Adisti sedang menyantap bakmie di kantor saat Gumilar menyampaikan kabar penting itu.
“Papa serius?” Dia berjalan menjauhi Indah menuju sudut ruangan. “Mereka masih di sana? Gimana kondisi Mas Biyan?”
“Mereka sudah pulang sekitar sepuluh menit lalu.” Bukan jawaban yang ingin Adisti dengar. “Biyan jauh lebih baik meski masih berusaha mengingat tahun-tahunnya yang hilang. Papa enggak bisa ungkit namamu juga, maaf.”
Sebenarnya, perempuan itu lelah harus menoleransi kondisi Biyan. Sudah hampir seminggu, tetapi Salma belum kunjung memberi lampu hijau untuk menjenguk suaminya.
“Terus, kapan rencananya Mas Biyan dibawa ke luar negeri?” Fakta bahwa sang ibu mertua serius dengan kata-katanya itu membuat lutut Adisti lemas. “Dia enggak mungkin terbang ke sana sendirian, kan?”
“Mereka belum bahas jadwal, baru ingin memastikan kesehatan suamimu dan syarat-syaratnya,” Gumilar meringis. “Rencananya, mereka akan pergi ke Yunani. Papa langsung telepon kamu karena ingat residensimu di sana juga.”
Masalahnya, Yunani bukan negara kecil. Siapa tahu Biyan ditempatkan di Athena atau Santorini, sementara Adisti berada di Evia. Kalau dilihat di peta, jaraknya cukup jauh. Lokasi residensi pun terpisah dari daratan utama sampai harus dihubungkan jembatan.
“Dis, bakmie lo mau dimakan, enggak?” Indah menyusulnya sambil membawa dua mangkuk. “Bentar lagi kita meeting sama penulis yang viral di medsos itu.”
“Abisin aja sama kamu.” Nafsu makannya sudah lesap kala Gumilar menyampaikan pessan tadi. Dia juga ragu bakal fokus menyimak rapat. “Dah, kayaknya aku mau izin pulang cepet.”
“Kenapa? Suami lo balik ke rumah?”
Adisti menggeleng lemah. “Justru aku yang harus jemput dia dari tempat mertuaku.”
*
Atas izin Indah dan pemred, Adisti dapat meninggalkan kantor sebelum jam pulang kerja. Taksi yang ditumpanginya menembus kendaraan yang perlahan memadat, lalu berbelok menuju kompleks perumahan mewah di sekitar Jakarta Selatan.
Kali terakhir Adisti mampir menemui Salma adalah saat Idulfitri dua bulan lalu. Jadi, ingatannya akan hunian mewah itu masih melekat kuat. Dia meminta supir untuk melambatkan kecepatan taksi sampai mereka berhenti di depan rumah nomor 326.
“Makasih, Pak. Ambil aja kembaliannya.” Setelah keluar dari taksi, Adisti bergegas menghampiri gerbang tinggi rumah sang mertua. Ditekannya bel, lalu menunggu sampai satpam berlari untuk membukakannya.
Satpam itu, pria paruh baya bernama Kusno, terkejut saat menyadari kedatangannya.
“Anu…” katanya, mendadak gugup. “Non ini istrinya Tuan Biyan, kan?”
“Iya, Mas Biyan ada di rumah?”
Kusno menggaruk-garuk kepala sembari menoleh ke belakang. “Saya—saya tanya Nyonya dulu. Soalnya kata Nyonya… saya enggak boleh sembarang terima tamu.”
Perasaan Adisti semakin tak keruan. “Lho, tapi aku menantunya. Masa enggak boleh masuk?”
“Bukan gitu, Non, tapi—”
“Kusno, siapa yang datang?” Suara Salma cukup keras sampai terdengar ke gerbang. “Kalau Utari atau klien saya, suruh masuk.”
“Bukan, Nyonya. Ini… ini….”
“Siapa?” Sosok itu menuruni tangga untuk mengecek tamu yang mampir. Saat mereka berpandangan, wajahnya seketika kisut. Dia lantas mengisyaratkan Kuson kembali ke pos. “Ada urusan apa kamu ke sini?”
