Evia, pulau kedua terbesar di Yunani setelah Kreta, menyimpan pesona yang mengundang Adisti menelusuri setiap sudutnya. Dari bentangan hutan pinus di bagian utara hingga hamparan pasir putih di bagian selatan. Bahkan Homer, salah satu sosok legendaris yang akan dia teliti selama residensi, diceritakan pernah tinggal di sana.
“Mau pergi ke tempat bagus malah cemberut.” Gumilar menghampiri Adisti yang tengah merapikan perlengkapan dalam koper. "Maaf Papa tidak bisa membantu banyak buat mempertemukanmu dengan Biyan. Papa harus bersikap netral di rumah sakit. Apalagi mertuamu rajin menemani anaknya kontrol.”
“It’s okay, aku paham.” Walau di dalam hati, Adisti berharap bisa mengamati dari kejauhan saat suaminya melakukan kunjungan. “Omong-omong, apa mereka pergi berdua?”
Sang ayah meliriknya keheranan. “Mmh, ya, hanya mereka berdua yang selalu masuk ke ruang kerja Papa. Ada apa?”
Lega Adisti mendengar keterangan itu. “Syukurlah. Cuma mau memastikan Mas Biyan pergi sama orang yang dia kenal.”
Diantar Gumilar dan Indah, Adisti bertolak ke bandara tiga jam sebelum keberangkatan. Sebenarnya, dia berangan-angan bisa satu pesawat dengan Biyan. Sayang, Salma menerbangkan putranya dua hari lebih awal. Tak perlu ditanyakan, Adisti yakin mertuanya sengaja pergi duluan untuk mencegahnya berdekatan dengan sang suami.
“Biyan sehat, lancar juga bicaranya waktu Papa ajak ngobrol,” Gumilar menjelaskan perkembangan menantunya. “Beberapa obat yang dia butuhkan sudah disiapkan sebelum dia pergi.”
“Kenapa Papa enggak kasih tahu aku obat-obatan yang harus Mas Biyan konsumsi.” Diterimanya iced coffee yang dibelikan Indah. “Biar bisa aku jadikan alasan mendekati dia.”
“That’s a smooth move,” gumam Indah menanggapinya.
“Bukannya Papa tidak mau membantu. Sekali lagi, ibunya….” Gumilar mengedik. “Hanya informasi tentang kondisi Biyan yang bisa Papa bagikan padamu. Selanjutnya, Papa doakan supaya kamu lancar menjalankan misi di Evia.”
*
“Mau permen, Mbak?”
Kabin pesawat menjadi pengingat pertemuan pertama Adisti dengan Biyan. Lima tahun lalu, mereka sama-sama terbang ke Singapura. Dia mendapat undangan untuk mewawancarai novelis kenamaan di sebuah panel festival buku, sementara pria yang kelak menjadi pasangan hidupnya sedang ada tugas bisnis.
Biyan, berjarak satu kursi kosong darinya, menyodorkan beberapa bungkus permen aneka rasa. “Saya bawanya kebanyakan,” tambah pria itu.
Mulanya, Adisti ragu. Dari segi penampilan, sosok itu jelas datang dari kalangan berada. Kemeja, celana, hingga sepatunya pasti produk-produk branded. Rapi, simpel, sekaligus berkelas. Rambutnya dipotong pendek, menegaskan bentuk wajah ovalnya yang tegas. Sementara hidungnya cenderung bulat ketimbang mancung, menyeimbangkan bibir tebalnya yang Adisti sebut sebagai Cupid’s bow.
Sadar diawasi, Biyan tersenyum kikuk. “Maaf, saya cuma mau kasih distraksi.”
Matanya mengerjap. “Distraksi buat apa?”
“Saya perhatikan, Mbak duduknya tegang, gelisah. Kelihatan pucat juga.” Pria itu berdeham. “Apa Mbak belum pernah bepergian pakai pesawat?”
Hebat. Dari sekali pindai, Biyan mampu menebak faktor penyebab kegelisahannya. Walau malu, Adisti mengangguk mengiyakan. “Ini kali pertama saya ke luar negeri juga.”
