‘Maaf, Adisti. Setelah hari ini, kamu mungkin bakal sulit menghubungiku.’Saat mencapai klimaks untuk kali kedua, Biyan membenamkan wajahnya pada lekukan leher Adisti. Cahaya kuning keemasan dari sang surya menimpa kulit tubuhnya yang dibasahi peluh. Sementara di sekitar mereka, buku-buku dari berbagai genre dan penulis menjadi saksi penyatuan yang begitu panas.“Mas, aku pengin pulang sama kamu,” gumam Adisti yang masih terengah. “Atau kita menetap permanen aja di sini supaya enggak diganggu?”Tawaran yang sebenarnya menggoda untuk diwujudkan. “Sebentar lagi, ya. Kalau hasil pemeriksaan dengan ayahmu bagus, aku bakal tinggal lagi sama kamu. Untuk Mama, biar nanti yang aku urus.” Itu artinya, Biyan harus menyiapkan strategi agar Salma tak memboyongnya ke Swiss.“Mampirlah ke vilaku,” ujar Adisti sambil membereskan pakaiannya. “Kamu bisa bawa laptop buat browsing dan ngumpulin bukti tentang kecelakaan yang menimpa kita dulu.”Biyan tersenyum samar menanggapinya. Kalaupun bisa, waktuny
“Mama baru sampai di Athena. Utari sedang di jalan untuk menjemput. Mungkin satu atau dua jam lagi akan tiba di Evia.”Pemberitahuan singkat tersebut seketika membuat Biyan bergidik ngeri. Ternyata dugaannya benar, Salma bisa datang kapan saja. Syukurnya, Adisti sudah pulang ke vila untuk meneruskan proyek.Namun, fakta bahwa pertemuan mereka hari ini bisa jadi yang terakhir tak kuasa menerbitkan kesedihan. Biyan sudah mengumpulkan semua informasi yang diperlukan, tetapi dia ragu dapat pulang bersama istrinya dalam waktu terdekat.‘Fokuskan dulu pada ibumu dan Utari.’ Maka, setelah mencuci peralatan makan, Biyan melanjutkan dengan merapikan beberapa bagian rumah. Terutama yang sempat dipakai berduaan bersama Adisti. Di perpustakaan, dia menata ulang sejumlah buku yang berjatuhan dan mengganti karpet yang tampak berdebu.Saat hendak merapikan bingkai foto, matanya menangkap sesuatu di dalam jam berbentuk kotak di meja. Ada sesuatu yang berkedip di dalam sana. Penasaran, Biyan mengamb
“Apa maksudmu di vila Biyan ada penguntit?”“Kami belum tahu siapa pelakunya, tapi kamera-kamera yang ditemukan di sana agak… mencurigakan. Kayak yang sering dipasang diam-diam di kamar hotel.”“Terus, Biyan minta bantuan apa lagi sama kalian?”“Cuma nyisir ruangan sebentar, terus balik lagi ke vila.” Terdengar ada jeda di ujung telepon. “Randy sempet bilang, kayaknya ponsel Biyan diblokir dari akses internet. Soalnya kamera-kamera itu cuma bisa bekerja kalau ada Wifi.”Punggung Adisti merosot setelah mendengar laporan Batara. Pantas saja suaminya meminta bantuan tersebut, dia menemukan kamera penguntit di berbagai ruangan. Lantas, siapa pelakunya? Apa juga yang akan mereka lakukan pada hasil rekaman yang didapatkan?Seketika, tubuhnya bergidik kala mengingat momen-momen intim yang dilakukannya bersama Biyan. Semoga saja kamera itu tak mengarah ke tempat mereka beradu kasih.“Dis, aku udah beres, nih!” Chelsea keluar dari penatu sambil membawa kantung berisi pakaian. “Kamu katanya mau