“Aku mau jemput Mas Biyan.” Tanpa basa-basi, Adisti mengutarakan tujuannya. “Seminggu lebih aku menunggu, tapi yang kudapatkan adalah kabar suamiku bakal dibawa ke luar negeri.”
Perempuan di hadapannya berdecak. “Mulut ayahmu lemas sekali, ya?”
“Bu, aku sama Mas Biyan masih terikat status pernikahan,” lanjutnya. “Kenapa aku, yang jelas-jelas adalah istri sahnya, terkesan dihalang-halangi buat bertemu suamiku? Ibu malah membawanya pulang tanpa izinku. Terus tadi apa aku enggak salah dengar? Ibu mengundang Utari ke sini?”
Seolah tak ingin kalah, Salma membalas, “Utari yang akan menemani putra saya berobat.”
“Ibu apa-apaan, sih? Kita tahu mereka udah lama putus. Alasannya juga kurang mengenakan, karena Utari seling—”
“Cukup, Adisti!” bentaknya. “Kamu sendiri sebagai istri malah lebih memprioritaskan kariermu. Sibuk jadi editor, terus ingin ikut residensi penulis. Jangan mentang-mentang Biyan pengertian, kamu jadi lupa tugas utamamu sebagai perempuan dalam rumah tangga.”
Adisti mengepalkan tangannya; menahan amarah yang siap membludak kapan saja. “Aku udah janji bakal ikut program kehamilan begitu selesai residensi.”
“Ya, ya, tapi bagaimana kalau tulisanmu lantas diterbitkan?” sahut Salma sengit. “Pasti kamu bakal meminta Biyan buat menundanya lagi supaya lebih fokus mengurus produksi dan tetek bengek lainnya.”
Sekuat itukah keinginan Salma untuk menggendong cucu? Menilai dari sikapnya yang selalu skeptis dan arogan, Adisti yakin mertuanya akan terus mencari cara untuk menyudutkannya meski dia hamil dan punya anak.
“Sampai sekarang, aku enggak tahu kenapa keberadaanku sulit diterima sama Ibu,” ucapnya sambil menatap lekat-lekat Salma. “Tapi kalau Ibu kira aku bakal cepat menyerah, Ibu salah besar. Selama belum ada kata perpisahan, aku akan terus memperjuangkan pernikahanku.”
Seakan mengabaikan peringatan Adisti, Salma memutar bola mata mendengarnya. “Sudah selesai pidatonya? Saya masih ada urusan.”
“Apa yang Ibu takutkan dariku?” Adisti tak bersedia mundur. “Dari zamanku dan Mas Biyan pacaran sampai menikah, aku manut sama nasehat Ibu. Sebisa mungkin aku menjadikan Ibu prioritas—”
“Kecuali saat saya meminta kamu berhenti bekerja untuk fokus jadi ibu.”
“Untuk hal itu, bukannya Ibu setuju sama tawaran yang Mas Biyan berikan?” sanggahnya cepat. “Sekali lagi, aku akan ikut program kehamilan begitu residensi selesai, terlepas dari hasil yang kuterima terkait tulisanku.”
“Ma, di depan ada tamu?”
Mata Adisti berbinar kala mendengar suara Biyan. Suara yang begitu dia rindukan. Tanpa basa-basi, perempuan itu menggeser gerbang, tetapi sayangnya kalah cepat dari Salma yang menahan tangannya.
“Bu, kumohon,” Adisti kali ini mengiba, “aku cuma mau lihat Mas Biyan.”
“Biyan baik-baik saja. Saya ibunya. Saya yang lebih tahu bagaimana cara merawatnya,” balasnya tegas. “Lagi pula, percakapan kita belum selesai. Mari cari tempat lain.”
*
Adisti, mengikuti ajakan Salma, pergi ke restoran mewah yang letaknya dekat dari kompleks perumahan. Harapannya bertemu Biyan, bahkan sekadar melihat wajahnya, seketika pupus saat mengetahui suaminya tak diajak. Itu berarti satu hal: pembicaraan ini akan berakhir pada kesepakatan di antara mereka berdua.
