Email yang Adisti nantikan akhirnya tiba hari ini.
Alih-alih bersorak gembira, dia hanya memandangi layar laptop dalam diam. Telunjuknya menggulir kursor, bolak-balik sambil membaca setiap kata yang terlampir. Selamat, Adisti, Anda diterima sebagai peserta residensi! Sambutan yang, di situas dan kondisi lain, barangkali bakal membuatnya memekik, lalu memeluk erat Biyan yang ikut mengamati di sampingnya.
“Asem banget muka lo.” Bahkan celetukan Indah tak mengejutkan Adisti. “Kenapa, tagihan rumah sakit enggak di-cover asuransi?”
“Bukan.” Adisti mengambil cangkir kopi yang sudah mendingin. “Bulan depan aku berangkat ke Yunani.”
Pekikan Indah seketika mengundang perhatian dari para karyawan di ruangan tersebut. “Guuuys, editor kesayangan kita lolos seleksi residensi!”
Seketika, kubikel Adisti dijejali orang-orang yang ingin membaca isi email tersebut. Gumam kekaguman dan ucapan selamat sahut menyahut melewati telinganya. Satu-satunya hal yang bisa dia lakukanya hanya tersenyum samar dan menyambut jabat tangan para rekan kerjanya.
“Ada apa, nih, kok pada ngumpul di meja Adisti?” Morria, sang pemred, keheranan mendapati kerumunan saat membuka pintu. “Something happened?”
Adisti memejamkan mata sejenak. Bagaimanapun, residensi ini adalah satu-satunya akses yang memudahkannya mendekati Biyan. Dia sudah membuat kesepakatan dengan Salma. Meski perih, perempuan itu harus terus memperjuangkan impian dan cintanya.
“Mor, aku diterima residensi,” ujar Adisti. “Jadi, sesuai obrolan tempo hari, aku bakal mengurus surat pengunduran diri secepatnya sebelum pergi.”
Beberapa pasang mata, termasuk Indah, menatapnya terkejut. Namun, Morria mengangguk paham mendengar pernyataannya. “Congrats, by the way. Aku sejak awal yakin kamu bakal diterima. Selesaikan dulu pekerjaanmu, lalu selepas lunch kita diskusikan kontrakmu.”
*
“Lo enggak bilang-bilang bakal resign.” Selepas perayaan singkat, Indah memilih bekerja di samping Adisti. “Berapa lama residensinya sampai enggak bisa ambil cuti khusus?”
“Dua atau tiga bulan,” sahut Adisti sembari mengecek naskah yang kemungkinan besar akan menjadi proyek terakhirnya. “Morria sebenarnya kasih tawaran supaya aku enggak perlu repot-repot keluar, tapi….”
Sahabatnya mencondongkan tubuh. “Tapi?”
Dadanya mendadak sesak. Ingatannya memutar percakapan bersama Biyan yang terjadi seminggu sebelum kecelakaan terjadi. Alasannya memilih mengundurkan diri bukan karena urusan pekerjaan, melainkan sebuah rencana yang mereka diskusikan sejak masa pacaran.
“Menurutmu, apa Ibu bakal menerima kehadiranku kalau kita punya anak?” tanya Adisti malam itu saat mengecek kalender; menandai masa kesuburannya.
“Emangnya Mama mulai nyindir kamu soal anak?” Biyan merebahkan tubuhnya di samping sang istri. “Kan aku berkali-kali bilang sama Mama, kita bakal ikut program kehamilan setelah kamu beres residensi.”
“Di sinetron-sinetron, biasanya mertua langsung luluh hatinya begitu gendong cucu.” Adisti mengerucutkan bibir yang disambut kekehan sang suami. “Padahal aku pengin punya hubungan baik sama Ibu.”
“Enggak perlu grasa-grusu, aku bakal tetap di sisi kamu.” Kecupan hangat yang mendarat di pipi membuat Adisti merona. “Justru kalau banyak pikiran, kita malah tambah susah buat punya anak.”
Jika diingat-ingat lagi, malam itu jadi momen intim terakhir yang Adisti nikmati bersama Biyan. Kesibukan kerja yang menginteruspi kembali menyulitkan mereka menjadwalkan pertemuan, bahkan untuk sekadar makan malam. Hari ulang tahun pernikahan yang harusnya menyimpan kenangan manis malah berakhir tragis.
