Dua pesan Utari cukup memaksa Biyan, yang bergelung dalam dekapan selimut, bangkit dari tempat tidur. Tangan dan kakinya pegal-pegal setelah bertualang seharian, tetapi dia masih punya tenaga untuk sekadar menjerang air.Selang sepuluh menit, bel pintu berbunyi. Setengah menyeret langkah, Biyan membukakan pintu. Utari, membawa paper bag yang dia asumsikan makanan, mengembangkan senyum hangat saat melihatnya.“Kamu belum mandi?” Utari mengendus pakaiannya sebelum melenggang masuk vila. “I won’t blame you. Siapa juga yang mandi pagi-pagi di akhir pekan.”“Sebenarnya, aku pengin berenang, cuma….” Tubuhnya bakal sulit bergerak kalau nyerinya belum benar-benar mereda. “Nevermind. Pas banget kamu bawa makanan, aku lagi malas bikin sarapan.”“Bukan sekadar sarapan, aku masak macaroni schotel favoritmu!” Utari membuka kotak aluminium foil berukuran medium. “Terus semalam iseng cobain resep saus mentai. Lumayan gampang.”Mengenal Utari bertah
“Belum genap sebulan di Yunani, kamu udah lupa kasih kabar buat Papa.”Dua hari berlalu sejak Adisti mengajak Biyan bertualang di tempat beekeeping. Sudah dua hari pula suaminya belum mengirim pesan. Mungkin sama-sama kelelahan seperti dirinya atau… Utari. Kemungkinan mantan kekasihnya muncul untuk mengacak-acak rencana pasti selalu ada supaya misinya tak berjalan mulus.Gara-gara sibuk mengurus Biyan, Adisti menghadapi konsekuensi merepotkan. Selain mengejar target menulis, dia sampai lupa menelepon Gumilar. Walau ayahnya memaklumi, perempuan itu tetap merasa bersalah.“Papa enggak mau dengar ceritaku waktu jalan-jalan sama Mas Biyan kemarin?” Adisti terkekeh mengingat momen indah tersebut. “Lumayan menyenangkan meski dia agak mellow keingatan mendiang ayahnya.”“Kenapa lumayan?” todong Gumilar penasaran. “Ada masalah di perjalanan?”“Lebih tepatnya setelah kami pulang… Ibu meneleponku.” Panggilan yang sungguh mengusiknya sampai bikin vertigonya kambuh. “Pa, sampai sekarang aku bingu
Dikirim enam jam lalu. Biyan penasaran apa yang Adisti pikirkan selama menunggu balasannya. Cemaskah atau justru mengabaikannya karena larut dalam kesibukan. Mudah-mudahan perempuan itu memahami alasannya.Oh, Adisti pasti paham. Sebagai penulis, dia tentu sering tenggelam dalam buku-buku yang dibacanya, apalagi kalau ceritanya menarik. Pengalaman yang Biyan alami seharian ini saat mempelajari tulisan Salma.Di meja, ‘Di Tengah Keremangan Malam’ tergeletak dengan tekukan dan lekukan di beberapa bagian. Wajar orang-orang mengidolakan Salma. Setiap untaian kata yang dia rajut bak bersalut sihir yang menjeratnya dari awal sampai akhir.Kalaupun Biyan mengambil jeda, alasannya hanya untuk makan dan minum. Selebihnya, dia habiskan untuk mengikuti kisah cinta tragis antara Matt dan Shinta, dua tokoh utama dalam novel tersebut.Benaknya mengawang-awang. Mungkin hanya persepsinya sebagai pembaca, tetapi ada
