“Papa pulang dulu, ya, Nak. Jaga diri baik-baik. Semoga program residensimu lancar sampai akhir.”Di tengah penyangkalan dan konflik yang berkecamuk, Adisti masih menganggap Gumilar sebagai ayahnya. Sosok yang membesarkannya dalam limpahan kasih sayang. Seumur hidupnya, perempuan itu tak pernah merasa kurang.Lantas, apa yang harus Adisti sesalkan?“Pa,” panggilnya; menahan Gumilar yang hendak menghampiri taksi. “Saat pulang nanti, apa Papa mau mengantarku ke makam… ibuku?”Adisti sadar peluangnya kecil, sebab seperti yang Gumilar katakan, mendiang sang ibu minta identitasnya dirahasiakan. Akan tetapi, dia perlu closure untuk meredakan keraguannya. “Sebenarnya Papa belum sempat cek lagi makam ibumu, jadi akan Papa tengok dulu.” Sosok itu menepuk pundaknya. “Mungkin kamu juga mau lihat beberapa barang yang dia tinggalkan untukmu.”Matanya mengerjap. Barang untuknya? Sayang, Adisti tak bisa menahan Gumilar lama-lama karena sang ayah harus kembali ke Athena. Dia perlu mencatat informasi
“Apa yang bikin kamu pengin nulis ulang kisah Eros dan Psyche selain ketertarikanmu pada mitologi Yunani?”“Kompleksitas ceritanya. Eros dan Psyche harus melewati berbagai cobaan, bahkan dipisahkan Aphrodite, sebelum akhirnya dipertemukan dan akhirnya menikah.”“Wow, bahkan untuk dewa yang bertugas menancapkan panah asmara, Eros punya kisah yang tragis.”“Untuk seorang perempuan yang namanya menjadi dasar kata psikologi, Psyche juga punya mental yang kuat demi mendapatkan cintanya kembali.”Kenapa baru sekarang Biyan juga menyadari kisah Eros dan Psyche sangat mirip dengannya dan Adisti?Kesadaran itu seketika muncul saat Biyan membaca salah satu versi lengkap mitologi tersebut di penerbangan pulang menuju Jakarta. Kisah sejoli yang berusaha mempertahankan cinta di tengah berbagai ujian. Berkali-kali terpisah, lalu menghadapi pengkhianatan dari orang-orang yang mereka anggap sebagai keluarga. Bisa jadi pula Adisti memilihnya sebagai bentuk ekspresi diri. Keterbatasan ingatan yang Biy
Melepas Biyan pergi bersama Salma di bandara menjadi momen yang terlalu sering Adisti ingat. Di sisi lain, dia juga ingin terus mengulang janji yang suaminya katakan.Karena kata-kata itulah yang akan menguatkannya selama menjalani sisa masa residensi.“Kamu serius mau tinggal di vila?” Chelsea memasang wajah cemas saat memastikan keputusan Adisti. “Ayahmu emangnya bakal datang pukul berapa?”“Sekitar satu jam lagi. Dia harus mengurus beberapa hal di rumah sakit.” Ditepuknya punggung tangan Chelsea. “Aku udah baikan, kok. Kebetulan ada hal yang perlu aku bicarakan sama ayahku sebelum dia pulang.”Chelsea mengangguk paham, lalu mengambil tas selempang yang tersampir di sandaran kursi. “Padahal kami bikin rencana ini buat kamu supaya bisa melepas penat.”“Kalian juga berhak bersantai.” Kemudian, Adisti beranjak dari kursi untuk mengantar perempuan itu ke depan vila. “Malah aku yang sering bolos dan mangkir dari jadwal menulis yang kubikin sendiri.”Tak bisa memaksa, Chelsea akhirnya mas
