Saat kembali ke kolam renang, Biyan meminta Adisti berganti pakaian. “Temanku datang. Orang Indonesia juga,” dia menjelaskan sambil menyerahkan handuk padanya. “Aku menahannya di ruang tamu, jadi kamu bisa leluasa mandi dan memakai baju. Setelah itu, temui kami langsung di ruang makan.” Tanpa perlu perkenalan, Adisti dapat menebak ‘teman’ yang Biyan maksud: Utari. Memangnya siapa lagi antek yang Salma terjunkan buat menghalangi misinya? Pasti bakal lebih seru kalau mereka bertemu saat dia masih basah kuyup di kolam. Utari dijamin kepanasan mendapatinya sudah melangkah sejauh ini. Apalagi menilai reaksi Biyan sepanjang latihan yang singkat tadi, Adisti yakin suaminya mati-matian menahan diri agar tak menyentuhnya melampaui batas. Permainan kontak fisik tak pernah gagal, terutama untuk pria yang sangat dia cintai. Setelah merapikan rambut dan pakaian, Adisti setengah malas turun menuju ruang makan. Sebelum kakinya menyentuh lantai saja dia dapat menangkap sayup-sayup obrolan yang dit
“Gimana perkembangan misi besarmu?”Di perpustakaan, Adisti dan Batara tengah membereskan kebutuhan yang akan dibawa ke pusat kota. Sementara Chelsea dan Randy sedang menunggu kedatangan Daffa di lantai bawah. Kunjungan ke book club hari ini menjadi momen yang mereka nantikan untuk mendapatkan refereansi dari sumber-sumber tebaik.Bagi Adisti, perjalanan tersebut adalah peluang terbarunya mendekati Biyan.“Misi?” Perempuan itu bersitatap dengan Batara sampai sang lawan bicara melirik ke arah balkon yang mengarah ke vila suaminya. “Oh, maksudmu rencanaku buat mendekati Mas Biyan. Sejauh ini cukup bagus, semalam kami bertukar pesan sampai ketiduran.”Batara memasukkan laptop ke dalam messenger bag. “Perlu kubantu buat melakukan sesuatu? Misalnya kalau kamu mau jalan berdua sama dia di dermaga, aku bisa alihkan perhatian teman-teman ke tempat lain.”Tawaran yang menggoda, tetapi riskan mengundang kecurigaan. Adisti juga tak mau masalah pribadinya tercampur urusan profesional. “Kita dinne
Ketika mengamati Biyan lahap menyantap pasta with stuffed mushroom, Adisti berusaha menahan kata-kata yang siap meluncur dari bibir.Karena suami yang dia kenal bertahun-tahun tak suka jamur.“Jadi itu sesuatu yang pengin kamu pastikan…” Batara, yang menemani Adisti bersantai di pinggir kolam renang, menyadari perubahan sikapnya di taverna. Sesampainya di vila, pria itu tanpa basa-basai menanyakan kondisi.“Kenapa, kalau boleh aku tahu, suamimu sampai enggak suka makan jamur? Apa dia punya alergi?”Adisti menggeleng lemah. “Mas Biyan enggak punya masalah sama jamur… sampai ikut mendaki setahun setelah kami pacaran. Salah satu temannya ngambil jamur yang ternyata beracun. Syukurnya dia cuma lemes sama dehidrasi gara-gara terus muntah, tapi sejak itu malah ogah ngelihatnya, apalagi makan.”Batara manggut-manggut. “Berarti, keracunan makan jamur jadi salah satu pengalaman yang memorinya ikut terhapus gara-gara kecelakaan.”Kejadian di taverna tadi menyadarkan Adisti akan potensi berubahn
“Welcome to writers’ lounge!”Adisti, bersama Chelsea yang menemaninya diskusi sepanjang pagi di pinggir kolam renang, mengacungkan fruit punch saat Biyan datang. Pria itu tertegun sesaat sebelum tersenyum simpul dan mendekati mereka. Dia juga serius saat mengabari akan datang membawa laptop pada salah satu pesan yang dikirimkan.“Aku ke dalam dulu.” Chelsea mengambil tablet dan minumannya; seakan-akan tahu kehadirannya tak diperlukan dalam pertemuan itu. “Kalau mau tambahan, fruit punch-nya bisa diambil di kulkas. Have fun!”Adisti merapikan tempat yang diduduki Chelsea, sementara Biyan menaruh laptop di meja pendek. “Apa aku ganggu meeting kalian?”“Enggak sama sekali. Brainstorming kami udah beres dari sejam lalu,” tukasnya. “Terus aku kepikiran fruit punch yang kamu pesan di taverna. Ya udah sambil nunggu, kami bikin dalam porsi lebih banyak.”“I feel honored.” Biyan terkekeh, lalu menerima minuman yang disiapkan perempuan itu. “Seharusnya aku yang bawa sesuatu ke sini, soalnya ka