Banyak orang yang mengatakan pada Adisti bahwa menikahi Biyan bak mendapatkan jackpot. “Kenapa? Apa karena statusku sebagai manajer senior?” Biyan, yang mengajaknya makan gulai di kawasan Radio Dalam, keheranan menyimak curhatan Adisti itu sebulan setelah mereka jadi pasutri. “Atau karena… aku ganteng?” Adisti hampir menyemburkan es teh manis yang disesapnya. Memang, paras Biyan mampu menyaingi para model runway hingga anggota boyband Kpop. Beruntunglah para entertainer itu, sang suami memilih jadi pengusaha. Bisa-bisa karier mereka melempem kalau pria itu beralih profesi. “Kurasa begitu. Kaya, tampan, baik hati—” Tawa menggelegar Biyan menarik perhatian beberapa pengunjung. “Lho, kenyataannya begitu. Kamu tuh tipe male lead yang belakangan aku temukan di naskah-naskah romance.” “Semacam CEO atau mafia dingin yang punya istri kecil itu?” Giliran, Adisti tak bisa menyembunyikan tawanya. “Kenapa penulis-penulismu doyan bikin female lead sebagai perempuan kecil?” “Height difference t
“Apa kabar anak Mama di sana? Betah di Evia?” Biyan, yang dibangunkan panggilan telepon Salma, mengecek ulang deretan angka yang tertera di layar ponsel. Bukan kontak dikenal, tetapi dia mengenali kode nomor telepon Indoneia yang tercantum di bagian depan. “Pagi, Ma. Pakai nomor siapa ini? Kok bukan punya Mama?” “Iya, ini nomor kantor. Ponsel Mama lagi di-charge.” Oke, ternyata memang ibunya yang menghubungi, bukan scammer yang memakai aplikasi tertentu. “Maaf Mama jarang kontak kamu, tapi syukurnya Utari selalu kasih update.” “Kenapa harus lewat Utari, sih, padahal aku bisa kontak langsung seandainya,” Biyan tak percaya dia mengeluhkan hal ini terus menerus, “ada jaringan internet di vila.” Hening sesaat. “Kita bicarakan soal itu nanti. Waktu Mama cuma sebentar.” “Oke, Mama mau tanya sesuatu padaku? Atau kasih kabar?” “Dua-duanya. Mama mulai dari kabar dulu,” sahutnya. “Bulan depan, Mama akan ke Yunani buat menjengukmu sekaligus cek kondisimu di rumah sakit sana. Apa sejauh ini
Melihat Utari masuk ke vila Biyan tak lama setelah Adisti pulang dari tracking serta-merta meruntuhkan ekspektasinya. Sedarurat apa urusan yang perlu mereka bahas sampai sang suami perlu menunda obrolan? Pasti lebih penting dan menyenangkan sampai Utari terlihat semringah kala memasuki bangunan itu.“Aku penasaran, apa Biyan sengaja meminjam bukumu karena sudah mengingat masa lalu kalian?” Celetukan Batara mengalihkan perhatian Adisti yang sedari tadi mengamati balkon vila sang suami. “Tadi dia kelihatan bingung, and a little bit upset.”“Aku enggak mau menaruh harapan terlalu tinggi.” Sudah cukup membiarkan fokusnya terbelah sampai keteteran mengerjakan proyek menulis. “Hari ini Chelsea masak apa, ya? Mungkin dia butuh bantuanku di dapur.”Maka untuk mengusir asumsi-asumsi menyebalkan, Adisti memutuskan terjun ke dapur. Dibandingkan dirinya, skill memasak Chelsea sebenarnya lebih baik. Barangkali berkat kemandiriannya yang terasah sejak duduk di bangku SMP.Selepas makan malam, keemp
Bagaimana ini?Momen yang begitu dinantikan Adisti akhirnya terjadi: Biyan menanyakan kejelasan hubungan mereka. Di sisi lain, bukan di situasi seperti ini dia ingin menjelaskan. Apalagi saat sang suami menjelaskan ada ‘seseorang’ yang menuduhnya melakukan plagiarisme.‘Seseorang’ yang Adisti yakini adalah Utari.“Biyan, boleh aku tahu konteks lengkap dari pertanyaanmu?” Antusiasme yang tadi meletup-letup kini berganti kecemasan. “Apa ada hubungannya dengan orang yang, uh, memfitnahku?”Pria di hadapannya mengangguk, lalu mengusap-usap bagian belakang kepalanya. “Jujur, aku bingung menjelaskannya padamu. Situasi ini membingungkan. Mungkin gara-gara ada—ah, aku belum yakin menceritakannya. We’re strangers.”Bahkan setelah bertualang jauh ke tempat beekeeping, Biyan tetap mengganggap hubungan mereka sebatas orang asing. Apa lagi yang mesti Adisti perjuangkan untuk menyadarkan pria yang sangat dicintainya?“Biyan, aku enggak benar-benar tahu masalah yang kamu hadapi. Barangkali cukup pen
