Beranda / Pernikahan / Membalas Suami Selingkuh / Bab. 1. BH yang menggantung.

Share

Membalas Suami Selingkuh
Membalas Suami Selingkuh
Penulis: Dwi ratna sari

Bab. 1. BH yang menggantung.

Penulis: Dwi ratna sari
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Halo, Bang, hallo, alhamdulillah akhirnya tersambung juga. Abang susah banget, sih, dihubungi. Macam nunggu aku lahiran aja, loh, lama banget nyambungnya. Abang sehat-sehat, kan, disana?" Nana tersenyum lebar ketika sambungan video call-nya dijawab oleh suaminya.

"Berisik, Na! Jangan teriak-teriak gitulah! Malu sama temen Abang disini, ah!"

Nana mencebik kesal. Suaminya yang bernama Lanang Pardede itu menjawab video call-nya dengan rasa malas. Jawaban yang tak enak di dengar itu membuyarkan semangatnya yang menggebu ketika telepon itu tersambung.

"Apanya Abang ini? Ditelepon binik bukannya senang malah malas gitu suaranya! Tak sukanya kau aku telepon?"

Wanita yang memiliki nama lengkap Nana Sudrina itu tak kalah ketus untuk membalas ucapan suaminya. Dia langsung kesal. Lanang tak menghargai usahanya yang susah payah menelponnya di ujung sana yang katanya susah sinyal.

Lanang mengusap kasar wajahnya karena kelepasan. Hampir saja dia emosi saat istrinya yang di kampung menelpon. "Bukan begitu, Na, Abang lagi sibuk ini malah diteleponin terus. Nanti nggak siap-siap, nih, kerjaan Abang," kilah Lanang untuk membela dirinya. Dia berusaha bersikap biasa saja agar tak dicurigai istrinya disana.

"Apaan nelponin terus. Baru ini aku nelpon, ya. Udah dua minggu lebih Abang tak juga nelpon aku. Gak kangen rupanya sama aku, Bang!" Nana memprotesnya lagi.

"Bukannya tak kangen, kau, kan, tau Abang sibuk kerja. Jadi jangan tanya terus! Pusing Abang!" Lelaki yang bekerja di perusahaan tambang itu terus saja membela diri.

"Katanya sibuk, kok, masih di rumah jam segini. Memangnya ggak kerja, Bang?" Nana melihat jam yang menggantung di atas pintu kamarnya, yang menunjukkan pukul dua siang.

"Ya… Abang ini, kan, mau makan siang, jadi, sekarang di rumah. Cemananya kau ini!" Suara bas itu mulai terbata-terbata. Pikirannya mendadak kacau karena istrinya mulai mengintrogasinya.

"Di rumah. Tapi, kok, kayak asing aku sama warna dinding rumahnya itu. Rumah siapa itu, Bang?" 

Dari balik kamera, Nana mengamati cat dinding kamar berwarna abu tua. Benar catnya tampak berbeda setelah hampir dua minggu terakhir dia tak menelpon dan tak melihat suasana rumah suaminya di sana.

"Ee, anu, itu… baru ganti itu catnya." Lanang semakin kelabakan. Wanita yang telah sepuluh tahun menjadi istrinya itu mulai mengamati kamar yang tengah dipakai untuk beristirahat.

"Yang benar? Bentuk kamarnya pun beda itu." Nana mulai memicingkan mata. Suaminya bersikap tak biasa yang cenderung mencurigakan.

"Ah, sudahlah! Segala macam cat pun kau ributin. Ada apa kau nelpon Abang siang bolong gini? Abang mau kerja lagi. Tak usah lama-lama nelponnya!" Seketika, Lanang mengalihkan pembicaraan itu agar istrinya tak semakin curiga padanya.

Nana menepuk keningnya karena lupa dengan tujuanya menelpon. "Oh, ya, sampai lupa aku, kan. Abang bisa pulang hari ini, kan? Utun mau lahiran, nih. Aku juga udah booking rumah sakit yang ada di kota. Katanya Abang pingin aku lahiran di rumah sakit besar. Jadi sudah aku siapkan semua ini, Bang."

