Home / Romansa / Membuatmu Jatuh Cinta Lagi / 3. Menggali Masa Lalu

Share

3. Menggali Masa Lalu

last update Last Updated: 2023-09-07 13:13:01

“Pa, kenapa Papa kasih Bu Salma izin buat bawa Mas Biyan pulang? Aku istrinya, aku punya hak buat merawat suamiku.”

“Dis, ingat penjelasan Papa kemarin? Papa juga inginnya kamu yang urus Biyan. Hanya saja kita perlu menstabilkan kondisi fisik dan mentalnya sebelum meneruskan pemeriksaan.”

“Tapi, Papa bilang penderita amnesia retrograde….”

Adisti mengusap wajahnya. Dia sudah terlalu lelah menangis, bahkan matanya masih bengkak gara-gara air mata yang tak henti mengalir sejak Biyan siuman. Sejak suaminya tak lagi mengenali dirinya, juga pernikahan mereka.

Hal lain yang membuat perempuan itu terpukul adalah penjelasan Gumilar terkait amnesia retrograde. “Berat buat Papa menyampaikannya, jenis amnesia ini bukan yang sering kamu lihat di sinetron atau tulis sebagai kisah fiksi,” katanya. “Ada kemungkinan ingatan Biyan tentangmu, tentang rumah tangga kalian, tak akan pernah kembali.”

Sulit dipercaya. Namun, menyanggah pernyataan Gumilar yang sehari-hari bekerja sebagai dokter adalah upaya sia-sia.

“Jadi, menurut Papa, akan lebih baik buat Biyan tinggal sementara sama Bu Salma?”

Sang ayah mengangguk lemah. “Sebentar saja, ya? Papa akan antar kamu ke rumah mereka begitu suamimu pulih total.”

Berjalan gontai meninggalkan ruangan dokter, Adisti menyusuri koridor. Satu jam lalu, dia hanya bisa terpaku menyaksikan mobil yang membawa Biyan pergi dari rumah sakit. Padahal Bi Cucu sudah menyiapkan hidangan favorit pria itu untuk menyambut kepulangannya.

Sekarang, Adisti terpaksa menghubungi sang ART untuk membagikan makanan itu kepada satpam dan petugas lain di kompleks supaya tidak mubazir. Karena kalaupun kembali ke rumah, dia tak akan menyantapnya.

Di luar gedung, Adisti termenung memandangi kendaraan dan orang-orang yang lalu lalang di sekitarnya. Benarkah dia sanggup menginjakkan kaki di rumah tanpa Biyan? Jujur saja, perempuan itu belum kuat. Maka setelah naik taksi, Adisti menekan speed dial nomor lima yang menghubungkannya pada kontak bernama Indah.

Babe, kamu di apartemen?” tanyanya begitu panggilan diterima. “Aku nginep semalam di sana, ya? Sekalian bahas kerjaan.”

*

Indah memberi pelukan hangat saat Adisti tiba di apartemen. Sebelum bekerja sebagai editor di penerbit yang sama, keduanya sudah menjalin pertemanan sejak duduk di bangku SMA. Bisa dikatakan salah satu hubungan yang mampu Adisti rawat baik-baik.

“Tuh, gue beliin piza favorit lo, yang topping jamurnya banyak,” celetuk Indah sembari menuangkan jus jeruk untuknya. “Sori banget enggak sempet jenguk lo sama Biyan. Ketahan deadline sama proyekan baru.”

“Enggak apa-apa, aku yang harusnya minta maaf.” Diterimanya minuman dari sang sahabat. “Soalnya selama di rumah sakit, semua kerjaanku dilimpihain ke kamu.”

“Untungnya sebagian besar editan lo hampir rampung.” Mereka duduk di sofa sambil menyaksikan berita sore. “Terus kok bisa, sih, suami lo dibawa sama ibu mertua? Gue agak kurang paham sama kondisi kesehatannya.”

Ditemani piza, Adisti menjelaskan kronolgis kecelakaan hingga diagnosis yang diberikan Gumilar. Dadanya sesak kala memutar balik kalimat pertama yang Biyan katakan saat melihatnya. Maaf, Anda siapa—seolah-oah dia adalah orang asing yang menginterupsi sebuah momen pentin.