“Dis, woi!” Jentikan jemari Indah menyeret Adisti dari lamunan. “Sorry, gue enggak maksud bikin lo mikirin Biyan.”
“Kok kamu tahu aku kepikiran Mas Biyan?”
“Emang siapa lagi yang belakangan bikin kamu galau sampai uring-uringan?” Sang sahabat melepas napas panjang. “Kalau resign jadi keputusan terbaik, gue maklum dan dukung demi lo fokus bawa Biyan dari cengkeraman mertua yang rese.”
Selepas mengurus dokumen dengan Morria, Adisti yang hendak mengubungi Gumilar malah mendapatkan panggilan telepon dari Bi Cucu. Tanpa pikir panjang, dia mengangkatnya.
“Halo, Bi, ada apa?”
“Neng…” Terdengar percakapan samar di belakang. “Anu, Bu Salma ke rumah.”
Kantuk yang menyerang perempuan itu serta-merta sirna. “Ada perlu apa ke sana?”
“Katanya mau ambil sebagian barang punya Mas Biyan,” katanya setengah berbisik. “Bu Salma minta masuk ke kamar, tapi Bibi enggak bisa kasih izin sebelum nelepon Neng.”
Padahal baru beberapa hari lalu mereka membuat kesepakatan, mengapa Salma malah sengaja mengujinya? “Bi, tolong kasih teleponnya ke Bu Salma.”
Tak lama kemudian, suara lembut Bi Cucu berganti menjadi Salma yang tegas dan dingin. “Izinkan saya masuk ke kamar kalian.”
“Ibu mau ambil barang Mas Biyan yang mana?”
“Pakaian, tas… pokoknya yang pernah dia simpan di apartemennya dulu.”
Kening Adisti mengernyit, lalu teringat unit yang ditempati sang suami sebelum pindah saat mereka menikah. “Bu, semua barang dari apartemen Mas Biyan pasti udah tercampur sama yang baru. Bawa saja yang per—”
“Saya hanya butuh barang-barangnya yang dari apartemen,” sang lawan bicara menegaskan. “Suruh pembantumu untuk memberi kunci cadangan kamar kalian.”
Meski tanpa Biyan, Adisti tak boleh kehilangan pijakan. Sejak rumah itu masih di tahap pembangunan, keduanya sudah memasang sejumlah peraturan. Salah satunya melarang siapa pun, termasuk ART dan mertua selain mereka masuk ke kamar tidur utama. Pengecualian tersedia, hanya saja untuk keadaan darurat.
“Biar aku yang sortir barang-barang Mas Biyan,” ujar Adisti. “Mama tunggu di rumah. Sekalian, aku mau mau bicarakan tentang residensiku di Yunani.”
Salam berdecak sebal. “Kamu diterima?”
“Ya, emailnya masuk tadi pagi.” Dimatikannya laptop sebelum mengambil tas di kursi. “Setengah jam lagi aku sampai. Ibu bisa minta Bi Cucu masak kalau pengin makan.”
*
Di tengah perjalanan menuju rumah, Adisti mengirim pesan terkait keberangkatannya ke Yunani pada Gumilar. Sang ayah langsung menelepon, tetapi karena sedang mengejar waktu, dia tak bisa mengangkatnya. Perempuan itu lantas mengabari kedatangan Salma ke rumah yang disambut balasan untuk bersabar menghadapi situasi tersebut.
“Pa, masih di rumah sakit?” Adisti baru bisa menelepon Gumilar saat menepikan mobil. “Kalau pengin ke sini, nanti aja pas Ibu pulang. Biar lebih santai.”
“Ya sudah nanti malam Papa ke sana,” kata Gumilar. “Mau Papa bawakan sesuatu?”
“Enggak usah, Bi Cucu tadi pagi belanja banyak buat stok seminggu.” Matanya mendapati Salma yang tengah duduk di kursi teras. “Kita lanjut lagi nanti. Aku mau beresin bawaan Mas Biyan.”
