Share

Bab. 7. Pre Eklamsia

Penulis: Dwi ratna sari
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Lampu berwarna hijau itu telah padam sejak sepuluh menit yang lalu, namun belum ada satupun dari tim dokter yang keluar dari ruangan bernuansa putih itu. Perasaan cemas mulai menggangu pikiran Sandi. Dia mulai tak sabar menunggu kabar dari dalam ruangan yang dipakai untuk berjuang antara hidup dan mati.

 

Sambil memejamkan mata, Sandi bersandar pada dinding dengan melipat kedua siku di dada. Jantungnya terus memompa dengan cepat. Rasa khawatirnya meningkat dengan pesat. Rasa sabarnya pun turut menipis karena pintu berlapis kaca itu tak kunjung terbuka. Ingin sekali dia mendobrak pintu kaca itu. Namun, itu jelas tak mungkin.

 

"Ckk, lama banget, sih! Nggak tahu apa yang nunggu diluar ini deg-degan banget." Sandi mulai berdecak kesal, dia kembali menegakkan punggungnya yang terasa pegal.

 

Berulang kali juga gerakan itu dia lakukan hanya untuk mengurangi rasa takut yang kian menggebu. Kembali dia berjalan mondar-mandir di depan ruang operasi.

 

"Kenapa lama banget, sih, keluarnya! Cepat dong, Dok! Semoga saja mereka baik-baik saja, ya, Tuhan!" Sandi terus menggerutu.

 

Dia berusaha mengintip pintu kacanya tapi hasilnya nihil. Pandangannya tak bisa melihat apapun dengan yang terjadi dalam ruang operasi itu. Hanya derap langkah kaki yang tertangkap oleh pendengarannya.

 

"Ah, sial!" Lagi dan lagi, Sandi menggerutu kesal seraya menendang dinding ruangan itu dengan pelan.

 

"Dengan keluarga Bu Nana." Mendadak terdengar suara seseorang yang memanggil keluarga Iparnya. Serta merta Sandi menoleh, matanya membeliak saat melihat seorang dokter yang baru saja keluar dari ruangan operasi.

 

Dia segera menghampiri seorang wanita yang tengah berdiri di depan ruang operasi. Rasa sedih tiba-tiba menelisik dadanya. Aroma khas yang keluar dari ruangan operasi itu masuk dalam indra penciumannya yang sensitif. Aroma khas ruang bersalin itu mengingatkan saat istrinya tengah berjuang antara hidup dan mati di dalam sana.

 

"Saya keluarga Bu Nana, Dok. Bagaimana hasil operasinya? Mereka baik-baik saja, kan? Bagaimana bayinya?" Tanpa rasa sabar, Sandi mencecar dokter itu dengan pertanyaan bertubi-tubi.

 

"Mari ikut saya ke ruangan praktek saya, Pak. Saya akan menjelaskan disana," ajak dokter bername tag dr. Irawati.

 

"Kenapa harus ke ruangan dokter. Jelaskan disini saja tidak apa-apa, Dok. Saya sudah nggak sabar ingin melihat bayinya." Sandi menolak ajakan itu.

 

Dia tak paham akan maksud dari ajakan itu. Sedangkan dokter Ira hanya menarik senyum pendek. Dia berusaha menjelaskan agar keluarga pasien bisa mengerti. 

 

"Lebih enak ngobrol diruangan saya, Pak. Akan banyak penjelasan yang harus bapak dengarkan disana. Disini tak akan nyaman. Banyak lalu lalang orang yang lewat." Kembali dokter Ira mengajaknya. Dia tentu tak mau banyak orang yang mendengar obrolan penting itu.

 

"Kenapa harus ke ruangan, Dok? Ada apa? Apa mereka tidak baik-baik saja?"

 

"Makanya itu ikut saya ke ruang praktek disana. Lebih cepat lebih baik karena waktu kita tidak banyak, Pak. Terima kasih." Tanpa menunggu jawaban dari Sandi, dokter Ira berbalik, lalu menyeret langkah menuju ke ruangannya.

 

Karena rasa sabar yang semakin menipis, Sandi menyusul dokter Ira untuk masuk ke ruangan yang ada di belakang loket pembayaran. Debaran jantungnya semakin cepat. Dia takut mendengar sesuatu yang buruk.

 

"Jadi begini, Pak ...," dokter Ira mulai menjelaskan. Dia menatap ragu pada Sandi yang menarik kursi ke belakang, lalu duduk di atasnya.

