“Kenapa Evia, bukan Athena, Mykonos, atau Santorini?”
“Soalnya kita pergi buat sekalian recovery.” Utari menyerahkan brosur berisi profil Pulau Evia. “Tempatnya enggak seramai di daratan utama. Jadi, kamu bisa lebih fokus healing.”
“Masuk akal.” Biyan mengamati foto-foto cantik beserta penjelasan yang tertera pada brosur. “Kapan harus kusiapkan dokumen buat paspor dan visa?”
“Kamu tinggal tunggu semuanya beres.” Perempuan di hadapannya tersenyum. “Tante Salma sudah menyiapkannya sejak jauh-jauh hari. Toh kamu juga masih butuh waktu buat istirahat.”
Seorang pelayan meletakkan dua mangkuk udon bersama minuman yang mereka pesan. Siang ini, Utari mengajak Biyan makan di luar sekaligus membahas rencana perjalanan ke Yunani.
Sesungguhnya, Biyan sungkan harus bepergian jauh dan meninggalkan tanggung jawabnya sebagai CEO agen travel. Apalagi, berdasarkan keterangan Salma, dia baru menjabat selama tiga bulan. Toh soft skill dan hard skill yang dikuasainya tidak ikut terhapus bersama memori dari empat tahun terakhir.
“Hei, ternyata bener kata ibumu, kamu masih sering melamun.” Utari menyodorkan sebotol bawang putih goreng, pelengkap favoritnya. “Aku tahu, aku tahu, kamu pasti enggak enakan, ya, bahas perjalanan ini?”
Satu hal yang tak berubah dari Utari: mampu membaca hal-hal yang Biyan pikirkan. “Terkesan berlebihan buatku, sampai tiga bulan pula. Memang ada Mama yang urus kerjaanku untuk sementara, cuma rasanya… kok aku kayak makan gaji buta.”
“Dia hanya ingin memastikan kamu pulih total, at least sampai kamu terbiasa sama kehidupan barumu.” Lawan bicaranya termenung sesaat. “Maksudku, sampai kamu enggak terlalu memusingkan ingatanmu yang hilang.”
“Empat tahun sekilas pendek, tapi aku merasa ada banyak hal penting yang ikut hilang.” Biyan belum berani mengungkapkannya pada Utari. Dia yakin ada sejumlah momen krusial yang terjadi pada hidupnya pada tahun-tahun tersebut, hanya saja Salma sengaja menyimpannya. “Kayak kemarin, aku baru tahu dunia sempat mengalami pandemi.”
“Biyan….” Utari menepuk-nepuk punggung tangannya. “Don’t think too much. Kita mulai pelan-pelan. Aku bakal membantu membawa memori-memori yang kamu butuhkan.”
Selepas makan siang, mereka mengunjungi toko-toko di mal untuk menyiapkan kebutuhan perjalanan. Lagi, Biyan menganggap hal ini berlebihan, terutama saat dia diminta belanja pakaian dan sepatu. Mengapa harus membeli yang baru, padahal dia tinggal mengambil koleksinya di apartemen.
Ingin sekali Biyan menahan Utari, tetapi menilai pembicaraan mereka di restoran, dia memilih mematuhinya. Untuk sementara, pria itu akan memantau sejauh mana Utari maupun Salma menolongnya memulihkan ingatan.
Atau sebaiknya, mengubur momen-momen terbaik yang pernah dia miliki.
*
“Bi, aku mau ke toilet dulu. Kamu enggak apa-apa nunggu di luar?”
Biyan mengangguk. “Aku mampir sebentar ke toko roti, mau beli muffin buat Mama.”
Aroma manis dan segar menyambut Biyan saat membuka pintu bakery. Setelah mengambil nampan dan pencapit, dia mengambil tempat di belakang sepasang manula yang tengah memilih roti keju. Di seberang ruangan antrean mengular dari kasir, sementara beberapa orang berseragam cokelat bolak-balik membawakan kue-kue yang baru matang.
