“Pa, kenapa Papa kasih Bu Salma izin buat bawa Mas Biyan pulang? Aku istrinya, aku punya hak buat merawat suamiku.”
“Dis, ingat penjelasan Papa kemarin? Papa juga inginnya kamu yang urus Biyan. Hanya saja kita perlu menstabilkan kondisi fisik dan mentalnya sebelum meneruskan pemeriksaan.”
“Tapi, Papa bilang penderita amnesia retrograde….”
Adisti mengusap wajahnya. Dia sudah terlalu lelah menangis, bahkan matanya masih bengkak gara-gara air mata yang tak henti mengalir sejak Biyan siuman. Sejak suaminya tak lagi mengenali dirinya, juga pernikahan mereka.
Hal lain yang membuat perempuan itu terpukul adalah penjelasan Gumilar terkait amnesia retrograde. “Berat buat Papa menyampaikannya, jenis amnesia ini bukan yang sering kamu lihat di sinetron atau tulis sebagai kisah fiksi,” katanya. “Ada kemungkinan ingatan Biyan tentangmu, tentang rumah tangga kalian, tak akan pernah kembali.”
Sulit dipercaya. Namun, menyanggah pernyataan Gumilar yang sehari-hari bekerja sebagai dokter adalah upaya sia-sia.
“Jadi, menurut Papa, akan lebih baik buat Biyan tinggal sementara sama Bu Salma?”
Sang ayah mengangguk lemah. “Sebentar saja, ya? Papa akan antar kamu ke rumah mereka begitu suamimu pulih total.”
Berjalan gontai meninggalkan ruangan dokter, Adisti menyusuri koridor. Satu jam lalu, dia hanya bisa terpaku menyaksikan mobil yang membawa Biyan pergi dari rumah sakit. Padahal Bi Cucu sudah menyiapkan hidangan favorit pria itu untuk menyambut kepulangannya.
Sekarang, Adisti terpaksa menghubungi sang ART untuk membagikan makanan itu kepada satpam dan petugas lain di kompleks supaya tidak mubazir. Karena kalaupun kembali ke rumah, dia tak akan menyantapnya.
Di luar gedung, Adisti termenung memandangi kendaraan dan orang-orang yang lalu lalang di sekitarnya. Benarkah dia sanggup menginjakkan kaki di rumah tanpa Biyan? Jujur saja, perempuan itu belum kuat. Maka setelah naik taksi, Adisti menekan speed dial nomor lima yang menghubungkannya pada kontak bernama Indah.
“Babe, kamu di apartemen?” tanyanya begitu panggilan diterima. “Aku nginep semalam di sana, ya? Sekalian bahas kerjaan.”
*
Indah memberi pelukan hangat saat Adisti tiba di apartemen. Sebelum bekerja sebagai editor di penerbit yang sama, keduanya sudah menjalin pertemanan sejak duduk di bangku SMA. Bisa dikatakan salah satu hubungan yang mampu Adisti rawat baik-baik.
“Tuh, gue beliin piza favorit lo, yang topping jamurnya banyak,” celetuk Indah sembari menuangkan jus jeruk untuknya. “Sori banget enggak sempet jenguk lo sama Biyan. Ketahan deadline sama proyekan baru.”
“Enggak apa-apa, aku yang harusnya minta maaf.” Diterimanya minuman dari sang sahabat. “Soalnya selama di rumah sakit, semua kerjaanku dilimpihain ke kamu.”
“Untungnya sebagian besar editan lo hampir rampung.” Mereka duduk di sofa sambil menyaksikan berita sore. “Terus kok bisa, sih, suami lo dibawa sama ibu mertua? Gue agak kurang paham sama kondisi kesehatannya.”
Ditemani piza, Adisti menjelaskan kronolgis kecelakaan hingga diagnosis yang diberikan Gumilar. Dadanya sesak kala memutar balik kalimat pertama yang Biyan katakan saat melihatnya. Maaf, Anda siapa—seolah-oah dia adalah orang asing yang menginterupsi sebuah momen pentin.