Belum sempat Adisti menyapa, Salma beranjak dari kursi dan mengisyatkannya masuk. Bi Cucu, yang sedang beres-beres ruang makan, hanya mengangguk kala mereka bertatapan. Adisti mempercepat langkah saat naik ke lantai dua agar sang ibu mertua tak menyeloning masuk kala dia membuka pintu.
“Ibu tunggu di luar. Biar aku yang siapkan barang-barang Mas Biyan,” pinta Adisti yang serta-merta disambut pelototan. “Masih ingat peraturan kami, kan, Bu? Hanya kami yang boleh mengakses ruangan ini.”
“Terserahmu saja,” sambarnya ketus. “Tahu begini saya tunggu di bawah. Capek dari tadi naik turun tangga.”
Adisti mengelus-elus dada, lalu sesegera mungkin mengumpulkan pakaian hingga perlengkapan yang Biyan bawa dari apartemennya. Walau belum tahu pasti tujuan Salma meminta barang-barang ini, dia berusaha tak memusingkannya demi melancarkan misi yang akan dia lakukan sambil menjalani residensi.
“Kapan kamu terbang ke Yunani?” Salma tanpa basa-basi melempar pertanyaan itu saat Adisti membawa koper ke lantai dasar.
“Bulan depan. Tadi siang, aku juga mengurus notice dan surat resign supaya fokus menyiapkan kebutuhan residensi.”
Sang ibu mertua menyambar koper yang Adisti berikan dan mengetikkan sesuatu pada ponsel. “Kebetulan sekali kalian pergi di waktu bersamaan. Saya mungkin hanya sesekali menjenguk Biyan, tetapi ada Utari yang menemaninya.”
Tangan Adisti terkepal erat. Dia tahu Salma sengaja menyinggung keberadaan Utari yang bakal mempersulit pergerakannya. “Aku akan pastikan Mas Biyan aman dan selamat di sana.”
Kerlingan sinis dari sosok di hadapannya justru membakar semangat Adisti untuk merebut Biyan. Bagaimanapun, status mereka masih suami istri.
“Saya pulang dulu. Kasihan Biyan ditinggal lama-lama di runah,” katanya sambil lalu. “Fokus juga pada residensimu. Mereka tak mau berinvestasi pada orang malas-malasan.”
Selepas kepergian Salma, Adisti bergeming di kursi teras sambil menunggu Gumilar. Seberat inikah cobaannya demi mempertahankan rumah tangga? Namun, dia tak boleh cepat menyerah. Perempuan itu yakin kalau sampai lengah sedikit, ibu mertuanya tak akan ragu ikut campur untuk memisahkannya dari Biyan, secara hukum maupun agama.
***
Halo, selamat datang dan terima kasih sudah membaca kisah Biyan-Adisti! Jangan sungkan buat tinggalkan jejak supaya aku semakin semangat nulisnya!
Evia, pulau kedua terbesar di Yunani setelah Kreta, menyimpan pesona yang mengundang Adisti menelusuri setiap sudutnya. Dari bentangan hutan pinus di bagian utara hingga hamparan pasir putih di bagian selatan. Bahkan Homer, salah satu sosok legendaris yang akan dia teliti selama residensi, diceritakan pernah tinggal di sana.“Mau pergi ke tempat bagus malah cemberut.” Gumilar menghampiri Adisti yang tengah merapikan perlengkapan dalam koper. "Maaf Papa tidak bisa membantu banyak buat mempertemukanmu dengan Biyan. Papa harus bersikap netral di rumah sakit. Apalagi mertuamu rajin menemani anaknya kontrol.”“It’s okay, aku paham.” Walau di dalam hati, Adisti berharap bisa mengamati dari kejauhan saat suaminya melakukan kunjungan. “Omong-omong, apa mereka pergi berdua?”Sang ayah meliriknya keheranan. “Mmh, ya, hanya mereka berdua yang selalu masuk ke ruang kerja Papa. Ada apa?”Lega Adisti mendengar keterangan itu. “Syukurlah. Cuma mau memastikan Mas Biyan pergi sama orang yang dia kenal