Lanang hanya bisa meringis pelan. Ia menatap entah pada siapa yang ada di belakang kameranya itu. Dia pun mengusap keningnya dengan kasar karena hampir saja dia lupa kalau istrinya akan melahirkan. Tapi, urusan disini penting juga, jadi tak mungkin untuk ....

"Abang! Kenapa malah diam! Cepat kemas-kemas! Biar nanti malam tinggal berangkat! Apa perlu aku pesankan tiket pesawat dari sini, hah?" Nana memekik karena Lanang lama meresponnya.

"Duh, gimana, ya, Na? Sepertinya Abang belum bisa pulang ke Pekanbaru. Mendadak kerjaan disini tak bisa ditinggal. Lagi padat-padatnya."

Terpaksa Lanang memakai alasan itu lagi saat tak bisa pulang, hingga membuat Nana semakin mendelik. Dia tak suka suaminya batal pulang dari perantauan untuk kesekian kalinya.

"Apa? Jangan macam-macam Abang, ya! Kerjaan terus yang dijadikan alasan! Abang udah janji sama aku, ya, mau nemani lahiran! Jangan ingkar janji dong!" Nana bersungut-sungut karena emosi.

Dia bangkit dari ranjang. Napasnya mulai ngos-ngosan karena emosinya yang naik terus. Wanita yang tengah hamil tua itu pun berjalan pelan ke arah jendela kamar yang menghadap ke kebun buahnya yang tengah berbuah lebat. Dia butuh udara segar untuk menetralisirkan rasa amarah di dada.

"Siapa yang banyak alasan? Memang kenyataannya tak bisa. Mau gimana lagi coba. Kau mau Abang di denda sama atasan, hah!"

Tanpa pikir panjang, Lanang terus membantah tuduhan istrinya itu. Dia tak menyadari dengan sikapnya yang seperti itu semakin membuatnya dicurigai.

"Eh, kemana pulak muka Abang itu. Kenapa gelap kameranya. Sengaja Abang tutup, ya. Buka kameranya, Bang! Si utun masih kangen sama ayahnya ini."

Lagi dan lagi suara protes itu terus berdengung di telinga Lanang. Dia pun mulai naik pitam karena nada suara istrinya semakin tak enak didengar.

"Iya, iya, tunggu sebentar, ya! Banyak orang disini." Dengan rasa malas, Lanang membuka lagi kamera video callnya itu di seberang sana.

"Cepatlah! Tapi sepinya disana. Nggak ada suara apa-apa itu. Jangan bohong kau, Bang!" Nana terus membantah jawaban Lanang yang semakin tak masuk akal.

"Iya sepi loh, Ini Abang udah di kamar! Gak percaya kali sama suami kau, ya!" Lanang mendengus karena istrinya terus curiga padanya.

Kembali Nana tersenyum lebar, hingga kedua matanya menyipit. Namun tidak dengan Lanang, dia memutar kedua matanya malas dan tak berminat sama sekali ketika melihat bentuk rupa istrinya.

Penampilan istrinya hari ini seperti Upik Abu yang terlantar. Muka kusut, rambut acak-acakkan yang tak disisir sejak seminggu kemarin, lalu daster lusuh sobek di bagian bahunya yang membuat penampilannya semakin tak enak dipandang. Lanang pun sampai mual saat menatap istrinya itu.

"Dedek utun, ini Ayah, Nak. Jangan kangen terus, ya ... Papa lagi cari duit disana. Jangan rewel lagi."

Seakan sudah lupa dengan kekesalannya tadi, Nana terus menarik kedua ujung bibirnya. Dia pun terus mengelus perutnya di depan kamera ponsel itu.

Lanang sedikit tertegun ketika melihat perut buncit istrinya. Mendadak rasa sesal menelusup dalam seonggok daging yang ada dalam dadanya. Hingga tanpa sadar, Lanang menggeser ponselnya dan menghadap pada belakang pintu kamar yang tertutup.

"Maafin Ayah yang belum bisa pulang, ya, Dedek Utun. Ayah janji bakalan pulang cepet kalau kerjaan disini cepat siap, ya."

"Abang ini gimana, sih? Abang udah janji mau pulang hari ini! Kenapa bisa berubah lagi omongannya, hah! Aku sudah waktunya lahiran ini! Jangan aneh-aneh Abang, ya!" Nana mulai kesal kembali saat mengingat suaminya yang tak bisa pulang.

