Home / Pernikahan / Membalas Suami Selingkuh / Bab. 4. Membujuk Lanang.

Share

Bab. 4. Membujuk Lanang.

last update Last Updated: 2022-12-27 01:22:05

"Ya Tuhan, aku mohon selamatkanlah bayi dan mamanya. Permudah dan lancarkan proses kelahirannya. Tolong jangan persulit keadaannya  ya, Tuhan. Kamu pasti kuat, Nana. Amin." Sandi mengusap dua telapak tangan pada wajahnya yang masih basah.

Setelah memarkirkan mobil, dia melaksanakan sholat dhuha di mushola yang ada di rumah sakit. Menurutnya, di saat pagi inilah waktu yang mustajab untuk meminta kepada-Nya.

Tanpa diduga, kedua pipinya telah basah. Lelaki berusia tiga puluhan itu memang tak kuat jika melihat seorang wanita yang akan melahirkan. Hatinya bisa mendadak gerimis jika melihat dengan mata sendiri. Terlebih wanita itu adik iparnya sendiri.

Rasa haru dan senang berbaur menjadi perasaan sedih yang tak terkira. Sandi merasa gagal menjadi kakak lelaki satu-satunya karena tak bisa membawa pulang adiknya ke kampung.

Dia jadi teringat akan percakapannya dengan Lanang. Beberapa hari lalu, Sandi terus menghubunginya. Kegiatan itu sering dia lakukan ketika kehamilan Nana memasuki usia tujuh bulan. Hanya beberapa kali saja teleponnya tersambung, selebihnya telepon itu diluar jangkauan.

"Nang, kau dimana?" Kala itu Sandi menelpon di sela jam istirahatnya di kantor.

"Ada apanya, Bang? Sibuk aja dari tadi nelpon terus. Aku lagi kerja." Lanang tak kalah ketus menjawab itu di seberang sana.

Sandi hanya bisa memijit keningnya pelan. Dia tak habis pikir dengan perubahan sikap Lanang setahun terakhir ini. Suaranya selalu tak enak jika di hubungi. Tak hanya dengannya saja dia bersikap seperti itu, tapi dengan orang tua satu-satunya itu pun Lanang tetap ketus. Tak ada lagi sopan santunnya terhadap keluarganya sendiri.

"Ketus kali kau jawabnya, Nang? Kau jadi pulang, kan, pas Nana lahiran?"

Pertanyaan itu, entah yang keberapa kali sudah terlontar dari bibirnya Sandi. Lanang menghela napas berkali-kali diujung sana sebelum menjawab pertanyaan itu. Mungkin, telinganya sudah panas dan pekak selalu mendengar pertanyaan yang sama dari keluarganya di Pekanbaru.

"Belum tau, Bang. Pekerjaanku tak bisa ditinggal."

"Tak bisa ditinggal atau kau sendiri yang tau mau? Nana mau melahirkan, Nang. Gilak kau kalau gak mau pulang."

"Dia cuma melahirkan, Bang, bukan mati, kan! Nggak usah lebay gitulah!"

"Astaga Lanang! Bagus-bagus kau ngomongnya! Dia itu istrimu! Dia yang akan melahirkan darah dagingmu sendiri! Nyebut kau, Nang! Jangan sembarangan kalau ngomong!" hardik Sandi dengan nafas memburu.

Satu tangannya mengepal kuat. Emosinya mendidih di ubun-ubun. Lanang memang sudah keterlaluan. Sikapnya sudah tak bisa ditolerir lagi.

"Halah, sudahlah! Gak usah diperbesar masalah sepele itu, Bang! Kan ada kau sama Mamak. Wakilkan aku dulu. Kerjaanku banyak. Tak bisa ditinggalkan!" Lanang membalas itu dengan lantang.

"Kau jangan macam-macam, Nang! Ini istrimu mau bertaruh nyawa. Kau jangan sampai menyesal. Apa kau tak mau ketemu anakmu untuk yang pertama kalinya, hah!"

Lagi, Sandi terus berusaha mengingatkan adik lelakinya itu. Hampir setahun lalu, Sandi sadar jika Lanang sudah salah jalan. Tapi, Sandi tak mau gegabah. Dia sudah bergerak dalam diam untuk menyadarkan Lanang agar kembali kejalan yang benar. Mau gimana pun dia tetap adiknya yang harus diselamatkan. 

"Udahlah, Bang, gak usah ribet kau. Tak usah kau koar-koar seolah tak senang aku tak pulang. Padahal kau senang, kan, tak ada aku di rumah. Kau bisa bebas mendekati istriku. Gak usah pura-pura kau, Bang!" tuduh Lanang dengan tak tau diri.

Dia yang salah tapi dia pandai berkilah. Bahasa bicaranya sudah keluar dari jalur yang semestinya.