 

"Begini gimana, dok? Tolong jangan bertele-tele," tukas Sandi tak ingin membuang waktu.

 

"Begini, Pak ...." Dokter Ira menegakkan punggung. Dia membenarkan posisi duduknya. Debaran jantungnya ikut menaik karena tatapan Sandi tak kunjung berkedip.

 

"Dengan berat hati saya mau mengabarkan, bahwa Bu Nana mengalami koma pasca melahirkan. Beliau ...,"

 

"Apa, dok? Koma! Dokter jangan main-main, ya! Saya serius bertanya ini!" potong Sandi memutus kalimat penjelasan itu.

 

Deru napasnya kembali memburu. Dia tak sanggup mendengar kalimat buruk selanjutnya.

 

"Sabar, ya, Pak, kami paham kabar ini sangat menyakitkan. Kami juga sudah berusaha semampunya. Dengan berat hati kami sampaikan, bahwa Bu Nana mengalami koma karena preeklamsia yang dideritanya sewaktu hamil."

 

"Apa itu preeklamsia? Dokter jangan main-main sama saya!" Sandi menggebrak meja yang menghalangi jaraknya dengan dr. Ira.

 

"Sabar, Pak, sabar. Dengarkan penjelasan dokter dengan tenang, ya." Asisten dr.Ira ikut menimpal. Dia memegang sapu untuk berjaga-jaga. Takutnya Sandi gelap mata dan merusak ruangan praktek dokternya.

 

"Diam kamu! Jangan ikut campur!" Membeliak mata Sandi menatap asisten dr. Ira, yang membuatnya bersembunyi dibalik tirai yang ada di belakangnya.

 

"Tolong jaga emosi anda, Pak. Kita bisa jelaskan masalah ini baik-baik," ucap dr.Ira mencoba menenangkan.

 

"Sampai kapan koma itu berlanjut, Dok? Hanya sebentar, kan? Tolong jangan lama-lama dibuat koma pasien, itu, Dok. Dia harus segera sadar. Sudah lama dia mengharapakan bayi itu." Sekuat tenaga Sandi berpikir positif akan kabar itu.

 

Dia tak bisa membayangkan jika mamaknya tahu tentang kabar menantunya. Pasti hatinya hancur berantakan.

 

"Untuk itu saya belum bisa memastikan. Koma dari efek praeklamsia itu bisa lama dan juga bisa sebentar. Hanya keajaiban Tuhan yang bisa membantunya, Pak," jelas dokter Ira tak ada yang ditutupi.

 

"Preeklamsia itu apa, Dok? Dari tadi anda muter-muter nggak jelas! Jangan main-main sama emosi saya, Dok!"

 

"Saya akan jelas, kan, tapi Bapak tenang dulu."

 

"Jelas, kan, sekarang, Dok!"

 

"Iya, iya, preeklamsia itu kelebihan zat protein sewaktu mengalami kehamilan. Kelebihan zat protein itu bisa berakibat hipertensi tinggi dan kejang ketika akan melahirkan. Semoga saja Ibu Nana tidak kejang terus menerus pasca operasi, ya, Pak."

 

"Allahuakbar! Cobaan apalagi ini, Tuhan. Tak sayangkah kau sama Nana, Tuhan. Dia salah apa samamu, Tuhan. Kenapa cobaan dia banyak sekali!" Sandi mengusap wajahnya prustasi. Kembali hatinya koyak tak siap menerima kabar menyakitkan itu.

 

"Sabar, ya, Pak, kami akan berusaha semampu kami. Banyak yang mengalami kasus seperti ini, dan bisa pulih dengan cepat. Banyak berdoa, ya, Pak." Mati-matian dokter Ira menahan air matanya yang hendak keluar. Dia paham betul dengan perasaan keluarga pasien.

 

"Berapapun biayanya tolong selamatkan adik saya  ya, Dok. Kasihan hidupnya sudah menderita dari kecil. Bayi itu sangat dia tunggu dari lama. Jadi mohon selamatkan dia, ya, Dok."

 

"Saya akan berusaha semampu saya, itu janji saya pada anda, Pak." dr. Ira mengusap ujung netranya yang mulai mengeluarkan tetesan bening.

 

"Baik. Saya tunggu janji dokter. Terima kasih."

 

Membalik langkah tak sabar untuk keluar dari ruangan praktek dokter kandungannya Nana, Sandi membawa kabar buruk itu dengan hati hancur lebur. Sungguh bukan kabar itu yang dia harapkan.