Biyan sudah tiba di Yunani. Vila yang dia tempati dekat dari lokasi residensimu. Lelah dan kantuk yang menyergap Adisti selama di pesawat serta-merta menguap. Langkahnya terhenti kala memasuki Bandara Internasional Eleftherios Venizelos, Athena, untuk memastikan matanya tak salah membaca deretan kata-kata itu. Tinggal satu kali perjalanan darat lagi, dia akan bertemu sang suami. “Hei, ternyata kamu ada di sini.” Adisti mendongak saat mendengar seseorang berbicara dalam bahasa Indonesia. Sosok itu, seorang pria dengan rambut ikal, menghampirinya. Siapa namanya—Adisti lupa. Satu hal yang pasti, dia adalah teman satu rombongan yang juga lolos seleksi residensi. “Kita terpisah row di pesawat, makanya kamu enggak ingat aku,” pria itu meneruskan, seakan-akan dapat menafsirkan kebingungan yang tercetak di wajahnya. “Batara. Kamu Adisti, kan?” Adisti mengangguk cepat. “Maaf, aku… udah lama enggak terbang jauh.” “So am I. Ini penerbangan pertama setelah pandemi,” sahutnya. “Kita harus
“Yakin enggak mau aku tunggu?”“Katanya kamu ada meeting. Aku bisa belanja sendiri.”“Oke, deh, aku tunggu di kafe yang tadi.”Bersama Utari, Biyan turun dari vila ke kawasan dermaga untuk belanja kebutuhan. Kerumunan turis dari berbagai negara sempat mengejutkannya. Kontras dari suasana di sekitar perbukitan yang lengang dan hanya dilewati beberapa kendaraan.Biyan mengecek dompet di dalam tas selempang saat Utari menurunkannya di depan sebuah supermarket. Kesempatan ini semestinya dimanfaatkan untuk mengakses Wi-fi gratis kalau saja baterai ponselnya tidak low bat. Itu berarti pada kunjungan berikutnya dia harus mempersiapkan diri lebih baik.Setelah mengambil troli, Biyan menelusuri setiap rak dan mengambil barang-barang yang diperlukan. Pasta. Sambal. Bumbu dapur. Mi instan. Telur. Dia ingin memanfaatkan masa pemulihannya untuk memasak, sesuatu yang ingin dia coba dari dulu kalau saja Salma tak melarangnya.“Mama, kan, sudah sewakan chef pribadi,” begitu dalih sang ibu setiap kali
Membawa permen aneka rasa yang dibeli di supermarket, Adisti bergegas meninggalkan vila menuju tempat Biyan. Dia berharap, camilan manis itu akan membantu memantik ingatan lama suaminya meski kemungkinannya kecil. Gumilar pun mendukung usahanya saat Adisti menceritakan gagasan tersebut semalam.“Mungkin kalau aku lanjut kontak-kontakan setelah kenalan di pesawat, Mas Biyan pasti bakal mengingatku,” katanya pada sang ayah lewat sambungan telepon. “Papa tahu kan kami baru ketemu lagi setahun kemudian.”“Ya, ya, Papa baru ingat begitu kamu ngomong tadi. Makanya Papa kaget waktu Biyan tidak mengenalmu saat siuman.” Di ujung telepon, terdengar Gumilar yang berusaha menahan diri agar tak menguap. “Bawa permennya pas kamu dapat kesempatan ‘berkenalan’. Jangan sok kenal sok dekat. Pasti berat, tapi bersikap tenang bakal bantu kamu mendekatinya.”Adisti berhenti di depan vila dan menekan bel. Tak lama berselang, gerbang terbuka otomatis; mempersilakannya masuk. Seperti pesan Gumilar, dia harus
“Kemarin kamu mampir ke vila sebelah?”Mendengar pertanyaan dari Batara, Adisti yang kebagian tugas piket cuci piring menoleh ke belakang. Pria itu, membawa secangkir kopi dan laptop, menunggu jawaban di ambang pintu dapur.“Iya, dia orang Indonesia juga. Namanya Biyan.” Dilepasnya sarung tangan begitu semua piring dan gelas dibersihkan. “Kita bisa undang dia makan di sini kapan-kapan. Soalnya dia tinggal sendirian di sana.”“Serius?” Batara menarik kursi, lalu menaruh cangkir kopi dan laptopnya. “Apa dia sengaja liburan sendiri? Atau lagi ada kerjaan khusus?”“Entahlah, aku belum tanya sejauh itu,” Adisti berdalih. Bukan keputusan bijaksana untuk berbagi urusan pribadi pada orang asing walau Batara bersikap baik. “Aku ke atas dulu, ya. Mau cari referensi.”Hari ini, para peserta residensi memulai aktivitas kepenulisan. Daffa meminta mereka mencatat perkembangan yang dilakukan setiap harinya. Kemudian, laporannya dikirimkan setiap minggu sebagai bahan evaluasi.Adisti tak mau menyia-n