Sepanjang penerbangan, Biyan mengajaknya mengobrol. Mereka bertukar cerita, tentang kota asal, pekerjaan, tujuan ke Singapura. Lambat laun, Adisti merasakan otot-otot tubuhnya relaks, bahkan hampir tak menyadari pesawat akan mendarat sampai mendengar imbauan untuk mengenakan seat belt.
“Biar saya bantu,” Biyan menawarkan saat Adisti kesulitan memasangnya. “Saking seru mengobrol, saya sampai lupa mengenalkan diri. Biyan. Biyan Adiratna.”
Disambutnya uluran tangan itu. “Adisti Pramatya.”
Pesawat berguncang; membangunkan Adisti sekaligus mengakhiri mimpi. Mimpi berisi kenangan indahnya bersama Biyan. Alih-alih menemukan sosok itu, dia mendapati seorang perempuan paruh baya menempati kursi tengah. Sementara dari jendela tampak langit gelap memenuhi ruang pandangnya.
Sembari mengumpulkan kesadaran, Adisti mengecek rute penerbangan. Mereka bahkan belum meninggalkan kawasan Asia. Kini, saat tak lagi takut melayang di ketinggian, dia malah kesepian. Perempuan itu lantas bertanya-tanya, apa Biyan menawarkan permen pada seseorang di tengah perjalanan menuju Evia untuk menggantikan memori mereka?
**
“Selamat datang di Evia.”
Saat Utari membuka pintu yang mengarah ke balkon, bentangan laut biru yang jernih menyambut Biyan. Vila yang Salma pilihkan untuknya berada di kota Kymi, tepatnya di atas bukit yang posisinya menyuguhkan pemandangan memanjakan mata.
Selain pantai dan perairan luas, dari tempatnya berdiri Biyan dapat mengamati tebing hijau yang bangunan-bangunan penginapan yang tak kalah memukau.
“Kamarmu ada di sini.” Utari menunjuk pintu yang dicat biru. “Aku sama Tante Salma mau cari makanan buat dinner. Kecuali kalau kamu mau makan di luar.”
“Hari ini aku mau istirahat.” Penerbangan selama 15 jam ditambah perbedaan waktu begitu melelahkan tubuhnya. “Terima kasih untuk bantuannya.”
“Anything for you,” ujar Utari sambil menepuk pundaknya. Pertemuan yang lumayan intens selama sebulan kadang membuat Biyan bertanya-tanya mengapa mereka putus. Perempuan di hadapannya bukan hanya supel, tetapi juga mampu menyamakan frekuensi dengan ibunya. “Aku pergi sekarang biar cepat pulang.”
Sepeninggal Utari dan Salma, Biyan memutuskan tidur sebelum jet lag-nya semakin parah. Barangkali gara-gara kunjungan ke luar negeri yang berkurang, tubuhnya kaget dan perlu menyesuaikan diri lagi. Ditambah memori empat tahun terakhir miliknya yang hilang, Biyan kian kesulitan memetakan ingatan.
Bukannya berbaring, Biyan malah duduk mengamati layar ponsel. Benar apa yang Utari jelaskan di taksi tadi, vila ini tak dipasangi koneksi internet. Katanya demi memenuhi permintaan sejumlah penyewa yang ingin healing tanpa distraksi teknologi…
…atau sang ibu sengaja tak ingin dia mengakses informasi mengenai kecelakannya.
Biyan benci harus mencurigai Salma maupun Utari. Namun, sejak sang ibu mengetahui upayanya menelusuri artikel terkait tragedi yang merenggut ingatannya, Wi-Fi di rumah mendadak lambat sampai putus. Utari pun selalu mengendalikan percakapan saat mereka jalan berdua.
Tindak-tanduk yang meyakinkan Biyan bahwa ada sesuatu atau seseorang yang sengaja ditutupi darinya.
“Aku harus lebih hati-hati,” gumamnya. Semoga saja selama menetap di Evia, dia dapat menemukan bantuan untuk membuka akses menuju masa lalunya.
