Biyan sedang memilih pakaian saat Salma meneleponnya. Entah mengapa dia yakin panggilan ini berkaitan dengan percakapan terakhirnya bersama Utari yang berujung pada kecanggungan.“Kamu di mana?” tanya Salma tanpa basa-basi saat Biyan menerima panggilan. “Bagaimana kegiatanmu selama seminggu di Evia?”“Di vila, lagi beres-beres.” Biyan memilih kaus hijau tua dan celana pendek khaki. Simpel, tetapi nyaman. Dia tak mau terkesan berlebihan saat mampir ke tempat Adisti. “Mama enggak joging hari ini? Di sana masih pagi, kan?”“Mama biasanya joging sama Utari.” Belum satu menit masuk ke pembicaraan, ibunya sudah menyinggung nama sang mantan. “Dia cerita kamu minta sewa laptop. Padahal kamu bisa beli baru, Biyan. Uangnya Mama transfer.”“Daripada uangnya Mama hamburkan buat laptop, coba alokasikan buat pasang Wi-Fi di vilaku," sahut Biyan, straight to the point. “Seminggu ini aku bisa survive karena langganan koran bahasa Inggris, tapi belum tentu bertahan sampai tiga bulan ke depan.”Terdeng
“Kamu hampir tenggelam?”“Iya, Pa, untungya Mas Biyan gerak cepat.” Adisti mengelus-elus lengan atasnya; salah satu bagian tubuh yang suaminya pegang erat saat menyelamatkannya. “Eh dia malah nawarin aku buat les berenang. Langsung aku terima.”Kekhawatiran dalam suara Gumilar berganti decak tak percaya. “Jangan bilang kamu sengaja lompat ke kolam, ya.”“Mana mungkin! Papa kan tahu aku lihat bak air besar aja langsung pusing.”Kejadian di pesta barbeque cenderung konyol dari sudut pandang Adisti. Dia mengenakan pakaian yang disarankan Indah, termasuk lingerie yang dijadikan atasan. Bahkan sampai meminjam catokan Chelsea untuk merapikan rambut. Perempuan itu yakin Biyan menaruh ketertarikan saat mereka bertukar pandang.Bukannya mendapat momen berduaan, kecerobohan membawa Adisti pada petaka. Namun siapa duga berkat kecelakaan itu, dia mendapatkan kesempatan lebih bagus. Sebuah silver lining, mencatut dari salah satu istilah favoritnya.“Ingat, kamu tetap harus hati-hati saat kalian be
Saat kembali ke kolam renang, Biyan meminta Adisti berganti pakaian. “Temanku datang. Orang Indonesia juga,” dia menjelaskan sambil menyerahkan handuk padanya. “Aku menahannya di ruang tamu, jadi kamu bisa leluasa mandi dan memakai baju. Setelah itu, temui kami langsung di ruang makan.” Tanpa perlu perkenalan, Adisti dapat menebak ‘teman’ yang Biyan maksud: Utari. Memangnya siapa lagi antek yang Salma terjunkan buat menghalangi misinya? Pasti bakal lebih seru kalau mereka bertemu saat dia masih basah kuyup di kolam. Utari dijamin kepanasan mendapatinya sudah melangkah sejauh ini. Apalagi menilai reaksi Biyan sepanjang latihan yang singkat tadi, Adisti yakin suaminya mati-matian menahan diri agar tak menyentuhnya melampaui batas. Permainan kontak fisik tak pernah gagal, terutama untuk pria yang sangat dia cintai. Setelah merapikan rambut dan pakaian, Adisti setengah malas turun menuju ruang makan. Sebelum kakinya menyentuh lantai saja dia dapat menangkap sayup-sayup obrolan yang dit
