Bayu menarik kedua sudut bibirnya dengan semangat. Keputusan itulah yang sedari tadi dia tunggu. Kalau sampai keluarga pasien tak mau mengambil tindakan cesar, tentu saja dia akan sangat menyesal karena pasien terlambat ditangani. Baginya keselamatan pasien yang paling utama.
"Mak!" panggil Sandi pada mamaknya. Dia ingin memprotes akan keputusan sepihak itu.
"Apa?" ketus Mak Suri. Dia paham kenapa Sandi memanggilnya.
"Telpon Lanang dulu, Mak."
"Untuk apa?"
"Dia suaminya. Mau gimana pun dia harus...,"
Serta merta Sandi menelan mentah-mentah perkataannya kembali. Dia menutup rapat bibirnya karena Mak Suri melotot penuh amarah kepadanya.
"Dia memang suaminya! Tapi tanggung jawabnya sebagai suami mana, hah! Disuruh pulang banyak alasan dia! Sudahlah! Tak perlu tau adikmu itu! Yang penting sekarang keselamatan mantu dan cucuku yang harus diutamakan. Nggak penting ngasih kabar ke dia! Anak gak tau diuntung dia itu!"
Tanpa rasa sungkan di depan perawat, Mak Suri memotong perkataan Sandi dengan napas memburu.
Lelaki yang memakai kaos berwarna hitam itu hanya bisa menghela napas. Mamaknya memang keras kepala sekali. Mau tak mau dia harus menuruti kemauan itu.
"Terserah Mamak lah. Kalau Lanang marah aku nggak ikut campur."
"Oh, kau mau membangkang sama mamakmu!"
"Iya, nggak. Sana tanda tangan! Ditungguin itu sama perawatnya!" Sandi menarik pelan tangan mamaknya untuk mendekatin perawat itu.
Bayu yang merasa sungkan tak ingin ikut campur pada perdebatan itu. Baginya itu bukan ranahnya untuk ikut campur dalam urusan keluarga orang lain.
"Maaf, ya, Mas," ujar Mak suri pada perawat rumah sakit.
"Iya, nggak apa-apa, Ibu. Saya bisa memakluminya."
"Jadi, ini saya harus tanda tangan dimana, Mas? Duh, aku sudah tak sabar bertemu dengan cucuku, Mas. Mereka harus selamat semuanya, ya. Tolong bantuannya dengan maskimal, Mas!" Mak Suri meminta pena kepada Bayu. Dia sudah tak sabar ingin memberi tanda tangan pada kertas itu.
"Mari ikut saya ke bagian administrasi ya, Bu. Disana Ibu tanda tangannya."
Ketiganya berjalan beriringan ke bagian administrasi yang sedikit lebih ramai. Ada beberapa orang yang mengantri untuk menebus obat, serta mendaftar di bagian BPJS kesehatan.
Bayu meminta beberapa berkas pada bagian di loket pembayaran. Berkas itu sudah siap sebelum mereka meminta persetujuan keluarga pasien. Tanpa berpikir kembali, keduanya mulai membubuhkan tinta berwarna hitam itu pada selembar kertas putih. Setelah semua berkas ditanda tangani, Bayu pun meminta uang muka sebesar 50% untuk biaya operasi.
"Doakan kami semoga proses operasi hari ini lancar, ya, Bu, Mas. Kami akan berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan ketiganya." Sebelum balik ke ruang operasi, Bayu meminta doa pada keluarga Nana.
"Amin. Semoga semuanya lancar, ya, Mas."
"Amin. Terima kasih, Bu. Saya permisi."
.."Lama banget, ya, operasinya.""Udah jam berapa ini kok belum siap juga operasi itu."
"Sandi mana lagi. Jam berapa ini kok nggak keluar-keluar mereka, sih."
"Mana ini nggak ada orang lewat mau tanya jam."
