Setelah mengirimkan dua pesan tadi, Biyan mengamati reaksi Adisti di seberang. Perempuan itu mengecek ponsel, lalu mengetikkan balasan secepat kilat.Tak lama berselang, ponsel Biyan berdenting.Undangan ini harus Adisti terima. Pasalnya, Biyan ingin memastikan fakta mengejutkan yang ditemukannya saat mendatangi vila para penulis residensi. Jika informasi itu benar, dia bakal makin sulit memaafkan perbuatan Utari.Termasuk Salma. Bagaimana mungkin ibunya berbuat sekejam ini pada putranya?Ding! Ovennya berbunyi bersamaan dengan pesan balasan Adisti. Senyum Biyan serta-merta mengembang kala membacanya.*Beberapa jam lalu, tepat selepas makan siang, Biyan memutuskan menemui Adisti. Gara-gara penelusuran tempo hari, dia malah dibuat tertarik untuk membaca karya-karya perempuan itu. Ada sentuhan magis yang mengundangnya untuk terus menyimak. Day
Saat ciuman itu terjadi, Adisti gelagapan. Tangannya mengibas bebas ke udara sampai berhasil menemukan pundak Biyan untuk bertumpu. Saat itu pula dia enggan membuka mata; takut momen ini hanya mimpi yang bakal lesap saat dirinya terjaga.Seketika Adisti teringat ciuman pertamanya dengan Biyan. Malam itu, selepas menggelar book talk untuk perilisan ‘More than Yours’, suaminya yang masih berstatus sebagai pacar mengajak candle light dinner. Sebagai permintaan maaf, katanya, karena datang terlambat.“Aku paham kamu terlambat.” Adisti mengusap punggung tangan Biyan. “Acaraku mulai enggak lama setelah jam pulang kerja. Tadi juga banyak yang datang di segmen terakhir.”“Tapi, ramai, kan, acaranya?” Gurat kecemasan di wajahnya berangsur memudar. “Aku tadinya mau ajak Mama, cuma bentrok jadwal.”Meski hubungan mereka baru memasuki usia setahun, Adisti masih kesulitan berinteraksi dengan Salma. Dia maklum seandainya sosok itu sebal terus dibanding-bandingkan dengan penulis muda. Di sisi lain,
Keputusan Salma memajukan jadwal kunjungan ke Yunani barangkali akan Biyan sambut baik kalau belum mengetahui kebenaran tentang status Adisti. Kecurigaannya pun bertambah saat Utari ikut terlibat. Dia yakin perempuan itu sudah menceritakan sesuatu dengan aneka bumbu yang memojokkan istrinya.“Kamu kelihatan banyak pikiran,” celetuk Adisti yang baru berganti pakaian. Siang ini, mereka menghabiskan waktu dengan latihan renang. Lebih tepatnya kencan bagian sekian, sebab praktik yang dimaksud lebih mengarah pada bermesraan.Biyan menggaruk bagian belakang kepalanya. “Aku cuma kepikiran, apa teman-temanmu enggak curiga kamu belakangan makin sering main ke sini? Gimana dengan proyekmu?”“Curiga? Mereka yang ada malah kepo.” Adisti menuangkan segelas limun segar pada gelas kosong. “Lagian proyek yang kami kerjakan sifatnya individu. Jadi mau mengerjakan di luar vila seharian pun enggak akan kena tegur.”“Termasuk…” Dipandanginya sang istri yang tengah meneguk minuman “… kalau kamu bermalam b
Momen inilah yang Adisti inginkan saat dia dan Biyan merayakan ulang tahun pernikahan mereka. Bermalam di hotel mewah, memandangi city view, lalu… bercinta sampai pagi. Mereka memang sedang berada jauh dari Jakarta, tetapi Evia menawarkan pemandangan yang jauh lebih indah. Saat terjaga, Adisti menangkap langit malam berhias bulan sabit dengan kerlip bintang di sekitarnya. Deburan ombak yang lembut menjadi alunan musik yang membuat suasana makin syahdu.Saat menggerakkan tubuh, Adisti menyadari ada sesuatu yang melingkari perutnya. Perempuan itu menyingkap selimut dan menemukan sepasang tangan tengah mendekapnya erat-erat.Matanya mengerjap. Pipinya perlahan menghangat. Rasanya masih seperti mimpi mendapati Biyan menyentuhya. Memuaskannya. Jika bisa, Adisti ingin menghentikan waktu agar mereka bisa terus hidup pada momen tersebut.Lamunannya tak berlangsung lama kala bunyi ‘kruyuuuk’ terdengar dari perut. Adisti tak memungkiri energinya terkuras, apalagi mereka melewatkan makan malam
