Kali terakhir Biyan opname adalah sepuluh tahun lalu gara-gara operasi usus buntu.
Saat itu, Biyan keluar kelas selepas menyelesaikan ujian akhir semester. Perut bagian bawahnya tiba-tiba terasa sangat nyeri seperti dipuntir tangan raksasa. Syukurnya, peristiwa itu terjadi di hari terakhir pekan ujian di kampus, sehingga dia bisa istirahat total selepas operasi.
Biyan berharap dia tak perlu masuk rumah sakit lagi, apalagi kalau harus menginap. Aroma disinfektan bercampur obat sering membuatnya mual. Belum lagi aura sedih nan menyeramkan dari koridor-koridornya yang bikin Biyan semakin tak betah.
Kalau bukan karena terpaksa, Biyan lebih memilih datang ke klinik atau memanggil dokter kepercayaan Salma untuk pemeriksaan.
Namun, nasib seseorang kadang sulit ditebak. Lagi-lagi, Biyan menghadapi situasi yang kurang mujur.
Kala membuka mata, Biyan mendapati dirinya tidur di ruangan berdinding hijau pucat. Di sekitarnya ada bunyi bip rendah yang meningkahi deru AC. Seorang perawat terkesiap menyadari terbangun, lalu menekan tombol beberapa kali. Tak lama berselang, seorang pria berjas putih masuk dan tersenyum hangat padanya.
Biyan hendak mengucapkan sesuatu, tetapi tenggorokannya kering. Pria berjas tadi lantas memperkenalkan diri sebagai dokter bernama Gumilar.
"Kamu di rumah sakit," katanya, seolah-olah tahu pertanyaan yang ingin Biyan ajukan. "Jangan banyak bergerak, biar kami periksa kondisimu."
Gumilar bersama perawat-perawat di sekitarnya bergerak cekatan. Sayang Biyan tak dapat menangkap apa yang mereka bicarakan. Salah satu di antara mereka memeriksa tubuh Biyan sambil menuliskan sesuatu pada kertas laporan sebelum menunjukkannya kepada sang dokter.
"Ibumu ada di luar. Mau kupanggilkan?" Biyan menjawab pertanyaan itu lewat anggukan. "Mungkin hanya sebentar. Nanti kami melalukan pemeriksaan lebih lanjut sebelum memindahkanmu ke ruang perawatan."
Mata Biyan memanas saat Salma memasuki kamar. Sang ibu sudah terisak kala menghampirinya. Jemari perempuan itu mengelus lembut kepala Biyan, membuatnya seperti bocah berumur enam tahun.
"Kamu koma, Nak," ujar Salma, mengejukannya. "Mama sampai minta reschedule meeting penting di kantor supaya bisa menemani kamu di sini."
"Koma?" Pria itu membeo. "Emangnya aku... apa yang aku lalukan sampai koma?"
Sosok di sampingnya bergeming sesaat. "Kecelakaan. Kepalamu terbentur hebat. Mobilmu rusak parah, tapi klaim asuransinya sudah Mama urus."
Biyan berusaha mengingat momen-momen terakhirnya sebelum berada di kamar ini. Namun semakin dia berusaha, semakin kuat sakit di kepalanya. Salma memintanya untuk tak memikirkan hal-hal berat untuk mempercepat proses pemulihan.
Saat itulah seseorang masuk. Seorang perempuan muda—mungkin seumuran Biyan—melangkah ke arahnya. Salma cepat-cepat menghapus air mata dan menepi. Dari jarak dekat, Biyan menangkap wajahnya yang manis. Rambut panjangnya terikat dengan scarf warna merah. Matanya erkaca-kaca, tetapi bibirnya merekahkan senyum lega.
"Mas Biyan," ucapnya. "Syukurlah, Mas akhirnya bangun."
Biyan tertegun. Apa mereka saling kenal?
Perempuan itu hendak meraih tangannya, tetapi dengan cepat Biyan menjauhkannya dari jangkauan. Sebenarnya, siapa perempuan ini? Mengapa dia bertingkah seakan-akan mereka akrab atau malah punya hubungan spesial?
Di sampingnya, perempuan itu sama-sama terkejut. Lantas untuk memastikan, Biyan bertanya,
"Maaf, Anda siapa?"