"Sandi cepetan balik. Panggil mereka kenapa lama sekali operasinya." Mak Suri terus menggrutu sendiri di depan ruang operasi.
Sejak beberapa menit yang lalu operasi itu dimulai, Mak Suri terus bolak balik di depan ruang operasi. Tak sejengkal pun dia meninggalkan ruangan yang masih menyalakan lampu hijau itu di atas pintunya. Kalimat bertuliskan operasi sedang berlangsung pada lampu itu selalu dia lihat. Gerutuannya terus saja terlontar tak sabaran.
Rasa pegal pada kaki yang beralas sandal swalow tak dihiraukannya. Dia takkan tenang jika belum mendengar kabar dari ruangan yang ada di ujung lorong di lantai tiga. Lantunan dzikir dan solawat terus dia ucapkan untuk keselamatan menantu dan calon cucunya.
"Eh, itu ada orang lewat. Aku harus samperin mau tanya jam berapa sekarang."
Tergesah-gesah dia menarik langkah untuk mengejar salah satu pengunjung yang mau turun ke lantai dasar.
"Mas, Mas, saya mau tanya."
"Iya, Bu, mau tanya apa, ya, Bu?" Pengunjung itu menoleh pada Mak Suri. Dia mengabaikan lift yang sudah terbuka pintunya.
"Jam berapa sekarang, Mas?" Mak Suri menunjuk-nunjuk pergelangan tangannya."
"Oh...," Pengunjung berjenis kelamin lelaki itu melihat jam yang ada di tangan kirinya. "Sekarang jam 12 siang, Bu."
"Hah, jam 12 siang!"
"Iya, Bu."
"Oh, ya udah terima kasih, Mas."
"Sama-sama, Bu."
Seraut wajah khawatir itu semakin menyedihkan. Sudah tiga jam lebih operasi itu tak kunjung selesai. Mak Suri semakin lemas. Tak ada kabar apapun dari dalam sana.
"Inilah yang ditakutkan sama Nana. Pantas dia tak mau operasi. Operasi cesar ini banyak resikonya. Gimana kalau terjadi apa-apa sama mereka, ya, Tuhan." Sesunggukan Mak Suri menumpahkan tangisnya. Dia akan merasa bersalah sekali jika operasi itu sampai gagal.
Pada kursi tunggu yang ada di depan ruang operasi, Mak Suri menelungkupkan wajah pada kedua pahanya. Sungguh, kejadian ini semua diluar rencananya. Angan-angan untuk melahirkan secara normal malah pupus ditelan kenyataan.
"Ini semua gara-gara Lanang! Kalau saja dia tak berulah pasti Nana bisa melahirkan normal. Awas kau, Nang! Kau sudah menghancurkan mimpi menantuku! Kau harus membayar semuanya!" sungut Mak Suri menaruh dendam pada anaknya. Rasa kecewanya terlampau parah pada Lanang.
Kembali dia berjalan mondar-mandir di depan ruang operasi.
"Mak, makan dulu! Jangan mondar-mandir terus. Capek nanti kakinya."
Sandi meletakkan sebungkus plastik berwarna putih di kursi. Dia duduk disana, lalu membuka plastik transparan itu. Seketika aroma khas makanan padang menguar dari bungkusan itu.
Lelaki yang memakai jeans sobek itu baru saja datang setelah ijin keluar dari beberapa menit yang lalu. Dia memutuskan pergi ke musholah dan membeli beberapa cemilan, serta nasi bungkus untuk mamaknya.
"Nanti lah dulu, Bang, Mamak belum lapar. Lama kali operasinya, sih. Coba kau panggil mereka, Bang! Takutnya ada apa-apa, loh, itu."
"Tunggu disini saja, Mak. Mereka nggak apa-apa itu. Kan, bayinya dua jadi susah keluarnya," jawab Sandi berusaha tenang.
Nyatanya dia mulai takut. Operasi itu tak juga selesai.