Sebagai anak tunggal, Biyan selalu dilimpahi kasih sayang yang tak pernah putus dari kedua orangtuanya. Bahkan saat ayahnya meninggal, Salma seakan menaikan curahan perhatiannya dua kali lipat. Karena hal ini pula, pria itu mengira ibunya tak bakal menuntut banyak saat dia mulai mengambil keputusan-keputusan besar.Salah satunya saat menjalin hubungan serius dengan Adisti.Pada awalnya, Biyan mengira sikap ketus Salma di bulan-bulan pertama pacaran muncul gara-gara belum ikhlas mendapatinya putus dari Utari. Akan tetapi, sampai dia bertunangan dan menikah dengan Adisti, kesinisan sang ibu justru makin parah.Hingga detik ini, kala Biyan yakin Salma, bersama Utari, tengah berusaha memutus semua akses yang menghubungkannya pada Adisti.“Mama sudah booking kamar untuk kita dekat rumah sakit rujukan dari Jakarta.” Salma mengawasi Biyan yang sedang berkemas. “Kalau kondisimu belum membaik, kita pindah ke Swiss. Tapi kalau dokter bilang kamu bisa beraktivitas seperti biasa, kita pulang ke J
Pesan-pesan dari Gumilar terkirim dua jam sebelum Adisti terbangun. Belum ada lanjutan, barangkali sang ayah sedang istirahat supaya jetlag-nya hilang. Di tengah kesadaran yang mengawang, perempuan itu juga memikirkan cara untuk pergi ke Athena.Sewa mobil jadi salah satu cara tercepat untuk menjangkau kota tersebut. Namun, uang sakunya kian menipis. Apa Adisti perlu menghubungi Daffa? Mungkin saja dia diizinkan memakai mobil yang selalu mengantar mereka ke tempat-tempat di Evia.‘Eh, tapi apa Daffa bakal kasih pinjam?’ gumamnya kala membuka pintu. ‘Kan kunjunganku ke Athena enggak berhubungan sama residensi….’Buk! Gara-gara melamun dan masih agak mengantuk, Adisti sampai tak sadar Batara bersilang jalan dengannya. Pria itu ikut mengaduh, tetapi dengan cepat memastikan kondisinya.“Sori, Dis, kukira kamu belum bangun,” ujar Batara saat mengelus puncak kepalanya. “Tumben udah keluar kamar.”“Ayahku udah ada di Athena….” Adisti menangkap sorot bingung dari wajah Batara. Ah, rekan resid
Kyro ternyata tipe pengemudi yang tak banyak bicara. Di awal perjalanan, Adisti sempat mengobrol singkat dengannya sebelum mereka sibuk dengan masing-masing pikiran. Perempuan itu mensyukurinya, sebab benaknya sudah terlalu riuh memikirkan Biyan.Ketika menyeberangi jembatan, ponselnya bergetar. Adisti serta-merta melepas napas lega kala mendapati Gumilar yang mengirim pesan tersebut. “Kyro,” panggilnya sambil menunjukkan layar ponsel, “apa kamu tahu lokasi hotel ini?”Pria itu memicingkan mata, lalu mengangguk. “Dekat dengan pasar yang akan saya kunjungi. Nanti saya drop kamu di sana saja, ya.”Diam-diam, Adisti berdoa agar pekerjaan Kyro selalu dilancarkan.Keriaan musim panas menyambut Adisti kala Kyro memasuki jalanan Athena. Berbeda dari Evia yang tergolong menenangkan, kota ini riuh dengan warga lokal serta wisatawan yang berinteraksi di sejumlah tempat. Kedai. Restoran. Toko suvenir. Saat menengadah, Adisti menangkap kuil Parthenon yang berdiri megah di bukit Akropolis. Dia,
“Kamu mau ke mana, Biyan?”“Jalan-jalan. Suntuk di kamar terus.”“Aku ikut, ya?”Biyan menghentikan langkahnya di lobi hotel. Dengan langkah tergopoh, Utari menyusul. Malas sebenarnya harus bepergian dengan perempuan itu, tetapi pria itu tak mau ribut kalau Salma tahu dia kelayapan sendiri.‘Kamu terlihat menyedihkan, Utari.’ Kata-kata itu tertahan di ujung lidah Biyan. Ada baiknya dia bersikap tenang, siapa tahu dari obrolan yang muncul, Utari bakal memberikan informasi yang diperlukan.Terutama tentang keberadaan kamera-kamera pengintai di vila.“Syukurlah kamu pakai sneakers, aku kebetulan pengin jalan kaki ke Monastiraki.” Keramaian serta-merta menyambut Biyan saat keluar hotel. “Apa ibuku memberi kabar kapan dia akan pulang?”Utari, yang berusaha mengimbangi langkahnya, menggeleng cepat. “Tante Salma cuma bilang dia ada keperluan sama temannya.”‘Teman yang mana?’ Di sisi lain, Biyan tak terlalu terkejut mengingat Salma punya rekan bisnis di berbagai negara.“Kamu sendiri, kenapa