 

Semoga saja mamaknya tak histeris.

.

.

"Bang gimana adikmu? Udah siap belum operasinya? Kau gak ada ngasih kabar sama Mamak." Mak Suri melirik lampu ruang operasi yang telah padam. Seketika tatapannya melebar. "Eh, itu lampunya udah mati. Mana adikmu? Sudah siap itu operasinya." 

 

Terburu-buru Mak Suri meletakkan mukenanya di kursi. Dia melangkah menuju ruang operasi yang sudah tertutup rapat. Sejak di mushola perasaanya tak tenang. Tanpa Mak Suri sadari, Sandi menatapnya dengan berlinangan air mata.

 

Sungguh tak kuat rasa hatinya untuk berkata jujur pada mamaknya. Entah apa yang terjadi jika mamaknya tahu yang sebenarnya.

 

"San, mana adikmu? Kenapa kau diam saja!" Mak Suri berbalik, memukul bahu anak sulungnya yang hanya menunduk tak bersuara.

 

"San, jawab! Mana adikmu? Kau jangan main-main sama Mamak, ya? Itu operasinya sudah siap, kan?" Pukulan itu berganti menjadi guncangan pada bahunya. Berkali-kali Mak Suri mengangkat wajah anak sulungnya, namun Sandi kembali menunduk.

 

Diamnya Sandi, membuat amarah Mak Suri semakin menjadi. Sekelebat bayangan buruk melintas di pikirannya.

 

Karena tak kuat lagi menahan rasa sedih itu sendirian, Sandi beranjak dari kursi, memeluk mamaknya dengan kuat, hingga memejamkan mata karena rasa sakit yang dia terima. Dia berharap dengan pelukan itu mamaknya bisa tenang.

 

"Lepas, Bang! Kenapa kau peluk Mamak? Lepas, hey! Ada apa?" Mak Suri semakin berontak. Sekuat tenaga dia ingin melepas pelukan itu.

 

"Tenang, Mak, tenang! Tenang, ya! Operasinya sudah siap dari tadi. Aku ...,"

 

"Aku apa? Terus mana adikmu? Mana?" Kedua lengan yang mengungkung bahunya, dia lepas dengan paksa. Tenaganya berkali-kali lipat menjadi lebih kuat.

 

"Nana...," Ragu-ragu Sandi mengatakan yang sebenarnya.

 

"Nana kemana, Bang? Jangan kau mainkan rasa sabar Mamak, ya!" hardik Mak Suri dengan tatapan nyalangnya.

 

"Jawab, Bang?"

 

"Nana koma di ICU, Mak. Dia koma. Dia nggak sadarkan diri setelah melahirkan. Nana koma, Mak." Meraung-raung Sandi menjelaskan itu semua.

 

Hatinya tak lagi mampu saat melihat mamaknya sudah banjir air mata.

 

"Apa, Bang? Koma. Kenapa bisa begitu? Tadi pagi dia masih baik-baik saja, Bang! Dia baik-baik saja! Dia sudah janji mau merawat anaknya bareng-bareng sama Mamak! Dia sudah janji, Bang! Mana dokternya, mana dia! Dia harus bertanggung jawab dengan semua itu!"

 

"Mak, tenang, Mak, tenang dulu! Dokter sudah berusaha semampu mereka! Mamak tenang, ya! Nana pasti kuat melewati ini semua. Tolong Mamak tenang, ya!"

 

Kembali Sandi memeluk Mamaknya. Hatinya hancur lebur karena cobaan itu datang silih berganti.

 

"Nana. Sadar kau Nak'e. Bangunlah. Anakmu sudah lahir itu," lirih Mak Suri dengan suara tak bertenaga. Dia merosot dari pelukan sandi, hingga memejamkan mata tak sadarkan diri.

 

"Mak, Mak, bangun, Mak! Mak, jangan pingsan! Bangun, Mak!" Sandi menggendong mamaknya, dan berlari menuju ke ruangan UGD. 

 

Dia berteriak memanggil dokter dan perawat untuk segera menangani mamaknya yang pingsan.

 

Dari dulu Sandi tak pernah menerima kata perselingkuhan. Baginya, perselingkuhan itu penyakit, yang akan menyebar jika dibiarkan.

