Momen inilah yang Adisti inginkan saat dia dan Biyan merayakan ulang tahun pernikahan mereka. Bermalam di hotel mewah, memandangi city view, lalu… bercinta sampai pagi. Mereka memang sedang berada jauh dari Jakarta, tetapi Evia menawarkan pemandangan yang jauh lebih indah. Saat terjaga, Adisti menangkap langit malam berhias bulan sabit dengan kerlip bintang di sekitarnya. Deburan ombak yang lembut menjadi alunan musik yang membuat suasana makin syahdu.Saat menggerakkan tubuh, Adisti menyadari ada sesuatu yang melingkari perutnya. Perempuan itu menyingkap selimut dan menemukan sepasang tangan tengah mendekapnya erat-erat.Matanya mengerjap. Pipinya perlahan menghangat. Rasanya masih seperti mimpi mendapati Biyan menyentuhya. Memuaskannya. Jika bisa, Adisti ingin menghentikan waktu agar mereka bisa terus hidup pada momen tersebut.Lamunannya tak berlangsung lama kala bunyi ‘kruyuuuk’ terdengar dari perut. Adisti tak memungkiri energinya terkuras, apalagi mereka melewatkan makan malam
‘Maaf, Adisti. Setelah hari ini, kamu mungkin bakal sulit menghubungiku.’Saat mencapai klimaks untuk kali kedua, Biyan membenamkan wajahnya pada lekukan leher Adisti. Cahaya kuning keemasan dari sang surya menimpa kulit tubuhnya yang dibasahi peluh. Sementara di sekitar mereka, buku-buku dari berbagai genre dan penulis menjadi saksi penyatuan yang begitu panas.“Mas, aku pengin pulang sama kamu,” gumam Adisti yang masih terengah. “Atau kita menetap permanen aja di sini supaya enggak diganggu?”Tawaran yang sebenarnya menggoda untuk diwujudkan. “Sebentar lagi, ya. Kalau hasil pemeriksaan dengan ayahmu bagus, aku bakal tinggal lagi sama kamu. Untuk Mama, biar nanti yang aku urus.” Itu artinya, Biyan harus menyiapkan strategi agar Salma tak memboyongnya ke Swiss.“Mampirlah ke vilaku,” ujar Adisti sambil membereskan pakaiannya. “Kamu bisa bawa laptop buat browsing dan ngumpulin bukti tentang kecelakaan yang menimpa kita dulu.”Biyan tersenyum samar menanggapinya. Kalaupun bisa, waktuny
“Mama baru sampai di Athena. Utari sedang di jalan untuk menjemput. Mungkin satu atau dua jam lagi akan tiba di Evia.”Pemberitahuan singkat tersebut seketika membuat Biyan bergidik ngeri. Ternyata dugaannya benar, Salma bisa datang kapan saja. Syukurnya, Adisti sudah pulang ke vila untuk meneruskan proyek.Namun, fakta bahwa pertemuan mereka hari ini bisa jadi yang terakhir tak kuasa menerbitkan kesedihan. Biyan sudah mengumpulkan semua informasi yang diperlukan, tetapi dia ragu dapat pulang bersama istrinya dalam waktu terdekat.‘Fokuskan dulu pada ibumu dan Utari.’ Maka, setelah mencuci peralatan makan, Biyan melanjutkan dengan merapikan beberapa bagian rumah. Terutama yang sempat dipakai berduaan bersama Adisti. Di perpustakaan, dia menata ulang sejumlah buku yang berjatuhan dan mengganti karpet yang tampak berdebu.Saat hendak merapikan bingkai foto, matanya menangkap sesuatu di dalam jam berbentuk kotak di meja. Ada sesuatu yang berkedip di dalam sana. Penasaran, Biyan mengamb
“Apa maksudmu di vila Biyan ada penguntit?”“Kami belum tahu siapa pelakunya, tapi kamera-kamera yang ditemukan di sana agak… mencurigakan. Kayak yang sering dipasang diam-diam di kamar hotel.”“Terus, Biyan minta bantuan apa lagi sama kalian?”“Cuma nyisir ruangan sebentar, terus balik lagi ke vila.” Terdengar ada jeda di ujung telepon. “Randy sempet bilang, kayaknya ponsel Biyan diblokir dari akses internet. Soalnya kamera-kamera itu cuma bisa bekerja kalau ada Wifi.”Punggung Adisti merosot setelah mendengar laporan Batara. Pantas saja suaminya meminta bantuan tersebut, dia menemukan kamera penguntit di berbagai ruangan. Lantas, siapa pelakunya? Apa juga yang akan mereka lakukan pada hasil rekaman yang didapatkan?Seketika, tubuhnya bergidik kala mengingat momen-momen intim yang dilakukannya bersama Biyan. Semoga saja kamera itu tak mengarah ke tempat mereka beradu kasih.“Dis, aku udah beres, nih!” Chelsea keluar dari penatu sambil membawa kantung berisi pakaian. “Kamu katanya mau