“Selamat pagi, Pak Biyan. Selamat datang kembali di perusahaan….”Sambutan tersebut hanya melintasi telinga Biyan sambil lalu kala memasuki gedung perkantoran. Di hadapannya, Salma berjalan; mengantarkannya ke ruang kerja yang telah lama ditinggalkan. Gara-gara kondisinya pula, Biyan untuk sementara harus memulai lagi pekerjaannya dari posisi senior manager. Kendati familier dengan jobdesc utamanya, dia harus mengejar ketertinggalan terkait proyek, kebijakan, sampai pertemuan-pertemuan yang pernah dipegang. “Permisi,” seorang pria mengetuk pintu ruangannya. “Pagi, Pak Biyan. Saya Arthur, sekretaris yang ditugaskan sementara oleh Bu Salma untuk membantu Anda mempelajari dokumen selama satu bulan ke depan.”Biyan bersyukur Salma mempekerjakan orang lain alih-alih Utari untuk hal ini. “Halo, Arthur. Silakan duduk. Kamu bisa mulai jelaskan tugas-tugas yang pernah saya kerjakan selama empat tahun terakhir.”Arthur mengangguk patuh, lalu mengeluarkan laptopnya. Jujur saja, Biyan bakal bos
Adisti menutup laptop dan mengembuskan napas panjang. Tinggal sepuluh bab lagi untuk mencapai akhir kisah yang ditulis. Sungguh kalau bukan gara-gara dikejar tenggat waktu, dia bakal menyingkirkan draf ini untuk istirahat. Kepalanya sudah terlalu berat memikul banyak pikiran.Terutama Biyan yang tak kunjung memberi kabar.Sayang sekali tak ada perpanjangan telinga yang dapat Adisti andalkan di Jakarta. Gumilar bisa saja jadi informan, tetapi menilai dari insiden yang mereka alami, dia ragu Salma bakal mengajak Biyan berkonsultasi dengan ayahnya.Diambilnya ponsel yang tergeletak di dekat bantal. Sebentar lagi makan malam. Belakangan, Adisti malas berkumpul karena harus berhadapan dengan Batara. Walau sudah memaafkan kesalahannya, dia jadi sulit menaruh kepercayaan lagi pada pria itu.Saat hendak tidur sebentar, ponselnya bergetar. Adisti mengecek nama yang muncul di layar dan seketika terbangun kala menangkap nomor telepon Indah.“Hei, penulis residensi kesayangan,” sapa Indah. “Sibuk
Biyan, yang tengah mengecek dokumen dari Arthur, membaca ulang pesan-pesan tersebut. Untuk kiriman seperti ini, dia tak bisa mencantumkan alamat rumah Salma. Bahaya kalau sang ibu langsung yang menerima.Kantor terkesan seperti opsi teraman, tetapi Biyan juga enggan menarik atensi dari banyak orang. Terutama selama masa pelatihan. Sayang sekali dia belum bisa mengurus kepindahan ke apartemen.Berarti, satu-satunya cara yang bisa Biyan ambil sekarang adalah…Ketika Indah mengiyakan, Biyan langsung mengirimkan alamat tempat untuk bertemu besok.*Tepat menjelang makan siang, Biyan kembali menyelinap dari ruang kerja sebelum Arthur mengajaknya pergi ke kantin. Derap langkahnya terus dipercepat sampai dia berhasil keluar gedung dan menjauhi area perkantoran. Bermodal ingatan lama dan peta digital, Biyan tiba di perpustakaan publik yang dapat ditempuh dengan jalan kaki. Sebenarnya dia ingin mengecek koleksi buku di dalam, tetapi ragu bakal diberikan izin karena belum menjadi anggota. Kafe
“Adisti, aku suka sama kamu. Mau jadi pacarku?” Pernyataan perasaan itu, yang pertama Adisti dapatkan di bangku SMP, terdengar lebih manis sebelum dirinya beranjak dewasa. Ada seseorang yang menyukainya! Seseorang yang memberikan perhatian lebih selain dari Gumilar! Seseorang yang akan terus menjaganya. Namun, seiring bertambahnya usia, lalu terjun ke dunia penulis, Adisti dibuat bertanya-tanya: mengapa saat seseorang menyatakan perasaan suka selalu diikuti tawaran untuk jadi kekasih mereka? Mengapa harus ada validasi dalam bentuk hubungan? Maka, saat mendengar Biyan mengungkapkan perasaannya, Adisti malah menolak walau dia juga menyukainya. “Ah, pasti aku menangkap sinyal yang salah.” Biyan mengusap tengkuknya. “Kukira, kamu—kamu menyukaiku.” “Ya, aku suka sama kamu.” Pernyataan itu mengejutkan pria di hadapannya. “Cuma, aku heran aja, kenapa ungkapan yang manis itu harus diikuti tawaran jadi pacar? Kenapa enggak ditanya dulu apa lawannya punya perasaan yang sama?” “Nah, barusan