Indah mengusap-usap lembut pundaknya. “I’m so sorry,” katanya. “Gue harap bakal ada perubahan seiring membaiknya kondisi Biyan. Enggak kebayang kalau lo harus mengulang semuaya dari awal.”
Adisti inginnya bersikap optimis sebelum ingat penjelasan Gumilar. Memang ayahnya pernah menghadapi mukjizat saat menangani pasien, tetapi kejadian itu sangat langka. Di sisi lain, sebagian dari dirinya berharap Tuhan masih bermurah hati untuk memberkatinya dan Biyan dengan keajaiban.
“By the way kalau situasinya kayak gini, apa lo bakal nerusin residensi?”
Pertanyaan Indah tadi menyadarkan Adisti akan agenda tersebut. Residensi penulis di Evia, Yunani. Sekitar tiga minggu sebelum kecelakaan, dia sudah mengirimkan persyaratan yang dibutuhkan untuk tahap seleksi. Biyan bahkan mendukungnya, terlepas dari sindiran Salma yang menganggapnya sengaja menghindari program kehamilan.
Ah, barangkali gara-gara itu juga sang ibu mertua terus bersikap sinis padanya.
“Aku… belum tahu. Kalau Mas Biyan belum kunjung pulih, terpaksa aku batal ikut.” Itu juga kalau pihak penyelenggara menyatakannya lolos seleksi. Adisti perlu menunggu sekitar dua minggu lagi untuk mengetahui pengumuman finalnya.
Memikirkan hal ini malah membuat kepalanya semakin berat.
“Eh, aku numpang mandi, ya?” Adisti beranjak dari sofa. Dia berharap kucuran air hangat yang mengaliri tubuhnya akan ikut membilas lelah dan kesedihan yang enggan kepas darinya.
**
“Morning, Sayang. Sarapan, yuk, Mama sudah siapkan makanan kesukaanmu.”
“Sepuluh menit lagi, Ma.” Di bawah selimutnya, Biyan menggeliat. “Mau mandi dulu, terus baru nyusul ke bawah.”
“Jangan lama-lama,” pesan Salma sambil menyunggingnya senyum penuh arti. “Mama undang tamu spesial buat makan bareng.”
Mata pria itu memicing. Dalam rangka apa ibunya mengajak orang lain untuk ikut sarapan bersama mereka? Bukan kebiasaan yang sering dia jumpai di rumah tersebut. Kalaupun ada, tamu yang dimaksud pasti klien atau kerabat keluarga dari luar negeri.
Selepas mandi dan ganti pakaian, Biyan menuruni tangga menuju ruang makan yang letaknya menghadap taman belakang dan kolam renang. Tinggal selama tujuh tahun di apartemen pribadi membuatnya agak pangling saat kembali ke rumah Salma yang luas. Sejak ayahnya meninggal, sang ibu memilih sibuk bekerja alih-alih mencari pendamping baru.
Akan tetapi, Biyan merasakan ada sesuatu yang ganjil. Mungkin gara-gara amnesia yang membuat persepsi waktunya agak kacau. Atau mungkin ada sesuatu yang sengaja ibunya sembunyikan darinya.
“Biyan, kenapa kamu berdiri di sana?” Teguran Salma menariknya keluar dari lamunan. “Ayo, hari ini ada gurame goreng kesukaanmu. Ikannya khusus dibawakan tamu kita.”
Mengekori perempuan itu, Biyan bukan hanya disambut aneka hidangan di meja makan. Seorang perempuan berambut hitam panjang tersenyum ke arah mereka, lalu mendekap Salma sebelum mereka bertukar cium singkat di pipi.
“I’m glad to see you’re safe,” sosok itu tersenyum hangat saat berhadapan dengan Biyan. “Kamu ingat siapa aku, kan?”
Antara lega dan tak percaya, Biyan serta-merta mengucapkan namanya saat mengenali perempuan itu.
“Utari,” katanya, “it’s been a while.”
*
“Maaf aku agak pendiam. Ingatanku belum benar-benar pulih.” Biyan menengok ke belakang; memastikan Salma benar-benar pamit ke kamar seperti yang dia katakan tadi. “Mama pasti cerita banyak soal kecelekaanku sebelumnya sama kamu.”