"Nantilah. Tunggu mereka keluar dari sana," tolak Mak Suri. Tentu dia takkan bisa menelan apapun sebelum kabar baik itu datang.
"Makan sedikit aja, Mak. Nanti asam lambung Mamak kumat lagi. Nana pasti tak mau kalau tau Mamak kayak gini. Ayo makan sedikit saja."
Kembali Mak Suri menggeleng. Dia tak akan makan sebelum kabar baik itu datang. Duduk di kuris kembali yang dia lakukan.
Sandi kembali menghela napas. Mamaknya kalau sudah khawatir pasti nafsu makannya hilang. Akhirnya Sandi membungkus kembali nasi bungkus bertulis rumah makan pagi sore itu dengan karet. Dia simpan bungkusan itu di nakas yang ada di sebelah kursi.
"Mamak ke musholah dulu lah biar tenang pikirannya. Sudah waktunya dhuhur ini," pinta Sandi pasrah. Karena percuma tak ada yang mampu melawan keras kepalanya.
Sandi kembali melihat jam yang ada di meja resepsionis. "Hampir jam setengah satu, Mak. Ke musolah dulu lah! Sholat dulu. Biar aku yang jaga disini."
"Ya udah, Mamak ke mushola dulu. Kau disini aja jangan kemana-mana. Panggil Mamak kalau operasinya udah kelar, ya."
"Iya."
Mak Suri mengangkat bobot tubuhnya dari kursi, ditariknya langkah berat itu ke arah musolah yang ada di lantai dua.
Bersamaan dengan menghilangnya Mak Suri dibalik pintu lift, lampu hijau diatas pintu ruang operasi kembali padam. Pertanda operasi telah selesai.
Bergegas Sandi berdiri. Dia sudah tak sabar ingin melihat keponakannya. Kembali napas lega dia keluarkan. Setidaknya Mak Suri takkan histeris karena melihat keadaan Nana dan cucunya saat pertama kali.
"Semoga saja kabar baik yang aku dengar. Tapi kenapa pintu itu tak kunjung terbuka." Sandi mulai terserang rasa panik yang tak berujung.
Rasa sabarnya sudah diambang batas, karena pintu itu tak kunjung terbuka. Ingin rasanya dia melabrak dokter itu yang terasa lambat menangani satu pasien.
"Emrgency! Emergency! Permisi Pak mau lewat! Pasien di dalam tak bisa menunggu lagi! Maaf permisi!"
Bersambung....
🍁🍁🍁🍁
Lampu berwarna hijau itu telah padam sejak sepuluh menit yang lalu, namun belum ada satupun dari tim dokter yang keluar dari ruangan bernuansa putih itu. Perasaan cemas mulai menggangu pikiran Sandi. Dia mulai tak sabar menunggu kabar dari dalam ruangan yang dipakai untuk berjuang antara hidup dan mati.Sambil memejamkan mata, Sandi bersandar pada dinding dengan melipat kedua siku di dada. Jantungnya terus memompa dengan cepat. Rasa khawatirnya meningkat dengan pesat. Rasa sabarnya pun turut menipis karena pintu berlapis kaca itu tak kunjung terbuka. Ingin sekali dia mendobrak pintu kaca itu. Namun, itu jelas tak mungkin."Ckk, lama banget, sih! Nggak tahu apa yang nunggu diluar ini deg-degan banget." Sandi mulai berdecak kesal, dia kembali menegakkan punggungnya yang terasa pegal.Berulang kali juga gerakan itu dia lakukan hanya untuk mengurangi rasa takut yang kian menggebu. Kembali dia berjalan mondar-mandir di depan ruang operasi."Kenapa lama banget, sih, keluarnya! Cepat dong, D