 

Perselingkuhan itu ibarat benalu, yang akan memakan habis inangnya jika tak segera dibinasakan. Begitulah kejamnya perselingkuhan. Kau akan dibuat ketagihan, walaupun sudah mendapatkan yang diinginkan.

 

Berhati-hatilah ....

 

"Mak jangan mati dulu! Kita balaskan dendam ini dulu pada dia yang mengacaukan segalanya! Habis kau, Nang!"

  

 

Bersambung....

 

🍁🍁🍁🍁

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Dewi Rb
kurang gede koin nya...gila sampai 19koin utk satu bab?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 8. Dendam Semerah Darah.

    Kulit keriput itu mulai tak enak dipandang dengan adanya jarum infus yang menancap di atasnya. Bahkan, sudah lima belas menit yang lalu, jarum kecil dengan ujungnya yang tajam itu telah menjadi pusat perhatian Sandi. Sedikit pun dia tak bisa membayangkan sesakit apa tusukan dari jarum itu, yang membuat netra dari wanita yang telah melahirkannya terus bergerak tak tenang, walau dalam keadaan matanya yang tertutup. Untuk meredakan gerakan netra itu, Sandi sering memberikan belaian lembut pada sisi lain dari kulitnya. Hanya usaha yang tak seberapa, namun dia berharap belaian itu bisa meredakan nyeri dari tusukan jarum kecil itu. Sungguh, Sandi tak menyangka, bahwa mamaknya akan terbaring lemah di ranjang yang sama dengan yang dimiliki oleh Nana dalam waktu sekarang ini. Mamaknya pasti akan marah besar, jika tahu ujung sikunya yang mulus sudah tertancap jarum yang tajam. Mamaknya pasti akan ngomel panjang lebar. Dia tak suka jika kulitnya berbekas karena luka. "Ah, sial! Kenapa harus b

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 9. Sebuah Pesan.

    Teh Ayu masih terus terisak di saat dua orang dewasa lainnya hanya memilih diam, sejak Sandi menyampaikan kabar buruk itu. Rasa yang bergelung di dalam dadanya sudah tak berbentuk lagi. Remuk redam dan hancur tak tersisa.Kabar kelahiran Nana yang seharusnya menjadi kabar paling membahagiakan, malah menjadi kabar yang paling mengoyakkan hatinya.Rasanya Teh Ayu ingin menerobos masuk pada pintu kaca ICU itu, jika saja Abah Iyan dan Sandi tak menahan aksinya sekuat tenaga. Bahkan karena aksinya itu, ada satu perawat yang mengancam akan menyuntikkan obat bius padanya, jika Teh Ayu membuat keributan lagi di dekat ruangan ICU.Akibat ancaman itu, Teh ayu mengurungkan niatnya, dan lebih memilih menunggu pada kursi tunggu yang sepi pengunjungnya. Ketiganya pun sepakat akan menunggu dua pasien dari keluarganya secara bergantian."Kenapa cobaan Nana selalu datang, ya, Abah? Apa sebenarnya salah anak itu? Tak seharusnya dia menerima cobaan ini karena kesalahan orang tuanya sendiri. Justrsu haru

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 10. Tak Terima

    Seketika Sandi terduduk pada kursi tunggu saat pesan itu terbaca olehnya. Hampir saja dia mengumpat keras setelah pesan itu terpampang nyata di depan matanya sendiri. Refleks pegangannya mengerat pada ponsel yang masih ada dalam genggaman. Beruntungnya ponsel itu berada dalam jangkauannya. Kalau sampai Emak dan orang tua Nana yang mengetahui pesan itu yang pertama kali, pasti bakalan heboh isi rumah sakit ini."Brengsek! Nomer siapa ini! Berani sekali dia mengancam Nana seperti ini!"Kembali Sandi membaca pesan itu lagi. Tatapannya mulai berkilat, bertanda emosinya semakin meningkat. Deru napasnya mulai memburu. Sepertinya pesan itu bukanlah main-main."Berani sekali dia ngirim pesan ancaman kayak gini! Ternyata ada yang mau macam-macam sama keluargaku!" Berulang kali Sandi menghardik keras. Dia tak terima salah satu keluarganya diancam seperti itu.Beruntungnnya lorong rumah sakit masih dalam keadaan sepi. Tumben sekali tak ada lalu lalang manusia seperti biasanya.Setelah puas meng

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 11. Kejang-Kejang.