Indah mengusap-usap lembut pundaknya. “I’m so sorry,” katanya. “Gue harap bakal ada perubahan seiring membaiknya kondisi Biyan. Enggak kebayang kalau lo harus mengulang semuaya dari awal.”

Adisti inginnya bersikap optimis sebelum ingat penjelasan Gumilar. Memang ayahnya pernah menghadapi mukjizat saat menangani pasien, tetapi kejadian itu sangat langka. Di sisi lain, sebagian dari dirinya berharap Tuhan masih bermurah hati untuk memberkatinya dan Biyan dengan keajaiban.

By the way kalau situasinya kayak gini, apa lo bakal nerusin residensi?”

Pertanyaan Indah tadi menyadarkan Adisti akan agenda tersebut. Residensi penulis di Evia, Yunani. Sekitar tiga minggu sebelum kecelakaan, dia sudah mengirimkan persyaratan yang dibutuhkan untuk tahap seleksi. Biyan bahkan mendukungnya, terlepas dari sindiran Salma yang menganggapnya sengaja menghindari program kehamilan.

Ah, barangkali gara-gara itu juga sang ibu mertua terus bersikap sinis padanya.

“Aku… belum tahu. Kalau Mas Biyan belum kunjung pulih, terpaksa aku batal ikut.” Itu juga kalau pihak penyelenggara menyatakannya lolos seleksi. Adisti perlu menunggu sekitar dua minggu lagi untuk mengetahui pengumuman finalnya.

Memikirkan hal ini malah membuat kepalanya semakin berat.

“Eh, aku numpang mandi, ya?” Adisti beranjak dari sofa. Dia berharap kucuran air hangat yang mengaliri tubuhnya akan ikut membilas lelah dan kesedihan yang enggan kepas darinya.

**

Morning, Sayang. Sarapan, yuk, Mama sudah siapkan makanan kesukaanmu.”

“Sepuluh menit lagi, Ma.” Di bawah selimutnya, Biyan menggeliat. “Mau mandi dulu, terus baru nyusul ke bawah.”

“Jangan lama-lama,” pesan Salma sambil menyunggingnya senyum penuh arti. “Mama undang tamu spesial buat makan bareng.”

Mata pria itu memicing. Dalam rangka apa ibunya mengajak orang lain untuk ikut sarapan bersama mereka? Bukan kebiasaan yang sering dia jumpai di rumah tersebut. Kalaupun ada, tamu yang dimaksud pasti klien atau kerabat keluarga dari luar negeri.

Selepas mandi dan ganti pakaian, Biyan menuruni tangga menuju ruang makan yang letaknya menghadap taman belakang dan kolam renang. Tinggal selama tujuh tahun di apartemen pribadi membuatnya agak pangling saat kembali ke rumah Salma yang luas. Sejak ayahnya meninggal, sang ibu memilih sibuk bekerja alih-alih mencari pendamping baru.

Akan tetapi, Biyan merasakan ada sesuatu yang ganjil. Mungkin gara-gara amnesia yang membuat persepsi waktunya agak kacau. Atau mungkin ada sesuatu yang sengaja ibunya sembunyikan darinya.

“Biyan, kenapa kamu berdiri di sana?” Teguran Salma menariknya keluar dari lamunan. “Ayo, hari ini ada gurame goreng kesukaanmu. Ikannya khusus dibawakan tamu kita.”

Mengekori perempuan itu, Biyan bukan hanya disambut aneka hidangan di meja makan. Seorang perempuan berambut hitam panjang tersenyum ke arah mereka, lalu mendekap Salma sebelum mereka bertukar cium singkat di pipi.

I’m glad to see you’re safe,” sosok itu tersenyum hangat saat berhadapan dengan Biyan. “Kamu ingat siapa aku, kan?”

Antara lega dan tak percaya, Biyan serta-merta mengucapkan namanya saat mengenali perempuan itu.

“Utari,” katanya, “it’s been a while.”

*

“Maaf aku agak pendiam. Ingatanku belum benar-benar pulih.” Biyan menengok ke belakang; memastikan Salma benar-benar pamit ke kamar seperti yang dia katakan tadi. “Mama pasti cerita banyak soal kecelekaanku sebelumnya sama kamu.”