Kulit keriput itu mulai tak enak dipandang dengan adanya jarum infus yang menancap di atasnya. Bahkan, sudah lima belas menit yang lalu, jarum kecil dengan ujungnya yang tajam itu telah menjadi pusat perhatian Sandi. Sedikit pun dia tak bisa membayangkan sesakit apa tusukan dari jarum itu, yang membuat netra dari wanita yang telah melahirkannya terus bergerak tak tenang, walau dalam keadaan matanya yang tertutup. Untuk meredakan gerakan netra itu, Sandi sering memberikan belaian lembut pada sisi lain dari kulitnya. Hanya usaha yang tak seberapa, namun dia berharap belaian itu bisa meredakan nyeri dari tusukan jarum kecil itu. Sungguh, Sandi tak menyangka, bahwa mamaknya akan terbaring lemah di ranjang yang sama dengan yang dimiliki oleh Nana dalam waktu sekarang ini. Mamaknya pasti akan marah besar, jika tahu ujung sikunya yang mulus sudah tertancap jarum yang tajam. Mamaknya pasti akan ngomel panjang lebar. Dia tak suka jika kulitnya berbekas karena luka. "Ah, sial! Kenapa harus b
Teh Ayu masih terus terisak di saat dua orang dewasa lainnya hanya memilih diam, sejak Sandi menyampaikan kabar buruk itu. Rasa yang bergelung di dalam dadanya sudah tak berbentuk lagi. Remuk redam dan hancur tak tersisa.Kabar kelahiran Nana yang seharusnya menjadi kabar paling membahagiakan, malah menjadi kabar yang paling mengoyakkan hatinya.Rasanya Teh Ayu ingin menerobos masuk pada pintu kaca ICU itu, jika saja Abah Iyan dan Sandi tak menahan aksinya sekuat tenaga. Bahkan karena aksinya itu, ada satu perawat yang mengancam akan menyuntikkan obat bius padanya, jika Teh Ayu membuat keributan lagi di dekat ruangan ICU.Akibat ancaman itu, Teh ayu mengurungkan niatnya, dan lebih memilih menunggu pada kursi tunggu yang sepi pengunjungnya. Ketiganya pun sepakat akan menunggu dua pasien dari keluarganya secara bergantian."Kenapa cobaan Nana selalu datang, ya, Abah? Apa sebenarnya salah anak itu? Tak seharusnya dia menerima cobaan ini karena kesalahan orang tuanya sendiri. Justrsu haru
Seketika Sandi terduduk pada kursi tunggu saat pesan itu terbaca olehnya. Hampir saja dia mengumpat keras setelah pesan itu terpampang nyata di depan matanya sendiri. Refleks pegangannya mengerat pada ponsel yang masih ada dalam genggaman. Beruntungnya ponsel itu berada dalam jangkauannya. Kalau sampai Emak dan orang tua Nana yang mengetahui pesan itu yang pertama kali, pasti bakalan heboh isi rumah sakit ini."Brengsek! Nomer siapa ini! Berani sekali dia mengancam Nana seperti ini!"Kembali Sandi membaca pesan itu lagi. Tatapannya mulai berkilat, bertanda emosinya semakin meningkat. Deru napasnya mulai memburu. Sepertinya pesan itu bukanlah main-main."Berani sekali dia ngirim pesan ancaman kayak gini! Ternyata ada yang mau macam-macam sama keluargaku!" Berulang kali Sandi menghardik keras. Dia tak terima salah satu keluarganya diancam seperti itu.Beruntungnnya lorong rumah sakit masih dalam keadaan sepi. Tumben sekali tak ada lalu lalang manusia seperti biasanya.Setelah puas meng