‘Kamu sudah melangkah sejauh ini, Adisti. Jangan sampai gentar.’Bunyi pintu terbanting yang menggema di ruangan Utari cukup menjelaskan suasana hati lawan Adisti. Bukan hanya karena jam makan siangnya yang terinterupsi, perempuan itu pasti sebal gara-gara rencana busuknya cepat terbongkar.“Katakan sekali lagi,” pinta Utari yang berdiri di balik meja kerjanya, “apa maksudmu aku menuduhmu menjiplak karya Bu Salma?”“Lucu rasanya malah aku yang harus menjelaskan, padahal kamu yang menyusun strateginya.” Adisti harus memastikan posisinya unggul. “Kata Mas Biyan, ada seseorang yang menuduh novelku adalah hasil plagiat karya Bu Salma. Dia sampai meminjam bukuku dari Batara untuk membandingkannya.“Kamu pikir Mas Biyan bakal dibodohi karena ingatannya tentangku hilang?” Suara Adisti seketika meninggi. “Sejak awal, aku mencoba bermain sehat, tapi kamu seenaknya culas.”Ketegangan mengisi ruangan tersebut selama beberapa menit. Dari ekspresi wajah, kentara Utari tak dapat menyembunyikan keke
Halo, teman-teman.Setelah hampir setahun, aku memutuskan menamatkan "Membuatmu Jatuh Cinta Lagi" di bab 60. Ending untuk novel ini sengaja digantung, karena akan dilanjutkan dalam buku baru. Untuk kapan tayangnya mungkin enggak dalam waktu terdekat, karena perlu disiapkan dulu naskahnya.Terima kasih untuk kalian yang sudah mengikuti kisah Biyan dan Adisti sampai titik ini. Sampai bertemu di cerita-cerita berikutnya!erl.
“Welcome home, Babe!”Adisti langsung melepas tas untuk menyambut pelukan Indah. Keduanya melompat-lompat kegirangan; melepas rindu setelah tiga bulan berpisah. Kemudian, dia beralih mendekap Gumilar yang masih mengenakan pakaian kerjanya.“Dis, kita cabut duluan, ya!” Chelsea menghampirinya. “Kalau udah ada yang nerbitin novel, tolong saling kabari.”“Hati-hati. Sampai ketempu lagi!” Adisti menyalami satu per satu rekan residensinya. “Eh, minggu depan kita masih harus ketemu Daffa, kan?”“He-eh, buat penutupan sama pengarahan naskah,” sahut Randy. “Sekalian makan-makan sebelum mencar ke masing-masing kehidupan.”Adisti menyanggupi, sebelum berpisah dengan keduanya. Pandangannya lantas terarah pada Batara yang berjalan bersama Daffa. Perempuan itu meminta Gumilar dan Indah untuk menunggu sebentar, lalu menghampiri kedua pria itu.“Hei,” sapanya. “Aku balik duluan, ya. Udah dijemput sama Papa dan temanku.”“That’s okay, kami kebetulan pulang ke arah yang sama,” ujar Daffa. “Sebentar, s