“Ya, sayangnya aku lagi di Milan dan enggak bisa ke Jakarta,” ucapnya sebagai konfirmasi. “Benar ingatanmu tertahan sampai tahun 2019?”

“Sayangnya benar. Setiap kali berusaha menggali memori pada tahun-tahun berikutnya, kepalaku malah sakit.” Pada akhirnya, Biyan menyerah sementara waktu karena tak mau efeknya bertambah buruk. “Termasuk nasib hubungan kita, ingatanku mengabur. Apa kita lagi break? Atau sudah putus?”

Sang lawan bicara tampak muram. Pandangannya pun jatuh ke koleksi anggrek bulan yang dipelihara Salma. “Sebenarnya aku sungkan membicarakannya, takut kamu merasa bersalah dan malah bikin memorimu kusut.”

No, no, it’s okay,” tukas Biyan. “Aku belum sempat pegang smartphone, menunggu Mama yang menyiapkan. Satu-satunya langkah yang bisa aku lakukan cuma mengobrol langsung, seperti sekarang.”

“Kalau kamu enggak keberatan mendengarnya, baiklah,” Utari berdeham. “Kita—kita udah lama putus, Biyan, but we remained as good friends.”

Tidak ada kekecewaan, apalagi sedih yang Biyan rasakan saat mendengar pernyataan Utari. Justru dia bersyukur hubungan mereka berakhir baik. “Aku harap kita terus akur sebagai teman. Dengan kondisi seperti ini, aku butuh bantuan orang-orang terdekatku buat mengumpulkan ingatan.”

“Tenang, aku siap direpotkan selama 24 jam, baik sama kamu atau ibumu.”

Saat itulah Salma kembali, membawakan kemasan berwarna putih dengan foto smartphone, lalu menyerahkannya pada Biyan. “Mama belikan juga nomor baru. Di dalamnya ada kontak-kontak penting yang bisa kamu hubungi, termasuk Utari.”

Hati-hati, pria itu membukanya. “Apa nomor dokter itu ada—uh, siapa namanya? Pak Gumilar?”

Senyum semringah ibunya memudar. “Kenapa kamu menanyakan dokter itu?”

“Siapa tahu aku harus ke rumah sakit atau pengen tanya-tanya soal perkembangan pemulihanku—”

“Tidak perlu, itu urusan Mama,” potongnya cepat. Salma pun langsung mengalihkan pembicaraan ke topik yang mengejutkan Biyan.

“Jadi bagaimana, Utari, kamu siap menemani putraku berobat di Yunani?”

***

Related chapters

  • Membuatmu Jatuh Cinta Lagi   4. Kesepakatan untuk Biyan

    Adisti sedang menyantap bakmie di kantor saat Gumilar menyampaikan kabar penting itu. “Papa serius?” Dia berjalan menjauhi Indah menuju sudut ruangan. “Mereka masih di sana? Gimana kondisi Mas Biyan?” “Mereka sudah pulang sekitar sepuluh menit lalu.” Bukan jawaban yang ingin Adisti dengar. “Biyan jauh lebih baik meski masih berusaha mengingat tahun-tahunnya yang hilang. Papa enggak bisa ungkit namamu juga, maaf.” Sebenarnya, perempuan itu lelah harus menoleransi kondisi Biyan. Sudah hampir seminggu, tetapi Salma belum kunjung memberi lampu hijau untuk menjenguk suaminya. “Terus, kapan rencananya Mas Biyan dibawa ke luar negeri?” Fakta bahwa sang ibu mertua serius dengan kata-katanya itu membuat lutut Adisti lemas. “Dia enggak mungkin terbang ke sana sendirian, kan?” “Mereka belum bahas jadwal, baru ingin memastikan kesehatan suamimu dan syarat-syaratnya,” Gumilar meringis. “Rencananya, mereka akan pergi ke Yunani. Papa langsung telepon kamu karena ingat residensimu di sana juga.”

    Last Updated : 2023-09-07
  • Membuatmu Jatuh Cinta Lagi   5. Apa yang Sedang Disembunyikan?