“Gimana perkembangan misi besarmu?”Di perpustakaan, Adisti dan Batara tengah membereskan kebutuhan yang akan dibawa ke pusat kota. Sementara Chelsea dan Randy sedang menunggu kedatangan Daffa di lantai bawah. Kunjungan ke book club hari ini menjadi momen yang mereka nantikan untuk mendapatkan refereansi dari sumber-sumber tebaik.Bagi Adisti, perjalanan tersebut adalah peluang terbarunya mendekati Biyan.“Misi?” Perempuan itu bersitatap dengan Batara sampai sang lawan bicara melirik ke arah balkon yang mengarah ke vila suaminya. “Oh, maksudmu rencanaku buat mendekati Mas Biyan. Sejauh ini cukup bagus, semalam kami bertukar pesan sampai ketiduran.”Batara memasukkan laptop ke dalam messenger bag. “Perlu kubantu buat melakukan sesuatu? Misalnya kalau kamu mau jalan berdua sama dia di dermaga, aku bisa alihkan perhatian teman-teman ke tempat lain.”Tawaran yang menggoda, tetapi riskan mengundang kecurigaan. Adisti juga tak mau masalah pribadinya tercampur urusan profesional. “Kita dinne
Ketika mengamati Biyan lahap menyantap pasta with stuffed mushroom, Adisti berusaha menahan kata-kata yang siap meluncur dari bibir.Karena suami yang dia kenal bertahun-tahun tak suka jamur.“Jadi itu sesuatu yang pengin kamu pastikan…” Batara, yang menemani Adisti bersantai di pinggir kolam renang, menyadari perubahan sikapnya di taverna. Sesampainya di vila, pria itu tanpa basa-basai menanyakan kondisi.“Kenapa, kalau boleh aku tahu, suamimu sampai enggak suka makan jamur? Apa dia punya alergi?”Adisti menggeleng lemah. “Mas Biyan enggak punya masalah sama jamur… sampai ikut mendaki setahun setelah kami pacaran. Salah satu temannya ngambil jamur yang ternyata beracun. Syukurnya dia cuma lemes sama dehidrasi gara-gara terus muntah, tapi sejak itu malah ogah ngelihatnya, apalagi makan.”Batara manggut-manggut. “Berarti, keracunan makan jamur jadi salah satu pengalaman yang memorinya ikut terhapus gara-gara kecelakaan.”Kejadian di taverna tadi menyadarkan Adisti akan potensi berubahn
“Welcome to writers’ lounge!”Adisti, bersama Chelsea yang menemaninya diskusi sepanjang pagi di pinggir kolam renang, mengacungkan fruit punch saat Biyan datang. Pria itu tertegun sesaat sebelum tersenyum simpul dan mendekati mereka. Dia juga serius saat mengabari akan datang membawa laptop pada salah satu pesan yang dikirimkan.“Aku ke dalam dulu.” Chelsea mengambil tablet dan minumannya; seakan-akan tahu kehadirannya tak diperlukan dalam pertemuan itu. “Kalau mau tambahan, fruit punch-nya bisa diambil di kulkas. Have fun!”Adisti merapikan tempat yang diduduki Chelsea, sementara Biyan menaruh laptop di meja pendek. “Apa aku ganggu meeting kalian?”“Enggak sama sekali. Brainstorming kami udah beres dari sejam lalu,” tukasnya. “Terus aku kepikiran fruit punch yang kamu pesan di taverna. Ya udah sambil nunggu, kami bikin dalam porsi lebih banyak.”“I feel honored.” Biyan terkekeh, lalu menerima minuman yang disiapkan perempuan itu. “Seharusnya aku yang bawa sesuatu ke sini, soalnya ka
Jam di dasbor menunjukkan pukul sepuluh malam saat Utari memarkirkan mobil di pelataran vila. Biyan mengecek barang-barang bawaannya, lalu kala bersiap melepas seat belt, sosok di sampingnya bertanya,“Bi, apa aku boleh numpang tidur di sini?”Jari Biyan hampir terjepit mendengarnya. “Apartemenmu punya jam malam?”Perempuan itu mengulum bibir. “Enggak, aku—aku capek. Besok pagi langsung balik, kok. Ada meeting yang perlu kuhadiri.”“Lalu, kamu mau tidur pakai dress itu?”“I won’t, silly!” Utari meraih sesuatu di jok belakang. Sebuah ransel mini. “Kebetulan aku bawa pakaian ganti. Jaga-jaga kalau aku harus lembur atau pengin pakai baju lebih nyaman buat perjalanan pulang.”Setelah sekian tahun, Utari belum melepas kebiasaan membawa pakaian cadangan. Satu hal yang diam-diam Biyan ikuti dan membawa manfaat besar saat harus dinas ke luar kota. Mengejutkan bagaimana interaksi dua insan manusia dapat saling mempengaruhi, terlepas dari perubahan dinamika yang dilalui.“Kamu bisa pakai kamar