Entah mengapa, Biyan familier dengan suasana tersebut. Hangat. Menyenangkan. Seakan-akan ada memori yang dia simpan di sana bersama seseorang.
Matanya menangkap muffin cokelat kesukaan Salma. Dengan segera, dia mengambilnya sebelum kehabisan, bersama sebongkah garlic bread yang wanginya sulit dia abaikan. Syukurnya, antrean sudah memendek saat pria itu membayar.
Setelah transaksi selesai, Biyan bergegas keluar dari bakery sebelum pandangannya tertambat pada seorang pengunjung yang hendak mengambil roti.
Langkahnya terhenti. Itu perempuan yang menemuinya di rumah sakit.
Perempuan yang dia lihat juga sebelum pulang bersama Salma.
Ini adalah kali ketiga Biyan mendapati mereka berada di lokasi yang sama. Mungkinkah ini sebuah kebetulan atau diam-diam sosok itu menguntitnya? Membayangkan kemungkinan terakhir membuatnya bergidik. Cepat-cepat, dia keluar, lalu menghampiri Utari yang tengah menunggunya di lobi mal.
“Astaga, aku was-was kamu kesasar,” katanya. “Udah selesai belanjanya?”
“Sori, malah kamu yang balik nunggu.” Biyan mengangkat kantung berisi roti dan muffin. “Yuk, kita pulang sekarang.”
*
Biyan belum menyerah mencari kepingan-kepingan memorinya yang hilang. Ponsel pemberian Salma dapat dia jadikan alat untuk menelusuri informasi yang dia perlukan.
Maka, Biyan memulai dari kecelakaan yang dialaminya.
Hasil pencarian awal masih terlalu umum. Biyan lantas memasukkan keyword yang lebih spesifik. Nihil. Benarkah tak ada media yang memberitakan insiden mengenaskan yang menimpa putra petinggi perusahaan besar di Indonesia? Mustahil mereka tak menayangkan setidaknya satu artikel di kategori News.
Sekarang, Biyan menggunakan namanya sebagai keyword. Hasil pencarian yang keluar semakin random. Satu-satunya website kredibel yang ditayangkan adalah laman profil dari sebuah platform bisnis.
Di saat-saat seperti ini, Biyan menyesali keputusannya menghindari media sosial. Platform tersebut dipastikan mampu menyediakan konten-konten yang akan menjawab kegelisahan dan kejanggalan yang menggelayutinya sejak pulang dari rumah sakit.
“Biyan, apa kamu sudah makan?” Salma membuka pintu kamar yang sengaja tak dikunci. “Maaf, Mama telat pulang. Ada rapat, terus harus memantau perkembangan visamu.”
“Udah, Ma,” sahutnya. “Kira-kira, kapan aku terbang ke Yunani bersama Utari?”
“Minggu depan kalau prosesnya lancar. Oh, paspormu sudah diperpanjang.” Sang ibu menyerahkan buku kecil itu padanya. "Apa kamu butuh sesuatu? Transportasi selama di Evia atau guide seandainya Utari berhalangan menemuimu.”
Bukan informasi itu yang Biyan perlukan, tetapi dia tak bisa terang-terang menyatakannya. Salma pasti bakal langsung menghindar. Maka, pria itu memiluh topik lain.
“Ma, apa apartemenku masih bisa diakses?” Biyan yakin di sana dia dapat menemukan petunjuk baru. “Beberapa pakaian dan sepatuku ada di sana. Bisa kuambil buat menambah bawaan ke Evia.”
Kening Salma mengerut. “Apartemen yang mana?”
“Unit yang aku beli di Kuningan.” Perasaan Biyan tiba-tiba tak enak. “Lima tahun terakhir aku tinggal di sana, lokasinya dekat kantor kita.”
“Oh, apartemen itu. Setahu Mama, kamu menjualnya dua tahun lalu.”
Giliran Biyan yang keheranan. Menilai dari waktunya, bisa dipastikan kejadian itu termasuk memori yang terhapus akibat kecelakaan. Di sisi lain, fakta tersebut malah menyisakan keganjikan lain yang perlu dia ulik.