    “Kenapa Evia, bukan Athena, Mykonos, atau Santorini?”“Soalnya kita pergi buat sekalian recovery.” Utari menyerahkan brosur berisi profil Pulau Evia. “Tempatnya enggak seramai di daratan utama. Jadi, kamu bisa lebih fokus healing.”“Masuk akal.” Biyan mengamati foto-foto cantik beserta penjelasan yang tertera pada brosur. “Kapan harus kusiapkan dokumen buat paspor dan visa?”“Kamu tinggal tunggu semuanya beres.” Perempuan di hadapannya tersenyum. “Tante Salma sudah menyiapkannya sejak jauh-jauh hari. Toh kamu juga masih butuh waktu buat istirahat.”Seorang pelayan meletakkan dua mangkuk udon bersama minuman yang mereka pesan. Siang ini, Utari mengajak Biyan makan di luar sekaligus membahas rencana perjalanan ke Yunani.Sesungguhnya, Biyan sungkan harus bepergian jauh dan meninggalkan tanggung jawabnya sebagai CEO agen travel. Apalagi, berdasarkan keterangan Salma, dia baru menjabat selama tiga bulan. Toh soft skill dan hard skill yang dikuasainya tidak ikut terhapus bersama memori dar

    Last Updated : 2023-09-07
  • Membuatmu Jatuh Cinta Lagi   6. Menuju Residensi

    Email yang Adisti nantikan akhirnya tiba hari ini. Alih-alih bersorak gembira, dia hanya memandangi layar laptop dalam diam. Telunjuknya menggulir kursor, bolak-balik sambil membaca setiap kata yang terlampir. Selamat, Adisti, Anda diterima sebagai peserta residensi! Sambutan yang, di situas dan kondisi lain, barangkali bakal membuatnya memekik, lalu memeluk erat Biyan yang ikut mengamati di sampingnya. “Asem banget muka lo.” Bahkan celetukan Indah tak mengejutkan Adisti. “Kenapa, tagihan rumah sakit enggak di-cover asuransi?” “Bukan.” Adisti mengambil cangkir kopi yang sudah mendingin. “Bulan depan aku berangkat ke Yunani.” Pekikan Indah seketika mengundang perhatian dari para karyawan di ruangan tersebut. “Guuuys, editor kesayangan kita lolos seleksi residensi!” Seketika, kubikel Adisti dijejali orang-orang yang ingin membaca isi email tersebut. Gumam kekaguman dan ucapan selamat sahut menyahut melewati telinganya. Satu-satunya hal yang bisa dia lakukanya hanya tersenyum samar d

    Last Updated : 2023-10-13
  • Membuatmu Jatuh Cinta Lagi   7. Bayangmu di Kabin Pesawat

    Evia, pulau kedua terbesar di Yunani setelah Kreta, menyimpan pesona yang mengundang Adisti menelusuri setiap sudutnya. Dari bentangan hutan pinus di bagian utara hingga hamparan pasir putih di bagian selatan. Bahkan Homer, salah satu sosok legendaris yang akan dia teliti selama residensi, diceritakan pernah tinggal di sana.“Mau pergi ke tempat bagus malah cemberut.” Gumilar menghampiri Adisti yang tengah merapikan perlengkapan dalam koper. "Maaf Papa tidak bisa membantu banyak buat mempertemukanmu dengan Biyan. Papa harus bersikap netral di rumah sakit. Apalagi mertuamu rajin menemani anaknya kontrol.”“It’s okay, aku paham.” Walau di dalam hati, Adisti berharap bisa mengamati dari kejauhan saat suaminya melakukan kunjungan. “Omong-omong, apa mereka pergi berdua?”Sang ayah meliriknya keheranan. “Mmh, ya, hanya mereka berdua yang selalu masuk ke ruang kerja Papa. Ada apa?”Lega Adisti mendengar keterangan itu. “Syukurlah. Cuma mau memastikan Mas Biyan pergi sama orang yang dia kenal

    Last Updated : 2023-10-14
  • Membuatmu Jatuh Cinta Lagi   8. The Icebreaker Moment

