.”Namun, Batara tak langsung percaya. Pria itu sengaja menahan tangan Adisti sebelum masuk ke kamar.“Kita berempat adalah rekan residensi,” ucapnya. “Mungkin enggak dekat secara personal, tapi kami siap membantu seperti yang aku dan Randy lakukan kemarin di vila Biyan.”Jika saja penemuan yang didapatkan tak bersifat personal, Adisti pasti bakal mengandalkan ketiga temannya untuk penelusuran lanjut. Sayangnya, kali ini dia yang harus bergerak sen
“Perkenalkan, ini putri semata wayang saya. Namanya Adisti Pramatya. Hari ini, dia mau menemani saya bekerja.” “Udah besar, ya, Pak. Apa nanti nyusul juga jadi dokter di sini?” “Ah, saya mah enggak mau ngeberatin dia. Kalau punya minat yang dia sukai, saya dukung asal bermanfaat dan enggak merugikan orang lain.” Saat duduk di bangku SD, Adisti kerap menghabiskan waktunya di rumah sakit selepas pulang sekolah. Kadang dia bosan harus menunggu di ruang kerja Gumilar, kadang dia bermain bersama para perawat atau dokter anak yang sedang bertugas. Pada saat itu, Adisti berpikir kedekatannya dengan para tenaga medis karena mereka rekan kerja Gumilar. Namun, siapa yang menduga jalinan tersebut telah lama dibangun jauh sebelum dia dapat merangkak. “Jadi, kamu sudah mendengarnya.” Gumilar ternyata tak mengelak. “Cepat atau lambat, kamu pasti bakal tahu rahasia ini. Hanya saja Papa enggak menduga caranya akan seperti ini.” Dada Adisti terasa sesak mendengar kenyataan itu langsung dar
Menyaksikan kecewa, amarah, dan pilu yang Salma perlihatkan saat menceritakan masa lalunya dengan Gumilar perlahan melunakkan hati Biyan. Di satu sisi, dia akhirnya mengerti mengapa sang ibu selalu bersikap ketus pada Adisti.Di sisi lain, Biyan tak dapat membayangkan pengorbanan yang Salma lakukan. Dari memperjuangkan hubungannya dengan Gumilar, menekan rasa sakit saat berpisah, lalu pasrah dijodohkan dengan pria yang tak dicintainya.Selama lebih dari tiga dekade terakhir, Salma melepas banyak impian serta kedamaian yang dia dambakan.“Ma,” panggil Biyan lembut sembari mengusap punggung tangannya, “aku minta maaf kalau selama ini bersikap keras atau malah membangkang. Seandainya aku tahu lebih awal….”“Biyan, tidak seperti itu cara kerjanya. Mama sudah melewati masa berandai-andai, karena hal itu malah makin membuat mental lelah.” Salma menggenggam tangan putranya. “Melihatmu memperlakukan Adisti mengingatkan Mama pada masa-masa saat bersama Gumilar. Kamu dan mertuamu tahu cara mem
“Papa pulang dulu, ya, Nak. Jaga diri baik-baik. Semoga program residensimu lancar sampai akhir.”Di tengah penyangkalan dan konflik yang berkecamuk, Adisti masih menganggap Gumilar sebagai ayahnya. Sosok yang membesarkannya dalam limpahan kasih sayang. Seumur hidupnya, perempuan itu tak pernah merasa kurang.Lantas, apa yang harus Adisti sesalkan?“Pa,” panggilnya; menahan Gumilar yang hendak menghampiri taksi. “Saat pulang nanti, apa Papa mau mengantarku ke makam… ibuku?”Adisti sadar peluangnya kecil, sebab seperti yang Gumilar katakan, mendiang sang ibu minta identitasnya dirahasiakan. Akan tetapi, dia perlu closure untuk meredakan keraguannya. “Sebenarnya Papa belum sempat cek lagi makam ibumu, jadi akan Papa tengok dulu.” Sosok itu menepuk pundaknya. “Mungkin kamu juga mau lihat beberapa barang yang dia tinggalkan untukmu.”Matanya mengerjap. Barang untuknya? Sayang, Adisti tak bisa menahan Gumilar lama-lama karena sang ayah harus kembali ke Athena. Dia perlu mencatat informasi