“Ya, sayangnya aku lagi di Milan dan enggak bisa ke Jakarta,” ucapnya sebagai konfirmasi. “Benar ingatanmu tertahan sampai tahun 2019?”
“Sayangnya benar. Setiap kali berusaha menggali memori pada tahun-tahun berikutnya, kepalaku malah sakit.” Pada akhirnya, Biyan menyerah sementara waktu karena tak mau efeknya bertambah buruk. “Termasuk nasib hubungan kita, ingatanku mengabur. Apa kita lagi break? Atau sudah putus?”
Sang lawan bicara tampak muram. Pandangannya pun jatuh ke koleksi anggrek bulan yang dipelihara Salma. “Sebenarnya aku sungkan membicarakannya, takut kamu merasa bersalah dan malah bikin memorimu kusut.”
“No, no, it’s okay,” tukas Biyan. “Aku belum sempat pegang smartphone, menunggu Mama yang menyiapkan. Satu-satunya langkah yang bisa aku lakukan cuma mengobrol langsung, seperti sekarang.”
“Kalau kamu enggak keberatan mendengarnya, baiklah,” Utari berdeham. “Kita—kita udah lama putus, Biyan, but we remained as good friends.”
Tidak ada kekecewaan, apalagi sedih yang Biyan rasakan saat mendengar pernyataan Utari. Justru dia bersyukur hubungan mereka berakhir baik. “Aku harap kita terus akur sebagai teman. Dengan kondisi seperti ini, aku butuh bantuan orang-orang terdekatku buat mengumpulkan ingatan.”
“Tenang, aku siap direpotkan selama 24 jam, baik sama kamu atau ibumu.”
Saat itulah Salma kembali, membawakan kemasan berwarna putih dengan foto smartphone, lalu menyerahkannya pada Biyan. “Mama belikan juga nomor baru. Di dalamnya ada kontak-kontak penting yang bisa kamu hubungi, termasuk Utari.”
Hati-hati, pria itu membukanya. “Apa nomor dokter itu ada—uh, siapa namanya? Pak Gumilar?”
Senyum semringah ibunya memudar. “Kenapa kamu menanyakan dokter itu?”
“Siapa tahu aku harus ke rumah sakit atau pengen tanya-tanya soal perkembangan pemulihanku—”
“Tidak perlu, itu urusan Mama,” potongnya cepat. Salma pun langsung mengalihkan pembicaraan ke topik yang mengejutkan Biyan.
“Jadi bagaimana, Utari, kamu siap menemani putraku berobat di Yunani?”
***
Adisti sedang menyantap bakmie di kantor saat Gumilar menyampaikan kabar penting itu. “Papa serius?” Dia berjalan menjauhi Indah menuju sudut ruangan. “Mereka masih di sana? Gimana kondisi Mas Biyan?” “Mereka sudah pulang sekitar sepuluh menit lalu.” Bukan jawaban yang ingin Adisti dengar. “Biyan jauh lebih baik meski masih berusaha mengingat tahun-tahunnya yang hilang. Papa enggak bisa ungkit namamu juga, maaf.” Sebenarnya, perempuan itu lelah harus menoleransi kondisi Biyan. Sudah hampir seminggu, tetapi Salma belum kunjung memberi lampu hijau untuk menjenguk suaminya. “Terus, kapan rencananya Mas Biyan dibawa ke luar negeri?” Fakta bahwa sang ibu mertua serius dengan kata-katanya itu membuat lutut Adisti lemas. “Dia enggak mungkin terbang ke sana sendirian, kan?” “Mereka belum bahas jadwal, baru ingin memastikan kesehatan suamimu dan syarat-syaratnya,” Gumilar meringis. “Rencananya, mereka akan pergi ke Yunani. Papa langsung telepon kamu karena ingat residensimu di sana juga.”