“Kalau aku menjual apartemenku, di mana aku menyimpan barang-barang pribadiku?” Matanya memindai kamar tidur yang dulu pernah dia tempati sampai lulus SMA. “Saat aku kembali ke sini, rak dan lemarinya kosong. Baru terisi lagi setelah aku belanja seharian sama Utari.”
“Biyan—”
“Please, be honest. Aku kenyang dengar Mama dan Utari terus menerus berdalih,” potongnya. “Mudah-mudahan hanya prasangka, tetapi kalian bertingkah aneh, seperti sedang menyembunyikan sesuatu dariku.”
Salma memalingkan wajah. Gestur yang hanya Biyan lihat saat ibunya kebingungan atau ketahuan berbohong.
“Ma, aku cuma butuh barang-barang pribadiku. Serius.” Sebaiknya dia tak terlalu mendesak ibunya kalau ingin terus mendapatkan celah untuk mengakses ingatannya. “Biar Mama sama Utari enggak repot beli ini-itu.”
“Maaf, seharusnya Mama langsung bawa semuanya ke sini.” Ada keraguan terdengar dari suara Salma. “Barang-barangmu Mama simpan di vila keluarga di Puncak.”
Biyan manggut-manggut. Kenapa harus jauh-jauh? Hal lain yang urung dia tanyakan supaya ibunya tak menaruh curiga.
“Mama akan meminta asisten pribadi di kantor buat mengambilkannya, terus dikirim ke rumah besok.” Kemudian, Salma beringsut dari kursi dan mencium puncak kepala putranya. “Tidurlah. Kamu butuh istirahat supaya lebih bugar sebelum terbang ke Yunani.”
Ditemani cahaya rembulan yang menyusup lewat jendela kamar, Biyan mengumpulkan setiap petunjuk yang mengarah pada memori-memorinya yang musnah. Berharap satu hari nanti dia dapat memakainya untuk mengisi kekopongan yang menganga bak lubang hitam dalam hidupnya.
***
Email yang Adisti nantikan akhirnya tiba hari ini. Alih-alih bersorak gembira, dia hanya memandangi layar laptop dalam diam. Telunjuknya menggulir kursor, bolak-balik sambil membaca setiap kata yang terlampir. Selamat, Adisti, Anda diterima sebagai peserta residensi! Sambutan yang, di situas dan kondisi lain, barangkali bakal membuatnya memekik, lalu memeluk erat Biyan yang ikut mengamati di sampingnya. “Asem banget muka lo.” Bahkan celetukan Indah tak mengejutkan Adisti. “Kenapa, tagihan rumah sakit enggak di-cover asuransi?” “Bukan.” Adisti mengambil cangkir kopi yang sudah mendingin. “Bulan depan aku berangkat ke Yunani.” Pekikan Indah seketika mengundang perhatian dari para karyawan di ruangan tersebut. “Guuuys, editor kesayangan kita lolos seleksi residensi!” Seketika, kubikel Adisti dijejali orang-orang yang ingin membaca isi email tersebut. Gumam kekaguman dan ucapan selamat sahut menyahut melewati telinganya. Satu-satunya hal yang bisa dia lakukanya hanya tersenyum samar d
Evia, pulau kedua terbesar di Yunani setelah Kreta, menyimpan pesona yang mengundang Adisti menelusuri setiap sudutnya. Dari bentangan hutan pinus di bagian utara hingga hamparan pasir putih di bagian selatan. Bahkan Homer, salah satu sosok legendaris yang akan dia teliti selama residensi, diceritakan pernah tinggal di sana.“Mau pergi ke tempat bagus malah cemberut.” Gumilar menghampiri Adisti yang tengah merapikan perlengkapan dalam koper. "Maaf Papa tidak bisa membantu banyak buat mempertemukanmu dengan Biyan. Papa harus bersikap netral di rumah sakit. Apalagi mertuamu rajin menemani anaknya kontrol.”“It’s okay, aku paham.” Walau di dalam hati, Adisti berharap bisa mengamati dari kejauhan saat suaminya melakukan kunjungan. “Omong-omong, apa mereka pergi berdua?”Sang ayah meliriknya keheranan. “Mmh, ya, hanya mereka berdua yang selalu masuk ke ruang kerja Papa. Ada apa?”Lega Adisti mendengar keterangan itu. “Syukurlah. Cuma mau memastikan Mas Biyan pergi sama orang yang dia kenal