Jam di dasbor menunjukkan pukul sepuluh malam saat Utari memarkirkan mobil di pelataran vila. Biyan mengecek barang-barang bawaannya, lalu kala bersiap melepas seat belt, sosok di sampingnya bertanya,“Bi, apa aku boleh numpang tidur di sini?”Jari Biyan hampir terjepit mendengarnya. “Apartemenmu punya jam malam?”Perempuan itu mengulum bibir. “Enggak, aku—aku capek. Besok pagi langsung balik, kok. Ada meeting yang perlu kuhadiri.”“Lalu, kamu mau tidur pakai dress itu?”“I won’t, silly!” Utari meraih sesuatu di jok belakang. Sebuah ransel mini. “Kebetulan aku bawa pakaian ganti. Jaga-jaga kalau aku harus lembur atau pengin pakai baju lebih nyaman buat perjalanan pulang.”Setelah sekian tahun, Utari belum melepas kebiasaan membawa pakaian cadangan. Satu hal yang diam-diam Biyan ikuti dan membawa manfaat besar saat harus dinas ke luar kota. Mengejutkan bagaimana interaksi dua insan manusia dapat saling mempengaruhi, terlepas dari perubahan dinamika yang dilalui.“Kamu bisa pakai kamar
“Mas, kalau nasib kita kayak di pasangan drakor ini, apa kamu bakal tetap memilihku?”Biyan, yang sedari tadi sibuk memeriksa laporan, mengintip dari balik laptop. “Konteksnya apa dulu, Sayang.”“Dua pemeran utamanya kena kutukan turun menurun. Tokoh cowoknya janji dia akan terus mencari ceweknya di semesta dan dimensi mana pun mereka ditempatkan,” Adisti menjelaskan sambil mencatat poin-poin menarik yang dapat dijadikan inspirasi menulis. “Will you do the same?”Kali ini, sang suami melepas kacamata baca, lalu menutup laptop sebelum bergabung dengannya di tempat tidur. “Kalau takdirku dipasangkan sama kamu, tanpa perlu membual dulu aku akan cari cara buat menggapaimu.”Adisti tak bisa menyembunyikan senyumnya yang seketika merekah. “Bahkan kalau kamu harus dapat cobaan dulu? Jatuh miskin, kena kecelakaan—”“Atau kehilangan ingatan tentangmu,” sambar Biyan cepat. Pelukannya serta-merta membuyarkan fokus perempuan itu. “Akan selalu ada cara, aku yakin. Seberat dan sekeras apa pun rinta
Lahir dan tumbuh sebagai putra tunggal pasangan pengusaha besar memperkenalkan Biyan pada banyak hal sejak dini selain… kebebasan.Jangankan memilih sekolah, menu makan dan pakaian sudah disediakan Salma sampai Biyan mengalami pubertas. Namun, bukan berarti dia serta-merta menerima kelonggaran sebagai remaja. Sang ibu malah semakin protektif, bahkan berniat memasukkannya ke asrama khusus laki-laki kalau ayahnya, Mahesa, tak segera mengintervensi.“Biarkan anak kita menjalani masa remaja seperti teman-teman sebayanya,” kata sang ayah pada Salma. Malam itu, Biyan dan ibunya sempat cekcok karena pilihan sekolah menengah atas yang berseberangan. “Jangan sampai dia melampiaskan kemarahan dan kekecewaan pada hal-hal berbahaya.”Salma mendengkus. Sementara Biyan, yang bersembunyi di balik dinding, menyimak perselisihan orangtuanya.“Gimana kalau dia mulai pacaran, lalu fokus belajarnya berantakan?” cecar sang ibu. “Ingat, kita mau Biyan masuk universitas terbaik. Dia satu-satunya pewaris tun
Pegal-pegal menjalari sekujur tubuh Adisti yang terjaga keesokan pagi.Layar ponselnya bergetar dan membunyikan audio yang dipasang untuk alarm. Ternyata Adisti terbangun lebih awal. Akan tetapi, hal tersebut tak lantas mengenyahkan nyeri pada beberapa titik tubuhnya, terutama di tangan dan kaki.“Celaka,” gumamnya. “Mana mungkin aku kejar target tulisan hari ini.”Diraihnya ponsel untuk menitipkan sarapan pada Chelsea. Kemudian, dia memberitahu Batara akan absen menghadiri pertemuan sebelum jam makan siang. Belum lima detik pesannya sampai, rekan residensinya tersebut menyusul ke kamar.“Apa aku boleh masuk?” tanya Batara disusul ketukan pintu. “Kebetulan aku bawa nasi goreng dari Chelsea, titipan kamu katanya.”Setengah menyeret langkah, Adisti membukakan pintu dan mempersilakan Batara masuk. Pria itu dengan sigap menaruh sarapan, lalu membantunya duduk di tepi ranjang.“Malah ngerepotin kamu.” Air putih yang diteguknya serta-merta menyegarkan tenggorokan yang kering gara-gara belum