"Sejak awal saya tahu kamu adalah pembawa bencana, Adisti."
Di bawah pucatnya penerangan koridor rumah sakit, Adisti berhadapan dengan perempuan yang bertahun-tahun menginspirasinya. Perempuan yang dua tahun terakhir resmi menjadi ibu mertuanya. Perempuan yang juga entah mengapa begitu membencinya tanpa pernah memberinya penjelasan.
Perempuan yang Adisti kenal sebagai Salma Adiratna.
"Bu, apa yang menimpaku dan Mas Biyan murni kecelakaan. Pihak kepolisian sudah menjelaskan semuanya, kan?"
"Saya tidak peduli ini murni kecelakaan atau hasil rekayasamu. Satu hal yang saya tahu, kamu adalah biang masalah. Sekarang terbukti, kan, putraku belum sadar dari komanya."
Pening kepala Adisti mendengar cercaan Salma. Perdebatan mereka tak akan pernah berakhir, bahkan saat Biyan siuman nanti. Sang ibu mertua pasti sudah menyiapkan daftar alasan untuk menyalahkannya.
"Sudah selesai bertengkarnya?" Seorang lelaki paruh baya berjas putih keluar dari ruang ICU. "Aku bisa dengar kalian dari dalam. Kalau diteruskan, aku ragu Biyan akan cepat siuman."
Salma mencebik sebal. "Apa yang sebenarnya terjadi pada pada putra saya, Gumilar? Lukanya tak terlalu parah, tapi kenapa dia malah koma?"
"Bagaimana kalau kita ke ruanganku, Salma? Biar Adisti yang berjaga di sini."
Salma terlihat hendak memprotes, tak rela menantunya ditinggal berdua dengan Biyan. Namun, Gumilar—dokter sekaligus ayah Adisti—terus membujuknya kalau ingin mendengar perkembangan putranya.
Adisti mengamati dua orang itu berbelok sebelum mengamati Biyan dari jendela. Seorang perawat tengah mengecek perlengkapan medis dan mencatat sesuatu pada papan yang dia bawa. Saat perawat itu keluar, dia menghampirinya.
"Mbak, apa aku boleh jenguk Mas Biyan?"
Perawat itu tampak ragu. "Cuma sepuluh menit, ya. Pasien harus istirahat total."
Setelah mengenakan safety gown dan masker, Adisti bergegas masuk. Hatinya pedih kala mengamati alat-alat yang dipasang untuk menopang Biyan. Bunyi bip bip bip yang teratur justru membuat suasana kamar kian mencekam.
Rasanya baru kemarin keduanya merayakan ulang tahun pernikahan, kini Adisti tak tahu apa mereka akan tetap bersama pada perayaan berikutnya.
"Mas Biyan," bisiknya pelan sambil mengelus tangan suaminya yang dingin. "Aku enggak apa-apa, jangan khawatir. Papa juga pasti kasih penanganan terbaik buatmu. Aku bakal sering jenguk supaya Mas enggak sendirian, ya."
Pada sisa kunjungan, Adisti hanya memandangi Biyan sambil merapalkan doa. Berharap cobaan ini tak akan bertambah buruk, sehingga mereka bisa kembali menenun kehidupan sebagai suami istri yang bahagia.
*
Kecelakaan yang menimpa Adisti dan Biyan berlangsung sangat cepat. Hal terakhir yang perempuan itu ingat sebelum mobil mereka menabrak truk adalah cahaya putih yang menyilaukan. Saat terbangun, dia berada di kamar rumah sakit bersama Gumilar dan mendapati tubuhnya hanya lecet serta terluka di bagian kaki.
Adisti sempat mengira Biyan mendapat cedera yang sama. Namun saat menanyakannya pada Gumilar, yang dia terima adalah wajah masam dan berita buruk.
Juga ceramah panjang dan makian dari Salma.
"Kenapa cuma Mas Biyan yang terluka parah?" tanya Adisti dengan air matanya yang kian deras mengaliri kedua pipi. "Tabrakannya kenceng banget, Pa. Harusnya aku enggak baik-baik saja."