Dalam penantian yang berjalan lambat, Adisti menyadari musim panas di Yunani sebentar lagi berakhir. Dari durasi siang yang perlahan memendek, diikuti cuaca yang tak sepanas saat dia datang. Beberapa pohon pun mulai menunjukkan perubahan pada warna daun-daunnya menjadi hijau kecokelatan. Sayang sekali jadwal kepulangannya ke Indonesia bertepatan saat musim gugur dimulai. Padahal, Adisti menyukai musim tersebut. Tak terlalu panas ataupun dingin. Cuaca yang sebenarnya cocok dengan atmosfer tulisannya. Omong-omong soal proyek menulisnya…. “Kekejar enggak ya 20 bab terakhir,” guman Chelsea saat menyiapkan makan malam. “Udah gumoh mikirin konflik, padahal udah tahu penyelesaiannya kayak gimana.” “Mungkin kamu harus kasih jarak sama naskahnya. Sehari dua hari juga cukup.” Adisti mengeluarkan potongan daging ayam dari kulkas. “By the way, cowok-cowok pada ke mana, ya?” “Randy lagi urusan bentar ke dermaga. Kalau Batara….” Lawan bicaranya mengedik. “Habis pulang trekking hari ini, dia mas
Halo, teman-teman.Setelah hampir setahun, aku memutuskan menamatkan "Membuatmu Jatuh Cinta Lagi" di bab 60. Ending untuk novel ini sengaja digantung, karena akan dilanjutkan dalam buku baru. Untuk kapan tayangnya mungkin enggak dalam waktu terdekat, karena perlu disiapkan dulu naskahnya.Terima kasih untuk kalian yang sudah mengikuti kisah Biyan dan Adisti sampai titik ini. Sampai bertemu di cerita-cerita berikutnya!erl.
“Welcome home, Babe!”Adisti langsung melepas tas untuk menyambut pelukan Indah. Keduanya melompat-lompat kegirangan; melepas rindu setelah tiga bulan berpisah. Kemudian, dia beralih mendekap Gumilar yang masih mengenakan pakaian kerjanya.“Dis, kita cabut duluan, ya!” Chelsea menghampirinya. “Kalau udah ada yang nerbitin novel, tolong saling kabari.”“Hati-hati. Sampai ketempu lagi!” Adisti menyalami satu per satu rekan residensinya. “Eh, minggu depan kita masih harus ketemu Daffa, kan?”“He-eh, buat penutupan sama pengarahan naskah,” sahut Randy. “Sekalian makan-makan sebelum mencar ke masing-masing kehidupan.”Adisti menyanggupi, sebelum berpisah dengan keduanya. Pandangannya lantas terarah pada Batara yang berjalan bersama Daffa. Perempuan itu meminta Gumilar dan Indah untuk menunggu sebentar, lalu menghampiri kedua pria itu.“Hei,” sapanya. “Aku balik duluan, ya. Udah dijemput sama Papa dan temanku.”“That’s okay, kami kebetulan pulang ke arah yang sama,” ujar Daffa. “Sebentar, s