“Kenapa Evia, bukan Athena, Mykonos, atau Santorini?”“Soalnya kita pergi buat sekalian recovery.” Utari menyerahkan brosur berisi profil Pulau Evia. “Tempatnya enggak seramai di daratan utama. Jadi, kamu bisa lebih fokus healing.”“Masuk akal.” Biyan mengamati foto-foto cantik beserta penjelasan yang tertera pada brosur. “Kapan harus kusiapkan dokumen buat paspor dan visa?”“Kamu tinggal tunggu semuanya beres.” Perempuan di hadapannya tersenyum. “Tante Salma sudah menyiapkannya sejak jauh-jauh hari. Toh kamu juga masih butuh waktu buat istirahat.”Seorang pelayan meletakkan dua mangkuk udon bersama minuman yang mereka pesan. Siang ini, Utari mengajak Biyan makan di luar sekaligus membahas rencana perjalanan ke Yunani.Sesungguhnya, Biyan sungkan harus bepergian jauh dan meninggalkan tanggung jawabnya sebagai CEO agen travel. Apalagi, berdasarkan keterangan Salma, dia baru menjabat selama tiga bulan. Toh soft skill dan hard skill yang dikuasainya tidak ikut terhapus bersama memori dar
Email yang Adisti nantikan akhirnya tiba hari ini. Alih-alih bersorak gembira, dia hanya memandangi layar laptop dalam diam. Telunjuknya menggulir kursor, bolak-balik sambil membaca setiap kata yang terlampir. Selamat, Adisti, Anda diterima sebagai peserta residensi! Sambutan yang, di situas dan kondisi lain, barangkali bakal membuatnya memekik, lalu memeluk erat Biyan yang ikut mengamati di sampingnya. “Asem banget muka lo.” Bahkan celetukan Indah tak mengejutkan Adisti. “Kenapa, tagihan rumah sakit enggak di-cover asuransi?” “Bukan.” Adisti mengambil cangkir kopi yang sudah mendingin. “Bulan depan aku berangkat ke Yunani.” Pekikan Indah seketika mengundang perhatian dari para karyawan di ruangan tersebut. “Guuuys, editor kesayangan kita lolos seleksi residensi!” Seketika, kubikel Adisti dijejali orang-orang yang ingin membaca isi email tersebut. Gumam kekaguman dan ucapan selamat sahut menyahut melewati telinganya. Satu-satunya hal yang bisa dia lakukanya hanya tersenyum samar d
Evia, pulau kedua terbesar di Yunani setelah Kreta, menyimpan pesona yang mengundang Adisti menelusuri setiap sudutnya. Dari bentangan hutan pinus di bagian utara hingga hamparan pasir putih di bagian selatan. Bahkan Homer, salah satu sosok legendaris yang akan dia teliti selama residensi, diceritakan pernah tinggal di sana.“Mau pergi ke tempat bagus malah cemberut.” Gumilar menghampiri Adisti yang tengah merapikan perlengkapan dalam koper. "Maaf Papa tidak bisa membantu banyak buat mempertemukanmu dengan Biyan. Papa harus bersikap netral di rumah sakit. Apalagi mertuamu rajin menemani anaknya kontrol.”“It’s okay, aku paham.” Walau di dalam hati, Adisti berharap bisa mengamati dari kejauhan saat suaminya melakukan kunjungan. “Omong-omong, apa mereka pergi berdua?”Sang ayah meliriknya keheranan. “Mmh, ya, hanya mereka berdua yang selalu masuk ke ruang kerja Papa. Ada apa?”Lega Adisti mendengar keterangan itu. “Syukurlah. Cuma mau memastikan Mas Biyan pergi sama orang yang dia kenal