Karena sejak dua bulan yang lalu, dia selalu berkilah tak bisa pulang karena pekerjaannya masih banyak. Dan proyeknya yang baru gol tak bisa ditinggal begitu saja, katanya saat itu. Namun, Nana mulai meragu dengan alasan itu. Dia jadi teringat ucapan teman suaminya beberapa minggu yang lalu. Bahwa suaminya ada main disana.

Tapi, hatinya masih ragu untuk membuktikan itu semua. Dia takut, hatinya patah dan mengamuk dengan membabi buta. Rasa temperamentalnya tak bisa dikendalikan jika sudah terpancing amarah.

"Ya, mau gimana lagi atasan Abang yang tak kasih izin. Masa iya, Abang melawan nanti kalau dipecat gimana? Gak bisa kasih nafkah si Utun nanti, loh!" Lagi, Lanang berkillah dengan banyak kebohongan yang sengaja dibuat. Matanya bergulir kesana kesini tak berani menatap istrinya.

"Terus gimana, dong, Bang? Perutku udah mules terus dari tadi malam, nih. Nggak pengertian sama sekali Abang, ya, jadi suami!"

Omelan itu kembali meluncur dari bibir tipisnya. Kedua matanya mulai menganak sungai. Ia tak mau melahirkan tanpa suami di sampingnya.

"Minta antar Mamak, ya, Dek, atau Bang Sandi aja suruh ngantar! Ibu sama Ayah juga, kan, ada juga di sana. Udah, ya, Abang mau kerja lagi, nih. Abang tutup teleponnya." Jari telunjuknya bersiap mematikan sambungan video call itu.

"Eh, tunggu dulu, Bang! Kau enak kali ngomongnya minta anter orang lain. Dimana tanggung jawabmu sebagai suami, hah! Mau buntingin tapi tak mau tanggung jawab! Egois kau, ya!"

"Abang, kan, lagi kerja."

"Kerja apa sampai gak bisa pulang? Hampir sepuluh bulan Abang kerja di Kalimantan tapi belum pernah pulang! Sejak Abang pindah disana kok mulai agak lain, ya!"

Nana terus menghardik ayah biologis dari anak yang dikandungnya itu. Dia yang semakin tak mengerti atau suaminya yang tak tau diri. Entah lah.

"Ehh, itu beha siapa yang menggantung di pintu kamarmu, Bang? Memangnya kau pakai beha, ya!" celetuk Nana dengan mata melotot sempurna.

Mendadak bibirnya kelu saat melihat benda yang selalu dipakai oleh wanita di bagian dada itu, malah menggantung di belakang pintu kamar milik suaminya. Bibirnya sudah siap memuntahkan lahar panas untuk kesekian kalinya.

"Hah, apa? Mana! Mana!" Lanang berteriak dengan panik.

Dengan cepat dia menoleh ke arah pintu dan membelalakkan kedua matanya. Benar. Di belakang pintu itu ada beha berwarna pink yang sudah menggantung indah.

"Abang gak ada main-main di belakangku, kan?"

Tanpa menjawab, Lanang mematikan video call itu sepihak. Di ujung sana degup jantungnya berpacu dengan cepat. Rasa panik dan takut berbaur menjadi satu dalam perasaannya. Bahkan dia sampai mematikan ponselnya agar istrinya tak menelponnya lagi.

"Halo, Bang! Halo, Bang Lanang! Buset malah dimatikan teleponnya! Awas kau, Bang, kalau sampai terbukti bermain di belakangku! Bakalan habis kau sama aku!" Nana menggeram marah sambil menahan nyeri di perut bawahnya.

Tanpa terasa kaca-kaca bening itu mulai keluar dari ujung netranya. Nana menengadahkan wajah ke atas agar matanya tak semakin basah.

"Sabar, ya, Sayang. Kita berjuang sama-sama setelah ini."

♡♡♡♡♡♡

Bab terkait

  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 2. Kontraksi.