    Biyan sudah tiba di Yunani. Vila yang dia tempati dekat dari lokasi residensimu. Lelah dan kantuk yang menyergap Adisti selama di pesawat serta-merta menguap. Langkahnya terhenti kala memasuki Bandara Internasional Eleftherios Venizelos, Athena, untuk memastikan matanya tak salah membaca deretan kata-kata itu. Tinggal satu kali perjalanan darat lagi, dia akan bertemu sang suami. “Hei, ternyata kamu ada di sini.” Adisti mendongak saat mendengar seseorang berbicara dalam bahasa Indonesia. Sosok itu, seorang pria dengan rambut ikal, menghampirinya. Siapa namanya—Adisti lupa. Satu hal yang pasti, dia adalah teman satu rombongan yang juga lolos seleksi residensi. “Kita terpisah row di pesawat, makanya kamu enggak ingat aku,” pria itu meneruskan, seakan-akan dapat menafsirkan kebingungan yang tercetak di wajahnya. “Batara. Kamu Adisti, kan?” Adisti mengangguk cepat. “Maaf, aku… udah lama enggak terbang jauh.” “So am I. Ini penerbangan pertama setelah pandemi,” sahutnya. “Kita harus

    Last Updated : 2023-10-16
  • Membuatmu Jatuh Cinta Lagi   9. Perempuan Manis di Balkon

    “Yakin enggak mau aku tunggu?”“Katanya kamu ada meeting. Aku bisa belanja sendiri.”“Oke, deh, aku tunggu di kafe yang tadi.”Bersama Utari, Biyan turun dari vila ke kawasan dermaga untuk belanja kebutuhan. Kerumunan turis dari berbagai negara sempat mengejutkannya. Kontras dari suasana di sekitar perbukitan yang lengang dan hanya dilewati beberapa kendaraan.Biyan mengecek dompet di dalam tas selempang saat Utari menurunkannya di depan sebuah supermarket. Kesempatan ini semestinya dimanfaatkan untuk mengakses Wi-fi gratis kalau saja baterai ponselnya tidak low bat. Itu berarti pada kunjungan berikutnya dia harus mempersiapkan diri lebih baik.Setelah mengambil troli, Biyan menelusuri setiap rak dan mengambil barang-barang yang diperlukan. Pasta. Sambal. Bumbu dapur. Mi instan. Telur. Dia ingin memanfaatkan masa pemulihannya untuk memasak, sesuatu yang ingin dia coba dari dulu kalau saja Salma tak melarangnya.“Mama, kan, sudah sewakan chef pribadi,” begitu dalih sang ibu setiap kali

    Last Updated : 2023-10-17
  • Membuatmu Jatuh Cinta Lagi   10. Permen Aneka Rasa dan Es Kopi

    Membawa permen aneka rasa yang dibeli di supermarket, Adisti bergegas meninggalkan vila menuju tempat Biyan. Dia berharap, camilan manis itu akan membantu memantik ingatan lama suaminya meski kemungkinannya kecil. Gumilar pun mendukung usahanya saat Adisti menceritakan gagasan tersebut semalam.“Mungkin kalau aku lanjut kontak-kontakan setelah kenalan di pesawat, Mas Biyan pasti bakal mengingatku,” katanya pada sang ayah lewat sambungan telepon. “Papa tahu kan kami baru ketemu lagi setahun kemudian.”“Ya, ya, Papa baru ingat begitu kamu ngomong tadi. Makanya Papa kaget waktu Biyan tidak mengenalmu saat siuman.” Di ujung telepon, terdengar Gumilar yang berusaha menahan diri agar tak menguap. “Bawa permennya pas kamu dapat kesempatan ‘berkenalan’. Jangan sok kenal sok dekat. Pasti berat, tapi bersikap tenang bakal bantu kamu mendekatinya.”Adisti berhenti di depan vila dan menekan bel. Tak lama berselang, gerbang terbuka otomatis; mempersilakannya masuk. Seperti pesan Gumilar, dia harus

    Last Updated : 2023-10-19
  • Membuatmu Jatuh Cinta Lagi   11. The New Psyche and Eros