Biyan sudah tiba di Yunani. Vila yang dia tempati dekat dari lokasi residensimu. Lelah dan kantuk yang menyergap Adisti selama di pesawat serta-merta menguap. Langkahnya terhenti kala memasuki Bandara Internasional Eleftherios Venizelos, Athena, untuk memastikan matanya tak salah membaca deretan kata-kata itu. Tinggal satu kali perjalanan darat lagi, dia akan bertemu sang suami. “Hei, ternyata kamu ada di sini.” Adisti mendongak saat mendengar seseorang berbicara dalam bahasa Indonesia. Sosok itu, seorang pria dengan rambut ikal, menghampirinya. Siapa namanya—Adisti lupa. Satu hal yang pasti, dia adalah teman satu rombongan yang juga lolos seleksi residensi. “Kita terpisah row di pesawat, makanya kamu enggak ingat aku,” pria itu meneruskan, seakan-akan dapat menafsirkan kebingungan yang tercetak di wajahnya. “Batara. Kamu Adisti, kan?” Adisti mengangguk cepat. “Maaf, aku… udah lama enggak terbang jauh.” “So am I. Ini penerbangan pertama setelah pandemi,” sahutnya. “Kita harus
“Yakin enggak mau aku tunggu?”“Katanya kamu ada meeting. Aku bisa belanja sendiri.”“Oke, deh, aku tunggu di kafe yang tadi.”Bersama Utari, Biyan turun dari vila ke kawasan dermaga untuk belanja kebutuhan. Kerumunan turis dari berbagai negara sempat mengejutkannya. Kontras dari suasana di sekitar perbukitan yang lengang dan hanya dilewati beberapa kendaraan.Biyan mengecek dompet di dalam tas selempang saat Utari menurunkannya di depan sebuah supermarket. Kesempatan ini semestinya dimanfaatkan untuk mengakses Wi-fi gratis kalau saja baterai ponselnya tidak low bat. Itu berarti pada kunjungan berikutnya dia harus mempersiapkan diri lebih baik.Setelah mengambil troli, Biyan menelusuri setiap rak dan mengambil barang-barang yang diperlukan. Pasta. Sambal. Bumbu dapur. Mi instan. Telur. Dia ingin memanfaatkan masa pemulihannya untuk memasak, sesuatu yang ingin dia coba dari dulu kalau saja Salma tak melarangnya.“Mama, kan, sudah sewakan chef pribadi,” begitu dalih sang ibu setiap kali
Membawa permen aneka rasa yang dibeli di supermarket, Adisti bergegas meninggalkan vila menuju tempat Biyan. Dia berharap, camilan manis itu akan membantu memantik ingatan lama suaminya meski kemungkinannya kecil. Gumilar pun mendukung usahanya saat Adisti menceritakan gagasan tersebut semalam.“Mungkin kalau aku lanjut kontak-kontakan setelah kenalan di pesawat, Mas Biyan pasti bakal mengingatku,” katanya pada sang ayah lewat sambungan telepon. “Papa tahu kan kami baru ketemu lagi setahun kemudian.”“Ya, ya, Papa baru ingat begitu kamu ngomong tadi. Makanya Papa kaget waktu Biyan tidak mengenalmu saat siuman.” Di ujung telepon, terdengar Gumilar yang berusaha menahan diri agar tak menguap. “Bawa permennya pas kamu dapat kesempatan ‘berkenalan’. Jangan sok kenal sok dekat. Pasti berat, tapi bersikap tenang bakal bantu kamu mendekatinya.”Adisti berhenti di depan vila dan menekan bel. Tak lama berselang, gerbang terbuka otomatis; mempersilakannya masuk. Seperti pesan Gumilar, dia harus
“Kemarin kamu mampir ke vila sebelah?”Mendengar pertanyaan dari Batara, Adisti yang kebagian tugas piket cuci piring menoleh ke belakang. Pria itu, membawa secangkir kopi dan laptop, menunggu jawaban di ambang pintu dapur.“Iya, dia orang Indonesia juga. Namanya Biyan.” Dilepasnya sarung tangan begitu semua piring dan gelas dibersihkan. “Kita bisa undang dia makan di sini kapan-kapan. Soalnya dia tinggal sendirian di sana.”“Serius?” Batara menarik kursi, lalu menaruh cangkir kopi dan laptopnya. “Apa dia sengaja liburan sendiri? Atau lagi ada kerjaan khusus?”“Entahlah, aku belum tanya sejauh itu,” Adisti berdalih. Bukan keputusan bijaksana untuk berbagi urusan pribadi pada orang asing walau Batara bersikap baik. “Aku ke atas dulu, ya. Mau cari referensi.”Hari ini, para peserta residensi memulai aktivitas kepenulisan. Daffa meminta mereka mencatat perkembangan yang dilakukan setiap harinya. Kemudian, laporannya dikirimkan setiap minggu sebagai bahan evaluasi.Adisti tak mau menyia-n