"Hush, kamu enggak boleh bicara begitu!" tukas Gumilar. "Kata polisi, kemungkinan besar suamimu membelokkan mobil sampai posisinya menghadap bagian depan truk. Waktu kalian dikeluarkan dari mobil, posisi dia agak menelungkup, seperti mau memeluk dan melindungimu."
Adisti menangis cukup lama sampai tertidur setelahnya. Berharap saat terjaga kecelakaan yang menimpanya hanya bagian dari bunga tidur. Namun yang dia dapati saat terjaga adalah Salma yang berdiri di ujung tempat tidur; mengawasinya dengan tatapan tajam.
*
Dua hari berlalu, merayap selambat ulat di ranting pepohonan. Meski diperbolehkan pulang, Adisti memilih bermalam di rumah sakit demi menunggu Biyan siuman. Bahkan dia meminta Bi Cucu, ART mereka, untuk membawakan pakaian ganti.
"Neng makan dulu, ya." Rupanya Bi Cucu membuatkan tumis bayam dan oseng telur favoritnya. "Kata Pak Gugum, Neng belum makan besar dari kemarin."
"Makasih, Bi. Maaf bikin repot." Perutnya langsung keroncongan saat membuka kotak makanan tersebut. "Bibi boleh pulang, nanti aku kasih kabar kalau ada apa-apa."
Beda dari hari-hari sebelumnya, Salma belum menunjukkan batang hidung. Padahal, sang ibu mertua yang getol datang dari pagi sampai menahan Adisti pada jam besuk awal. Apa hal ini berkaitan dengan penjelasan ayahnya tempo hari? Apa perempuan itu sedang merencanakan hal lain?
Adisti berhenti mengunyah tumis bayamnya. Bagaimana kalau Salma hendak memindahkan suaminya ke luar negeri? Dia mendadak curiga.
Sebagai penulis novel dan editor, bukan hal aneh bagi Adisti untuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan seperti ini. Banyak cerita yang dia baca dan sunting menjadi kenyataan. Apalagi kisah-kisah yang melibatkan menantu dan mertua, pasti ada saja drama yang bikin dia cemas dan takut.
Tepat saat Adisti membereskan perlengkapan makan, Gumilar muncul dari belokan koridor bersama beberapa perawat. Menilai dari langkah mereka yang tergopoh-gopoh menuju ruang ICU, dia menebak sesuatu pasti terjadi pada Biyan.
"Pa, ada apa?" Adisti berusaha mengimbangi langkah sang ayah.
"Biyan sadar. Kamu tunggu di luar dulu."
Perintah itu seketika menghentikan langkah Adisti. Tirai jendela ditutup, membuatnya semakin penasaran dengan kondisi suaminya. Saat kakinya terus melangkah mundur, pundaknya menubruk seseorang. Betapa terkejutnya dia saat menyadari sosok yang berdiri di belakangnya adalah Salma.
"Bu, maaf, aku enggak—"
"Duduklah. Memangnya cuma kamu yang ingin melihat Biyan sadar." Nadanya terdengar ketus, tetapi ada antisipasi tinggi di dalamnya. "Pokoknya saya dulu yang nanti masuk."
“Sabar, sabar,” gumam Adisti pelan sembari menjauhi sang ibu mertua. Bagaimanapun Salma adalah ibu suaminya. Dia jelas punya hak untuk diprioritaskan.
Detik demi detik berlalu, membangun ketegangan di ruang tunggu dekat ruang ICU. Adisti bahkan tak berani mengecek jam dinding, cemas kesabarannya bakal menembus batas. Satu yang dia harapkan adalah sang ayah keluar membawa berita baik.
Bunyi pintu yang terbuka serta-merta mengalihkan perhatian Adisti dan Salma. Gumilar mengembangkan senyum lega walau wajahnya kelelahan.