*
Biyan tak mendapatkan jawaban karena Gumilar mengatakan waktu besuk sudah habis. Keduanya keberatan, tetapi perawat terus mendesak mereka meninggalkan ruang ICU. Sementara itu, sang dokter dengan wajah masam meneruskan pemeriksaan tanpa memberi penjelasan.
Satu-satumya yang pria paruh baya itu minta pada Biyan adalah istirahat total.
"Dok, kapan kira-kira aku bisa pulang?"
"Paling lambat minggu depan. Makanya kamu harus tidur yang cukup."
Biyan mematuhi saran Gumilar. Demi bisa pulang cepat dan berkumpul dengan ibunya. Jam-jam berikutnya berlalu bak transisi mimpi. Momen-momen di sekitarnya timbul tenggelam dalam ingatan. Sampai kemudian seorang perawat mengabarkan Biyan akan dipindahkan ke ruang perawatan.
Gumilar berkunjung saat Salma memberikan makan malam.
"Bu Salma, boleh kami bicara sebentar dengan Biyan setelah makan?" sang dokter bertanya.
"Untuk apa?" Sang ibu tampak keberatan.
"Untuk memastikan... apa yang kita temukan kemarin."
Salma mendengkus sebal, tetapi mematuhi permintaan sang dokter. Sepuluh menit kemudian, Gumilar duduk di samping ranjang, ditemani perawat di belakangnya.
"Dok, apa ada masalah dengan tubuhku?" Biyan cemas mereka menemukan penyakit serius saat melakukan observasi. "Apa aku harus dioperasi?"
"Kamu baik-baik saja, bahkan kamu bisa pulang lebih cepat." Namun wajah Gumilar justru terlihat tegang alih-alih menenangkan. "Hanya saja kami perlu menanyakan beberapa hal. Tolong jawab dengan jujur, karena apa yang kamu jelaskan berpengaruh pada hasil diagnosis."
Biyan mengangguk patuh.
"Oke, Biyan, untuk permulaan, ceritakan tentang dirimu. Usia, pekerjaan, status perkwinan."
"Namaku Biyan, Biyan Adiratna. Usia 28 tahun. Aku bekerja sebagai manajer di perusahaan agen travel. Unuk status, aku masih single."
Gumilar dan sang perawat bertukar pandang keheranan.
"Apa yang kamu lakukan sebelum kecelakaan terjadi?"
Biyan termenung lama. Sejak kemarin, dia belum kunjung menemukan petunjuk momen-momen sebelum peristiwa itu terjadi. Saat bertanya pada Salma, ibunya tak memberi jawaban yang diharapkan. Perempuan itu sedang berada di luar kota saat rumah sakit menghubunginya.
"Jujur, aku enggak ingat apa-apa," Biyan menjawab pasrah. "Mungkin kalau ponselku enggak ikut hancur, kita bisa temukan petunjuk di sana."
Gumilar manggut-manggut paham. "Satu lagi, Biyan, sekarang tahun berapa?"
Mendengar pertanyaan itu, Biyan refleks tertawa singkat. "Dokter, nih, suka bercanda, ya? Sekarang tahun 2019."
Setelah itu, Gumilar meninggalkan ruangan dengan ekspresi yang sulit Biyan tafsirkan.
*
Biyan harus menelan kekecewaan saat waktu opnamenya diperpanjang. Malah, dia diminta melalui serangkaian tes baru. Tes kognitif. Tes darah. Sampai CT scan dan satu tes lain yang tidak dia ingat namanya. Semuanya membuat Biyan lelah, sehingga setelah tes terakhir dia tidur cukup lama.
Saat terbangun, Biyan melihat Salma yang tengah membereskan pakaiannya. Seketika, dia membelalak. Apa ini artinya dokter memberi izin pulang?
"Eh, anak Mama sudah bangun," ujar Salma sambil mengelus puncak kepala Biyan. "Kita pulang setelah jam makan siang. Dokter mau menjelaskan sesuatu padamu."
"Tentang hasil tes yang aku lakukan?"
Salma mengiyakan lewat anggukan. Kemudian, dia memberikan pakaian baru pada putranya. "Ganti dulu, Mama mau telepon supir buat siap-siap jemput."