Bab. 11.Tuut… Tuut… Tuut…Dua layar monitor yang terletak di samping kanan dan kiri ranjang pesakitan itu selalu mengeluarkan suara, sejak kegunaannya dipakai dari sehari yang lalu. Suara yang disebut sebagai tanda nyawa yang masih ada dalam raga itu tak pernah berhenti berbunyi. Di balik pintu kaca transparan, Teh Ayu beserta Abah Iyan menatap wajah pucat yang terhalangi oleh alat bantu pernapasan. Jemari kurus dan putih pucat itu terus mengepal, setelah tatapannya menangkap pemandangan di dalam ruangan dengan luas 4x4m. Dadanya terasa sakit tak bertepi. Pemandangan didepan matanya sangat menyayat hati. Anak yang selalu dia banggakan, kini terbaring lemah dan tak berdaya di ranjang itu. Hanya melalui pintu kaca inilah dia bisa melihat Nana yang tak bergerak sedikit pun. Rasa batinnya ingin berteriak, menghancurkan isi rumah sakit ini. Karena mereka lah yang membuat anaknya tak berdaya seperti itu.Sakit dalam relung hatinya sangat berdenyut nyeri, sesaat setelah kehadiran mereka d
"Halo, Bang, hallo, alhamdulillah akhirnya tersambung juga. Abang susah banget, sih, dihubungi. Macam nunggu aku lahiran aja, loh, lama banget nyambungnya. Abang sehat-sehat, kan, disana?" Nana tersenyum lebar ketika sambungan video call-nya dijawab oleh suaminya."Berisik, Na! Jangan teriak-teriak gitulah! Malu sama temen Abang disini, ah!"Nana mencebik kesal. Suaminya yang bernama Lanang Pardede itu menjawab video call-nya dengan rasa malas. Jawaban yang tak enak di dengar itu membuyarkan semangatnya yang menggebu ketika telepon itu tersambung."Apanya Abang ini? Ditelepon binik bukannya senang malah malas gitu suaranya! Tak sukanya kau aku telepon?"Wanita yang memiliki nama lengkap Nana Sudrina itu tak kalah ketus untuk membalas ucapan suaminya. Dia langsung kesal. Lanang tak menghargai usahanya yang susah payah menelponnya di ujung sana yang katanya susah sinyal.Lanang mengusap kasar wajahnya karena kelepasan. Hampir saja dia emosi saat istrinya yang di kampung menelpon. "Bukan
Lima menit berlalu, sakit di perut bagian bawahnya kembali berangsur pulih. Wanita yang baru berusia tiga puluh tahun itu balik lagi ke ranjang untuk rebahan. Kedua kakinya tak kuat lagi untuk menopang bobot tubuhnya jika terlalu lama berdiri. Dadanya naik turun karena menahan beban dua janin dalam perut. Kehamilan yang kedua kali ini memang sangat dijaga sekali.Belajar dari kehamilan pertamanya yang gagal saat usia pernikahannya baru tiga tahun, Nana sangat menjaga pola makan dan hidup sehatnya selama kehamilan keduanya itu terdeteksi.Semua pantangan yang tak boleh selalu dia hindari. Walaupun untuk kehamilan kedua ini, dia harus berjuang sendiri tanpa pengawasan dari suaminya. Dia sangat bersyukur karena janin yang ada dalam kandungannya tidak begitu rewel."Aduh, duh, perutku mules lagi. Aww, sakit. Aduh, Mak'e. Perutku sakit."Nana mengerang kesakitan. Gelombang cinta dalam perutnya datang kembali. Sepertinya kontraksi pada perutnya mulai sering datang. Dia harus menelpon.Mamak
"Sakit, Mak. Sakit. Aku gak kuat. Tulangku rasanya sakit semua, Mak." Nana terus merengek dengan kesakitannya yang terus bertambah.Kedua matanya sesekali terpejam karena menahan sakit yang teramat sangat. Suara rintihan itu terdengar sangat menyayat hati bagi Mak Suri dan Sandi. Keduanya merasa sangat bersalah sekali. Karena tak berhasil membujuk Lanang untuk pulang kampung barang sebentar."Sabar, ya, Na, sabar. Jangan ngomong begitu. Tahan dulu. Bentar lagi kita sampai rumah sakit. Sabar Nak'e. Ada Mamak disini." Mak Suri masih terus mengusap dahi Nana yang sudah basah dengan keringat.Mesin pendingin dalam mobil itu seolah tak berguna, karena Nana terus saja berkeringat.Dengan telaten Mak Suri juga memijat kedua kaki Nana yang lurus ke depan. Beruntungnya tas bawaan yang berisi perlengkapan bayi itu lebih besar. Jadi, bisa dipakai sebagai pijakan untuk kedua kakinya yang menjuntai ke bawah.Mak Suri berharap dengan pijatan itu bisa membuat Nana lebih rileks. Sesekali Mak Suri tam