    Bab. 11.Tuut… Tuut… Tuut…Dua layar monitor yang terletak di samping kanan dan kiri ranjang pesakitan itu selalu mengeluarkan suara, sejak kegunaannya dipakai dari sehari yang lalu. Suara yang disebut sebagai tanda nyawa yang masih ada dalam raga itu tak pernah berhenti berbunyi. Di balik pintu kaca transparan, Teh Ayu beserta Abah Iyan menatap wajah pucat yang terhalangi oleh alat bantu pernapasan. Jemari kurus dan putih pucat itu terus mengepal, setelah tatapannya menangkap pemandangan di dalam ruangan dengan luas 4x4m. Dadanya terasa sakit tak bertepi. Pemandangan didepan matanya sangat menyayat hati. Anak yang selalu dia banggakan, kini terbaring lemah dan tak berdaya di ranjang itu. Hanya melalui pintu kaca inilah dia bisa melihat Nana yang tak bergerak sedikit pun. Rasa batinnya ingin berteriak, menghancurkan isi rumah sakit ini. Karena mereka lah yang membuat anaknya tak berdaya seperti itu.Sakit dalam relung hatinya sangat berdenyut nyeri, sesaat setelah kehadiran mereka d

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 1. BH yang menggantung.

    "Halo, Bang, hallo, alhamdulillah akhirnya tersambung juga. Abang susah banget, sih, dihubungi. Macam nunggu aku lahiran aja, loh, lama banget nyambungnya. Abang sehat-sehat, kan, disana?" Nana tersenyum lebar ketika sambungan video call-nya dijawab oleh suaminya."Berisik, Na! Jangan teriak-teriak gitulah! Malu sama temen Abang disini, ah!"Nana mencebik kesal. Suaminya yang bernama Lanang Pardede itu menjawab video call-nya dengan rasa malas. Jawaban yang tak enak di dengar itu membuyarkan semangatnya yang menggebu ketika telepon itu tersambung."Apanya Abang ini? Ditelepon binik bukannya senang malah malas gitu suaranya! Tak sukanya kau aku telepon?"Wanita yang memiliki nama lengkap Nana Sudrina itu tak kalah ketus untuk membalas ucapan suaminya. Dia langsung kesal. Lanang tak menghargai usahanya yang susah payah menelponnya di ujung sana yang katanya susah sinyal.Lanang mengusap kasar wajahnya karena kelepasan. Hampir saja dia emosi saat istrinya yang di kampung menelpon. "Bukan

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 2. Kontraksi.

    Lima menit berlalu, sakit di perut bagian bawahnya kembali berangsur pulih. Wanita yang baru berusia tiga puluh tahun itu balik lagi ke ranjang untuk rebahan. Kedua kakinya tak kuat lagi untuk menopang bobot tubuhnya jika terlalu lama berdiri. Dadanya naik turun karena menahan beban dua janin dalam perut. Kehamilan yang kedua kali ini memang sangat dijaga sekali.Belajar dari kehamilan pertamanya yang gagal saat usia pernikahannya baru tiga tahun, Nana sangat menjaga pola makan dan hidup sehatnya selama kehamilan keduanya itu terdeteksi.Semua pantangan yang tak boleh selalu dia hindari. Walaupun untuk kehamilan kedua ini, dia harus berjuang sendiri tanpa pengawasan dari suaminya. Dia sangat bersyukur karena janin yang ada dalam kandungannya tidak begitu rewel."Aduh, duh, perutku mules lagi. Aww, sakit. Aduh, Mak'e. Perutku sakit."Nana mengerang kesakitan. Gelombang cinta dalam perutnya datang kembali. Sepertinya kontraksi pada perutnya mulai sering datang. Dia harus menelpon.Mamak

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 3. Unit Gawat Darurat.

    "Sakit, Mak. Sakit. Aku gak kuat. Tulangku rasanya sakit semua, Mak." Nana terus merengek dengan kesakitannya yang terus bertambah.Kedua matanya sesekali terpejam karena menahan sakit yang teramat sangat. Suara rintihan itu terdengar sangat menyayat hati bagi Mak Suri dan Sandi. Keduanya merasa sangat bersalah sekali. Karena tak berhasil membujuk Lanang untuk pulang kampung barang sebentar."Sabar, ya, Na, sabar. Jangan ngomong begitu. Tahan dulu. Bentar lagi kita sampai rumah sakit. Sabar Nak'e. Ada Mamak disini." Mak Suri masih terus mengusap dahi Nana yang sudah basah dengan keringat.Mesin pendingin dalam mobil itu seolah tak berguna, karena Nana terus saja berkeringat.Dengan telaten Mak Suri juga memijat kedua kaki Nana yang lurus ke depan. Beruntungnya tas bawaan yang berisi perlengkapan bayi itu lebih besar. Jadi, bisa dipakai sebagai pijakan untuk kedua kakinya yang menjuntai ke bawah.Mak Suri berharap dengan pijatan itu bisa membuat Nana lebih rileks. Sesekali Mak Suri tam

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 4. Membujuk Lanang.