    “Kemarin kamu mampir ke vila sebelah?”Mendengar pertanyaan dari Batara, Adisti yang kebagian tugas piket cuci piring menoleh ke belakang. Pria itu, membawa secangkir kopi dan laptop, menunggu jawaban di ambang pintu dapur.“Iya, dia orang Indonesia juga. Namanya Biyan.” Dilepasnya sarung tangan begitu semua piring dan gelas dibersihkan. “Kita bisa undang dia makan di sini kapan-kapan. Soalnya dia tinggal sendirian di sana.”“Serius?” Batara menarik kursi, lalu menaruh cangkir kopi dan laptopnya. “Apa dia sengaja liburan sendiri? Atau lagi ada kerjaan khusus?”“Entahlah, aku belum tanya sejauh itu,” Adisti berdalih. Bukan keputusan bijaksana untuk berbagi urusan pribadi pada orang asing walau Batara bersikap baik. “Aku ke atas dulu, ya. Mau cari referensi.”Hari ini, para peserta residensi memulai aktivitas kepenulisan. Daffa meminta mereka mencatat perkembangan yang dilakukan setiap harinya. Kemudian, laporannya dikirimkan setiap minggu sebagai bahan evaluasi.Adisti tak mau menyia-n

    Last Updated : 2023-10-20

Latest chapter

  • Membuatmu Jatuh Cinta Lagi   [dari penulis]

    Halo, teman-teman.Setelah hampir setahun, aku memutuskan menamatkan "Membuatmu Jatuh Cinta Lagi" di bab 60. Ending untuk novel ini sengaja digantung, karena akan dilanjutkan dalam buku baru. Untuk kapan tayangnya mungkin enggak dalam waktu terdekat, karena perlu disiapkan dulu naskahnya.Terima kasih untuk kalian yang sudah mengikuti kisah Biyan dan Adisti sampai titik ini. Sampai bertemu di cerita-cerita berikutnya!erl.

  • Membuatmu Jatuh Cinta Lagi   60. Akhir Sebuah Babak

    “Welcome home, Babe!”Adisti langsung melepas tas untuk menyambut pelukan Indah. Keduanya melompat-lompat kegirangan; melepas rindu setelah tiga bulan berpisah. Kemudian, dia beralih mendekap Gumilar yang masih mengenakan pakaian kerjanya.“Dis, kita cabut duluan, ya!” Chelsea menghampirinya. “Kalau udah ada yang nerbitin novel, tolong saling kabari.”“Hati-hati. Sampai ketempu lagi!” Adisti menyalami satu per satu rekan residensinya. “Eh, minggu depan kita masih harus ketemu Daffa, kan?”“He-eh, buat penutupan sama pengarahan naskah,” sahut Randy. “Sekalian makan-makan sebelum mencar ke masing-masing kehidupan.”Adisti menyanggupi, sebelum berpisah dengan keduanya. Pandangannya lantas terarah pada Batara yang berjalan bersama Daffa. Perempuan itu meminta Gumilar dan Indah untuk menunggu sebentar, lalu menghampiri kedua pria itu.“Hei,” sapanya. “Aku balik duluan, ya. Udah dijemput sama Papa dan temanku.”“That’s okay, kami kebetulan pulang ke arah yang sama,” ujar Daffa. “Sebentar, s

  • Membuatmu Jatuh Cinta Lagi   59. Langkah Besar Biyan

    Biyan tak menyangka penyelidikan kecil-kecilannya bakal viral di media sosial.Berawal dari beberapa karyawan yang merekam upaya Utari melepaskan diri dari dua satpam yang menahannya, video tersebut diunggah ke sejumlah platform. Dalam hitungan jam, konten tersebut menuai reaksi netizen.Sebagian menanyakan kronologi kejadian, sebagian lagi—yang mengenali Utari—malah berbagi pengalaman di masa lalu. Ada pula yang melempar celetukan kurang pantas yang tak mau Biyan lihat.Gara-gara itu pula, Salma terpaksa mengadakan konferensi pers demi menjaga nama baik perusahaan serta keluarga Adiratna.“Mama masih tidak percaya dengan kejadian ini.” Di depan cermin, Salma mematut pakaian serbahitam dengan riasan simpel. “Sampai sekarang, Utari belum mengatakan motifnya. Dia malah bakal memanggil pengacara keluarga.”‘Seandainya Mama enggak terus melibatkannya dalam kehidupanku, mungkin kita bakal menjalani hari-hari yang lebih normal.’“Sebagai pengingat, aku yang jadi korban, Ma.” Biyan juga tak