Bab. 11.Tuut… Tuut… Tuut…Dua layar monitor yang terletak di samping kanan dan kiri ranjang pesakitan itu selalu mengeluarkan suara, sejak kegunaannya dipakai dari sehari yang lalu. Suara yang disebut sebagai tanda nyawa yang masih ada dalam raga itu tak pernah berhenti berbunyi. Di balik pintu kaca transparan, Teh Ayu beserta Abah Iyan menatap wajah pucat yang terhalangi oleh alat bantu pernapasan. Jemari kurus dan putih pucat itu terus mengepal, setelah tatapannya menangkap pemandangan di dalam ruangan dengan luas 4x4m. Dadanya terasa sakit tak bertepi. Pemandangan didepan matanya sangat menyayat hati. Anak yang selalu dia banggakan, kini terbaring lemah dan tak berdaya di ranjang itu. Hanya melalui pintu kaca inilah dia bisa melihat Nana yang tak bergerak sedikit pun. Rasa batinnya ingin berteriak, menghancurkan isi rumah sakit ini. Karena mereka lah yang membuat anaknya tak berdaya seperti itu.Sakit dalam relung hatinya sangat berdenyut nyeri, sesaat setelah kehadiran mereka d
Seketika Sandi terduduk pada kursi tunggu saat pesan itu terbaca olehnya. Hampir saja dia mengumpat keras setelah pesan itu terpampang nyata di depan matanya sendiri. Refleks pegangannya mengerat pada ponsel yang masih ada dalam genggaman. Beruntungnya ponsel itu berada dalam jangkauannya. Kalau sampai Emak dan orang tua Nana yang mengetahui pesan itu yang pertama kali, pasti bakalan heboh isi rumah sakit ini."Brengsek! Nomer siapa ini! Berani sekali dia mengancam Nana seperti ini!"Kembali Sandi membaca pesan itu lagi. Tatapannya mulai berkilat, bertanda emosinya semakin meningkat. Deru napasnya mulai memburu. Sepertinya pesan itu bukanlah main-main."Berani sekali dia ngirim pesan ancaman kayak gini! Ternyata ada yang mau macam-macam sama keluargaku!" Berulang kali Sandi menghardik keras. Dia tak terima salah satu keluarganya diancam seperti itu.Beruntungnnya lorong rumah sakit masih dalam keadaan sepi. Tumben sekali tak ada lalu lalang manusia seperti biasanya.Setelah puas meng
Teh Ayu masih terus terisak di saat dua orang dewasa lainnya hanya memilih diam, sejak Sandi menyampaikan kabar buruk itu. Rasa yang bergelung di dalam dadanya sudah tak berbentuk lagi. Remuk redam dan hancur tak tersisa.Kabar kelahiran Nana yang seharusnya menjadi kabar paling membahagiakan, malah menjadi kabar yang paling mengoyakkan hatinya.Rasanya Teh Ayu ingin menerobos masuk pada pintu kaca ICU itu, jika saja Abah Iyan dan Sandi tak menahan aksinya sekuat tenaga. Bahkan karena aksinya itu, ada satu perawat yang mengancam akan menyuntikkan obat bius padanya, jika Teh Ayu membuat keributan lagi di dekat ruangan ICU.Akibat ancaman itu, Teh ayu mengurungkan niatnya, dan lebih memilih menunggu pada kursi tunggu yang sepi pengunjungnya. Ketiganya pun sepakat akan menunggu dua pasien dari keluarganya secara bergantian."Kenapa cobaan Nana selalu datang, ya, Abah? Apa sebenarnya salah anak itu? Tak seharusnya dia menerima cobaan ini karena kesalahan orang tuanya sendiri. Justrsu haru