Biyan tak menyangka penyelidikan kecil-kecilannya bakal viral di media sosial.Berawal dari beberapa karyawan yang merekam upaya Utari melepaskan diri dari dua satpam yang menahannya, video tersebut diunggah ke sejumlah platform. Dalam hitungan jam, konten tersebut menuai reaksi netizen.Sebagian menanyakan kronologi kejadian, sebagian lagi—yang mengenali Utari—malah berbagi pengalaman di masa lalu. Ada pula yang melempar celetukan kurang pantas yang tak mau Biyan lihat.Gara-gara itu pula, Salma terpaksa mengadakan konferensi pers demi menjaga nama baik perusahaan serta keluarga Adiratna.“Mama masih tidak percaya dengan kejadian ini.” Di depan cermin, Salma mematut pakaian serbahitam dengan riasan simpel. “Sampai sekarang, Utari belum mengatakan motifnya. Dia malah bakal memanggil pengacara keluarga.”‘Seandainya Mama enggak terus melibatkannya dalam kehidupanku, mungkin kita bakal menjalani hari-hari yang lebih normal.’“Sebagai pengingat, aku yang jadi korban, Ma.” Biyan juga tak
Tiga hari menjelang jadwal kepulangan ke Indonesia, para peserta residensi di Evia berangkat ke Athena untuk menikmati masa tenang. Vila yang biasanya tenang kini riuh karena para penghuninya sibuk berkemas. Koper dan tas dipindahkan ke ruang tengah, sementara kamar-kamar dibersihkan hingga rapi.“Sudah cek semua bawaan kalian? Jangan sampai ada barang tertinggal, bakal tepot mengurus pengembaliannya.” Menilai dari pernyataan tadi. Daffa pasti pernah mengalami kendala tersebyt. “Saya akan kirim voucher kamar hotel yang kalian tempat di Athena. Satu kamar untuk dua orang. Adisti bersama Chelsea, Batara bersama Randy.”Sembari menunggu mini bus yang akan dibawa Kyro, Adisti melongok sebentar ke vila Biyan. Sudah sebulan lebih mereka terpisah. Hanya Indah yang menjembatani komunikasi di antara mereka. Sayangnya, sang sahabat belum mengabari kelanjutan kabar Biyan yang meminum kopi yang telah dimasukkan bius.“Apa Biyan akan menjemputmu?”Dari belakang, Biyan berjalan menghampiri. “Akhirn
“Kenapa kamu tidak masuk kantor kemarin, Biyan? Benar kamu sakit? Kenapa kamu tidak menghubungi Mama?”Kala Salma memasuki ruang kerjanya, Biyan mengisyaratkan Arthur untuk meninggalkan mereka berdua. Setelah sehari bermalam di indekos asistennya, pria itu memberanikan diri pulang ke apartemen. Dia pun menghubungi staf HR untuk absen sehari walau kondisi tubuhnya sudah membaik.“Iya, aku kelelahan,” sahut Biyan tanpa melepas tatapannya dari layar laptop. “Apa Mama sudah menerima draf perjanjian dari Utari?”“Justru itu, Mama ingin menanyakan keberadannya padamu.” Salma duduk di sofa. Respons sang ibu pun menerbitkan rasa penasaran Biyan. “Dia sempat ke kantor untuk mengambil barang-barangnya selepas meeting. Saat Mama tanya kenapa kalian pulang terpisah, Utari bilang kamu langsung pergi ke apartemen.”Pandangan Biyan tertuju pada Salma yang tampak serius dengan perkataannya. “Apa Utari terlihat gugup atau salah tingkah saat bertemu Mama?”Alit sang ibu bertaut. “Kenapa pula Mama harus
“Batara kelelahan, dia harus bedrest total dua hari.” Daffa menyampaikan pesan dokter yang berkunjung untuk pemeriksaan. “Benar selama seminggu terakhir dia treking berjam-jam?”Adisti mengonfirmasi lewat anggukan. “Kadang dia pulang setelah kami makan siang, lalu melanjutkan tulisannya.”“Apa dia sedang ada masalah?”Kali ini, Adisti memandangi Chelsea dan Randy yang tengah membereskan peralatan makan. Dari lirikan-lirikan singkat, mereka sepakat untuk menyembunyikan drama yang terjadi beberapa hari terakhir.“Batara enggak cerita,” Randy yang menjawab. “Makanya kami juga kaget waktu lihat dia menggigil di kamar.”Daffa lantas meminta ketiganya menjaga Batara dan melaporkan hal-hal yang perlu dibereskan bersama. Setelah dia pergi, Adisti lantas pamit pada Chelsea dan Randy untuk naik ke lantai dua.Saat hendak masuk ke perpustakaan, Adisti melintasi kamar Batara yang sedikit terbuka. Perlahan dari celah pintu, dia mengintip pria yang tengah tertidur nyenyak. Wajahnya terlihat lebih t