    Lima menit berlalu, sakit di perut bagian bawahnya kembali berangsur pulih. Wanita yang baru berusia tiga puluh tahun itu balik lagi ke ranjang untuk rebahan. Kedua kakinya tak kuat lagi untuk menopang bobot tubuhnya jika terlalu lama berdiri. Dadanya naik turun karena menahan beban dua janin dalam perut. Kehamilan yang kedua kali ini memang sangat dijaga sekali.Belajar dari kehamilan pertamanya yang gagal saat usia pernikahannya baru tiga tahun, Nana sangat menjaga pola makan dan hidup sehatnya selama kehamilan keduanya itu terdeteksi.Semua pantangan yang tak boleh selalu dia hindari. Walaupun untuk kehamilan kedua ini, dia harus berjuang sendiri tanpa pengawasan dari suaminya. Dia sangat bersyukur karena janin yang ada dalam kandungannya tidak begitu rewel."Aduh, duh, perutku mules lagi. Aww, sakit. Aduh, Mak'e. Perutku sakit."Nana mengerang kesakitan. Gelombang cinta dalam perutnya datang kembali. Sepertinya kontraksi pada perutnya mulai sering datang. Dia harus menelpon.Mamak

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 3. Unit Gawat Darurat.

    "Sakit, Mak. Sakit. Aku gak kuat. Tulangku rasanya sakit semua, Mak." Nana terus merengek dengan kesakitannya yang terus bertambah.Kedua matanya sesekali terpejam karena menahan sakit yang teramat sangat. Suara rintihan itu terdengar sangat menyayat hati bagi Mak Suri dan Sandi. Keduanya merasa sangat bersalah sekali. Karena tak berhasil membujuk Lanang untuk pulang kampung barang sebentar."Sabar, ya, Na, sabar. Jangan ngomong begitu. Tahan dulu. Bentar lagi kita sampai rumah sakit. Sabar Nak'e. Ada Mamak disini." Mak Suri masih terus mengusap dahi Nana yang sudah basah dengan keringat.Mesin pendingin dalam mobil itu seolah tak berguna, karena Nana terus saja berkeringat.Dengan telaten Mak Suri juga memijat kedua kaki Nana yang lurus ke depan. Beruntungnya tas bawaan yang berisi perlengkapan bayi itu lebih besar. Jadi, bisa dipakai sebagai pijakan untuk kedua kakinya yang menjuntai ke bawah.Mak Suri berharap dengan pijatan itu bisa membuat Nana lebih rileks. Sesekali Mak Suri tam

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 4. Membujuk Lanang.

    "Ya Tuhan, aku mohon selamatkanlah bayi dan mamanya. Permudah dan lancarkan proses kelahirannya. Tolong jangan persulit keadaannya ya, Tuhan. Kamu pasti kuat, Nana. Amin." Sandi mengusap dua telapak tangan pada wajahnya yang masih basah.Setelah memarkirkan mobil, dia melaksanakan sholat dhuha di mushola yang ada di rumah sakit. Menurutnya, di saat pagi inilah waktu yang mustajab untuk meminta kepada-Nya.Tanpa diduga, kedua pipinya telah basah. Lelaki berusia tiga puluhan itu memang tak kuat jika melihat seorang wanita yang akan melahirkan. Hatinya bisa mendadak gerimis jika melihat dengan mata sendiri. Terlebih wanita itu adik iparnya sendiri.Rasa haru dan senang berbaur menjadi perasaan sedih yang tak terkira. Sandi merasa gagal menjadi kakak lelaki satu-satunya karena tak bisa membawa pulang adiknya ke kampung.Dia jadi teringat akan percakapannya dengan Lanang. Beberapa hari lalu, Sandi terus menghubunginya. Kegiatan itu sering dia lakukan ketika kehamilan Nana memasuki usia tu

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 5. Air Ketuban.

    Sungguh, kali ini harapan mereka sudah sirna. Adik satu-satunya itu telah berdusta untuk kesekian kalinya. Kebohongan demi kebohongan telah dia ciptakan sendiri. Lelaki yang masih berstatus suami itu tak menyadari, bahwa semua kebohongan itu telah membawanya ke dasar jurang kehancuran yang lebih dalam.Dusta yang dia lontarkan itu sakit. Dusta yang kesekian kali telah diucapkan itu mampu memporak-porandakan kepercayaan adik iparnya. Dusta itu telah merusak rasa kepercayaan dari keluarga besarnya juga.Berkali-kali Mak Suri mengucap kata istighfar dari bibirnya yang bergetar. Sekelebat bayangan beberapa hari yang lalu mulai mengganggu pikirannya. Mak Suri teringat kembali dengan sederet perkataan menantunya di dapur kala itu."Sabar, ya, Sayang. Mulai hari ini kita berjuang bersama-sama. Hanya kita yang akan berjuang dalam pertarungan ini. Ingat! Kalian jangan mengharapkan lelaki itu lagi. Kita akan melewati badai ini hingga garis finis. Mama masih mampu untuk merawat kalian dengan tan