Biyan tak menyangka penyelidikan kecil-kecilannya bakal viral di media sosial.Berawal dari beberapa karyawan yang merekam upaya Utari melepaskan diri dari dua satpam yang menahannya, video tersebut diunggah ke sejumlah platform. Dalam hitungan jam, konten tersebut menuai reaksi netizen.Sebagian menanyakan kronologi kejadian, sebagian lagi—yang mengenali Utari—malah berbagi pengalaman di masa lalu. Ada pula yang melempar celetukan kurang pantas yang tak mau Biyan lihat.Gara-gara itu pula, Salma terpaksa mengadakan konferensi pers demi menjaga nama baik perusahaan serta keluarga Adiratna.“Mama masih tidak percaya dengan kejadian ini.” Di depan cermin, Salma mematut pakaian serbahitam dengan riasan simpel. “Sampai sekarang, Utari belum mengatakan motifnya. Dia malah bakal memanggil pengacara keluarga.”‘Seandainya Mama enggak terus melibatkannya dalam kehidupanku, mungkin kita bakal menjalani hari-hari yang lebih normal.’“Sebagai pengingat, aku yang jadi korban, Ma.” Biyan juga tak
Tiga hari menjelang jadwal kepulangan ke Indonesia, para peserta residensi di Evia berangkat ke Athena untuk menikmati masa tenang. Vila yang biasanya tenang kini riuh karena para penghuninya sibuk berkemas. Koper dan tas dipindahkan ke ruang tengah, sementara kamar-kamar dibersihkan hingga rapi.“Sudah cek semua bawaan kalian? Jangan sampai ada barang tertinggal, bakal tepot mengurus pengembaliannya.” Menilai dari pernyataan tadi. Daffa pasti pernah mengalami kendala tersebyt. “Saya akan kirim voucher kamar hotel yang kalian tempat di Athena. Satu kamar untuk dua orang. Adisti bersama Chelsea, Batara bersama Randy.”Sembari menunggu mini bus yang akan dibawa Kyro, Adisti melongok sebentar ke vila Biyan. Sudah sebulan lebih mereka terpisah. Hanya Indah yang menjembatani komunikasi di antara mereka. Sayangnya, sang sahabat belum mengabari kelanjutan kabar Biyan yang meminum kopi yang telah dimasukkan bius.“Apa Biyan akan menjemputmu?”Dari belakang, Biyan berjalan menghampiri. “Akhirn
“Kenapa kamu tidak masuk kantor kemarin, Biyan? Benar kamu sakit? Kenapa kamu tidak menghubungi Mama?”Kala Salma memasuki ruang kerjanya, Biyan mengisyaratkan Arthur untuk meninggalkan mereka berdua. Setelah sehari bermalam di indekos asistennya, pria itu memberanikan diri pulang ke apartemen. Dia pun menghubungi staf HR untuk absen sehari walau kondisi tubuhnya sudah membaik.“Iya, aku kelelahan,” sahut Biyan tanpa melepas tatapannya dari layar laptop. “Apa Mama sudah menerima draf perjanjian dari Utari?”“Justru itu, Mama ingin menanyakan keberadannya padamu.” Salma duduk di sofa. Respons sang ibu pun menerbitkan rasa penasaran Biyan. “Dia sempat ke kantor untuk mengambil barang-barangnya selepas meeting. Saat Mama tanya kenapa kalian pulang terpisah, Utari bilang kamu langsung pergi ke apartemen.”Pandangan Biyan tertuju pada Salma yang tampak serius dengan perkataannya. “Apa Utari terlihat gugup atau salah tingkah saat bertemu Mama?”Alit sang ibu bertaut. “Kenapa pula Mama harus
“Batara kelelahan, dia harus bedrest total dua hari.” Daffa menyampaikan pesan dokter yang berkunjung untuk pemeriksaan. “Benar selama seminggu terakhir dia treking berjam-jam?”Adisti mengonfirmasi lewat anggukan. “Kadang dia pulang setelah kami makan siang, lalu melanjutkan tulisannya.”“Apa dia sedang ada masalah?”Kali ini, Adisti memandangi Chelsea dan Randy yang tengah membereskan peralatan makan. Dari lirikan-lirikan singkat, mereka sepakat untuk menyembunyikan drama yang terjadi beberapa hari terakhir.“Batara enggak cerita,” Randy yang menjawab. “Makanya kami juga kaget waktu lihat dia menggigil di kamar.”Daffa lantas meminta ketiganya menjaga Batara dan melaporkan hal-hal yang perlu dibereskan bersama. Setelah dia pergi, Adisti lantas pamit pada Chelsea dan Randy untuk naik ke lantai dua.Saat hendak masuk ke perpustakaan, Adisti melintasi kamar Batara yang sedikit terbuka. Perlahan dari celah pintu, dia mengintip pria yang tengah tertidur nyenyak. Wajahnya terlihat lebih t