“Dari mana kamu dapat kabar itu, Adisti? Siapa yang memberitahumu?”“Aku—” Perempuan itu mengusap wajahnya. “Aku enggak sengaja dengar percakapan antara orangtua kita. Mereka kayaknya masih di hotel tempat ayahku menginap.”Ternyata ke sana Salma pergi. Namun, untuk apa pula dia menemui ayah Adisti di hotel alih-alih rumah sakit?“Apa kamu mendengar semua isi percakapan mereka?” Menilai dari kabar yang disampaikan istrinya, Biyan ragu mereka membicarakan kondisi kesehatan yang dialaminya.“Hanya sepotong-sepotong,” sahut Adisti dengan suara bergetar. “Awalnya, yang kutangkap hanya ayahku yang mempermasalahkan sikap ibumu padaku. Terus tiba-tiba mereka… menyinggung sesuatu yang terjadi si masa lalu.”Kedua alis Biyan bertaut. “Masa lalu?”“Ya, aku sendiri enggak bisa menyimpulkan semuanya karena terlalu kaget.” Adisti mengambil tisu di ujung meja bar. “Ayahku bilang tentang sakit hati, lalu ibumu mengeluhkan sikapnya, sampai ada ucapan aku tetap anak ayahku walau enggak sedarah….“Juju
Halo, teman-teman.Setelah hampir setahun, aku memutuskan menamatkan "Membuatmu Jatuh Cinta Lagi" di bab 60. Ending untuk novel ini sengaja digantung, karena akan dilanjutkan dalam buku baru. Untuk kapan tayangnya mungkin enggak dalam waktu terdekat, karena perlu disiapkan dulu naskahnya.Terima kasih untuk kalian yang sudah mengikuti kisah Biyan dan Adisti sampai titik ini. Sampai bertemu di cerita-cerita berikutnya!erl.
“Welcome home, Babe!”Adisti langsung melepas tas untuk menyambut pelukan Indah. Keduanya melompat-lompat kegirangan; melepas rindu setelah tiga bulan berpisah. Kemudian, dia beralih mendekap Gumilar yang masih mengenakan pakaian kerjanya.“Dis, kita cabut duluan, ya!” Chelsea menghampirinya. “Kalau udah ada yang nerbitin novel, tolong saling kabari.”“Hati-hati. Sampai ketempu lagi!” Adisti menyalami satu per satu rekan residensinya. “Eh, minggu depan kita masih harus ketemu Daffa, kan?”“He-eh, buat penutupan sama pengarahan naskah,” sahut Randy. “Sekalian makan-makan sebelum mencar ke masing-masing kehidupan.”Adisti menyanggupi, sebelum berpisah dengan keduanya. Pandangannya lantas terarah pada Batara yang berjalan bersama Daffa. Perempuan itu meminta Gumilar dan Indah untuk menunggu sebentar, lalu menghampiri kedua pria itu.“Hei,” sapanya. “Aku balik duluan, ya. Udah dijemput sama Papa dan temanku.”“That’s okay, kami kebetulan pulang ke arah yang sama,” ujar Daffa. “Sebentar, s