Tepat setelah Biyan berganti pakaian, Gumilar memasuki kamar. Kali ini sendirian. Dia tersenyum lega melihat kondisinya yang membaik sebelum memintanya duduk di sofa.
"Apa yang sebenarnya terjadi denganku, Dok?" todong Biyan tanpa basa-basi. "Apa kalian menemukan penyakit kronis?"
"Tubuhmu sehat secara fisik, tapi... kami memang menemukan masalah pada otakmu." Gumilar mengambil jeda sejenak. "Kamu mengalami amnesia retrograde."
Biyan tercengang. "Dok, bukannya kalau kena amnesia aku akan lupa banyak hal? Tapi kenyatannya aku masih ingat nama, bahkan ibuku."
"Amnesia retrograde bukan jenis yang bikin orang-orang kehilangan ingatan secara menyeluruh. Dalam kasus ini, kamu kehilangan sebagian ingatan," Gumilar menjelaskan. "Lebih tepatnya, kamu kehilangan persepsi waktu. Makanya saya tanya soal tahun kemarin."
Biyan tak tahu harus lega atau bingung mendengarnya. "Maksud dokter, sekarang bukan tahun 2019?"
"Bukan, Biyan, sekarang tahun 2023. Usiamu juga sebenarnya 32 tahun."
Saat dia hendak mengajukan pertanyaan baru, Salma membuka pintu kamar. "Apa Biyan boleh pulang? Biar saya yang jelaskan kondisinya di rumah."
Gumilar tampak enggan, tetapi dia mempersilakan Salma membawa putranya. "Ingat, Biyan masih butuh pemeriksaan lanjut. Kita belum tahu—"
"Aku bakal bawa Biyan ke luar negeri supaya dia dapat penanganan lebih baik dengan teknologi canggih." Salma menyambar tas milik putranya. "Ayo, Nak, mobil kita sebentar lagi sampai."
Karena kondisi fisiknya belum benar-benar kuat, Biyan diantar memakai kursi roda menuju lobi rumah sakit. Dia mengamati orang-orang yang lalu lalang sembari menunggu jemputan. Kemudian saat menoleh sekat tempat parkir, Biyan kembali melihat perempuan itu. Perempuan yang memanggilnya dengan sebutan Mas Biyan.
Mereka beradu pandang. Perempuan itu mengembangkan senyum dan hendak menghampiri Biyan. Akan tetapi, sebuah SUV menghalangi langkahnya. SUV yang ternyata adalah mobil yang akan membawanya dan Salma menuju rumah.
Penasaran mengusik benak Biyan. Jika benar dia mengalami amnesia retrograde, sebanyak apa ingatan yang lenyap dari dirinya? Apa dia akan mendapatkannya kembali?
Lalu, apa perempuan itu bagian ingatannya yang hilang?
***
“Pa, kenapa Papa kasih Bu Salma izin buat bawa Mas Biyan pulang? Aku istrinya, aku punya hak buat merawat suamiku.” “Dis, ingat penjelasan Papa kemarin? Papa juga inginnya kamu yang urus Biyan. Hanya saja kita perlu menstabilkan kondisi fisik dan mentalnya sebelum meneruskan pemeriksaan.” “Tapi, Papa bilang penderita amnesia retrograde….” Adisti mengusap wajahnya. Dia sudah terlalu lelah menangis, bahkan matanya masih bengkak gara-gara air mata yang tak henti mengalir sejak Biyan siuman. Sejak suaminya tak lagi mengenali dirinya, juga pernikahan mereka. Hal lain yang membuat perempuan itu terpukul adalah penjelasan Gumilar terkait amnesia retrograde. “Berat buat Papa menyampaikannya, jenis amnesia ini bukan yang sering kamu lihat di sinetron atau tulis sebagai kisah fiksi,” katanya. “Ada kemungkinan ingatan Biyan tentangmu, tentang rumah tangga kalian, tak akan pernah kembali.” Sulit dipercaya. Namun, menyanggah pernyataan Gumilar yang sehari-hari bekerja sebagai dokter adalah upa
Adisti sedang menyantap bakmie di kantor saat Gumilar menyampaikan kabar penting itu. “Papa serius?” Dia berjalan menjauhi Indah menuju sudut ruangan. “Mereka masih di sana? Gimana kondisi Mas Biyan?” “Mereka sudah pulang sekitar sepuluh menit lalu.” Bukan jawaban yang ingin Adisti dengar. “Biyan jauh lebih baik meski masih berusaha mengingat tahun-tahunnya yang hilang. Papa enggak bisa ungkit namamu juga, maaf.” Sebenarnya, perempuan itu lelah harus menoleransi kondisi Biyan. Sudah hampir seminggu, tetapi Salma belum kunjung memberi lampu hijau untuk menjenguk suaminya. “Terus, kapan rencananya Mas Biyan dibawa ke luar negeri?” Fakta bahwa sang ibu mertua serius dengan kata-katanya itu membuat lutut Adisti lemas. “Dia enggak mungkin terbang ke sana sendirian, kan?” “Mereka belum bahas jadwal, baru ingin memastikan kesehatan suamimu dan syarat-syaratnya,” Gumilar meringis. “Rencananya, mereka akan pergi ke Yunani. Papa langsung telepon kamu karena ingat residensimu di sana juga.”