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 6. Ruang Operasi

    Bayu menarik kedua sudut bibirnya dengan semangat. Keputusan itulah yang sedari tadi dia tunggu. Kalau sampai keluarga pasien tak mau mengambil tindakan cesar, tentu saja dia akan sangat menyesal karena pasien terlambat ditangani. Baginya keselamatan pasien yang paling utama."Mak!" panggil Sandi pada mamaknya. Dia ingin memprotes akan keputusan sepihak itu."Apa?" ketus Mak Suri. Dia paham kenapa Sandi memanggilnya."Telpon Lanang dulu, Mak.""Untuk apa?""Dia suaminya. Mau gimana pun dia harus...,"Serta merta Sandi menelan mentah-mentah perkataannya kembali. Dia menutup rapat bibirnya karena Mak Suri melotot penuh amarah kepadanya."Dia memang suaminya! Tapi tanggung jawabnya sebagai suami mana, hah! Disuruh pulang banyak alasan dia! Sudahlah! Tak perlu tau adikmu itu! Yang penting sekarang keselamatan mantu dan cucuku yang harus diutamakan. Nggak penting ngasih kabar ke dia! Anak gak tau diuntung dia itu!"Tanpa rasa sungkan di depan perawat, Mak Suri memotong perkataan Sandi deng

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 7. Pre Eklamsia

    Lampu berwarna hijau itu telah padam sejak sepuluh menit yang lalu, namun belum ada satupun dari tim dokter yang keluar dari ruangan bernuansa putih itu. Perasaan cemas mulai menggangu pikiran Sandi. Dia mulai tak sabar menunggu kabar dari dalam ruangan yang dipakai untuk berjuang antara hidup dan mati.Sambil memejamkan mata, Sandi bersandar pada dinding dengan melipat kedua siku di dada. Jantungnya terus memompa dengan cepat. Rasa khawatirnya meningkat dengan pesat. Rasa sabarnya pun turut menipis karena pintu berlapis kaca itu tak kunjung terbuka. Ingin sekali dia mendobrak pintu kaca itu. Namun, itu jelas tak mungkin."Ckk, lama banget, sih! Nggak tahu apa yang nunggu diluar ini deg-degan banget." Sandi mulai berdecak kesal, dia kembali menegakkan punggungnya yang terasa pegal.Berulang kali juga gerakan itu dia lakukan hanya untuk mengurangi rasa takut yang kian menggebu. Kembali dia berjalan mondar-mandir di depan ruang operasi."Kenapa lama banget, sih, keluarnya! Cepat dong, D

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 8. Dendam Semerah Darah.

    Kulit keriput itu mulai tak enak dipandang dengan adanya jarum infus yang menancap di atasnya. Bahkan, sudah lima belas menit yang lalu, jarum kecil dengan ujungnya yang tajam itu telah menjadi pusat perhatian Sandi. Sedikit pun dia tak bisa membayangkan sesakit apa tusukan dari jarum itu, yang membuat netra dari wanita yang telah melahirkannya terus bergerak tak tenang, walau dalam keadaan matanya yang tertutup. Untuk meredakan gerakan netra itu, Sandi sering memberikan belaian lembut pada sisi lain dari kulitnya. Hanya usaha yang tak seberapa, namun dia berharap belaian itu bisa meredakan nyeri dari tusukan jarum kecil itu. Sungguh, Sandi tak menyangka, bahwa mamaknya akan terbaring lemah di ranjang yang sama dengan yang dimiliki oleh Nana dalam waktu sekarang ini. Mamaknya pasti akan marah besar, jika tahu ujung sikunya yang mulus sudah tertancap jarum yang tajam. Mamaknya pasti akan ngomel panjang lebar. Dia tak suka jika kulitnya berbekas karena luka. "Ah, sial! Kenapa harus b

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 9. Sebuah Pesan.