    "Ya Tuhan, aku mohon selamatkanlah bayi dan mamanya. Permudah dan lancarkan proses kelahirannya. Tolong jangan persulit keadaannya ya, Tuhan. Kamu pasti kuat, Nana. Amin." Sandi mengusap dua telapak tangan pada wajahnya yang masih basah.Setelah memarkirkan mobil, dia melaksanakan sholat dhuha di mushola yang ada di rumah sakit. Menurutnya, di saat pagi inilah waktu yang mustajab untuk meminta kepada-Nya.Tanpa diduga, kedua pipinya telah basah. Lelaki berusia tiga puluhan itu memang tak kuat jika melihat seorang wanita yang akan melahirkan. Hatinya bisa mendadak gerimis jika melihat dengan mata sendiri. Terlebih wanita itu adik iparnya sendiri.Rasa haru dan senang berbaur menjadi perasaan sedih yang tak terkira. Sandi merasa gagal menjadi kakak lelaki satu-satunya karena tak bisa membawa pulang adiknya ke kampung.Dia jadi teringat akan percakapannya dengan Lanang. Beberapa hari lalu, Sandi terus menghubunginya. Kegiatan itu sering dia lakukan ketika kehamilan Nana memasuki usia tu

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29

Bab terbaru

  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 11. Kejang-Kejang.

    Bab. 11.Tuut… Tuut… Tuut…Dua layar monitor yang terletak di samping kanan dan kiri ranjang pesakitan itu selalu mengeluarkan suara, sejak kegunaannya dipakai dari sehari yang lalu. Suara yang disebut sebagai tanda nyawa yang masih ada dalam raga itu tak pernah berhenti berbunyi. Di balik pintu kaca transparan, Teh Ayu beserta Abah Iyan menatap wajah pucat yang terhalangi oleh alat bantu pernapasan. Jemari kurus dan putih pucat itu terus mengepal, setelah tatapannya menangkap pemandangan di dalam ruangan dengan luas 4x4m. Dadanya terasa sakit tak bertepi. Pemandangan didepan matanya sangat menyayat hati. Anak yang selalu dia banggakan, kini terbaring lemah dan tak berdaya di ranjang itu. Hanya melalui pintu kaca inilah dia bisa melihat Nana yang tak bergerak sedikit pun. Rasa batinnya ingin berteriak, menghancurkan isi rumah sakit ini. Karena mereka lah yang membuat anaknya tak berdaya seperti itu.Sakit dalam relung hatinya sangat berdenyut nyeri, sesaat setelah kehadiran mereka d

  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 10. Tak Terima

    Seketika Sandi terduduk pada kursi tunggu saat pesan itu terbaca olehnya. Hampir saja dia mengumpat keras setelah pesan itu terpampang nyata di depan matanya sendiri. Refleks pegangannya mengerat pada ponsel yang masih ada dalam genggaman. Beruntungnya ponsel itu berada dalam jangkauannya. Kalau sampai Emak dan orang tua Nana yang mengetahui pesan itu yang pertama kali, pasti bakalan heboh isi rumah sakit ini."Brengsek! Nomer siapa ini! Berani sekali dia mengancam Nana seperti ini!"Kembali Sandi membaca pesan itu lagi. Tatapannya mulai berkilat, bertanda emosinya semakin meningkat. Deru napasnya mulai memburu. Sepertinya pesan itu bukanlah main-main."Berani sekali dia ngirim pesan ancaman kayak gini! Ternyata ada yang mau macam-macam sama keluargaku!" Berulang kali Sandi menghardik keras. Dia tak terima salah satu keluarganya diancam seperti itu.Beruntungnnya lorong rumah sakit masih dalam keadaan sepi. Tumben sekali tak ada lalu lalang manusia seperti biasanya.Setelah puas meng

  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 9. Sebuah Pesan.