“Apa hasil seleksi residensi sudah keluar?” tanya Salma tanpa basa-basi setelah memesankan makanan. “Seandainya diterima, berapa lama kamu tinggal di Yunani?”
“Belum, mungkin dalam beberapa hari.” Harapan Adisti dinyatakan lolos seleksi semakin besar. “Peserta residensi akan tinggal selama dua atau tiga bulan.”
“Benar penempatannya di Pulau Evia?”
Adisti mengangguk. “Kenapa Ibu tiba-tiba membahas residensi yang kuikuti?”
“Karena mungkin ini satu-satunya kesempatan yang akan saya berikan padamu.” Wajah Salma kian masam saat menyampaikannya. Jelas dia berat hati. “Biyan menetap juga di Evia, ditemani Utari. Kebetulan dia punya vila dan sedang mengurus bisnis di sana.”
Panas kuping Adisti mendengar mertuanya membanggakan perempuan lain. Di sisi lain, dia senang mengetahui ada kemungkinan tinggal di satu area bersama suaminya.
“Dengar, saya akan berbaik hati menyesuaikan jadwal keberangkatan Biyan seandainya kamu diterima sebagai peserta.” Sang mertua melayangkan tatapan tajam. “Waktumu hanya tiga bulan untuk meyakinkan Biyan bahwa dia… sudah menikah.”
Sekuat mungkin, Adisti menahan senyum yang nyaris terbit di wajahnya. “Dalam waktu tiga bulan, aku juga akan membuat Mas Biyan jatuh cinta lagi padaku walau ingatannya sebelum kecelakaan enggak bisa kembali.”
“Percaya diri sekali,” sindir Salma. “Baiklah, terserah seperti apa rencanamu. Kalau berhasil, kamu pulang bersama Biyan. Tapi kalau tidak, saya minta kalian bercerai.”
Bukan kesempatan main-main. Jangankan bercerai, memikirkan berpisah lama gara-gara kecelakaan saja tak pernah terlintas dalam benak Adisti. Kendati ada secuil keraguan yang mencuat, dia harus percaya diri. Hanya sikap itu yang dapat menempatkannya sejajar dengan Salma.
“Baik, tiga bulan. Antara Mas Biyan pulang bersamaku sebagai suami atau,” Adisti menelan ludah, “kembali ke rumah Ibu dan menyandang status duda.”
***
“Kenapa Evia, bukan Athena, Mykonos, atau Santorini?”“Soalnya kita pergi buat sekalian recovery.” Utari menyerahkan brosur berisi profil Pulau Evia. “Tempatnya enggak seramai di daratan utama. Jadi, kamu bisa lebih fokus healing.”“Masuk akal.” Biyan mengamati foto-foto cantik beserta penjelasan yang tertera pada brosur. “Kapan harus kusiapkan dokumen buat paspor dan visa?”“Kamu tinggal tunggu semuanya beres.” Perempuan di hadapannya tersenyum. “Tante Salma sudah menyiapkannya sejak jauh-jauh hari. Toh kamu juga masih butuh waktu buat istirahat.”Seorang pelayan meletakkan dua mangkuk udon bersama minuman yang mereka pesan. Siang ini, Utari mengajak Biyan makan di luar sekaligus membahas rencana perjalanan ke Yunani.Sesungguhnya, Biyan sungkan harus bepergian jauh dan meninggalkan tanggung jawabnya sebagai CEO agen travel. Apalagi, berdasarkan keterangan Salma, dia baru menjabat selama tiga bulan. Toh soft skill dan hard skill yang dikuasainya tidak ikut terhapus bersama memori dar