“Mas, kalau nasib kita kayak di pasangan drakor ini, apa kamu bakal tetap memilihku?”Biyan, yang sedari tadi sibuk memeriksa laporan, mengintip dari balik laptop. “Konteksnya apa dulu, Sayang.”“Dua pemeran utamanya kena kutukan turun menurun. Tokoh cowoknya janji dia akan terus mencari ceweknya di semesta dan dimensi mana pun mereka ditempatkan,” Adisti menjelaskan sambil mencatat poin-poin menarik yang dapat dijadikan inspirasi menulis. “Will you do the same?”Kali ini, sang suami melepas kacamata baca, lalu menutup laptop sebelum bergabung dengannya di tempat tidur. “Kalau takdirku dipasangkan sama kamu, tanpa perlu membual dulu aku akan cari cara buat menggapaimu.”Adisti tak bisa menyembunyikan senyumnya yang seketika merekah. “Bahkan kalau kamu harus dapat cobaan dulu? Jatuh miskin, kena kecelakaan—”“Atau kehilangan ingatan tentangmu,” sambar Biyan cepat. Pelukannya serta-merta membuyarkan fokus perempuan itu. “Akan selalu ada cara, aku yakin. Seberat dan sekeras apa pun rinta
Halo, teman-teman.Setelah hampir setahun, aku memutuskan menamatkan "Membuatmu Jatuh Cinta Lagi" di bab 60. Ending untuk novel ini sengaja digantung, karena akan dilanjutkan dalam buku baru. Untuk kapan tayangnya mungkin enggak dalam waktu terdekat, karena perlu disiapkan dulu naskahnya.Terima kasih untuk kalian yang sudah mengikuti kisah Biyan dan Adisti sampai titik ini. Sampai bertemu di cerita-cerita berikutnya!erl.
“Welcome home, Babe!”Adisti langsung melepas tas untuk menyambut pelukan Indah. Keduanya melompat-lompat kegirangan; melepas rindu setelah tiga bulan berpisah. Kemudian, dia beralih mendekap Gumilar yang masih mengenakan pakaian kerjanya.“Dis, kita cabut duluan, ya!” Chelsea menghampirinya. “Kalau udah ada yang nerbitin novel, tolong saling kabari.”“Hati-hati. Sampai ketempu lagi!” Adisti menyalami satu per satu rekan residensinya. “Eh, minggu depan kita masih harus ketemu Daffa, kan?”“He-eh, buat penutupan sama pengarahan naskah,” sahut Randy. “Sekalian makan-makan sebelum mencar ke masing-masing kehidupan.”Adisti menyanggupi, sebelum berpisah dengan keduanya. Pandangannya lantas terarah pada Batara yang berjalan bersama Daffa. Perempuan itu meminta Gumilar dan Indah untuk menunggu sebentar, lalu menghampiri kedua pria itu.“Hei,” sapanya. “Aku balik duluan, ya. Udah dijemput sama Papa dan temanku.”“That’s okay, kami kebetulan pulang ke arah yang sama,” ujar Daffa. “Sebentar, s