    Teh Ayu masih terus terisak di saat dua orang dewasa lainnya hanya memilih diam, sejak Sandi menyampaikan kabar buruk itu. Rasa yang bergelung di dalam dadanya sudah tak berbentuk lagi. Remuk redam dan hancur tak tersisa.Kabar kelahiran Nana yang seharusnya menjadi kabar paling membahagiakan, malah menjadi kabar yang paling mengoyakkan hatinya.Rasanya Teh Ayu ingin menerobos masuk pada pintu kaca ICU itu, jika saja Abah Iyan dan Sandi tak menahan aksinya sekuat tenaga. Bahkan karena aksinya itu, ada satu perawat yang mengancam akan menyuntikkan obat bius padanya, jika Teh Ayu membuat keributan lagi di dekat ruangan ICU.Akibat ancaman itu, Teh ayu mengurungkan niatnya, dan lebih memilih menunggu pada kursi tunggu yang sepi pengunjungnya. Ketiganya pun sepakat akan menunggu dua pasien dari keluarganya secara bergantian."Kenapa cobaan Nana selalu datang, ya, Abah? Apa sebenarnya salah anak itu? Tak seharusnya dia menerima cobaan ini karena kesalahan orang tuanya sendiri. Justrsu haru

  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 8. Dendam Semerah Darah.

    Kulit keriput itu mulai tak enak dipandang dengan adanya jarum infus yang menancap di atasnya. Bahkan, sudah lima belas menit yang lalu, jarum kecil dengan ujungnya yang tajam itu telah menjadi pusat perhatian Sandi. Sedikit pun dia tak bisa membayangkan sesakit apa tusukan dari jarum itu, yang membuat netra dari wanita yang telah melahirkannya terus bergerak tak tenang, walau dalam keadaan matanya yang tertutup. Untuk meredakan gerakan netra itu, Sandi sering memberikan belaian lembut pada sisi lain dari kulitnya. Hanya usaha yang tak seberapa, namun dia berharap belaian itu bisa meredakan nyeri dari tusukan jarum kecil itu. Sungguh, Sandi tak menyangka, bahwa mamaknya akan terbaring lemah di ranjang yang sama dengan yang dimiliki oleh Nana dalam waktu sekarang ini. Mamaknya pasti akan marah besar, jika tahu ujung sikunya yang mulus sudah tertancap jarum yang tajam. Mamaknya pasti akan ngomel panjang lebar. Dia tak suka jika kulitnya berbekas karena luka. "Ah, sial! Kenapa harus b

  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 7. Pre Eklamsia

    Lampu berwarna hijau itu telah padam sejak sepuluh menit yang lalu, namun belum ada satupun dari tim dokter yang keluar dari ruangan bernuansa putih itu. Perasaan cemas mulai menggangu pikiran Sandi. Dia mulai tak sabar menunggu kabar dari dalam ruangan yang dipakai untuk berjuang antara hidup dan mati.Sambil memejamkan mata, Sandi bersandar pada dinding dengan melipat kedua siku di dada. Jantungnya terus memompa dengan cepat. Rasa khawatirnya meningkat dengan pesat. Rasa sabarnya pun turut menipis karena pintu berlapis kaca itu tak kunjung terbuka. Ingin sekali dia mendobrak pintu kaca itu. Namun, itu jelas tak mungkin."Ckk, lama banget, sih! Nggak tahu apa yang nunggu diluar ini deg-degan banget." Sandi mulai berdecak kesal, dia kembali menegakkan punggungnya yang terasa pegal.Berulang kali juga gerakan itu dia lakukan hanya untuk mengurangi rasa takut yang kian menggebu. Kembali dia berjalan mondar-mandir di depan ruang operasi."Kenapa lama banget, sih, keluarnya! Cepat dong, D

  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 6. Ruang Operasi

    Bayu menarik kedua sudut bibirnya dengan semangat. Keputusan itulah yang sedari tadi dia tunggu. Kalau sampai keluarga pasien tak mau mengambil tindakan cesar, tentu saja dia akan sangat menyesal karena pasien terlambat ditangani. Baginya keselamatan pasien yang paling utama."Mak!" panggil Sandi pada mamaknya. Dia ingin memprotes akan keputusan sepihak itu."Apa?" ketus Mak Suri. Dia paham kenapa Sandi memanggilnya."Telpon Lanang dulu, Mak.""Untuk apa?""Dia suaminya. Mau gimana pun dia harus...,"Serta merta Sandi menelan mentah-mentah perkataannya kembali. Dia menutup rapat bibirnya karena Mak Suri melotot penuh amarah kepadanya."Dia memang suaminya! Tapi tanggung jawabnya sebagai suami mana, hah! Disuruh pulang banyak alasan dia! Sudahlah! Tak perlu tau adikmu itu! Yang penting sekarang keselamatan mantu dan cucuku yang harus diutamakan. Nggak penting ngasih kabar ke dia! Anak gak tau diuntung dia itu!"Tanpa rasa sungkan di depan perawat, Mak Suri memotong perkataan Sandi deng

  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 5. Air Ketuban.

