Sebagai anak tunggal, Biyan selalu dilimpahi kasih sayang yang tak pernah putus dari kedua orangtuanya. Bahkan saat ayahnya meninggal, Salma seakan menaikan curahan perhatiannya dua kali lipat. Karena hal ini pula, pria itu mengira ibunya tak bakal menuntut banyak saat dia mulai mengambil keputusan-keputusan besar.Salah satunya saat menjalin hubungan serius dengan Adisti.Pada awalnya, Biyan mengira sikap ketus Salma di bulan-bulan pertama pacaran muncul gara-gara belum ikhlas mendapatinya putus dari Utari. Akan tetapi, sampai dia bertunangan dan menikah dengan Adisti, kesinisan sang ibu justru makin parah.Hingga detik ini, kala Biyan yakin Salma, bersama Utari, tengah berusaha memutus semua akses yang menghubungkannya pada Adisti.“Mama sudah booking kamar untuk kita dekat rumah sakit rujukan dari Jakarta.” Salma mengawasi Biyan yang sedang berkemas. “Kalau kondisimu belum membaik, kita pindah ke Swiss. Tapi kalau dokter bilang kamu bisa beraktivitas seperti biasa, kita pulang ke J
Pesan-pesan dari Gumilar terkirim dua jam sebelum Adisti terbangun. Belum ada lanjutan, barangkali sang ayah sedang istirahat supaya jetlag-nya hilang. Di tengah kesadaran yang mengawang, perempuan itu juga memikirkan cara untuk pergi ke Athena.Sewa mobil jadi salah satu cara tercepat untuk menjangkau kota tersebut. Namun, uang sakunya kian menipis. Apa Adisti perlu menghubungi Daffa? Mungkin saja dia diizinkan memakai mobil yang selalu mengantar mereka ke tempat-tempat di Evia.‘Eh, tapi apa Daffa bakal kasih pinjam?’ gumamnya kala membuka pintu. ‘Kan kunjunganku ke Athena enggak berhubungan sama residensi….’Buk! Gara-gara melamun dan masih agak mengantuk, Adisti sampai tak sadar Batara bersilang jalan dengannya. Pria itu ikut mengaduh, tetapi dengan cepat memastikan kondisinya.“Sori, Dis, kukira kamu belum bangun,” ujar Batara saat mengelus puncak kepalanya. “Tumben udah keluar kamar.”“Ayahku udah ada di Athena….” Adisti menangkap sorot bingung dari wajah Batara. Ah, rekan resid
Kyro ternyata tipe pengemudi yang tak banyak bicara. Di awal perjalanan, Adisti sempat mengobrol singkat dengannya sebelum mereka sibuk dengan masing-masing pikiran. Perempuan itu mensyukurinya, sebab benaknya sudah terlalu riuh memikirkan Biyan.Ketika menyeberangi jembatan, ponselnya bergetar. Adisti serta-merta melepas napas lega kala mendapati Gumilar yang mengirim pesan tersebut. “Kyro,” panggilnya sambil menunjukkan layar ponsel, “apa kamu tahu lokasi hotel ini?”Pria itu memicingkan mata, lalu mengangguk. “Dekat dengan pasar yang akan saya kunjungi. Nanti saya drop kamu di sana saja, ya.”Diam-diam, Adisti berdoa agar pekerjaan Kyro selalu dilancarkan.Keriaan musim panas menyambut Adisti kala Kyro memasuki jalanan Athena. Berbeda dari Evia yang tergolong menenangkan, kota ini riuh dengan warga lokal serta wisatawan yang berinteraksi di sejumlah tempat. Kedai. Restoran. Toko suvenir. Saat menengadah, Adisti menangkap kuil Parthenon yang berdiri megah di bukit Akropolis. Dia,
“Kamu mau ke mana, Biyan?”“Jalan-jalan. Suntuk di kamar terus.”“Aku ikut, ya?”Biyan menghentikan langkahnya di lobi hotel. Dengan langkah tergopoh, Utari menyusul. Malas sebenarnya harus bepergian dengan perempuan itu, tetapi pria itu tak mau ribut kalau Salma tahu dia kelayapan sendiri.‘Kamu terlihat menyedihkan, Utari.’ Kata-kata itu tertahan di ujung lidah Biyan. Ada baiknya dia bersikap tenang, siapa tahu dari obrolan yang muncul, Utari bakal memberikan informasi yang diperlukan.Terutama tentang keberadaan kamera-kamera pengintai di vila.“Syukurlah kamu pakai sneakers, aku kebetulan pengin jalan kaki ke Monastiraki.” Keramaian serta-merta menyambut Biyan saat keluar hotel. “Apa ibuku memberi kabar kapan dia akan pulang?”Utari, yang berusaha mengimbangi langkahnya, menggeleng cepat. “Tante Salma cuma bilang dia ada keperluan sama temannya.”‘Teman yang mana?’ Di sisi lain, Biyan tak terlalu terkejut mengingat Salma punya rekan bisnis di berbagai negara.“Kamu sendiri, kenapa