“Kenapa Evia, bukan Athena, Mykonos, atau Santorini?”“Soalnya kita pergi buat sekalian recovery.” Utari menyerahkan brosur berisi profil Pulau Evia. “Tempatnya enggak seramai di daratan utama. Jadi, kamu bisa lebih fokus healing.”“Masuk akal.” Biyan mengamati foto-foto cantik beserta penjelasan yang tertera pada brosur. “Kapan harus kusiapkan dokumen buat paspor dan visa?”“Kamu tinggal tunggu semuanya beres.” Perempuan di hadapannya tersenyum. “Tante Salma sudah menyiapkannya sejak jauh-jauh hari. Toh kamu juga masih butuh waktu buat istirahat.”Seorang pelayan meletakkan dua mangkuk udon bersama minuman yang mereka pesan. Siang ini, Utari mengajak Biyan makan di luar sekaligus membahas rencana perjalanan ke Yunani.Sesungguhnya, Biyan sungkan harus bepergian jauh dan meninggalkan tanggung jawabnya sebagai CEO agen travel. Apalagi, berdasarkan keterangan Salma, dia baru menjabat selama tiga bulan. Toh soft skill dan hard skill yang dikuasainya tidak ikut terhapus bersama memori dar
Email yang Adisti nantikan akhirnya tiba hari ini. Alih-alih bersorak gembira, dia hanya memandangi layar laptop dalam diam. Telunjuknya menggulir kursor, bolak-balik sambil membaca setiap kata yang terlampir. Selamat, Adisti, Anda diterima sebagai peserta residensi! Sambutan yang, di situas dan kondisi lain, barangkali bakal membuatnya memekik, lalu memeluk erat Biyan yang ikut mengamati di sampingnya. “Asem banget muka lo.” Bahkan celetukan Indah tak mengejutkan Adisti. “Kenapa, tagihan rumah sakit enggak di-cover asuransi?” “Bukan.” Adisti mengambil cangkir kopi yang sudah mendingin. “Bulan depan aku berangkat ke Yunani.” Pekikan Indah seketika mengundang perhatian dari para karyawan di ruangan tersebut. “Guuuys, editor kesayangan kita lolos seleksi residensi!” Seketika, kubikel Adisti dijejali orang-orang yang ingin membaca isi email tersebut. Gumam kekaguman dan ucapan selamat sahut menyahut melewati telinganya. Satu-satunya hal yang bisa dia lakukanya hanya tersenyum samar d
Evia, pulau kedua terbesar di Yunani setelah Kreta, menyimpan pesona yang mengundang Adisti menelusuri setiap sudutnya. Dari bentangan hutan pinus di bagian utara hingga hamparan pasir putih di bagian selatan. Bahkan Homer, salah satu sosok legendaris yang akan dia teliti selama residensi, diceritakan pernah tinggal di sana.“Mau pergi ke tempat bagus malah cemberut.” Gumilar menghampiri Adisti yang tengah merapikan perlengkapan dalam koper. "Maaf Papa tidak bisa membantu banyak buat mempertemukanmu dengan Biyan. Papa harus bersikap netral di rumah sakit. Apalagi mertuamu rajin menemani anaknya kontrol.”“It’s okay, aku paham.” Walau di dalam hati, Adisti berharap bisa mengamati dari kejauhan saat suaminya melakukan kunjungan. “Omong-omong, apa mereka pergi berdua?”Sang ayah meliriknya keheranan. “Mmh, ya, hanya mereka berdua yang selalu masuk ke ruang kerja Papa. Ada apa?”Lega Adisti mendengar keterangan itu. “Syukurlah. Cuma mau memastikan Mas Biyan pergi sama orang yang dia kenal