Kulit keriput itu mulai tak enak dipandang dengan adanya jarum infus yang menancap di atasnya. Bahkan, sudah lima belas menit yang lalu, jarum kecil dengan ujungnya yang tajam itu telah menjadi pusat perhatian Sandi. Sedikit pun dia tak bisa membayangkan sesakit apa tusukan dari jarum itu, yang membuat netra dari wanita yang telah melahirkannya terus bergerak tak tenang, walau dalam keadaan matanya yang tertutup. Untuk meredakan gerakan netra itu, Sandi sering memberikan belaian lembut pada sisi lain dari kulitnya. Hanya usaha yang tak seberapa, namun dia berharap belaian itu bisa meredakan nyeri dari tusukan jarum kecil itu. Sungguh, Sandi tak menyangka, bahwa mamaknya akan terbaring lemah di ranjang yang sama dengan yang dimiliki oleh Nana dalam waktu sekarang ini. Mamaknya pasti akan marah besar, jika tahu ujung sikunya yang mulus sudah tertancap jarum yang tajam. Mamaknya pasti akan ngomel panjang lebar. Dia tak suka jika kulitnya berbekas karena luka. "Ah, sial! Kenapa harus b
Lampu berwarna hijau itu telah padam sejak sepuluh menit yang lalu, namun belum ada satupun dari tim dokter yang keluar dari ruangan bernuansa putih itu. Perasaan cemas mulai menggangu pikiran Sandi. Dia mulai tak sabar menunggu kabar dari dalam ruangan yang dipakai untuk berjuang antara hidup dan mati.Sambil memejamkan mata, Sandi bersandar pada dinding dengan melipat kedua siku di dada. Jantungnya terus memompa dengan cepat. Rasa khawatirnya meningkat dengan pesat. Rasa sabarnya pun turut menipis karena pintu berlapis kaca itu tak kunjung terbuka. Ingin sekali dia mendobrak pintu kaca itu. Namun, itu jelas tak mungkin."Ckk, lama banget, sih! Nggak tahu apa yang nunggu diluar ini deg-degan banget." Sandi mulai berdecak kesal, dia kembali menegakkan punggungnya yang terasa pegal.Berulang kali juga gerakan itu dia lakukan hanya untuk mengurangi rasa takut yang kian menggebu. Kembali dia berjalan mondar-mandir di depan ruang operasi."Kenapa lama banget, sih, keluarnya! Cepat dong, D
Bayu menarik kedua sudut bibirnya dengan semangat. Keputusan itulah yang sedari tadi dia tunggu. Kalau sampai keluarga pasien tak mau mengambil tindakan cesar, tentu saja dia akan sangat menyesal karena pasien terlambat ditangani. Baginya keselamatan pasien yang paling utama."Mak!" panggil Sandi pada mamaknya. Dia ingin memprotes akan keputusan sepihak itu."Apa?" ketus Mak Suri. Dia paham kenapa Sandi memanggilnya."Telpon Lanang dulu, Mak.""Untuk apa?""Dia suaminya. Mau gimana pun dia harus...,"Serta merta Sandi menelan mentah-mentah perkataannya kembali. Dia menutup rapat bibirnya karena Mak Suri melotot penuh amarah kepadanya."Dia memang suaminya! Tapi tanggung jawabnya sebagai suami mana, hah! Disuruh pulang banyak alasan dia! Sudahlah! Tak perlu tau adikmu itu! Yang penting sekarang keselamatan mantu dan cucuku yang harus diutamakan. Nggak penting ngasih kabar ke dia! Anak gak tau diuntung dia itu!"Tanpa rasa sungkan di depan perawat, Mak Suri memotong perkataan Sandi deng
