“Apa yang bikin kamu pengin nulis ulang kisah Eros dan Psyche selain ketertarikanmu pada mitologi Yunani?”“Kompleksitas ceritanya. Eros dan Psyche harus melewati berbagai cobaan, bahkan dipisahkan Aphrodite, sebelum akhirnya dipertemukan dan akhirnya menikah.”“Wow, bahkan untuk dewa yang bertugas menancapkan panah asmara, Eros punya kisah yang tragis.”“Untuk seorang perempuan yang namanya menjadi dasar kata psikologi, Psyche juga punya mental yang kuat demi mendapatkan cintanya kembali.”Kenapa baru sekarang Biyan juga menyadari kisah Eros dan Psyche sangat mirip dengannya dan Adisti?Kesadaran itu seketika muncul saat Biyan membaca salah satu versi lengkap mitologi tersebut di penerbangan pulang menuju Jakarta. Kisah sejoli yang berusaha mempertahankan cinta di tengah berbagai ujian. Berkali-kali terpisah, lalu menghadapi pengkhianatan dari orang-orang yang mereka anggap sebagai keluarga. Bisa jadi pula Adisti memilihnya sebagai bentuk ekspresi diri. Keterbatasan ingatan yang Biy
Melepas Biyan pergi bersama Salma di bandara menjadi momen yang terlalu sering Adisti ingat. Di sisi lain, dia juga ingin terus mengulang janji yang suaminya katakan.Karena kata-kata itulah yang akan menguatkannya selama menjalani sisa masa residensi.“Kamu serius mau tinggal di vila?” Chelsea memasang wajah cemas saat memastikan keputusan Adisti. “Ayahmu emangnya bakal datang pukul berapa?”“Sekitar satu jam lagi. Dia harus mengurus beberapa hal di rumah sakit.” Ditepuknya punggung tangan Chelsea. “Aku udah baikan, kok. Kebetulan ada hal yang perlu aku bicarakan sama ayahku sebelum dia pulang.”Chelsea mengangguk paham, lalu mengambil tas selempang yang tersampir di sandaran kursi. “Padahal kami bikin rencana ini buat kamu supaya bisa melepas penat.”“Kalian juga berhak bersantai.” Kemudian, Adisti beranjak dari kursi untuk mengantar perempuan itu ke depan vila. “Malah aku yang sering bolos dan mangkir dari jadwal menulis yang kubikin sendiri.”Tak bisa memaksa, Chelsea akhirnya mas
“Selamat pagi, Pak Biyan. Selamat datang kembali di perusahaan….”Sambutan tersebut hanya melintasi telinga Biyan sambil lalu kala memasuki gedung perkantoran. Di hadapannya, Salma berjalan; mengantarkannya ke ruang kerja yang telah lama ditinggalkan. Gara-gara kondisinya pula, Biyan untuk sementara harus memulai lagi pekerjaannya dari posisi senior manager. Kendati familier dengan jobdesc utamanya, dia harus mengejar ketertinggalan terkait proyek, kebijakan, sampai pertemuan-pertemuan yang pernah dipegang. “Permisi,” seorang pria mengetuk pintu ruangannya. “Pagi, Pak Biyan. Saya Arthur, sekretaris yang ditugaskan sementara oleh Bu Salma untuk membantu Anda mempelajari dokumen selama satu bulan ke depan.”Biyan bersyukur Salma mempekerjakan orang lain alih-alih Utari untuk hal ini. “Halo, Arthur. Silakan duduk. Kamu bisa mulai jelaskan tugas-tugas yang pernah saya kerjakan selama empat tahun terakhir.”Arthur mengangguk patuh, lalu mengeluarkan laptopnya. Jujur saja, Biyan bakal bos
Adisti menutup laptop dan mengembuskan napas panjang. Tinggal sepuluh bab lagi untuk mencapai akhir kisah yang ditulis. Sungguh kalau bukan gara-gara dikejar tenggat waktu, dia bakal menyingkirkan draf ini untuk istirahat. Kepalanya sudah terlalu berat memikul banyak pikiran.Terutama Biyan yang tak kunjung memberi kabar.Sayang sekali tak ada perpanjangan telinga yang dapat Adisti andalkan di Jakarta. Gumilar bisa saja jadi informan, tetapi menilai dari insiden yang mereka alami, dia ragu Salma bakal mengajak Biyan berkonsultasi dengan ayahnya.Diambilnya ponsel yang tergeletak di dekat bantal. Sebentar lagi makan malam. Belakangan, Adisti malas berkumpul karena harus berhadapan dengan Batara. Walau sudah memaafkan kesalahannya, dia jadi sulit menaruh kepercayaan lagi pada pria itu.Saat hendak tidur sebentar, ponselnya bergetar. Adisti mengecek nama yang muncul di layar dan seketika terbangun kala menangkap nomor telepon Indah.“Hei, penulis residensi kesayangan,” sapa Indah. “Sibuk