“Dari mana kamu dapat kabar itu, Adisti? Siapa yang memberitahumu?”“Aku—” Perempuan itu mengusap wajahnya. “Aku enggak sengaja dengar percakapan antara orangtua kita. Mereka kayaknya masih di hotel tempat ayahku menginap.”Ternyata ke sana Salma pergi. Namun, untuk apa pula dia menemui ayah Adisti di hotel alih-alih rumah sakit?“Apa kamu mendengar semua isi percakapan mereka?” Menilai dari kabar yang disampaikan istrinya, Biyan ragu mereka membicarakan kondisi kesehatan yang dialaminya.“Hanya sepotong-sepotong,” sahut Adisti dengan suara bergetar. “Awalnya, yang kutangkap hanya ayahku yang mempermasalahkan sikap ibumu padaku. Terus tiba-tiba mereka… menyinggung sesuatu yang terjadi si masa lalu.”Kedua alis Biyan bertaut. “Masa lalu?”“Ya, aku sendiri enggak bisa menyimpulkan semuanya karena terlalu kaget.” Adisti mengambil tisu di ujung meja bar. “Ayahku bilang tentang sakit hati, lalu ibumu mengeluhkan sikapnya, sampai ada ucapan aku tetap anak ayahku walau enggak sedarah….“Juju
Sesampainya di vila—serta membayar uang bensin kepada Kyro—Adisti bergegas masuk ke dalam ruangan. Suasana yang sepi menguntungkannya untuk masuk tanpa perlu memasang senyum palsu. Akan tetapi mendekati puncak tangga, dia malah berpapasan dengan Batara.“Kupikir kamu bakap pulang agak malam.” Batara memiringkan kepala kala Adisti berusaha menghindari tatapannya. “Hei, apa sesuatu yang buruk terjadi di Athena?”“Enggak apa-apa, aku—” Adisti menggerutu mendengar suaranya yang agak serak. “Aku mau istirahat sebentar di kamar sebelum makan malam.”Namun, Batara tak langsung percaya. Pria itu sengaja menahan tangan Adisti sebelum masuk ke kamar.“Kita berempat adalah rekan residensi,” ucapnya. “Mungkin enggak dekat secara personal, tapi kami siap membantu seperti yang aku dan Randy lakukan kemarin di vila Biyan.”Jika saja penemuan yang didapatkan tak bersifat personal, Adisti pasti bakal mengandalkan ketiga temannya untuk penelusuran lanjut. Sayangnya, kali ini dia yang harus bergerak sen
“Perkenalkan, ini putri semata wayang saya. Namanya Adisti Pramatya. Hari ini, dia mau menemani saya bekerja.” “Udah besar, ya, Pak. Apa nanti nyusul juga jadi dokter di sini?” “Ah, saya mah enggak mau ngeberatin dia. Kalau punya minat yang dia sukai, saya dukung asal bermanfaat dan enggak merugikan orang lain.” Saat duduk di bangku SD, Adisti kerap menghabiskan waktunya di rumah sakit selepas pulang sekolah. Kadang dia bosan harus menunggu di ruang kerja Gumilar, kadang dia bermain bersama para perawat atau dokter anak yang sedang bertugas. Pada saat itu, Adisti berpikir kedekatannya dengan para tenaga medis karena mereka rekan kerja Gumilar. Namun, siapa yang menduga jalinan tersebut telah lama dibangun jauh sebelum dia dapat merangkak. “Jadi, kamu sudah mendengarnya.” Gumilar ternyata tak mengelak. “Cepat atau lambat, kamu pasti bakal tahu rahasia ini. Hanya saja Papa enggak menduga caranya akan seperti ini.” Dada Adisti terasa sesak mendengar kenyataan itu langsung dar
Menyaksikan kecewa, amarah, dan pilu yang Salma perlihatkan saat menceritakan masa lalunya dengan Gumilar perlahan melunakkan hati Biyan. Di satu sisi, dia akhirnya mengerti mengapa sang ibu selalu bersikap ketus pada Adisti.Di sisi lain, Biyan tak dapat membayangkan pengorbanan yang Salma lakukan. Dari memperjuangkan hubungannya dengan Gumilar, menekan rasa sakit saat berpisah, lalu pasrah dijodohkan dengan pria yang tak dicintainya.Selama lebih dari tiga dekade terakhir, Salma melepas banyak impian serta kedamaian yang dia dambakan.“Ma,” panggil Biyan lembut sembari mengusap punggung tangannya, “aku minta maaf kalau selama ini bersikap keras atau malah membangkang. Seandainya aku tahu lebih awal….”“Biyan, tidak seperti itu cara kerjanya. Mama sudah melewati masa berandai-andai, karena hal itu malah makin membuat mental lelah.” Salma menggenggam tangan putranya. “Melihatmu memperlakukan Adisti mengingatkan Mama pada masa-masa saat bersama Gumilar. Kamu dan mertuamu tahu cara mem