*
Malam datang lebih lambat sepanjang musim panas. Akan tetapi, hal tersebut tak menghentikan Salma untuk menyiapkan makanan sebelum pukul tujuh, padahal matahari belum benar-benar terbenam. Di rooftop vila, perempuan yang mengenakan sun dress dan topi pantai itu menata pasta dan jus jeruk kesukaan Biyan.
“Mama pulang besok malam,” sang ibu membuka pembicaraan. “Utari akan menemuimu tiga atau empat kali seminggu, sekalian cek stok obat.”
“Untuk urusan obat, aku bisa urus sendiri.” Lagi pula, Biyan tak mau merepotkan Utari yang harus menempuh perjalanan dua jam dari kantor di pusat kota ke vilanya. “Kalau ada apa-apa, aku bisa kirim pesan ke Dokter Gumilar.”
Wajah Salma berubah masam. “Jangan buang-buang pulsamu. Biar Mama dan Utari yang urus semuanya.”
Sudah Biyan duga, padahal hanya Gumilar yang bisa diandalkan untuk membantunya. Dokter itu pasti memegang catatan medis, termasuk kronologi kecelakaan yang menimpanya.
“Nikmati waktumu di sini,” Utari menambahkan. Salah satu tangannya mengelus punggung tangan Biyan. “Kalau lagi senggang, aku bakal ajak kamu berkeliling Evia.”
“Tuh, daripada buang-buang pulsa buat kontak dokter di Indonesia, jalan-jalan sama Utari lebih hemat dan mudah.” Mengingat kekayaan keluarganya yang fantastis, janggal bagi Biyan mendengar Salma jadi perhitungan terhadap pemakaian pulsa. “Apa perlu Mama siapkan mobil buat kalian?”
Utari menggeleng cepat. “I’ll drive, Tante. Biar enggak keluar biaya tambahan.”
Itu berarti, Biyan harus pura-pura manut sampai berhasil mengambil kepercayaan mereka. Dengan begitu, mereka akan berhenti menaruh curiga, sehingga dia leluasa bergerak untuk mengungkap kebenaran yang terjadi padanya.
***
Biyan sudah tiba di Yunani. Vila yang dia tempati dekat dari lokasi residensimu. Lelah dan kantuk yang menyergap Adisti selama di pesawat serta-merta menguap. Langkahnya terhenti kala memasuki Bandara Internasional Eleftherios Venizelos, Athena, untuk memastikan matanya tak salah membaca deretan kata-kata itu. Tinggal satu kali perjalanan darat lagi, dia akan bertemu sang suami. “Hei, ternyata kamu ada di sini.” Adisti mendongak saat mendengar seseorang berbicara dalam bahasa Indonesia. Sosok itu, seorang pria dengan rambut ikal, menghampirinya. Siapa namanya—Adisti lupa. Satu hal yang pasti, dia adalah teman satu rombongan yang juga lolos seleksi residensi. “Kita terpisah row di pesawat, makanya kamu enggak ingat aku,” pria itu meneruskan, seakan-akan dapat menafsirkan kebingungan yang tercetak di wajahnya. “Batara. Kamu Adisti, kan?” Adisti mengangguk cepat. “Maaf, aku… udah lama enggak terbang jauh.” “So am I. Ini penerbangan pertama setelah pandemi,” sahutnya. “Kita harus
“Yakin enggak mau aku tunggu?”“Katanya kamu ada meeting. Aku bisa belanja sendiri.”“Oke, deh, aku tunggu di kafe yang tadi.”Bersama Utari, Biyan turun dari vila ke kawasan dermaga untuk belanja kebutuhan. Kerumunan turis dari berbagai negara sempat mengejutkannya. Kontras dari suasana di sekitar perbukitan yang lengang dan hanya dilewati beberapa kendaraan.Biyan mengecek dompet di dalam tas selempang saat Utari menurunkannya di depan sebuah supermarket. Kesempatan ini semestinya dimanfaatkan untuk mengakses Wi-fi gratis kalau saja baterai ponselnya tidak low bat. Itu berarti pada kunjungan berikutnya dia harus mempersiapkan diri lebih baik.Setelah mengambil troli, Biyan menelusuri setiap rak dan mengambil barang-barang yang diperlukan. Pasta. Sambal. Bumbu dapur. Mi instan. Telur. Dia ingin memanfaatkan masa pemulihannya untuk memasak, sesuatu yang ingin dia coba dari dulu kalau saja Salma tak melarangnya.“Mama, kan, sudah sewakan chef pribadi,” begitu dalih sang ibu setiap kali