Biyan sudah tiba di Yunani. Vila yang dia tempati dekat dari lokasi residensimu. Lelah dan kantuk yang menyergap Adisti selama di pesawat serta-merta menguap. Langkahnya terhenti kala memasuki Bandara Internasional Eleftherios Venizelos, Athena, untuk memastikan matanya tak salah membaca deretan kata-kata itu. Tinggal satu kali perjalanan darat lagi, dia akan bertemu sang suami. “Hei, ternyata kamu ada di sini.” Adisti mendongak saat mendengar seseorang berbicara dalam bahasa Indonesia. Sosok itu, seorang pria dengan rambut ikal, menghampirinya. Siapa namanya—Adisti lupa. Satu hal yang pasti, dia adalah teman satu rombongan yang juga lolos seleksi residensi. “Kita terpisah row di pesawat, makanya kamu enggak ingat aku,” pria itu meneruskan, seakan-akan dapat menafsirkan kebingungan yang tercetak di wajahnya. “Batara. Kamu Adisti, kan?” Adisti mengangguk cepat. “Maaf, aku… udah lama enggak terbang jauh.” “So am I. Ini penerbangan pertama setelah pandemi,” sahutnya. “Kita harus
“Yakin enggak mau aku tunggu?”“Katanya kamu ada meeting. Aku bisa belanja sendiri.”“Oke, deh, aku tunggu di kafe yang tadi.”Bersama Utari, Biyan turun dari vila ke kawasan dermaga untuk belanja kebutuhan. Kerumunan turis dari berbagai negara sempat mengejutkannya. Kontras dari suasana di sekitar perbukitan yang lengang dan hanya dilewati beberapa kendaraan.Biyan mengecek dompet di dalam tas selempang saat Utari menurunkannya di depan sebuah supermarket. Kesempatan ini semestinya dimanfaatkan untuk mengakses Wi-fi gratis kalau saja baterai ponselnya tidak low bat. Itu berarti pada kunjungan berikutnya dia harus mempersiapkan diri lebih baik.Setelah mengambil troli, Biyan menelusuri setiap rak dan mengambil barang-barang yang diperlukan. Pasta. Sambal. Bumbu dapur. Mi instan. Telur. Dia ingin memanfaatkan masa pemulihannya untuk memasak, sesuatu yang ingin dia coba dari dulu kalau saja Salma tak melarangnya.“Mama, kan, sudah sewakan chef pribadi,” begitu dalih sang ibu setiap kali
Membawa permen aneka rasa yang dibeli di supermarket, Adisti bergegas meninggalkan vila menuju tempat Biyan. Dia berharap, camilan manis itu akan membantu memantik ingatan lama suaminya meski kemungkinannya kecil. Gumilar pun mendukung usahanya saat Adisti menceritakan gagasan tersebut semalam.“Mungkin kalau aku lanjut kontak-kontakan setelah kenalan di pesawat, Mas Biyan pasti bakal mengingatku,” katanya pada sang ayah lewat sambungan telepon. “Papa tahu kan kami baru ketemu lagi setahun kemudian.”“Ya, ya, Papa baru ingat begitu kamu ngomong tadi. Makanya Papa kaget waktu Biyan tidak mengenalmu saat siuman.” Di ujung telepon, terdengar Gumilar yang berusaha menahan diri agar tak menguap. “Bawa permennya pas kamu dapat kesempatan ‘berkenalan’. Jangan sok kenal sok dekat. Pasti berat, tapi bersikap tenang bakal bantu kamu mendekatinya.”Adisti berhenti di depan vila dan menekan bel. Tak lama berselang, gerbang terbuka otomatis; mempersilakannya masuk. Seperti pesan Gumilar, dia harus