"Biyan sudah siuman, tapi masih lemah. Jadi jangan ditanya yang macam-macam dulu." Pandangannya beralih pada besannya. "Bu Salma, silakan masuk. Tapi cuma lima—"
"Ya, ya, lima menit. Lama dengar celotehmu, bisa-bisa jatah saya malah terpotong," gerutu perempuan itu sambil lalu untuk menjenguk putra semata wayangnya.
Saat Gumilar mendekatinya, Adisti langsung memberikan pelukan erat. "Makasih, papaku emang yang paling hebat. Biyan pasti kaget ya di dalam?"
"Agak linglung, tapi itu reaksi yang wajar." Sang dokter mengelus punggung putrinya. "Pakai safety gown-mu, biar bisa langsung masuk."
Adisti bergegas mengenakan pakaian pengaman tersebut, lalu mengamati Salma yang tengah mengelus kepala Biyan. Kontras dari sikapnya di luar ruangan, perempuan itu terlihat begitu lembut dan hangat. Sosok keibuannya terpancar kuat, sesuatu yang diam-diam membuat Adisti iri.
"Masuklah." Gumilar membukakan pintu. "Hati-hati, suamimu belum sepenuhnya pulih. Kamu bisa pegang tangannya dulu kalau mau melepas rindu."
Menyadari kedatangan Adisti, Salma melepas genggaman dari tangan putranya. Perempuan itu menepi, memberikan ruang untuk menantunya. Sikap yang barangkali dilalukan demi menjaga situasi.
"Mas Biyan...." Sekuat mungkin, Adisti menahan keinginan untuk memeluk dan mencium sang suami. "Syukurlah, Mas akhirnya bangun."
Tatapan Biyan terpusat pada Adisti. Bukan sorot rindu yang dia dapatkan, melainkan bingung. Adisti berpikir positif, seperti kata ayahnya, kondisi pria itu belum stabil. Lantas dia meraih tangan Biyan, berharap pria yang begitu dia cintai merasa nyaman di dekatnya.
Namun, sekali lagi, Adisti dikejutkan reaksi tak terduga. Reaksi yang akan mengubah alur masa depan rumah tangga mereka.
Sebelum sempat bersentuhan, Biyan menarik tangannya. Kemudian, bibirnya melontarkan pertanyaan yang menyayat hati Adisti.
"Maaf, Anda siapa?"
***
Kali terakhir Biyan opname adalah sepuluh tahun lalu gara-gara operasi usus buntu. Saat itu, Biyan keluar kelas selepas menyelesaikan ujian akhir semester. Perut bagian bawahnya tiba-tiba terasa sangat nyeri seperti dipuntir tangan raksasa. Syukurnya, peristiwa itu terjadi di hari terakhir pekan ujian di kampus, sehingga dia bisa istirahat total selepas operasi. Biyan berharap dia tak perlu masuk rumah sakit lagi, apalagi kalau harus menginap. Aroma disinfektan bercampur obat sering membuatnya mual. Belum lagi aura sedih nan menyeramkan dari koridor-koridornya yang bikin Biyan semakin tak betah. Kalau bukan karena terpaksa, Biyan lebih memilih datang ke klinik atau memanggil dokter kepercayaan Salma untuk pemeriksaan. Namun, nasib seseorang kadang sulit ditebak. Lagi-lagi, Biyan menghadapi situasi yang kurang mujur. Kala membuka mata, Biyan mendapati dirinya tidur di ruangan berdinding hijau pucat. Di sekitarnya ada bunyi bip rendah yang meningkahi deru AC. Seorang perawat terkes