‘Maaf, Adisti. Setelah hari ini, kamu mungkin bakal sulit menghubungiku.’Saat mencapai klimaks untuk kali kedua, Biyan membenamkan wajahnya pada lekukan leher Adisti. Cahaya kuning keemasan dari sang surya menimpa kulit tubuhnya yang dibasahi peluh. Sementara di sekitar mereka, buku-buku dari berbagai genre dan penulis menjadi saksi penyatuan yang begitu panas.“Mas, aku pengin pulang sama kamu,” gumam Adisti yang masih terengah. “Atau kita menetap permanen aja di sini supaya enggak diganggu?”Tawaran yang sebenarnya menggoda untuk diwujudkan. “Sebentar lagi, ya. Kalau hasil pemeriksaan dengan ayahmu bagus, aku bakal tinggal lagi sama kamu. Untuk Mama, biar nanti yang aku urus.” Itu artinya, Biyan harus menyiapkan strategi agar Salma tak memboyongnya ke Swiss.“Mampirlah ke vilaku,” ujar Adisti sambil membereskan pakaiannya. “Kamu bisa bawa laptop buat browsing dan ngumpulin bukti tentang kecelakaan yang menimpa kita dulu.”Biyan tersenyum samar menanggapinya. Kalaupun bisa, waktuny
“Mama baru sampai di Athena. Utari sedang di jalan untuk menjemput. Mungkin satu atau dua jam lagi akan tiba di Evia.”Pemberitahuan singkat tersebut seketika membuat Biyan bergidik ngeri. Ternyata dugaannya benar, Salma bisa datang kapan saja. Syukurnya, Adisti sudah pulang ke vila untuk meneruskan proyek.Namun, fakta bahwa pertemuan mereka hari ini bisa jadi yang terakhir tak kuasa menerbitkan kesedihan. Biyan sudah mengumpulkan semua informasi yang diperlukan, tetapi dia ragu dapat pulang bersama istrinya dalam waktu terdekat.‘Fokuskan dulu pada ibumu dan Utari.’ Maka, setelah mencuci peralatan makan, Biyan melanjutkan dengan merapikan beberapa bagian rumah. Terutama yang sempat dipakai berduaan bersama Adisti. Di perpustakaan, dia menata ulang sejumlah buku yang berjatuhan dan mengganti karpet yang tampak berdebu.Saat hendak merapikan bingkai foto, matanya menangkap sesuatu di dalam jam berbentuk kotak di meja. Ada sesuatu yang berkedip di dalam sana. Penasaran, Biyan mengamb
“Apa maksudmu di vila Biyan ada penguntit?”“Kami belum tahu siapa pelakunya, tapi kamera-kamera yang ditemukan di sana agak… mencurigakan. Kayak yang sering dipasang diam-diam di kamar hotel.”“Terus, Biyan minta bantuan apa lagi sama kalian?”“Cuma nyisir ruangan sebentar, terus balik lagi ke vila.” Terdengar ada jeda di ujung telepon. “Randy sempet bilang, kayaknya ponsel Biyan diblokir dari akses internet. Soalnya kamera-kamera itu cuma bisa bekerja kalau ada Wifi.”Punggung Adisti merosot setelah mendengar laporan Batara. Pantas saja suaminya meminta bantuan tersebut, dia menemukan kamera penguntit di berbagai ruangan. Lantas, siapa pelakunya? Apa juga yang akan mereka lakukan pada hasil rekaman yang didapatkan?Seketika, tubuhnya bergidik kala mengingat momen-momen intim yang dilakukannya bersama Biyan. Semoga saja kamera itu tak mengarah ke tempat mereka beradu kasih.“Dis, aku udah beres, nih!” Chelsea keluar dari penatu sambil membawa kantung berisi pakaian. “Kamu katanya mau
Sebagai anak tunggal, Biyan selalu dilimpahi kasih sayang yang tak pernah putus dari kedua orangtuanya. Bahkan saat ayahnya meninggal, Salma seakan menaikan curahan perhatiannya dua kali lipat. Karena hal ini pula, pria itu mengira ibunya tak bakal menuntut banyak saat dia mulai mengambil keputusan-keputusan besar.Salah satunya saat menjalin hubungan serius dengan Adisti.Pada awalnya, Biyan mengira sikap ketus Salma di bulan-bulan pertama pacaran muncul gara-gara belum ikhlas mendapatinya putus dari Utari. Akan tetapi, sampai dia bertunangan dan menikah dengan Adisti, kesinisan sang ibu justru makin parah.Hingga detik ini, kala Biyan yakin Salma, bersama Utari, tengah berusaha memutus semua akses yang menghubungkannya pada Adisti.“Mama sudah booking kamar untuk kita dekat rumah sakit rujukan dari Jakarta.” Salma mengawasi Biyan yang sedang berkemas. “Kalau kondisimu belum membaik, kita pindah ke Swiss. Tapi kalau dokter bilang kamu bisa beraktivitas seperti biasa, kita pulang ke J