Email yang Adisti nantikan akhirnya tiba hari ini. Alih-alih bersorak gembira, dia hanya memandangi layar laptop dalam diam. Telunjuknya menggulir kursor, bolak-balik sambil membaca setiap kata yang terlampir. Selamat, Adisti, Anda diterima sebagai peserta residensi! Sambutan yang, di situas dan kondisi lain, barangkali bakal membuatnya memekik, lalu memeluk erat Biyan yang ikut mengamati di sampingnya. “Asem banget muka lo.” Bahkan celetukan Indah tak mengejutkan Adisti. “Kenapa, tagihan rumah sakit enggak di-cover asuransi?” “Bukan.” Adisti mengambil cangkir kopi yang sudah mendingin. “Bulan depan aku berangkat ke Yunani.” Pekikan Indah seketika mengundang perhatian dari para karyawan di ruangan tersebut. “Guuuys, editor kesayangan kita lolos seleksi residensi!” Seketika, kubikel Adisti dijejali orang-orang yang ingin membaca isi email tersebut. Gumam kekaguman dan ucapan selamat sahut menyahut melewati telinganya. Satu-satunya hal yang bisa dia lakukanya hanya tersenyum samar d
Evia, pulau kedua terbesar di Yunani setelah Kreta, menyimpan pesona yang mengundang Adisti menelusuri setiap sudutnya. Dari bentangan hutan pinus di bagian utara hingga hamparan pasir putih di bagian selatan. Bahkan Homer, salah satu sosok legendaris yang akan dia teliti selama residensi, diceritakan pernah tinggal di sana.“Mau pergi ke tempat bagus malah cemberut.” Gumilar menghampiri Adisti yang tengah merapikan perlengkapan dalam koper. "Maaf Papa tidak bisa membantu banyak buat mempertemukanmu dengan Biyan. Papa harus bersikap netral di rumah sakit. Apalagi mertuamu rajin menemani anaknya kontrol.”“It’s okay, aku paham.” Walau di dalam hati, Adisti berharap bisa mengamati dari kejauhan saat suaminya melakukan kunjungan. “Omong-omong, apa mereka pergi berdua?”Sang ayah meliriknya keheranan. “Mmh, ya, hanya mereka berdua yang selalu masuk ke ruang kerja Papa. Ada apa?”Lega Adisti mendengar keterangan itu. “Syukurlah. Cuma mau memastikan Mas Biyan pergi sama orang yang dia kenal
Biyan sudah tiba di Yunani. Vila yang dia tempati dekat dari lokasi residensimu. Lelah dan kantuk yang menyergap Adisti selama di pesawat serta-merta menguap. Langkahnya terhenti kala memasuki Bandara Internasional Eleftherios Venizelos, Athena, untuk memastikan matanya tak salah membaca deretan kata-kata itu. Tinggal satu kali perjalanan darat lagi, dia akan bertemu sang suami. “Hei, ternyata kamu ada di sini.” Adisti mendongak saat mendengar seseorang berbicara dalam bahasa Indonesia. Sosok itu, seorang pria dengan rambut ikal, menghampirinya. Siapa namanya—Adisti lupa. Satu hal yang pasti, dia adalah teman satu rombongan yang juga lolos seleksi residensi. “Kita terpisah row di pesawat, makanya kamu enggak ingat aku,” pria itu meneruskan, seakan-akan dapat menafsirkan kebingungan yang tercetak di wajahnya. “Batara. Kamu Adisti, kan?” Adisti mengangguk cepat. “Maaf, aku… udah lama enggak terbang jauh.” “So am I. Ini penerbangan pertama setelah pandemi,” sahutnya. “Kita harus
“Yakin enggak mau aku tunggu?”“Katanya kamu ada meeting. Aku bisa belanja sendiri.”“Oke, deh, aku tunggu di kafe yang tadi.”Bersama Utari, Biyan turun dari vila ke kawasan dermaga untuk belanja kebutuhan. Kerumunan turis dari berbagai negara sempat mengejutkannya. Kontras dari suasana di sekitar perbukitan yang lengang dan hanya dilewati beberapa kendaraan.Biyan mengecek dompet di dalam tas selempang saat Utari menurunkannya di depan sebuah supermarket. Kesempatan ini semestinya dimanfaatkan untuk mengakses Wi-fi gratis kalau saja baterai ponselnya tidak low bat. Itu berarti pada kunjungan berikutnya dia harus mempersiapkan diri lebih baik.Setelah mengambil troli, Biyan menelusuri setiap rak dan mengambil barang-barang yang diperlukan. Pasta. Sambal. Bumbu dapur. Mi instan. Telur. Dia ingin memanfaatkan masa pemulihannya untuk memasak, sesuatu yang ingin dia coba dari dulu kalau saja Salma tak melarangnya.“Mama, kan, sudah sewakan chef pribadi,” begitu dalih sang ibu setiap kali