Biyan sudah tiba di Yunani. Vila yang dia tempati dekat dari lokasi residensimu. Lelah dan kantuk yang menyergap Adisti selama di pesawat serta-merta menguap. Langkahnya terhenti kala memasuki Bandara Internasional Eleftherios Venizelos, Athena, untuk memastikan matanya tak salah membaca deretan kata-kata itu. Tinggal satu kali perjalanan darat lagi, dia akan bertemu sang suami. “Hei, ternyata kamu ada di sini.” Adisti mendongak saat mendengar seseorang berbicara dalam bahasa Indonesia. Sosok itu, seorang pria dengan rambut ikal, menghampirinya. Siapa namanya—Adisti lupa. Satu hal yang pasti, dia adalah teman satu rombongan yang juga lolos seleksi residensi. “Kita terpisah row di pesawat, makanya kamu enggak ingat aku,” pria itu meneruskan, seakan-akan dapat menafsirkan kebingungan yang tercetak di wajahnya. “Batara. Kamu Adisti, kan?” Adisti mengangguk cepat. “Maaf, aku… udah lama enggak terbang jauh.” “So am I. Ini penerbangan pertama setelah pandemi,” sahutnya. “Kita harus
“Yakin enggak mau aku tunggu?”“Katanya kamu ada meeting. Aku bisa belanja sendiri.”“Oke, deh, aku tunggu di kafe yang tadi.”Bersama Utari, Biyan turun dari vila ke kawasan dermaga untuk belanja kebutuhan. Kerumunan turis dari berbagai negara sempat mengejutkannya. Kontras dari suasana di sekitar perbukitan yang lengang dan hanya dilewati beberapa kendaraan.Biyan mengecek dompet di dalam tas selempang saat Utari menurunkannya di depan sebuah supermarket. Kesempatan ini semestinya dimanfaatkan untuk mengakses Wi-fi gratis kalau saja baterai ponselnya tidak low bat. Itu berarti pada kunjungan berikutnya dia harus mempersiapkan diri lebih baik.Setelah mengambil troli, Biyan menelusuri setiap rak dan mengambil barang-barang yang diperlukan. Pasta. Sambal. Bumbu dapur. Mi instan. Telur. Dia ingin memanfaatkan masa pemulihannya untuk memasak, sesuatu yang ingin dia coba dari dulu kalau saja Salma tak melarangnya.“Mama, kan, sudah sewakan chef pribadi,” begitu dalih sang ibu setiap kali
Membawa permen aneka rasa yang dibeli di supermarket, Adisti bergegas meninggalkan vila menuju tempat Biyan. Dia berharap, camilan manis itu akan membantu memantik ingatan lama suaminya meski kemungkinannya kecil. Gumilar pun mendukung usahanya saat Adisti menceritakan gagasan tersebut semalam.“Mungkin kalau aku lanjut kontak-kontakan setelah kenalan di pesawat, Mas Biyan pasti bakal mengingatku,” katanya pada sang ayah lewat sambungan telepon. “Papa tahu kan kami baru ketemu lagi setahun kemudian.”“Ya, ya, Papa baru ingat begitu kamu ngomong tadi. Makanya Papa kaget waktu Biyan tidak mengenalmu saat siuman.” Di ujung telepon, terdengar Gumilar yang berusaha menahan diri agar tak menguap. “Bawa permennya pas kamu dapat kesempatan ‘berkenalan’. Jangan sok kenal sok dekat. Pasti berat, tapi bersikap tenang bakal bantu kamu mendekatinya.”Adisti berhenti di depan vila dan menekan bel. Tak lama berselang, gerbang terbuka otomatis; mempersilakannya masuk. Seperti pesan Gumilar, dia harus