Membawa permen aneka rasa yang dibeli di supermarket, Adisti bergegas meninggalkan vila menuju tempat Biyan. Dia berharap, camilan manis itu akan membantu memantik ingatan lama suaminya meski kemungkinannya kecil. Gumilar pun mendukung usahanya saat Adisti menceritakan gagasan tersebut semalam.“Mungkin kalau aku lanjut kontak-kontakan setelah kenalan di pesawat, Mas Biyan pasti bakal mengingatku,” katanya pada sang ayah lewat sambungan telepon. “Papa tahu kan kami baru ketemu lagi setahun kemudian.”“Ya, ya, Papa baru ingat begitu kamu ngomong tadi. Makanya Papa kaget waktu Biyan tidak mengenalmu saat siuman.” Di ujung telepon, terdengar Gumilar yang berusaha menahan diri agar tak menguap. “Bawa permennya pas kamu dapat kesempatan ‘berkenalan’. Jangan sok kenal sok dekat. Pasti berat, tapi bersikap tenang bakal bantu kamu mendekatinya.”Adisti berhenti di depan vila dan menekan bel. Tak lama berselang, gerbang terbuka otomatis; mempersilakannya masuk. Seperti pesan Gumilar, dia harus
“Kemarin kamu mampir ke vila sebelah?”Mendengar pertanyaan dari Batara, Adisti yang kebagian tugas piket cuci piring menoleh ke belakang. Pria itu, membawa secangkir kopi dan laptop, menunggu jawaban di ambang pintu dapur.“Iya, dia orang Indonesia juga. Namanya Biyan.” Dilepasnya sarung tangan begitu semua piring dan gelas dibersihkan. “Kita bisa undang dia makan di sini kapan-kapan. Soalnya dia tinggal sendirian di sana.”“Serius?” Batara menarik kursi, lalu menaruh cangkir kopi dan laptopnya. “Apa dia sengaja liburan sendiri? Atau lagi ada kerjaan khusus?”“Entahlah, aku belum tanya sejauh itu,” Adisti berdalih. Bukan keputusan bijaksana untuk berbagi urusan pribadi pada orang asing walau Batara bersikap baik. “Aku ke atas dulu, ya. Mau cari referensi.”Hari ini, para peserta residensi memulai aktivitas kepenulisan. Daffa meminta mereka mencatat perkembangan yang dilakukan setiap harinya. Kemudian, laporannya dikirimkan setiap minggu sebagai bahan evaluasi.Adisti tak mau menyia-n
Adisti mengira Biyan mengada-ada saat mengatakan huniannya tak dilengkapi internet. Hingga keesokan harinya, saat jalan-jalan bersama Chelsea, dia iseng mencari sesuatu lewat browser dekat vila yang ditempati suaminya. Benar saja, koneksi mendadak lambat sebelum laman menunjukkan tanda time out.“Kayaknya sengaja diblokir.” Rupanya Chelsea ikut mengecek. “Tunanganku kerja jadi teknisi IT di start up, kadang ngurus yang beginian. Mungkin kenalanmu itu enggak pengin kedistraksi internet.”Persis seperti yang Biyan katakan, tetapi Adisti tak sepenuhnya percaya. Apalagi ada Salma dan Utari yang terang-terangan menghalangi usahanya mendekati pria itu.“Kamu keberatan enggak kalau kita undang Biyan makan-makan di vila?” Adisti perlu memastikan semua penguni menerima kehadirannya. “Lumayan nambah teman dari Indonesia selama tinggal di sini.”“Why not?” Chelsea mengangkat bahu. “ Yuk, balik ke vila. Penasaran aku sama lunch yang dibuat Batara sama Randy.”Tanpa internet, Adisti kesulitan mend