“Pa, kenapa Papa kasih Bu Salma izin buat bawa Mas Biyan pulang? Aku istrinya, aku punya hak buat merawat suamiku.” “Dis, ingat penjelasan Papa kemarin? Papa juga inginnya kamu yang urus Biyan. Hanya saja kita perlu menstabilkan kondisi fisik dan mentalnya sebelum meneruskan pemeriksaan.” “Tapi, Papa bilang penderita amnesia retrograde….” Adisti mengusap wajahnya. Dia sudah terlalu lelah menangis, bahkan matanya masih bengkak gara-gara air mata yang tak henti mengalir sejak Biyan siuman. Sejak suaminya tak lagi mengenali dirinya, juga pernikahan mereka. Hal lain yang membuat perempuan itu terpukul adalah penjelasan Gumilar terkait amnesia retrograde. “Berat buat Papa menyampaikannya, jenis amnesia ini bukan yang sering kamu lihat di sinetron atau tulis sebagai kisah fiksi,” katanya. “Ada kemungkinan ingatan Biyan tentangmu, tentang rumah tangga kalian, tak akan pernah kembali.” Sulit dipercaya. Namun, menyanggah pernyataan Gumilar yang sehari-hari bekerja sebagai dokter adalah upa
Adisti sedang menyantap bakmie di kantor saat Gumilar menyampaikan kabar penting itu. “Papa serius?” Dia berjalan menjauhi Indah menuju sudut ruangan. “Mereka masih di sana? Gimana kondisi Mas Biyan?” “Mereka sudah pulang sekitar sepuluh menit lalu.” Bukan jawaban yang ingin Adisti dengar. “Biyan jauh lebih baik meski masih berusaha mengingat tahun-tahunnya yang hilang. Papa enggak bisa ungkit namamu juga, maaf.” Sebenarnya, perempuan itu lelah harus menoleransi kondisi Biyan. Sudah hampir seminggu, tetapi Salma belum kunjung memberi lampu hijau untuk menjenguk suaminya. “Terus, kapan rencananya Mas Biyan dibawa ke luar negeri?” Fakta bahwa sang ibu mertua serius dengan kata-katanya itu membuat lutut Adisti lemas. “Dia enggak mungkin terbang ke sana sendirian, kan?” “Mereka belum bahas jadwal, baru ingin memastikan kesehatan suamimu dan syarat-syaratnya,” Gumilar meringis. “Rencananya, mereka akan pergi ke Yunani. Papa langsung telepon kamu karena ingat residensimu di sana juga.”
“Kenapa Evia, bukan Athena, Mykonos, atau Santorini?”“Soalnya kita pergi buat sekalian recovery.” Utari menyerahkan brosur berisi profil Pulau Evia. “Tempatnya enggak seramai di daratan utama. Jadi, kamu bisa lebih fokus healing.”“Masuk akal.” Biyan mengamati foto-foto cantik beserta penjelasan yang tertera pada brosur. “Kapan harus kusiapkan dokumen buat paspor dan visa?”“Kamu tinggal tunggu semuanya beres.” Perempuan di hadapannya tersenyum. “Tante Salma sudah menyiapkannya sejak jauh-jauh hari. Toh kamu juga masih butuh waktu buat istirahat.”Seorang pelayan meletakkan dua mangkuk udon bersama minuman yang mereka pesan. Siang ini, Utari mengajak Biyan makan di luar sekaligus membahas rencana perjalanan ke Yunani.Sesungguhnya, Biyan sungkan harus bepergian jauh dan meninggalkan tanggung jawabnya sebagai CEO agen travel. Apalagi, berdasarkan keterangan Salma, dia baru menjabat selama tiga bulan. Toh soft skill dan hard skill yang dikuasainya tidak ikut terhapus bersama memori dar
Email yang Adisti nantikan akhirnya tiba hari ini. Alih-alih bersorak gembira, dia hanya memandangi layar laptop dalam diam. Telunjuknya menggulir kursor, bolak-balik sambil membaca setiap kata yang terlampir. Selamat, Adisti, Anda diterima sebagai peserta residensi! Sambutan yang, di situas dan kondisi lain, barangkali bakal membuatnya memekik, lalu memeluk erat Biyan yang ikut mengamati di sampingnya. “Asem banget muka lo.” Bahkan celetukan Indah tak mengejutkan Adisti. “Kenapa, tagihan rumah sakit enggak di-cover asuransi?” “Bukan.” Adisti mengambil cangkir kopi yang sudah mendingin. “Bulan depan aku berangkat ke Yunani.” Pekikan Indah seketika mengundang perhatian dari para karyawan di ruangan tersebut. “Guuuys, editor kesayangan kita lolos seleksi residensi!” Seketika, kubikel Adisti dijejali orang-orang yang ingin membaca isi email tersebut. Gumam kekaguman dan ucapan selamat sahut menyahut melewati telinganya. Satu-satunya hal yang bisa dia lakukanya hanya tersenyum samar d