“Apa yang bikin kamu pengin nulis ulang kisah Eros dan Psyche selain ketertarikanmu pada mitologi Yunani?”“Kompleksitas ceritanya. Eros dan Psyche harus melewati berbagai cobaan, bahkan dipisahkan Aphrodite, sebelum akhirnya dipertemukan dan akhirnya menikah.”“Wow, bahkan untuk dewa yang bertugas menancapkan panah asmara, Eros punya kisah yang tragis.”“Untuk seorang perempuan yang namanya menjadi dasar kata psikologi, Psyche juga punya mental yang kuat demi mendapatkan cintanya kembali.”Kenapa baru sekarang Biyan juga menyadari kisah Eros dan Psyche sangat mirip dengannya dan Adisti?Kesadaran itu seketika muncul saat Biyan membaca salah satu versi lengkap mitologi tersebut di penerbangan pulang menuju Jakarta. Kisah sejoli yang berusaha mempertahankan cinta di tengah berbagai ujian. Berkali-kali terpisah, lalu menghadapi pengkhianatan dari orang-orang yang mereka anggap sebagai keluarga. Bisa jadi pula Adisti memilihnya sebagai bentuk ekspresi diri. Keterbatasan ingatan yang Biy
Melepas Biyan pergi bersama Salma di bandara menjadi momen yang terlalu sering Adisti ingat. Di sisi lain, dia juga ingin terus mengulang janji yang suaminya katakan.Karena kata-kata itulah yang akan menguatkannya selama menjalani sisa masa residensi.“Kamu serius mau tinggal di vila?” Chelsea memasang wajah cemas saat memastikan keputusan Adisti. “Ayahmu emangnya bakal datang pukul berapa?”“Sekitar satu jam lagi. Dia harus mengurus beberapa hal di rumah sakit.” Ditepuknya punggung tangan Chelsea. “Aku udah baikan, kok. Kebetulan ada hal yang perlu aku bicarakan sama ayahku sebelum dia pulang.”Chelsea mengangguk paham, lalu mengambil tas selempang yang tersampir di sandaran kursi. “Padahal kami bikin rencana ini buat kamu supaya bisa melepas penat.”“Kalian juga berhak bersantai.” Kemudian, Adisti beranjak dari kursi untuk mengantar perempuan itu ke depan vila. “Malah aku yang sering bolos dan mangkir dari jadwal menulis yang kubikin sendiri.”Tak bisa memaksa, Chelsea akhirnya mas
“Selamat pagi, Pak Biyan. Selamat datang kembali di perusahaan….”Sambutan tersebut hanya melintasi telinga Biyan sambil lalu kala memasuki gedung perkantoran. Di hadapannya, Salma berjalan; mengantarkannya ke ruang kerja yang telah lama ditinggalkan. Gara-gara kondisinya pula, Biyan untuk sementara harus memulai lagi pekerjaannya dari posisi senior manager. Kendati familier dengan jobdesc utamanya, dia harus mengejar ketertinggalan terkait proyek, kebijakan, sampai pertemuan-pertemuan yang pernah dipegang. “Permisi,” seorang pria mengetuk pintu ruangannya. “Pagi, Pak Biyan. Saya Arthur, sekretaris yang ditugaskan sementara oleh Bu Salma untuk membantu Anda mempelajari dokumen selama satu bulan ke depan.”Biyan bersyukur Salma mempekerjakan orang lain alih-alih Utari untuk hal ini. “Halo, Arthur. Silakan duduk. Kamu bisa mulai jelaskan tugas-tugas yang pernah saya kerjakan selama empat tahun terakhir.”Arthur mengangguk patuh, lalu mengeluarkan laptopnya. Jujur saja, Biyan bakal bos