Membawa permen aneka rasa yang dibeli di supermarket, Adisti bergegas meninggalkan vila menuju tempat Biyan. Dia berharap, camilan manis itu akan membantu memantik ingatan lama suaminya meski kemungkinannya kecil. Gumilar pun mendukung usahanya saat Adisti menceritakan gagasan tersebut semalam.“Mungkin kalau aku lanjut kontak-kontakan setelah kenalan di pesawat, Mas Biyan pasti bakal mengingatku,” katanya pada sang ayah lewat sambungan telepon. “Papa tahu kan kami baru ketemu lagi setahun kemudian.”“Ya, ya, Papa baru ingat begitu kamu ngomong tadi. Makanya Papa kaget waktu Biyan tidak mengenalmu saat siuman.” Di ujung telepon, terdengar Gumilar yang berusaha menahan diri agar tak menguap. “Bawa permennya pas kamu dapat kesempatan ‘berkenalan’. Jangan sok kenal sok dekat. Pasti berat, tapi bersikap tenang bakal bantu kamu mendekatinya.”Adisti berhenti di depan vila dan menekan bel. Tak lama berselang, gerbang terbuka otomatis; mempersilakannya masuk. Seperti pesan Gumilar, dia harus
“Kemarin kamu mampir ke vila sebelah?”Mendengar pertanyaan dari Batara, Adisti yang kebagian tugas piket cuci piring menoleh ke belakang. Pria itu, membawa secangkir kopi dan laptop, menunggu jawaban di ambang pintu dapur.“Iya, dia orang Indonesia juga. Namanya Biyan.” Dilepasnya sarung tangan begitu semua piring dan gelas dibersihkan. “Kita bisa undang dia makan di sini kapan-kapan. Soalnya dia tinggal sendirian di sana.”“Serius?” Batara menarik kursi, lalu menaruh cangkir kopi dan laptopnya. “Apa dia sengaja liburan sendiri? Atau lagi ada kerjaan khusus?”“Entahlah, aku belum tanya sejauh itu,” Adisti berdalih. Bukan keputusan bijaksana untuk berbagi urusan pribadi pada orang asing walau Batara bersikap baik. “Aku ke atas dulu, ya. Mau cari referensi.”Hari ini, para peserta residensi memulai aktivitas kepenulisan. Daffa meminta mereka mencatat perkembangan yang dilakukan setiap harinya. Kemudian, laporannya dikirimkan setiap minggu sebagai bahan evaluasi.Adisti tak mau menyia-n
Adisti mengira Biyan mengada-ada saat mengatakan huniannya tak dilengkapi internet. Hingga keesokan harinya, saat jalan-jalan bersama Chelsea, dia iseng mencari sesuatu lewat browser dekat vila yang ditempati suaminya. Benar saja, koneksi mendadak lambat sebelum laman menunjukkan tanda time out.“Kayaknya sengaja diblokir.” Rupanya Chelsea ikut mengecek. “Tunanganku kerja jadi teknisi IT di start up, kadang ngurus yang beginian. Mungkin kenalanmu itu enggak pengin kedistraksi internet.”Persis seperti yang Biyan katakan, tetapi Adisti tak sepenuhnya percaya. Apalagi ada Salma dan Utari yang terang-terangan menghalangi usahanya mendekati pria itu.“Kamu keberatan enggak kalau kita undang Biyan makan-makan di vila?” Adisti perlu memastikan semua penguni menerima kehadirannya. “Lumayan nambah teman dari Indonesia selama tinggal di sini.”“Why not?” Chelsea mengangkat bahu. “ Yuk, balik ke vila. Penasaran aku sama lunch yang dibuat Batara sama Randy.”Tanpa internet, Adisti kesulitan mend