“Ternyata Eros yang jobdesc-nya jodoh-jodohin orang punya kisah cinta yang tragis.”Siang itu, rombongan peserta residensi bersama Daffa berkunjung ke perpustakaan publik yang berlokasi di Chalkida. Dari jendela, Adisti dapat mengamati Jembatan Evripos yang menghubungkan antara Evia dengan daratan utama Yunani. Hijaunya pepohonan yang menyatu dengan birunya cakrawala membingkai pemandangan itu bak sebuah lukisan.Di sampingnya, Batara mengecek buku-buku yang Adisti ambil untuk referensi. Salah satunya salinan Metamorphoses yang dia jadikan sebagai rujukan utama.“Welcome to Greek myth.,” ujat Adisti. “Makanya aku pengin ngulik lebih jauh tentang cerita Eros dan Psyche. Terus bikin cerita retell yang latar tempat sama waktunya lebih modern.""Menarik. Boleh aku jadi beta reader-nya?” Batara mengembalikan buku-buku pilihan Adisti. “Atau kita saling kasih feedback. Aku mau mau nulis tentang cerita tragis dari mitologi Yunani juga.”Kening Adisti mengernyit. “Cerita mana yang kamu pilih?”
Biyan sedang memilih pakaian saat Salma meneleponnya. Entah mengapa dia yakin panggilan ini berkaitan dengan percakapan terakhirnya bersama Utari yang berujung pada kecanggungan.“Kamu di mana?” tanya Salma tanpa basa-basi saat Biyan menerima panggilan. “Bagaimana kegiatanmu selama seminggu di Evia?”“Di vila, lagi beres-beres.” Biyan memilih kaus hijau tua dan celana pendek khaki. Simpel, tetapi nyaman. Dia tak mau terkesan berlebihan saat mampir ke tempat Adisti. “Mama enggak joging hari ini? Di sana masih pagi, kan?”“Mama biasanya joging sama Utari.” Belum satu menit masuk ke pembicaraan, ibunya sudah menyinggung nama sang mantan. “Dia cerita kamu minta sewa laptop. Padahal kamu bisa beli baru, Biyan. Uangnya Mama transfer.”“Daripada uangnya Mama hamburkan buat laptop, coba alokasikan buat pasang Wi-Fi di vilaku," sahut Biyan, straight to the point. “Seminggu ini aku bisa survive karena langganan koran bahasa Inggris, tapi belum tentu bertahan sampai tiga bulan ke depan.”Terdeng
“Kamu hampir tenggelam?”“Iya, Pa, untungya Mas Biyan gerak cepat.” Adisti mengelus-elus lengan atasnya; salah satu bagian tubuh yang suaminya pegang erat saat menyelamatkannya. “Eh dia malah nawarin aku buat les berenang. Langsung aku terima.”Kekhawatiran dalam suara Gumilar berganti decak tak percaya. “Jangan bilang kamu sengaja lompat ke kolam, ya.”“Mana mungkin! Papa kan tahu aku lihat bak air besar aja langsung pusing.”Kejadian di pesta barbeque cenderung konyol dari sudut pandang Adisti. Dia mengenakan pakaian yang disarankan Indah, termasuk lingerie yang dijadikan atasan. Bahkan sampai meminjam catokan Chelsea untuk merapikan rambut. Perempuan itu yakin Biyan menaruh ketertarikan saat mereka bertukar pandang.Bukannya mendapat momen berduaan, kecerobohan membawa Adisti pada petaka. Namun siapa duga berkat kecelakaan itu, dia mendapatkan kesempatan lebih bagus. Sebuah silver lining, mencatut dari salah satu istilah favoritnya.“Ingat, kamu tetap harus hati-hati saat kalian be