‘Bersikaplah profesional’. Dua kata itu terus Biyan rapalkan setiap kali bertugas dengan Utari. Syukur-syukur dia bisa pergi mengajak Arthur. Namun, perempuan itu selalu punya akal untuk mengusir asistennya, sehingga mereka bisa keluar berdua. Seperti hari ini misalnya saat Biyan menemui klien potensial mereka di hotel selepas makan siang. “Oh, ini hotel favorit Tante Salma,” celetuk Utaru saat mereka memasuki meeting room. “Kamar-kamar yang mereka sediakan bagus. Cocok buat staycation.”Biyan hanya menggumam rendah sembari mengecek dokumen-dokumen yang akan dipresentasikan. Diam-diam, dia juga berharap semua tamu datang lebih cepat. “Kamu mau pesan sesuatu?” Sadar sedang diabaikan, Utari malah makin mempersempit jarak di antara mereka berdua. “Kafe di bawah jual pastry yang enak—” “Selamat siang, Pak Hendra!” Biyan berdiri dari kursi kala klien mereka datang. Rasanya lega sekali karena dia bisa meloloskan diri dark Utari. “Mari kita tunggu tamu yang lain datang.” Gusar, Utari mem
Dalam penantian yang berjalan lambat, Adisti menyadari musim panas di Yunani sebentar lagi berakhir. Dari durasi siang yang perlahan memendek, diikuti cuaca yang tak sepanas saat dia datang. Beberapa pohon pun mulai menunjukkan perubahan pada warna daun-daunnya menjadi hijau kecokelatan. Sayang sekali jadwal kepulangannya ke Indonesia bertepatan saat musim gugur dimulai. Padahal, Adisti menyukai musim tersebut. Tak terlalu panas ataupun dingin. Cuaca yang sebenarnya cocok dengan atmosfer tulisannya. Omong-omong soal proyek menulisnya…. “Kekejar enggak ya 20 bab terakhir,” guman Chelsea saat menyiapkan makan malam. “Udah gumoh mikirin konflik, padahal udah tahu penyelesaiannya kayak gimana.” “Mungkin kamu harus kasih jarak sama naskahnya. Sehari dua hari juga cukup.” Adisti mengeluarkan potongan daging ayam dari kulkas. “By the way, cowok-cowok pada ke mana, ya?” “Randy lagi urusan bentar ke dermaga. Kalau Batara….” Lawan bicaranya mengedik. “Habis pulang trekking hari ini, dia mas
“Adisti, aku suka sama kamu. Mau jadi pacarku?” Pernyataan perasaan itu, yang pertama Adisti dapatkan di bangku SMP, terdengar lebih manis sebelum dirinya beranjak dewasa. Ada seseorang yang menyukainya! Seseorang yang memberikan perhatian lebih selain dari Gumilar! Seseorang yang akan terus menjaganya. Namun, seiring bertambahnya usia, lalu terjun ke dunia penulis, Adisti dibuat bertanya-tanya: mengapa saat seseorang menyatakan perasaan suka selalu diikuti tawaran untuk jadi kekasih mereka? Mengapa harus ada validasi dalam bentuk hubungan? Maka, saat mendengar Biyan mengungkapkan perasaannya, Adisti malah menolak walau dia juga menyukainya. “Ah, pasti aku menangkap sinyal yang salah.” Biyan mengusap tengkuknya. “Kukira, kamu—kamu menyukaiku.” “Ya, aku suka sama kamu.” Pernyataan itu mengejutkan pria di hadapannya. “Cuma, aku heran aja, kenapa ungkapan yang manis itu harus diikuti tawaran jadi pacar? Kenapa enggak ditanya dulu apa lawannya punya perasaan yang sama?” “Nah, barusan