Biyan tak menyangka penyelidikan kecil-kecilannya bakal viral di media sosial.Berawal dari beberapa karyawan yang merekam upaya Utari melepaskan diri dari dua satpam yang menahannya, video tersebut diunggah ke sejumlah platform. Dalam hitungan jam, konten tersebut menuai reaksi netizen.Sebagian menanyakan kronologi kejadian, sebagian lagi—yang mengenali Utari—malah berbagi pengalaman di masa lalu. Ada pula yang melempar celetukan kurang pantas yang tak mau Biyan lihat.Gara-gara itu pula, Salma terpaksa mengadakan konferensi pers demi menjaga nama baik perusahaan serta keluarga Adiratna.“Mama masih tidak percaya dengan kejadian ini.” Di depan cermin, Salma mematut pakaian serbahitam dengan riasan simpel. “Sampai sekarang, Utari belum mengatakan motifnya. Dia malah bakal memanggil pengacara keluarga.”‘Seandainya Mama enggak terus melibatkannya dalam kehidupanku, mungkin kita bakal menjalani hari-hari yang lebih normal.’“Sebagai pengingat, aku yang jadi korban, Ma.” Biyan juga tak
Tiga hari menjelang jadwal kepulangan ke Indonesia, para peserta residensi di Evia berangkat ke Athena untuk menikmati masa tenang. Vila yang biasanya tenang kini riuh karena para penghuninya sibuk berkemas. Koper dan tas dipindahkan ke ruang tengah, sementara kamar-kamar dibersihkan hingga rapi.“Sudah cek semua bawaan kalian? Jangan sampai ada barang tertinggal, bakal tepot mengurus pengembaliannya.” Menilai dari pernyataan tadi. Daffa pasti pernah mengalami kendala tersebyt. “Saya akan kirim voucher kamar hotel yang kalian tempat di Athena. Satu kamar untuk dua orang. Adisti bersama Chelsea, Batara bersama Randy.”Sembari menunggu mini bus yang akan dibawa Kyro, Adisti melongok sebentar ke vila Biyan. Sudah sebulan lebih mereka terpisah. Hanya Indah yang menjembatani komunikasi di antara mereka. Sayangnya, sang sahabat belum mengabari kelanjutan kabar Biyan yang meminum kopi yang telah dimasukkan bius.“Apa Biyan akan menjemputmu?”Dari belakang, Biyan berjalan menghampiri. “Akhirn
“Kenapa kamu tidak masuk kantor kemarin, Biyan? Benar kamu sakit? Kenapa kamu tidak menghubungi Mama?”Kala Salma memasuki ruang kerjanya, Biyan mengisyaratkan Arthur untuk meninggalkan mereka berdua. Setelah sehari bermalam di indekos asistennya, pria itu memberanikan diri pulang ke apartemen. Dia pun menghubungi staf HR untuk absen sehari walau kondisi tubuhnya sudah membaik.“Iya, aku kelelahan,” sahut Biyan tanpa melepas tatapannya dari layar laptop. “Apa Mama sudah menerima draf perjanjian dari Utari?”“Justru itu, Mama ingin menanyakan keberadannya padamu.” Salma duduk di sofa. Respons sang ibu pun menerbitkan rasa penasaran Biyan. “Dia sempat ke kantor untuk mengambil barang-barangnya selepas meeting. Saat Mama tanya kenapa kalian pulang terpisah, Utari bilang kamu langsung pergi ke apartemen.”Pandangan Biyan tertuju pada Salma yang tampak serius dengan perkataannya. “Apa Utari terlihat gugup atau salah tingkah saat bertemu Mama?”Alit sang ibu bertaut. “Kenapa pula Mama harus
“Batara kelelahan, dia harus bedrest total dua hari.” Daffa menyampaikan pesan dokter yang berkunjung untuk pemeriksaan. “Benar selama seminggu terakhir dia treking berjam-jam?”Adisti mengonfirmasi lewat anggukan. “Kadang dia pulang setelah kami makan siang, lalu melanjutkan tulisannya.”“Apa dia sedang ada masalah?”Kali ini, Adisti memandangi Chelsea dan Randy yang tengah membereskan peralatan makan. Dari lirikan-lirikan singkat, mereka sepakat untuk menyembunyikan drama yang terjadi beberapa hari terakhir.“Batara enggak cerita,” Randy yang menjawab. “Makanya kami juga kaget waktu lihat dia menggigil di kamar.”Daffa lantas meminta ketiganya menjaga Batara dan melaporkan hal-hal yang perlu dibereskan bersama. Setelah dia pergi, Adisti lantas pamit pada Chelsea dan Randy untuk naik ke lantai dua.Saat hendak masuk ke perpustakaan, Adisti melintasi kamar Batara yang sedikit terbuka. Perlahan dari celah pintu, dia mengintip pria yang tengah tertidur nyenyak. Wajahnya terlihat lebih t