Evia, pulau kedua terbesar di Yunani setelah Kreta, menyimpan pesona yang mengundang Adisti menelusuri setiap sudutnya. Dari bentangan hutan pinus di bagian utara hingga hamparan pasir putih di bagian selatan. Bahkan Homer, salah satu sosok legendaris yang akan dia teliti selama residensi, diceritakan pernah tinggal di sana.“Mau pergi ke tempat bagus malah cemberut.” Gumilar menghampiri Adisti yang tengah merapikan perlengkapan dalam koper. "Maaf Papa tidak bisa membantu banyak buat mempertemukanmu dengan Biyan. Papa harus bersikap netral di rumah sakit. Apalagi mertuamu rajin menemani anaknya kontrol.”“It’s okay, aku paham.” Walau di dalam hati, Adisti berharap bisa mengamati dari kejauhan saat suaminya melakukan kunjungan. “Omong-omong, apa mereka pergi berdua?”Sang ayah meliriknya keheranan. “Mmh, ya, hanya mereka berdua yang selalu masuk ke ruang kerja Papa. Ada apa?”Lega Adisti mendengar keterangan itu. “Syukurlah. Cuma mau memastikan Mas Biyan pergi sama orang yang dia kenal
Biyan sudah tiba di Yunani. Vila yang dia tempati dekat dari lokasi residensimu. Lelah dan kantuk yang menyergap Adisti selama di pesawat serta-merta menguap. Langkahnya terhenti kala memasuki Bandara Internasional Eleftherios Venizelos, Athena, untuk memastikan matanya tak salah membaca deretan kata-kata itu. Tinggal satu kali perjalanan darat lagi, dia akan bertemu sang suami. “Hei, ternyata kamu ada di sini.” Adisti mendongak saat mendengar seseorang berbicara dalam bahasa Indonesia. Sosok itu, seorang pria dengan rambut ikal, menghampirinya. Siapa namanya—Adisti lupa. Satu hal yang pasti, dia adalah teman satu rombongan yang juga lolos seleksi residensi. “Kita terpisah row di pesawat, makanya kamu enggak ingat aku,” pria itu meneruskan, seakan-akan dapat menafsirkan kebingungan yang tercetak di wajahnya. “Batara. Kamu Adisti, kan?” Adisti mengangguk cepat. “Maaf, aku… udah lama enggak terbang jauh.” “So am I. Ini penerbangan pertama setelah pandemi,” sahutnya. “Kita harus
“Yakin enggak mau aku tunggu?”“Katanya kamu ada meeting. Aku bisa belanja sendiri.”“Oke, deh, aku tunggu di kafe yang tadi.”Bersama Utari, Biyan turun dari vila ke kawasan dermaga untuk belanja kebutuhan. Kerumunan turis dari berbagai negara sempat mengejutkannya. Kontras dari suasana di sekitar perbukitan yang lengang dan hanya dilewati beberapa kendaraan.Biyan mengecek dompet di dalam tas selempang saat Utari menurunkannya di depan sebuah supermarket. Kesempatan ini semestinya dimanfaatkan untuk mengakses Wi-fi gratis kalau saja baterai ponselnya tidak low bat. Itu berarti pada kunjungan berikutnya dia harus mempersiapkan diri lebih baik.Setelah mengambil troli, Biyan menelusuri setiap rak dan mengambil barang-barang yang diperlukan. Pasta. Sambal. Bumbu dapur. Mi instan. Telur. Dia ingin memanfaatkan masa pemulihannya untuk memasak, sesuatu yang ingin dia coba dari dulu kalau saja Salma tak melarangnya.“Mama, kan, sudah sewakan chef pribadi,” begitu dalih sang ibu setiap kali