“Yakin enggak mau aku tunggu?”“Katanya kamu ada meeting. Aku bisa belanja sendiri.”“Oke, deh, aku tunggu di kafe yang tadi.”Bersama Utari, Biyan turun dari vila ke kawasan dermaga untuk belanja kebutuhan. Kerumunan turis dari berbagai negara sempat mengejutkannya. Kontras dari suasana di sekitar perbukitan yang lengang dan hanya dilewati beberapa kendaraan.Biyan mengecek dompet di dalam tas selempang saat Utari menurunkannya di depan sebuah supermarket. Kesempatan ini semestinya dimanfaatkan untuk mengakses Wi-fi gratis kalau saja baterai ponselnya tidak low bat. Itu berarti pada kunjungan berikutnya dia harus mempersiapkan diri lebih baik.Setelah mengambil troli, Biyan menelusuri setiap rak dan mengambil barang-barang yang diperlukan. Pasta. Sambal. Bumbu dapur. Mi instan. Telur. Dia ingin memanfaatkan masa pemulihannya untuk memasak, sesuatu yang ingin dia coba dari dulu kalau saja Salma tak melarangnya.“Mama, kan, sudah sewakan chef pribadi,” begitu dalih sang ibu setiap kali
Membawa permen aneka rasa yang dibeli di supermarket, Adisti bergegas meninggalkan vila menuju tempat Biyan. Dia berharap, camilan manis itu akan membantu memantik ingatan lama suaminya meski kemungkinannya kecil. Gumilar pun mendukung usahanya saat Adisti menceritakan gagasan tersebut semalam.“Mungkin kalau aku lanjut kontak-kontakan setelah kenalan di pesawat, Mas Biyan pasti bakal mengingatku,” katanya pada sang ayah lewat sambungan telepon. “Papa tahu kan kami baru ketemu lagi setahun kemudian.”“Ya, ya, Papa baru ingat begitu kamu ngomong tadi. Makanya Papa kaget waktu Biyan tidak mengenalmu saat siuman.” Di ujung telepon, terdengar Gumilar yang berusaha menahan diri agar tak menguap. “Bawa permennya pas kamu dapat kesempatan ‘berkenalan’. Jangan sok kenal sok dekat. Pasti berat, tapi bersikap tenang bakal bantu kamu mendekatinya.”Adisti berhenti di depan vila dan menekan bel. Tak lama berselang, gerbang terbuka otomatis; mempersilakannya masuk. Seperti pesan Gumilar, dia harus
“Kemarin kamu mampir ke vila sebelah?”Mendengar pertanyaan dari Batara, Adisti yang kebagian tugas piket cuci piring menoleh ke belakang. Pria itu, membawa secangkir kopi dan laptop, menunggu jawaban di ambang pintu dapur.“Iya, dia orang Indonesia juga. Namanya Biyan.” Dilepasnya sarung tangan begitu semua piring dan gelas dibersihkan. “Kita bisa undang dia makan di sini kapan-kapan. Soalnya dia tinggal sendirian di sana.”“Serius?” Batara menarik kursi, lalu menaruh cangkir kopi dan laptopnya. “Apa dia sengaja liburan sendiri? Atau lagi ada kerjaan khusus?”“Entahlah, aku belum tanya sejauh itu,” Adisti berdalih. Bukan keputusan bijaksana untuk berbagi urusan pribadi pada orang asing walau Batara bersikap baik. “Aku ke atas dulu, ya. Mau cari referensi.”Hari ini, para peserta residensi memulai aktivitas kepenulisan. Daffa meminta mereka mencatat perkembangan yang dilakukan setiap harinya. Kemudian, laporannya dikirimkan setiap minggu sebagai bahan evaluasi.Adisti tak mau menyia-n
Adisti mengira Biyan mengada-ada saat mengatakan huniannya tak dilengkapi internet. Hingga keesokan harinya, saat jalan-jalan bersama Chelsea, dia iseng mencari sesuatu lewat browser dekat vila yang ditempati suaminya. Benar saja, koneksi mendadak lambat sebelum laman menunjukkan tanda time out.“Kayaknya sengaja diblokir.” Rupanya Chelsea ikut mengecek. “Tunanganku kerja jadi teknisi IT di start up, kadang ngurus yang beginian. Mungkin kenalanmu itu enggak pengin kedistraksi internet.”Persis seperti yang Biyan katakan, tetapi Adisti tak sepenuhnya percaya. Apalagi ada Salma dan Utari yang terang-terangan menghalangi usahanya mendekati pria itu.“Kamu keberatan enggak kalau kita undang Biyan makan-makan di vila?” Adisti perlu memastikan semua penguni menerima kehadirannya. “Lumayan nambah teman dari Indonesia selama tinggal di sini.”“Why not?” Chelsea mengangkat bahu. “ Yuk, balik ke vila. Penasaran aku sama lunch yang dibuat Batara sama Randy.”Tanpa internet, Adisti kesulitan mend
“Ternyata Eros yang jobdesc-nya jodoh-jodohin orang punya kisah cinta yang tragis.”Siang itu, rombongan peserta residensi bersama Daffa berkunjung ke perpustakaan publik yang berlokasi di Chalkida. Dari jendela, Adisti dapat mengamati Jembatan Evripos yang menghubungkan antara Evia dengan daratan utama Yunani. Hijaunya pepohonan yang menyatu dengan birunya cakrawala membingkai pemandangan itu bak sebuah lukisan.Di sampingnya, Batara mengecek buku-buku yang Adisti ambil untuk referensi. Salah satunya salinan Metamorphoses yang dia jadikan sebagai rujukan utama.“Welcome to Greek myth.,” ujat Adisti. “Makanya aku pengin ngulik lebih jauh tentang cerita Eros dan Psyche. Terus bikin cerita retell yang latar tempat sama waktunya lebih modern.""Menarik. Boleh aku jadi beta reader-nya?” Batara mengembalikan buku-buku pilihan Adisti. “Atau kita saling kasih feedback. Aku mau mau nulis tentang cerita tragis dari mitologi Yunani juga.”Kening Adisti mengernyit. “Cerita mana yang kamu pilih?”