‘Bersikaplah profesional’. Dua kata itu terus Biyan rapalkan setiap kali bertugas dengan Utari. Syukur-syukur dia bisa pergi mengajak Arthur. Namun, perempuan itu selalu punya akal untuk mengusir asistennya, sehingga mereka bisa keluar berdua. Seperti hari ini misalnya saat Biyan menemui klien potensial mereka di hotel selepas makan siang. “Oh, ini hotel favorit Tante Salma,” celetuk Utaru saat mereka memasuki meeting room. “Kamar-kamar yang mereka sediakan bagus. Cocok buat staycation.”Biyan hanya menggumam rendah sembari mengecek dokumen-dokumen yang akan dipresentasikan. Diam-diam, dia juga berharap semua tamu datang lebih cepat. “Kamu mau pesan sesuatu?” Sadar sedang diabaikan, Utari malah makin mempersempit jarak di antara mereka berdua. “Kafe di bawah jual pastry yang enak—” “Selamat siang, Pak Hendra!” Biyan berdiri dari kursi kala klien mereka datang. Rasanya lega sekali karena dia bisa meloloskan diri dark Utari. “Mari kita tunggu tamu yang lain datang.” Gusar, Utari mem
Dalam penantian yang berjalan lambat, Adisti menyadari musim panas di Yunani sebentar lagi berakhir. Dari durasi siang yang perlahan memendek, diikuti cuaca yang tak sepanas saat dia datang. Beberapa pohon pun mulai menunjukkan perubahan pada warna daun-daunnya menjadi hijau kecokelatan. Sayang sekali jadwal kepulangannya ke Indonesia bertepatan saat musim gugur dimulai. Padahal, Adisti menyukai musim tersebut. Tak terlalu panas ataupun dingin. Cuaca yang sebenarnya cocok dengan atmosfer tulisannya. Omong-omong soal proyek menulisnya…. “Kekejar enggak ya 20 bab terakhir,” guman Chelsea saat menyiapkan makan malam. “Udah gumoh mikirin konflik, padahal udah tahu penyelesaiannya kayak gimana.” “Mungkin kamu harus kasih jarak sama naskahnya. Sehari dua hari juga cukup.” Adisti mengeluarkan potongan daging ayam dari kulkas. “By the way, cowok-cowok pada ke mana, ya?” “Randy lagi urusan bentar ke dermaga. Kalau Batara….” Lawan bicaranya mengedik. “Habis pulang trekking hari ini, dia mas
“Adisti, aku suka sama kamu. Mau jadi pacarku?” Pernyataan perasaan itu, yang pertama Adisti dapatkan di bangku SMP, terdengar lebih manis sebelum dirinya beranjak dewasa. Ada seseorang yang menyukainya! Seseorang yang memberikan perhatian lebih selain dari Gumilar! Seseorang yang akan terus menjaganya. Namun, seiring bertambahnya usia, lalu terjun ke dunia penulis, Adisti dibuat bertanya-tanya: mengapa saat seseorang menyatakan perasaan suka selalu diikuti tawaran untuk jadi kekasih mereka? Mengapa harus ada validasi dalam bentuk hubungan? Maka, saat mendengar Biyan mengungkapkan perasaannya, Adisti malah menolak walau dia juga menyukainya. “Ah, pasti aku menangkap sinyal yang salah.” Biyan mengusap tengkuknya. “Kukira, kamu—kamu menyukaiku.” “Ya, aku suka sama kamu.” Pernyataan itu mengejutkan pria di hadapannya. “Cuma, aku heran aja, kenapa ungkapan yang manis itu harus diikuti tawaran jadi pacar? Kenapa enggak ditanya dulu apa lawannya punya perasaan yang sama?” “Nah, barusan