Adisti mengira Biyan mengada-ada saat mengatakan huniannya tak dilengkapi internet. Hingga keesokan harinya, saat jalan-jalan bersama Chelsea, dia iseng mencari sesuatu lewat browser dekat vila yang ditempati suaminya. Benar saja, koneksi mendadak lambat sebelum laman menunjukkan tanda time out.“Kayaknya sengaja diblokir.” Rupanya Chelsea ikut mengecek. “Tunanganku kerja jadi teknisi IT di start up, kadang ngurus yang beginian. Mungkin kenalanmu itu enggak pengin kedistraksi internet.”Persis seperti yang Biyan katakan, tetapi Adisti tak sepenuhnya percaya. Apalagi ada Salma dan Utari yang terang-terangan menghalangi usahanya mendekati pria itu.“Kamu keberatan enggak kalau kita undang Biyan makan-makan di vila?” Adisti perlu memastikan semua penguni menerima kehadirannya. “Lumayan nambah teman dari Indonesia selama tinggal di sini.”“Why not?” Chelsea mengangkat bahu. “ Yuk, balik ke vila. Penasaran aku sama lunch yang dibuat Batara sama Randy.”Tanpa internet, Adisti kesulitan mend
“Ternyata Eros yang jobdesc-nya jodoh-jodohin orang punya kisah cinta yang tragis.”Siang itu, rombongan peserta residensi bersama Daffa berkunjung ke perpustakaan publik yang berlokasi di Chalkida. Dari jendela, Adisti dapat mengamati Jembatan Evripos yang menghubungkan antara Evia dengan daratan utama Yunani. Hijaunya pepohonan yang menyatu dengan birunya cakrawala membingkai pemandangan itu bak sebuah lukisan.Di sampingnya, Batara mengecek buku-buku yang Adisti ambil untuk referensi. Salah satunya salinan Metamorphoses yang dia jadikan sebagai rujukan utama.“Welcome to Greek myth.,” ujat Adisti. “Makanya aku pengin ngulik lebih jauh tentang cerita Eros dan Psyche. Terus bikin cerita retell yang latar tempat sama waktunya lebih modern.""Menarik. Boleh aku jadi beta reader-nya?” Batara mengembalikan buku-buku pilihan Adisti. “Atau kita saling kasih feedback. Aku mau mau nulis tentang cerita tragis dari mitologi Yunani juga.”Kening Adisti mengernyit. “Cerita mana yang kamu pilih?”
Biyan sedang memilih pakaian saat Salma meneleponnya. Entah mengapa dia yakin panggilan ini berkaitan dengan percakapan terakhirnya bersama Utari yang berujung pada kecanggungan.“Kamu di mana?” tanya Salma tanpa basa-basi saat Biyan menerima panggilan. “Bagaimana kegiatanmu selama seminggu di Evia?”“Di vila, lagi beres-beres.” Biyan memilih kaus hijau tua dan celana pendek khaki. Simpel, tetapi nyaman. Dia tak mau terkesan berlebihan saat mampir ke tempat Adisti. “Mama enggak joging hari ini? Di sana masih pagi, kan?”“Mama biasanya joging sama Utari.” Belum satu menit masuk ke pembicaraan, ibunya sudah menyinggung nama sang mantan. “Dia cerita kamu minta sewa laptop. Padahal kamu bisa beli baru, Biyan. Uangnya Mama transfer.”“Daripada uangnya Mama hamburkan buat laptop, coba alokasikan buat pasang Wi-Fi di vilaku," sahut Biyan, straight to the point. “Seminggu ini aku bisa survive karena langganan koran bahasa Inggris, tapi belum tentu bertahan sampai tiga bulan ke depan.”Terdeng