“Kemarin kamu mampir ke vila sebelah?”Mendengar pertanyaan dari Batara, Adisti yang kebagian tugas piket cuci piring menoleh ke belakang. Pria itu, membawa secangkir kopi dan laptop, menunggu jawaban di ambang pintu dapur.“Iya, dia orang Indonesia juga. Namanya Biyan.” Dilepasnya sarung tangan begitu semua piring dan gelas dibersihkan. “Kita bisa undang dia makan di sini kapan-kapan. Soalnya dia tinggal sendirian di sana.”“Serius?” Batara menarik kursi, lalu menaruh cangkir kopi dan laptopnya. “Apa dia sengaja liburan sendiri? Atau lagi ada kerjaan khusus?”“Entahlah, aku belum tanya sejauh itu,” Adisti berdalih. Bukan keputusan bijaksana untuk berbagi urusan pribadi pada orang asing walau Batara bersikap baik. “Aku ke atas dulu, ya. Mau cari referensi.”Hari ini, para peserta residensi memulai aktivitas kepenulisan. Daffa meminta mereka mencatat perkembangan yang dilakukan setiap harinya. Kemudian, laporannya dikirimkan setiap minggu sebagai bahan evaluasi.Adisti tak mau menyia-n
Adisti mengira Biyan mengada-ada saat mengatakan huniannya tak dilengkapi internet. Hingga keesokan harinya, saat jalan-jalan bersama Chelsea, dia iseng mencari sesuatu lewat browser dekat vila yang ditempati suaminya. Benar saja, koneksi mendadak lambat sebelum laman menunjukkan tanda time out.“Kayaknya sengaja diblokir.” Rupanya Chelsea ikut mengecek. “Tunanganku kerja jadi teknisi IT di start up, kadang ngurus yang beginian. Mungkin kenalanmu itu enggak pengin kedistraksi internet.”Persis seperti yang Biyan katakan, tetapi Adisti tak sepenuhnya percaya. Apalagi ada Salma dan Utari yang terang-terangan menghalangi usahanya mendekati pria itu.“Kamu keberatan enggak kalau kita undang Biyan makan-makan di vila?” Adisti perlu memastikan semua penguni menerima kehadirannya. “Lumayan nambah teman dari Indonesia selama tinggal di sini.”“Why not?” Chelsea mengangkat bahu. “ Yuk, balik ke vila. Penasaran aku sama lunch yang dibuat Batara sama Randy.”Tanpa internet, Adisti kesulitan mend
“Ternyata Eros yang jobdesc-nya jodoh-jodohin orang punya kisah cinta yang tragis.”Siang itu, rombongan peserta residensi bersama Daffa berkunjung ke perpustakaan publik yang berlokasi di Chalkida. Dari jendela, Adisti dapat mengamati Jembatan Evripos yang menghubungkan antara Evia dengan daratan utama Yunani. Hijaunya pepohonan yang menyatu dengan birunya cakrawala membingkai pemandangan itu bak sebuah lukisan.Di sampingnya, Batara mengecek buku-buku yang Adisti ambil untuk referensi. Salah satunya salinan Metamorphoses yang dia jadikan sebagai rujukan utama.“Welcome to Greek myth.,” ujat Adisti. “Makanya aku pengin ngulik lebih jauh tentang cerita Eros dan Psyche. Terus bikin cerita retell yang latar tempat sama waktunya lebih modern.""Menarik. Boleh aku jadi beta reader-nya?” Batara mengembalikan buku-buku pilihan Adisti. “Atau kita saling kasih feedback. Aku mau mau nulis tentang cerita tragis dari mitologi Yunani juga.”Kening Adisti mengernyit. “Cerita mana yang kamu pilih?”