Biyan tak menyangka penyelidikan kecil-kecilannya bakal viral di media sosial.Berawal dari beberapa karyawan yang merekam upaya Utari melepaskan diri dari dua satpam yang menahannya, video tersebut diunggah ke sejumlah platform. Dalam hitungan jam, konten tersebut menuai reaksi netizen.Sebagian menanyakan kronologi kejadian, sebagian lagi—yang mengenali Utari—malah berbagi pengalaman di masa lalu. Ada pula yang melempar celetukan kurang pantas yang tak mau Biyan lihat.Gara-gara itu pula, Salma terpaksa mengadakan konferensi pers demi menjaga nama baik perusahaan serta keluarga Adiratna.“Mama masih tidak percaya dengan kejadian ini.” Di depan cermin, Salma mematut pakaian serbahitam dengan riasan simpel. “Sampai sekarang, Utari belum mengatakan motifnya. Dia malah bakal memanggil pengacara keluarga.”‘Seandainya Mama enggak terus melibatkannya dalam kehidupanku, mungkin kita bakal menjalani hari-hari yang lebih normal.’“Sebagai pengingat, aku yang jadi korban, Ma.” Biyan juga tak
Tiga hari menjelang jadwal kepulangan ke Indonesia, para peserta residensi di Evia berangkat ke Athena untuk menikmati masa tenang. Vila yang biasanya tenang kini riuh karena para penghuninya sibuk berkemas. Koper dan tas dipindahkan ke ruang tengah, sementara kamar-kamar dibersihkan hingga rapi.“Sudah cek semua bawaan kalian? Jangan sampai ada barang tertinggal, bakal tepot mengurus pengembaliannya.” Menilai dari pernyataan tadi. Daffa pasti pernah mengalami kendala tersebyt. “Saya akan kirim voucher kamar hotel yang kalian tempat di Athena. Satu kamar untuk dua orang. Adisti bersama Chelsea, Batara bersama Randy.”Sembari menunggu mini bus yang akan dibawa Kyro, Adisti melongok sebentar ke vila Biyan. Sudah sebulan lebih mereka terpisah. Hanya Indah yang menjembatani komunikasi di antara mereka. Sayangnya, sang sahabat belum mengabari kelanjutan kabar Biyan yang meminum kopi yang telah dimasukkan bius.“Apa Biyan akan menjemputmu?”Dari belakang, Biyan berjalan menghampiri. “Akhirn
“Kenapa kamu tidak masuk kantor kemarin, Biyan? Benar kamu sakit? Kenapa kamu tidak menghubungi Mama?”Kala Salma memasuki ruang kerjanya, Biyan mengisyaratkan Arthur untuk meninggalkan mereka berdua. Setelah sehari bermalam di indekos asistennya, pria itu memberanikan diri pulang ke apartemen. Dia pun menghubungi staf HR untuk absen sehari walau kondisi tubuhnya sudah membaik.“Iya, aku kelelahan,” sahut Biyan tanpa melepas tatapannya dari layar laptop. “Apa Mama sudah menerima draf perjanjian dari Utari?”“Justru itu, Mama ingin menanyakan keberadannya padamu.” Salma duduk di sofa. Respons sang ibu pun menerbitkan rasa penasaran Biyan. “Dia sempat ke kantor untuk mengambil barang-barangnya selepas meeting. Saat Mama tanya kenapa kalian pulang terpisah, Utari bilang kamu langsung pergi ke apartemen.”Pandangan Biyan tertuju pada Salma yang tampak serius dengan perkataannya. “Apa Utari terlihat gugup atau salah tingkah saat bertemu Mama?”Alit sang ibu bertaut. “Kenapa pula Mama harus
“Batara kelelahan, dia harus bedrest total dua hari.” Daffa menyampaikan pesan dokter yang berkunjung untuk pemeriksaan. “Benar selama seminggu terakhir dia treking berjam-jam?”Adisti mengonfirmasi lewat anggukan. “Kadang dia pulang setelah kami makan siang, lalu melanjutkan tulisannya.”“Apa dia sedang ada masalah?”Kali ini, Adisti memandangi Chelsea dan Randy yang tengah membereskan peralatan makan. Dari lirikan-lirikan singkat, mereka sepakat untuk menyembunyikan drama yang terjadi beberapa hari terakhir.“Batara enggak cerita,” Randy yang menjawab. “Makanya kami juga kaget waktu lihat dia menggigil di kamar.”Daffa lantas meminta ketiganya menjaga Batara dan melaporkan hal-hal yang perlu dibereskan bersama. Setelah dia pergi, Adisti lantas pamit pada Chelsea dan Randy untuk naik ke lantai dua.Saat hendak masuk ke perpustakaan, Adisti melintasi kamar Batara yang sedikit terbuka. Perlahan dari celah pintu, dia mengintip pria yang tengah tertidur nyenyak. Wajahnya terlihat lebih t