    Teh Ayu masih terus terisak di saat dua orang dewasa lainnya hanya memilih diam, sejak Sandi menyampaikan kabar buruk itu. Rasa yang bergelung di dalam dadanya sudah tak berbentuk lagi. Remuk redam dan hancur tak tersisa.Kabar kelahiran Nana yang seharusnya menjadi kabar paling membahagiakan, malah menjadi kabar yang paling mengoyakkan hatinya.Rasanya Teh Ayu ingin menerobos masuk pada pintu kaca ICU itu, jika saja Abah Iyan dan Sandi tak menahan aksinya sekuat tenaga. Bahkan karena aksinya itu, ada satu perawat yang mengancam akan menyuntikkan obat bius padanya, jika Teh Ayu membuat keributan lagi di dekat ruangan ICU.Akibat ancaman itu, Teh ayu mengurungkan niatnya, dan lebih memilih menunggu pada kursi tunggu yang sepi pengunjungnya. Ketiganya pun sepakat akan menunggu dua pasien dari keluarganya secara bergantian."Kenapa cobaan Nana selalu datang, ya, Abah? Apa sebenarnya salah anak itu? Tak seharusnya dia menerima cobaan ini karena kesalahan orang tuanya sendiri. Justrsu haru

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29

Bab terbaru

  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 11. Kejang-Kejang.

    Bab. 11.Tuut… Tuut… Tuut…Dua layar monitor yang terletak di samping kanan dan kiri ranjang pesakitan itu selalu mengeluarkan suara, sejak kegunaannya dipakai dari sehari yang lalu. Suara yang disebut sebagai tanda nyawa yang masih ada dalam raga itu tak pernah berhenti berbunyi. Di balik pintu kaca transparan, Teh Ayu beserta Abah Iyan menatap wajah pucat yang terhalangi oleh alat bantu pernapasan. Jemari kurus dan putih pucat itu terus mengepal, setelah tatapannya menangkap pemandangan di dalam ruangan dengan luas 4x4m. Dadanya terasa sakit tak bertepi. Pemandangan didepan matanya sangat menyayat hati. Anak yang selalu dia banggakan, kini terbaring lemah dan tak berdaya di ranjang itu. Hanya melalui pintu kaca inilah dia bisa melihat Nana yang tak bergerak sedikit pun. Rasa batinnya ingin berteriak, menghancurkan isi rumah sakit ini. Karena mereka lah yang membuat anaknya tak berdaya seperti itu.Sakit dalam relung hatinya sangat berdenyut nyeri, sesaat setelah kehadiran mereka d

  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 10. Tak Terima

    Seketika Sandi terduduk pada kursi tunggu saat pesan itu terbaca olehnya. Hampir saja dia mengumpat keras setelah pesan itu terpampang nyata di depan matanya sendiri. Refleks pegangannya mengerat pada ponsel yang masih ada dalam genggaman. Beruntungnya ponsel itu berada dalam jangkauannya. Kalau sampai Emak dan orang tua Nana yang mengetahui pesan itu yang pertama kali, pasti bakalan heboh isi rumah sakit ini."Brengsek! Nomer siapa ini! Berani sekali dia mengancam Nana seperti ini!"Kembali Sandi membaca pesan itu lagi. Tatapannya mulai berkilat, bertanda emosinya semakin meningkat. Deru napasnya mulai memburu. Sepertinya pesan itu bukanlah main-main."Berani sekali dia ngirim pesan ancaman kayak gini! Ternyata ada yang mau macam-macam sama keluargaku!" Berulang kali Sandi menghardik keras. Dia tak terima salah satu keluarganya diancam seperti itu.Beruntungnnya lorong rumah sakit masih dalam keadaan sepi. Tumben sekali tak ada lalu lalang manusia seperti biasanya.Setelah puas meng

  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 9. Sebuah Pesan.