Biyan sedang memilih pakaian saat Salma meneleponnya. Entah mengapa dia yakin panggilan ini berkaitan dengan percakapan terakhirnya bersama Utari yang berujung pada kecanggungan.“Kamu di mana?” tanya Salma tanpa basa-basi saat Biyan menerima panggilan. “Bagaimana kegiatanmu selama seminggu di Evia?”“Di vila, lagi beres-beres.” Biyan memilih kaus hijau tua dan celana pendek khaki. Simpel, tetapi nyaman. Dia tak mau terkesan berlebihan saat mampir ke tempat Adisti. “Mama enggak joging hari ini? Di sana masih pagi, kan?”“Mama biasanya joging sama Utari.” Belum satu menit masuk ke pembicaraan, ibunya sudah menyinggung nama sang mantan. “Dia cerita kamu minta sewa laptop. Padahal kamu bisa beli baru, Biyan. Uangnya Mama transfer.”“Daripada uangnya Mama hamburkan buat laptop, coba alokasikan buat pasang Wi-Fi di vilaku," sahut Biyan, straight to the point. “Seminggu ini aku bisa survive karena langganan koran bahasa Inggris, tapi belum tentu bertahan sampai tiga bulan ke depan.”Terdeng
“Kamu hampir tenggelam?”“Iya, Pa, untungya Mas Biyan gerak cepat.” Adisti mengelus-elus lengan atasnya; salah satu bagian tubuh yang suaminya pegang erat saat menyelamatkannya. “Eh dia malah nawarin aku buat les berenang. Langsung aku terima.”Kekhawatiran dalam suara Gumilar berganti decak tak percaya. “Jangan bilang kamu sengaja lompat ke kolam, ya.”“Mana mungkin! Papa kan tahu aku lihat bak air besar aja langsung pusing.”Kejadian di pesta barbeque cenderung konyol dari sudut pandang Adisti. Dia mengenakan pakaian yang disarankan Indah, termasuk lingerie yang dijadikan atasan. Bahkan sampai meminjam catokan Chelsea untuk merapikan rambut. Perempuan itu yakin Biyan menaruh ketertarikan saat mereka bertukar pandang.Bukannya mendapat momen berduaan, kecerobohan membawa Adisti pada petaka. Namun siapa duga berkat kecelakaan itu, dia mendapatkan kesempatan lebih bagus. Sebuah silver lining, mencatut dari salah satu istilah favoritnya.“Ingat, kamu tetap harus hati-hati saat kalian be
Saat kembali ke kolam renang, Biyan meminta Adisti berganti pakaian. “Temanku datang. Orang Indonesia juga,” dia menjelaskan sambil menyerahkan handuk padanya. “Aku menahannya di ruang tamu, jadi kamu bisa leluasa mandi dan memakai baju. Setelah itu, temui kami langsung di ruang makan.” Tanpa perlu perkenalan, Adisti dapat menebak ‘teman’ yang Biyan maksud: Utari. Memangnya siapa lagi antek yang Salma terjunkan buat menghalangi misinya? Pasti bakal lebih seru kalau mereka bertemu saat dia masih basah kuyup di kolam. Utari dijamin kepanasan mendapatinya sudah melangkah sejauh ini. Apalagi menilai reaksi Biyan sepanjang latihan yang singkat tadi, Adisti yakin suaminya mati-matian menahan diri agar tak menyentuhnya melampaui batas. Permainan kontak fisik tak pernah gagal, terutama untuk pria yang sangat dia cintai. Setelah merapikan rambut dan pakaian, Adisti setengah malas turun menuju ruang makan. Sebelum kakinya menyentuh lantai saja dia dapat menangkap sayup-sayup obrolan yang dit