  • Membuatmu Jatuh Cinta Lagi   58. Meninggalkan Yunani

    Tiga hari menjelang jadwal kepulangan ke Indonesia, para peserta residensi di Evia berangkat ke Athena untuk menikmati masa tenang. Vila yang biasanya tenang kini riuh karena para penghuninya sibuk berkemas. Koper dan tas dipindahkan ke ruang tengah, sementara kamar-kamar dibersihkan hingga rapi.“Sudah cek semua bawaan kalian? Jangan sampai ada barang tertinggal, bakal tepot mengurus pengembaliannya.” Menilai dari pernyataan tadi. Daffa pasti pernah mengalami kendala tersebyt. “Saya akan kirim voucher kamar hotel yang kalian tempat di Athena. Satu kamar untuk dua orang. Adisti bersama Chelsea, Batara bersama Randy.”Sembari menunggu mini bus yang akan dibawa Kyro, Adisti melongok sebentar ke vila Biyan. Sudah sebulan lebih mereka terpisah. Hanya Indah yang menjembatani komunikasi di antara mereka. Sayangnya, sang sahabat belum mengabari kelanjutan kabar Biyan yang meminum kopi yang telah dimasukkan bius.“Apa Biyan akan menjemputmu?”Dari belakang, Biyan berjalan menghampiri. “Akhirn

  • Membuatmu Jatuh Cinta Lagi   57. Membongkar Kebusukan

    “Kenapa kamu tidak masuk kantor kemarin, Biyan? Benar kamu sakit? Kenapa kamu tidak menghubungi Mama?”Kala Salma memasuki ruang kerjanya, Biyan mengisyaratkan Arthur untuk meninggalkan mereka berdua. Setelah sehari bermalam di indekos asistennya, pria itu memberanikan diri pulang ke apartemen. Dia pun menghubungi staf HR untuk absen sehari walau kondisi tubuhnya sudah membaik.“Iya, aku kelelahan,” sahut Biyan tanpa melepas tatapannya dari layar laptop. “Apa Mama sudah menerima draf perjanjian dari Utari?”“Justru itu, Mama ingin menanyakan keberadannya padamu.” Salma duduk di sofa. Respons sang ibu pun menerbitkan rasa penasaran Biyan. “Dia sempat ke kantor untuk mengambil barang-barangnya selepas meeting. Saat Mama tanya kenapa kalian pulang terpisah, Utari bilang kamu langsung pergi ke apartemen.”Pandangan Biyan tertuju pada Salma yang tampak serius dengan perkataannya. “Apa Utari terlihat gugup atau salah tingkah saat bertemu Mama?”Alit sang ibu bertaut. “Kenapa pula Mama harus

  • Membuatmu Jatuh Cinta Lagi   56. Kabar dari Vila Residensi

    “Batara kelelahan, dia harus bedrest total dua hari.” Daffa menyampaikan pesan dokter yang berkunjung untuk pemeriksaan. “Benar selama seminggu terakhir dia treking berjam-jam?”Adisti mengonfirmasi lewat anggukan. “Kadang dia pulang setelah kami makan siang, lalu melanjutkan tulisannya.”“Apa dia sedang ada masalah?”Kali ini, Adisti memandangi Chelsea dan Randy yang tengah membereskan peralatan makan. Dari lirikan-lirikan singkat, mereka sepakat untuk menyembunyikan drama yang terjadi beberapa hari terakhir.“Batara enggak cerita,” Randy yang menjawab. “Makanya kami juga kaget waktu lihat dia menggigil di kamar.”Daffa lantas meminta ketiganya menjaga Batara dan melaporkan hal-hal yang perlu dibereskan bersama. Setelah dia pergi, Adisti lantas pamit pada Chelsea dan Randy untuk naik ke lantai dua.Saat hendak masuk ke perpustakaan, Adisti melintasi kamar Batara yang sedikit terbuka. Perlahan dari celah pintu, dia mengintip pria yang tengah tertidur nyenyak. Wajahnya terlihat lebih t