    Teh Ayu masih terus terisak di saat dua orang dewasa lainnya hanya memilih diam, sejak Sandi menyampaikan kabar buruk itu. Rasa yang bergelung di dalam dadanya sudah tak berbentuk lagi. Remuk redam dan hancur tak tersisa.Kabar kelahiran Nana yang seharusnya menjadi kabar paling membahagiakan, malah menjadi kabar yang paling mengoyakkan hatinya.Rasanya Teh Ayu ingin menerobos masuk pada pintu kaca ICU itu, jika saja Abah Iyan dan Sandi tak menahan aksinya sekuat tenaga. Bahkan karena aksinya itu, ada satu perawat yang mengancam akan menyuntikkan obat bius padanya, jika Teh Ayu membuat keributan lagi di dekat ruangan ICU.Akibat ancaman itu, Teh ayu mengurungkan niatnya, dan lebih memilih menunggu pada kursi tunggu yang sepi pengunjungnya. Ketiganya pun sepakat akan menunggu dua pasien dari keluarganya secara bergantian."Kenapa cobaan Nana selalu datang, ya, Abah? Apa sebenarnya salah anak itu? Tak seharusnya dia menerima cobaan ini karena kesalahan orang tuanya sendiri. Justrsu haru

  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 8. Dendam Semerah Darah.

    Kulit keriput itu mulai tak enak dipandang dengan adanya jarum infus yang menancap di atasnya. Bahkan, sudah lima belas menit yang lalu, jarum kecil dengan ujungnya yang tajam itu telah menjadi pusat perhatian Sandi. Sedikit pun dia tak bisa membayangkan sesakit apa tusukan dari jarum itu, yang membuat netra dari wanita yang telah melahirkannya terus bergerak tak tenang, walau dalam keadaan matanya yang tertutup. Untuk meredakan gerakan netra itu, Sandi sering memberikan belaian lembut pada sisi lain dari kulitnya. Hanya usaha yang tak seberapa, namun dia berharap belaian itu bisa meredakan nyeri dari tusukan jarum kecil itu. Sungguh, Sandi tak menyangka, bahwa mamaknya akan terbaring lemah di ranjang yang sama dengan yang dimiliki oleh Nana dalam waktu sekarang ini. Mamaknya pasti akan marah besar, jika tahu ujung sikunya yang mulus sudah tertancap jarum yang tajam. Mamaknya pasti akan ngomel panjang lebar. Dia tak suka jika kulitnya berbekas karena luka. "Ah, sial! Kenapa harus b

  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 7. Pre Eklamsia

    Lampu berwarna hijau itu telah padam sejak sepuluh menit yang lalu, namun belum ada satupun dari tim dokter yang keluar dari ruangan bernuansa putih itu. Perasaan cemas mulai menggangu pikiran Sandi. Dia mulai tak sabar menunggu kabar dari dalam ruangan yang dipakai untuk berjuang antara hidup dan mati.Sambil memejamkan mata, Sandi bersandar pada dinding dengan melipat kedua siku di dada. Jantungnya terus memompa dengan cepat. Rasa khawatirnya meningkat dengan pesat. Rasa sabarnya pun turut menipis karena pintu berlapis kaca itu tak kunjung terbuka. Ingin sekali dia mendobrak pintu kaca itu. Namun, itu jelas tak mungkin."Ckk, lama banget, sih! Nggak tahu apa yang nunggu diluar ini deg-degan banget." Sandi mulai berdecak kesal, dia kembali menegakkan punggungnya yang terasa pegal.Berulang kali juga gerakan itu dia lakukan hanya untuk mengurangi rasa takut yang kian menggebu. Kembali dia berjalan mondar-mandir di depan ruang operasi."Kenapa lama banget, sih, keluarnya! Cepat dong, D

  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 6. Ruang Operasi

    Bayu menarik kedua sudut bibirnya dengan semangat. Keputusan itulah yang sedari tadi dia tunggu. Kalau sampai keluarga pasien tak mau mengambil tindakan cesar, tentu saja dia akan sangat menyesal karena pasien terlambat ditangani. Baginya keselamatan pasien yang paling utama."Mak!" panggil Sandi pada mamaknya. Dia ingin memprotes akan keputusan sepihak itu."Apa?" ketus Mak Suri. Dia paham kenapa Sandi memanggilnya."Telpon Lanang dulu, Mak.""Untuk apa?""Dia suaminya. Mau gimana pun dia harus...,"Serta merta Sandi menelan mentah-mentah perkataannya kembali. Dia menutup rapat bibirnya karena Mak Suri melotot penuh amarah kepadanya."Dia memang suaminya! Tapi tanggung jawabnya sebagai suami mana, hah! Disuruh pulang banyak alasan dia! Sudahlah! Tak perlu tau adikmu itu! Yang penting sekarang keselamatan mantu dan cucuku yang harus diutamakan. Nggak penting ngasih kabar ke dia! Anak gak tau diuntung dia itu!"Tanpa rasa sungkan di depan perawat, Mak Suri memotong perkataan Sandi deng

  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 5. Air Ketuban.