Biyan, yang tengah mengecek dokumen dari Arthur, membaca ulang pesan-pesan tersebut. Untuk kiriman seperti ini, dia tak bisa mencantumkan alamat rumah Salma. Bahaya kalau sang ibu langsung yang menerima.Kantor terkesan seperti opsi teraman, tetapi Biyan juga enggan menarik atensi dari banyak orang. Terutama selama masa pelatihan. Sayang sekali dia belum bisa mengurus kepindahan ke apartemen.Berarti, satu-satunya cara yang bisa Biyan ambil sekarang adalah…Ketika Indah mengiyakan, Biyan langsung mengirimkan alamat tempat untuk bertemu besok.*Tepat menjelang makan siang, Biyan kembali menyelinap dari ruang kerja sebelum Arthur mengajaknya pergi ke kantin. Derap langkahnya terus dipercepat sampai dia berhasil keluar gedung dan menjauhi area perkantoran. Bermodal ingatan lama dan peta digital, Biyan tiba di perpustakaan publik yang dapat ditempuh dengan jalan kaki. Sebenarnya dia ingin mengecek koleksi buku di dalam, tetapi ragu bakal diberikan izin karena belum menjadi anggota. Kafe
“Adisti, aku suka sama kamu. Mau jadi pacarku?” Pernyataan perasaan itu, yang pertama Adisti dapatkan di bangku SMP, terdengar lebih manis sebelum dirinya beranjak dewasa. Ada seseorang yang menyukainya! Seseorang yang memberikan perhatian lebih selain dari Gumilar! Seseorang yang akan terus menjaganya. Namun, seiring bertambahnya usia, lalu terjun ke dunia penulis, Adisti dibuat bertanya-tanya: mengapa saat seseorang menyatakan perasaan suka selalu diikuti tawaran untuk jadi kekasih mereka? Mengapa harus ada validasi dalam bentuk hubungan? Maka, saat mendengar Biyan mengungkapkan perasaannya, Adisti malah menolak walau dia juga menyukainya. “Ah, pasti aku menangkap sinyal yang salah.” Biyan mengusap tengkuknya. “Kukira, kamu—kamu menyukaiku.” “Ya, aku suka sama kamu.” Pernyataan itu mengejutkan pria di hadapannya. “Cuma, aku heran aja, kenapa ungkapan yang manis itu harus diikuti tawaran jadi pacar? Kenapa enggak ditanya dulu apa lawannya punya perasaan yang sama?” “Nah, barusan
Dalam penantian yang berjalan lambat, Adisti menyadari musim panas di Yunani sebentar lagi berakhir. Dari durasi siang yang perlahan memendek, diikuti cuaca yang tak sepanas saat dia datang. Beberapa pohon pun mulai menunjukkan perubahan pada warna daun-daunnya menjadi hijau kecokelatan. Sayang sekali jadwal kepulangannya ke Indonesia bertepatan saat musim gugur dimulai. Padahal, Adisti menyukai musim tersebut. Tak terlalu panas ataupun dingin. Cuaca yang sebenarnya cocok dengan atmosfer tulisannya. Omong-omong soal proyek menulisnya…. “Kekejar enggak ya 20 bab terakhir,” guman Chelsea saat menyiapkan makan malam. “Udah gumoh mikirin konflik, padahal udah tahu penyelesaiannya kayak gimana.” “Mungkin kamu harus kasih jarak sama naskahnya. Sehari dua hari juga cukup.” Adisti mengeluarkan potongan daging ayam dari kulkas. “By the way, cowok-cowok pada ke mana, ya?” “Randy lagi urusan bentar ke dermaga. Kalau Batara….” Lawan bicaranya mengedik. “Habis pulang trekking hari ini, dia mas
‘Bersikaplah profesional’. Dua kata itu terus Biyan rapalkan setiap kali bertugas dengan Utari. Syukur-syukur dia bisa pergi mengajak Arthur. Namun, perempuan itu selalu punya akal untuk mengusir asistennya, sehingga mereka bisa keluar berdua. Seperti hari ini misalnya saat Biyan menemui klien potensial mereka di hotel selepas makan siang. “Oh, ini hotel favorit Tante Salma,” celetuk Utaru saat mereka memasuki meeting room. “Kamar-kamar yang mereka sediakan bagus. Cocok buat staycation.”Biyan hanya menggumam rendah sembari mengecek dokumen-dokumen yang akan dipresentasikan. Diam-diam, dia juga berharap semua tamu datang lebih cepat. “Kamu mau pesan sesuatu?” Sadar sedang diabaikan, Utari malah makin mempersempit jarak di antara mereka berdua. “Kafe di bawah jual pastry yang enak—” “Selamat siang, Pak Hendra!” Biyan berdiri dari kursi kala klien mereka datang. Rasanya lega sekali karena dia bisa meloloskan diri dark Utari. “Mari kita tunggu tamu yang lain datang.” Gusar, Utari mem