  • Membuatmu Jatuh Cinta Lagi   55. Jebakan Sang Ular

    ‘Bersikaplah profesional’. Dua kata itu terus Biyan rapalkan setiap kali bertugas dengan Utari. Syukur-syukur dia bisa pergi mengajak Arthur. Namun, perempuan itu selalu punya akal untuk mengusir asistennya, sehingga mereka bisa keluar berdua. Seperti hari ini misalnya saat Biyan menemui klien potensial mereka di hotel selepas makan siang. “Oh, ini hotel favorit Tante Salma,” celetuk Utaru saat mereka memasuki meeting room. “Kamar-kamar yang mereka sediakan bagus. Cocok buat staycation.”Biyan hanya menggumam rendah sembari mengecek dokumen-dokumen yang akan dipresentasikan. Diam-diam, dia juga berharap semua tamu datang lebih cepat. “Kamu mau pesan sesuatu?” Sadar sedang diabaikan, Utari malah makin mempersempit jarak di antara mereka berdua. “Kafe di bawah jual pastry yang enak—” “Selamat siang, Pak Hendra!” Biyan berdiri dari kursi kala klien mereka datang. Rasanya lega sekali karena dia bisa meloloskan diri dark Utari. “Mari kita tunggu tamu yang lain datang.” Gusar, Utari mem

  • Membuatmu Jatuh Cinta Lagi   54. Menanti dan Merelakan pt. 2

    Dalam penantian yang berjalan lambat, Adisti menyadari musim panas di Yunani sebentar lagi berakhir. Dari durasi siang yang perlahan memendek, diikuti cuaca yang tak sepanas saat dia datang. Beberapa pohon pun mulai menunjukkan perubahan pada warna daun-daunnya menjadi hijau kecokelatan. Sayang sekali jadwal kepulangannya ke Indonesia bertepatan saat musim gugur dimulai. Padahal, Adisti menyukai musim tersebut. Tak terlalu panas ataupun dingin. Cuaca yang sebenarnya cocok dengan atmosfer tulisannya. Omong-omong soal proyek menulisnya…. “Kekejar enggak ya 20 bab terakhir,” guman Chelsea saat menyiapkan makan malam. “Udah gumoh mikirin konflik, padahal udah tahu penyelesaiannya kayak gimana.” “Mungkin kamu harus kasih jarak sama naskahnya. Sehari dua hari juga cukup.” Adisti mengeluarkan potongan daging ayam dari kulkas. “By the way, cowok-cowok pada ke mana, ya?” “Randy lagi urusan bentar ke dermaga. Kalau Batara….” Lawan bicaranya mengedik. “Habis pulang trekking hari ini, dia mas

  • Membuatmu Jatuh Cinta Lagi   53. Menanti dan Merelakan pt. 1

    “Adisti, aku suka sama kamu. Mau jadi pacarku?” Pernyataan perasaan itu, yang pertama Adisti dapatkan di bangku SMP, terdengar lebih manis sebelum dirinya beranjak dewasa. Ada seseorang yang menyukainya! Seseorang yang memberikan perhatian lebih selain dari Gumilar! Seseorang yang akan terus menjaganya. Namun, seiring bertambahnya usia, lalu terjun ke dunia penulis, Adisti dibuat bertanya-tanya: mengapa saat seseorang menyatakan perasaan suka selalu diikuti tawaran untuk jadi kekasih mereka? Mengapa harus ada validasi dalam bentuk hubungan? Maka, saat mendengar Biyan mengungkapkan perasaannya, Adisti malah menolak walau dia juga menyukainya. “Ah, pasti aku menangkap sinyal yang salah.” Biyan mengusap tengkuknya. “Kukira, kamu—kamu menyukaiku.” “Ya, aku suka sama kamu.” Pernyataan itu mengejutkan pria di hadapannya. “Cuma, aku heran aja, kenapa ungkapan yang manis itu harus diikuti tawaran jadi pacar? Kenapa enggak ditanya dulu apa lawannya punya perasaan yang sama?” “Nah, barusan

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status