Sungguh, kali ini harapan mereka sudah sirna. Adik satu-satunya itu telah berdusta untuk kesekian kalinya. Kebohongan demi kebohongan telah dia ciptakan sendiri. Lelaki yang masih berstatus suami itu tak menyadari, bahwa semua kebohongan itu telah membawanya ke dasar jurang kehancuran yang lebih dalam.Dusta yang dia lontarkan itu sakit. Dusta yang kesekian kali telah diucapkan itu mampu memporak-porandakan kepercayaan adik iparnya. Dusta itu telah merusak rasa kepercayaan dari keluarga besarnya juga.Berkali-kali Mak Suri mengucap kata istighfar dari bibirnya yang bergetar. Sekelebat bayangan beberapa hari yang lalu mulai mengganggu pikirannya. Mak Suri teringat kembali dengan sederet perkataan menantunya di dapur kala itu."Sabar, ya, Sayang. Mulai hari ini kita berjuang bersama-sama. Hanya kita yang akan berjuang dalam pertarungan ini. Ingat! Kalian jangan mengharapkan lelaki itu lagi. Kita akan melewati badai ini hingga garis finis. Mama masih mampu untuk merawat kalian dengan tan
"Ya Tuhan, aku mohon selamatkanlah bayi dan mamanya. Permudah dan lancarkan proses kelahirannya. Tolong jangan persulit keadaannya ya, Tuhan. Kamu pasti kuat, Nana. Amin." Sandi mengusap dua telapak tangan pada wajahnya yang masih basah.Setelah memarkirkan mobil, dia melaksanakan sholat dhuha di mushola yang ada di rumah sakit. Menurutnya, di saat pagi inilah waktu yang mustajab untuk meminta kepada-Nya.Tanpa diduga, kedua pipinya telah basah. Lelaki berusia tiga puluhan itu memang tak kuat jika melihat seorang wanita yang akan melahirkan. Hatinya bisa mendadak gerimis jika melihat dengan mata sendiri. Terlebih wanita itu adik iparnya sendiri.Rasa haru dan senang berbaur menjadi perasaan sedih yang tak terkira. Sandi merasa gagal menjadi kakak lelaki satu-satunya karena tak bisa membawa pulang adiknya ke kampung.Dia jadi teringat akan percakapannya dengan Lanang. Beberapa hari lalu, Sandi terus menghubunginya. Kegiatan itu sering dia lakukan ketika kehamilan Nana memasuki usia tu
"Sakit, Mak. Sakit. Aku gak kuat. Tulangku rasanya sakit semua, Mak." Nana terus merengek dengan kesakitannya yang terus bertambah.Kedua matanya sesekali terpejam karena menahan sakit yang teramat sangat. Suara rintihan itu terdengar sangat menyayat hati bagi Mak Suri dan Sandi. Keduanya merasa sangat bersalah sekali. Karena tak berhasil membujuk Lanang untuk pulang kampung barang sebentar."Sabar, ya, Na, sabar. Jangan ngomong begitu. Tahan dulu. Bentar lagi kita sampai rumah sakit. Sabar Nak'e. Ada Mamak disini." Mak Suri masih terus mengusap dahi Nana yang sudah basah dengan keringat.Mesin pendingin dalam mobil itu seolah tak berguna, karena Nana terus saja berkeringat.Dengan telaten Mak Suri juga memijat kedua kaki Nana yang lurus ke depan. Beruntungnya tas bawaan yang berisi perlengkapan bayi itu lebih besar. Jadi, bisa dipakai sebagai pijakan untuk kedua kakinya yang menjuntai ke bawah.Mak Suri berharap dengan pijatan itu bisa membuat Nana lebih rileks. Sesekali Mak Suri tam