    Sungguh, kali ini harapan mereka sudah sirna. Adik satu-satunya itu telah berdusta untuk kesekian kalinya. Kebohongan demi kebohongan telah dia ciptakan sendiri. Lelaki yang masih berstatus suami itu tak menyadari, bahwa semua kebohongan itu telah membawanya ke dasar jurang kehancuran yang lebih dalam.Dusta yang dia lontarkan itu sakit. Dusta yang kesekian kali telah diucapkan itu mampu memporak-porandakan kepercayaan adik iparnya. Dusta itu telah merusak rasa kepercayaan dari keluarga besarnya juga.Berkali-kali Mak Suri mengucap kata istighfar dari bibirnya yang bergetar. Sekelebat bayangan beberapa hari yang lalu mulai mengganggu pikirannya. Mak Suri teringat kembali dengan sederet perkataan menantunya di dapur kala itu."Sabar, ya, Sayang. Mulai hari ini kita berjuang bersama-sama. Hanya kita yang akan berjuang dalam pertarungan ini. Ingat! Kalian jangan mengharapkan lelaki itu lagi. Kita akan melewati badai ini hingga garis finis. Mama masih mampu untuk merawat kalian dengan tan

  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 4. Membujuk Lanang.

    "Ya Tuhan, aku mohon selamatkanlah bayi dan mamanya. Permudah dan lancarkan proses kelahirannya. Tolong jangan persulit keadaannya ya, Tuhan. Kamu pasti kuat, Nana. Amin." Sandi mengusap dua telapak tangan pada wajahnya yang masih basah.Setelah memarkirkan mobil, dia melaksanakan sholat dhuha di mushola yang ada di rumah sakit. Menurutnya, di saat pagi inilah waktu yang mustajab untuk meminta kepada-Nya.Tanpa diduga, kedua pipinya telah basah. Lelaki berusia tiga puluhan itu memang tak kuat jika melihat seorang wanita yang akan melahirkan. Hatinya bisa mendadak gerimis jika melihat dengan mata sendiri. Terlebih wanita itu adik iparnya sendiri.Rasa haru dan senang berbaur menjadi perasaan sedih yang tak terkira. Sandi merasa gagal menjadi kakak lelaki satu-satunya karena tak bisa membawa pulang adiknya ke kampung.Dia jadi teringat akan percakapannya dengan Lanang. Beberapa hari lalu, Sandi terus menghubunginya. Kegiatan itu sering dia lakukan ketika kehamilan Nana memasuki usia tu

  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 3. Unit Gawat Darurat.

    "Sakit, Mak. Sakit. Aku gak kuat. Tulangku rasanya sakit semua, Mak." Nana terus merengek dengan kesakitannya yang terus bertambah.Kedua matanya sesekali terpejam karena menahan sakit yang teramat sangat. Suara rintihan itu terdengar sangat menyayat hati bagi Mak Suri dan Sandi. Keduanya merasa sangat bersalah sekali. Karena tak berhasil membujuk Lanang untuk pulang kampung barang sebentar."Sabar, ya, Na, sabar. Jangan ngomong begitu. Tahan dulu. Bentar lagi kita sampai rumah sakit. Sabar Nak'e. Ada Mamak disini." Mak Suri masih terus mengusap dahi Nana yang sudah basah dengan keringat.Mesin pendingin dalam mobil itu seolah tak berguna, karena Nana terus saja berkeringat.Dengan telaten Mak Suri juga memijat kedua kaki Nana yang lurus ke depan. Beruntungnya tas bawaan yang berisi perlengkapan bayi itu lebih besar. Jadi, bisa dipakai sebagai pijakan untuk kedua kakinya yang menjuntai ke bawah.Mak Suri berharap dengan pijatan itu bisa membuat Nana lebih rileks. Sesekali Mak Suri tam

DMCA.com Protection Status