    Sungguh, kali ini harapan mereka sudah sirna. Adik satu-satunya itu telah berdusta untuk kesekian kalinya. Kebohongan demi kebohongan telah dia ciptakan sendiri. Lelaki yang masih berstatus suami itu tak menyadari, bahwa semua kebohongan itu telah membawanya ke dasar jurang kehancuran yang lebih dalam.Dusta yang dia lontarkan itu sakit. Dusta yang kesekian kali telah diucapkan itu mampu memporak-porandakan kepercayaan adik iparnya. Dusta itu telah merusak rasa kepercayaan dari keluarga besarnya juga.Berkali-kali Mak Suri mengucap kata istighfar dari bibirnya yang bergetar. Sekelebat bayangan beberapa hari yang lalu mulai mengganggu pikirannya. Mak Suri teringat kembali dengan sederet perkataan menantunya di dapur kala itu."Sabar, ya, Sayang. Mulai hari ini kita berjuang bersama-sama. Hanya kita yang akan berjuang dalam pertarungan ini. Ingat! Kalian jangan mengharapkan lelaki itu lagi. Kita akan melewati badai ini hingga garis finis. Mama masih mampu untuk merawat kalian dengan tan

  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 4. Membujuk Lanang.

    "Ya Tuhan, aku mohon selamatkanlah bayi dan mamanya. Permudah dan lancarkan proses kelahirannya. Tolong jangan persulit keadaannya ya, Tuhan. Kamu pasti kuat, Nana. Amin." Sandi mengusap dua telapak tangan pada wajahnya yang masih basah.Setelah memarkirkan mobil, dia melaksanakan sholat dhuha di mushola yang ada di rumah sakit. Menurutnya, di saat pagi inilah waktu yang mustajab untuk meminta kepada-Nya.Tanpa diduga, kedua pipinya telah basah. Lelaki berusia tiga puluhan itu memang tak kuat jika melihat seorang wanita yang akan melahirkan. Hatinya bisa mendadak gerimis jika melihat dengan mata sendiri. Terlebih wanita itu adik iparnya sendiri.Rasa haru dan senang berbaur menjadi perasaan sedih yang tak terkira. Sandi merasa gagal menjadi kakak lelaki satu-satunya karena tak bisa membawa pulang adiknya ke kampung.Dia jadi teringat akan percakapannya dengan Lanang. Beberapa hari lalu, Sandi terus menghubunginya. Kegiatan itu sering dia lakukan ketika kehamilan Nana memasuki usia tu

  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 3. Unit Gawat Darurat.

    "Sakit, Mak. Sakit. Aku gak kuat. Tulangku rasanya sakit semua, Mak." Nana terus merengek dengan kesakitannya yang terus bertambah.Kedua matanya sesekali terpejam karena menahan sakit yang teramat sangat. Suara rintihan itu terdengar sangat menyayat hati bagi Mak Suri dan Sandi. Keduanya merasa sangat bersalah sekali. Karena tak berhasil membujuk Lanang untuk pulang kampung barang sebentar."Sabar, ya, Na, sabar. Jangan ngomong begitu. Tahan dulu. Bentar lagi kita sampai rumah sakit. Sabar Nak'e. Ada Mamak disini." Mak Suri masih terus mengusap dahi Nana yang sudah basah dengan keringat.Mesin pendingin dalam mobil itu seolah tak berguna, karena Nana terus saja berkeringat.Dengan telaten Mak Suri juga memijat kedua kaki Nana yang lurus ke depan. Beruntungnya tas bawaan yang berisi perlengkapan bayi itu lebih besar. Jadi, bisa dipakai sebagai pijakan untuk kedua kakinya yang menjuntai ke bawah.Mak Suri berharap dengan pijatan itu bisa membuat Nana lebih rileks. Sesekali Mak Suri tam

DMCA.com Protection Status