‘Bersikaplah profesional’. Dua kata itu terus Biyan rapalkan setiap kali bertugas dengan Utari. Syukur-syukur dia bisa pergi mengajak Arthur. Namun, perempuan itu selalu punya akal untuk mengusir asistennya, sehingga mereka bisa keluar berdua. Seperti hari ini misalnya saat Biyan menemui klien potensial mereka di hotel selepas makan siang. “Oh, ini hotel favorit Tante Salma,” celetuk Utaru saat mereka memasuki meeting room. “Kamar-kamar yang mereka sediakan bagus. Cocok buat staycation.”Biyan hanya menggumam rendah sembari mengecek dokumen-dokumen yang akan dipresentasikan. Diam-diam, dia juga berharap semua tamu datang lebih cepat. “Kamu mau pesan sesuatu?” Sadar sedang diabaikan, Utari malah makin mempersempit jarak di antara mereka berdua. “Kafe di bawah jual pastry yang enak—” “Selamat siang, Pak Hendra!” Biyan berdiri dari kursi kala klien mereka datang. Rasanya lega sekali karena dia bisa meloloskan diri dark Utari. “Mari kita tunggu tamu yang lain datang.” Gusar, Utari mem
Dalam penantian yang berjalan lambat, Adisti menyadari musim panas di Yunani sebentar lagi berakhir. Dari durasi siang yang perlahan memendek, diikuti cuaca yang tak sepanas saat dia datang. Beberapa pohon pun mulai menunjukkan perubahan pada warna daun-daunnya menjadi hijau kecokelatan. Sayang sekali jadwal kepulangannya ke Indonesia bertepatan saat musim gugur dimulai. Padahal, Adisti menyukai musim tersebut. Tak terlalu panas ataupun dingin. Cuaca yang sebenarnya cocok dengan atmosfer tulisannya. Omong-omong soal proyek menulisnya…. “Kekejar enggak ya 20 bab terakhir,” guman Chelsea saat menyiapkan makan malam. “Udah gumoh mikirin konflik, padahal udah tahu penyelesaiannya kayak gimana.” “Mungkin kamu harus kasih jarak sama naskahnya. Sehari dua hari juga cukup.” Adisti mengeluarkan potongan daging ayam dari kulkas. “By the way, cowok-cowok pada ke mana, ya?” “Randy lagi urusan bentar ke dermaga. Kalau Batara….” Lawan bicaranya mengedik. “Habis pulang trekking hari ini, dia mas
“Adisti, aku suka sama kamu. Mau jadi pacarku?” Pernyataan perasaan itu, yang pertama Adisti dapatkan di bangku SMP, terdengar lebih manis sebelum dirinya beranjak dewasa. Ada seseorang yang menyukainya! Seseorang yang memberikan perhatian lebih selain dari Gumilar! Seseorang yang akan terus menjaganya. Namun, seiring bertambahnya usia, lalu terjun ke dunia penulis, Adisti dibuat bertanya-tanya: mengapa saat seseorang menyatakan perasaan suka selalu diikuti tawaran untuk jadi kekasih mereka? Mengapa harus ada validasi dalam bentuk hubungan? Maka, saat mendengar Biyan mengungkapkan perasaannya, Adisti malah menolak walau dia juga menyukainya. “Ah, pasti aku menangkap sinyal yang salah.” Biyan mengusap tengkuknya. “Kukira, kamu—kamu menyukaiku.” “Ya, aku suka sama kamu.” Pernyataan itu mengejutkan pria di hadapannya. “Cuma, aku heran aja, kenapa ungkapan yang manis itu harus diikuti tawaran jadi pacar? Kenapa enggak ditanya dulu apa lawannya punya perasaan yang sama?” “Nah, barusan