Sebagai anak tunggal, Biyan selalu dilimpahi kasih sayang yang tak pernah putus dari kedua orangtuanya. Bahkan saat ayahnya meninggal, Salma seakan menaikan curahan perhatiannya dua kali lipat. Karena hal ini pula, pria itu mengira ibunya tak bakal menuntut banyak saat dia mulai mengambil keputusan-keputusan besar.Salah satunya saat menjalin hubungan serius dengan Adisti.Pada awalnya, Biyan mengira sikap ketus Salma di bulan-bulan pertama pacaran muncul gara-gara belum ikhlas mendapatinya putus dari Utari. Akan tetapi, sampai dia bertunangan dan menikah dengan Adisti, kesinisan sang ibu justru makin parah.Hingga detik ini, kala Biyan yakin Salma, bersama Utari, tengah berusaha memutus semua akses yang menghubungkannya pada Adisti.“Mama sudah booking kamar untuk kita dekat rumah sakit rujukan dari Jakarta.” Salma mengawasi Biyan yang sedang berkemas. “Kalau kondisimu belum membaik, kita pindah ke Swiss. Tapi kalau dokter bilang kamu bisa beraktivitas seperti biasa, kita pulang ke J
Pesan-pesan dari Gumilar terkirim dua jam sebelum Adisti terbangun. Belum ada lanjutan, barangkali sang ayah sedang istirahat supaya jetlag-nya hilang. Di tengah kesadaran yang mengawang, perempuan itu juga memikirkan cara untuk pergi ke Athena.Sewa mobil jadi salah satu cara tercepat untuk menjangkau kota tersebut. Namun, uang sakunya kian menipis. Apa Adisti perlu menghubungi Daffa? Mungkin saja dia diizinkan memakai mobil yang selalu mengantar mereka ke tempat-tempat di Evia.‘Eh, tapi apa Daffa bakal kasih pinjam?’ gumamnya kala membuka pintu. ‘Kan kunjunganku ke Athena enggak berhubungan sama residensi….’Buk! Gara-gara melamun dan masih agak mengantuk, Adisti sampai tak sadar Batara bersilang jalan dengannya. Pria itu ikut mengaduh, tetapi dengan cepat memastikan kondisinya.“Sori, Dis, kukira kamu belum bangun,” ujar Batara saat mengelus puncak kepalanya. “Tumben udah keluar kamar.”“Ayahku udah ada di Athena….” Adisti menangkap sorot bingung dari wajah Batara. Ah, rekan resid
Kyro ternyata tipe pengemudi yang tak banyak bicara. Di awal perjalanan, Adisti sempat mengobrol singkat dengannya sebelum mereka sibuk dengan masing-masing pikiran. Perempuan itu mensyukurinya, sebab benaknya sudah terlalu riuh memikirkan Biyan.Ketika menyeberangi jembatan, ponselnya bergetar. Adisti serta-merta melepas napas lega kala mendapati Gumilar yang mengirim pesan tersebut. “Kyro,” panggilnya sambil menunjukkan layar ponsel, “apa kamu tahu lokasi hotel ini?”Pria itu memicingkan mata, lalu mengangguk. “Dekat dengan pasar yang akan saya kunjungi. Nanti saya drop kamu di sana saja, ya.”Diam-diam, Adisti berdoa agar pekerjaan Kyro selalu dilancarkan.Keriaan musim panas menyambut Adisti kala Kyro memasuki jalanan Athena. Berbeda dari Evia yang tergolong menenangkan, kota ini riuh dengan warga lokal serta wisatawan yang berinteraksi di sejumlah tempat. Kedai. Restoran. Toko suvenir. Saat menengadah, Adisti menangkap kuil Parthenon yang berdiri megah di bukit Akropolis. Dia,
“Kamu mau ke mana, Biyan?”“Jalan-jalan. Suntuk di kamar terus.”“Aku ikut, ya?”Biyan menghentikan langkahnya di lobi hotel. Dengan langkah tergopoh, Utari menyusul. Malas sebenarnya harus bepergian dengan perempuan itu, tetapi pria itu tak mau ribut kalau Salma tahu dia kelayapan sendiri.‘Kamu terlihat menyedihkan, Utari.’ Kata-kata itu tertahan di ujung lidah Biyan. Ada baiknya dia bersikap tenang, siapa tahu dari obrolan yang muncul, Utari bakal memberikan informasi yang diperlukan.Terutama tentang keberadaan kamera-kamera pengintai di vila.“Syukurlah kamu pakai sneakers, aku kebetulan pengin jalan kaki ke Monastiraki.” Keramaian serta-merta menyambut Biyan saat keluar hotel. “Apa ibuku memberi kabar kapan dia akan pulang?”Utari, yang berusaha mengimbangi langkahnya, menggeleng cepat. “Tante Salma cuma bilang dia ada keperluan sama temannya.”‘Teman yang mana?’ Di sisi lain, Biyan tak terlalu terkejut mengingat Salma punya rekan bisnis di berbagai negara.“Kamu sendiri, kenapa