‘Bersikaplah profesional’. Dua kata itu terus Biyan rapalkan setiap kali bertugas dengan Utari. Syukur-syukur dia bisa pergi mengajak Arthur. Namun, perempuan itu selalu punya akal untuk mengusir asistennya, sehingga mereka bisa keluar berdua. Seperti hari ini misalnya saat Biyan menemui klien potensial mereka di hotel selepas makan siang. “Oh, ini hotel favorit Tante Salma,” celetuk Utaru saat mereka memasuki meeting room. “Kamar-kamar yang mereka sediakan bagus. Cocok buat staycation.”Biyan hanya menggumam rendah sembari mengecek dokumen-dokumen yang akan dipresentasikan. Diam-diam, dia juga berharap semua tamu datang lebih cepat. “Kamu mau pesan sesuatu?” Sadar sedang diabaikan, Utari malah makin mempersempit jarak di antara mereka berdua. “Kafe di bawah jual pastry yang enak—” “Selamat siang, Pak Hendra!” Biyan berdiri dari kursi kala klien mereka datang. Rasanya lega sekali karena dia bisa meloloskan diri dark Utari. “Mari kita tunggu tamu yang lain datang.” Gusar, Utari mem
Dalam penantian yang berjalan lambat, Adisti menyadari musim panas di Yunani sebentar lagi berakhir. Dari durasi siang yang perlahan memendek, diikuti cuaca yang tak sepanas saat dia datang. Beberapa pohon pun mulai menunjukkan perubahan pada warna daun-daunnya menjadi hijau kecokelatan. Sayang sekali jadwal kepulangannya ke Indonesia bertepatan saat musim gugur dimulai. Padahal, Adisti menyukai musim tersebut. Tak terlalu panas ataupun dingin. Cuaca yang sebenarnya cocok dengan atmosfer tulisannya. Omong-omong soal proyek menulisnya…. “Kekejar enggak ya 20 bab terakhir,” guman Chelsea saat menyiapkan makan malam. “Udah gumoh mikirin konflik, padahal udah tahu penyelesaiannya kayak gimana.” “Mungkin kamu harus kasih jarak sama naskahnya. Sehari dua hari juga cukup.” Adisti mengeluarkan potongan daging ayam dari kulkas. “By the way, cowok-cowok pada ke mana, ya?” “Randy lagi urusan bentar ke dermaga. Kalau Batara….” Lawan bicaranya mengedik. “Habis pulang trekking hari ini, dia mas
“Adisti, aku suka sama kamu. Mau jadi pacarku?” Pernyataan perasaan itu, yang pertama Adisti dapatkan di bangku SMP, terdengar lebih manis sebelum dirinya beranjak dewasa. Ada seseorang yang menyukainya! Seseorang yang memberikan perhatian lebih selain dari Gumilar! Seseorang yang akan terus menjaganya. Namun, seiring bertambahnya usia, lalu terjun ke dunia penulis, Adisti dibuat bertanya-tanya: mengapa saat seseorang menyatakan perasaan suka selalu diikuti tawaran untuk jadi kekasih mereka? Mengapa harus ada validasi dalam bentuk hubungan? Maka, saat mendengar Biyan mengungkapkan perasaannya, Adisti malah menolak walau dia juga menyukainya. “Ah, pasti aku menangkap sinyal yang salah.” Biyan mengusap tengkuknya. “Kukira, kamu—kamu menyukaiku.” “Ya, aku suka sama kamu.” Pernyataan itu mengejutkan pria di hadapannya. “Cuma, aku heran aja, kenapa ungkapan yang manis itu harus diikuti tawaran jadi pacar? Kenapa enggak ditanya dulu apa lawannya punya perasaan yang sama?” “Nah, barusan