"Jangan asal bicara kau, Nang. Tuduhanmu itu tak mendasar. Bisa-bisanya kau melontarkan tuduhan murahan itu. Istrimu itu wanita baik-baik asal kau tahu. Kau bisa menyesal karena tuduhan itu!" sungut Sandi tak terima.

"Wanita baik-baik tak akan berpacaran dengan dua lelaki bersaudara, Bang! Apa itu wanita baik-baik? Aku merasa dibohongi sama kelakuan kalian semua! Kenapa? Kaget kau, Bang, aku ngomong kayak gitu! Aku sudah tahu semua kelakuan busuk kalian dulu! Memang sama-sama murahan kalian!" cerocos Lanang tak bisa dihentikan.

"Lantang kali kau ngomong begitu, Nang! Tuduhanmu itu sangat tak masuk akal! Jangan sampai kau menyesal aku ingatkan lagi!"

"Tak masuk akal gimana? Sudahlah! Aku tak sudi bahas itu lagi! Urus itu kelahiran adik ipar kesayanganmu sendiri! Aku gak peduli! Sudah tak usah kau nelpon aku lagi! Terserah dia mau melahirkan atau gak! Aku pun ragu itu anakku!"

"Lanang!"

Tut. Tut.

Sambungan telepon itu seketika terputus tanpa hasil yang diharapkan. Pupus sudah harapannya. Sandi tak bisa lagi menjawab jika Nana menanyakan kabar adiknya itu. Sudah terlalu banyak alasan yang dia berikan pada Nana. Kali ini usahanya berakhir nihil.

Dalam bangku taman yang ada di belakang kantornya, Sandi terduduk lemas. Dia menunduk dalam sambil meremas rambutnya dengan kuat. Entah usaha apalagi yang harus dia lakukan. Kepalanya terasa mau pecah dengan kelakuan adiknya sendiri. Entah wanita mana yang berhasil menutup jalan pikiran Lanang. Dia sangat keras kepala sekali setelah hidup di perantauan.

"Bagaimana, Bang? Apa kata Lanang?"

Mendadak Sandi terperanjat kaget dari duduknya, tiba-tiba suara mamaknya terdengar dari belakang. Tubuhnya mendadak kaku, ketika Mamaknya mendaratkan bobot tubuhnya pada kursi kosong di sebelahnya. Senyum kecut tertarik dari bibir Mak Suri. Dia bisa membaca arti dari raut wajah anak sulungnya yang kusut itu.

"Kalian berdebat apa, sih? Suaramu keras sekali sampai terdengar di jalan. Ada apa? Kapan adikmu pulang? Berangkat hari ini dia, kan?" Mak Suri mengusap pelan punggung anak sulungnya.

Wanita yang memakai gamis polos berwarna hitam itu sengaja datang ke kantor Sandi untuk mengantarkan makan siang. Dia sengaja menyusul Sandi ke kantor untuk pembahasan tentang adiknya. Mak Suri tak mau Nana mendengar pembicaraan mereka.

"Gimana, San? Apa kata adikmu? Dia bisa pulang, kan? Jangan diam aja kau ini!" Mak Suri mulai mendesis. Dia menggeplak punggung anak sulungnya itu yang melamun.

"Adikmu tak mau pulang, kan?" lanjut mamaknya lagi.

Sandi hanya mampu terdiam. Tak ada alasan lagi untuknya berkilah. Otaknya mulai berpikir. Jawaban apa yang harus diberikan.

"Bukan tau mau, Mak, tapi belum bisa pulang." Akhirnya Sandi menjawab itu agar perasaan mamaknya tenang.

"Tak usah kau tutupi semuanya, Bang. Mamak dengar tadi. Dari suaramu yang keras tadi, pasti Lanang tak mau pulang. Dasar anak durhaka memang dia itu! Menyesal Mamak punya anak kayak dia!"

"Entah lah, Mak. Makin susah dia di nasehati. Tak bisa lagi kata-kataku di dengar sama dia. Sudah lupa diri dia disana." Sandi mulai menerangkan itu dengan nada lemah.

Mau tak mau dia harus membuka semuanya di depan mamaknya. Hanya kepasrahan yang bisa dia lakukan saat ini.

"Jangan sampai Nana tahu hal ini, Bang. Tolong rahasiakan ini semua sampai dia melahirkan. Mamak takut mental dia terpukul saat tahu yang sebenarnya. Malang kali nasib anak itu. Bagus dulu dia aku nikahkan sama kau aja, Bang. Menyesal Mamak."

"Sudahlah, Mak. Tak perlu menyesali yang sudah terjadi. Aku akan berusaha menyadarkan ketersesatan Lanang di sana."

🍁🍁🍁🍁

Related chapters

  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 5. Air Ketuban.

    Sungguh, kali ini harapan mereka sudah sirna. Adik satu-satunya itu telah berdusta untuk kesekian kalinya. Kebohongan demi kebohongan telah dia ciptakan sendiri. Lelaki yang masih berstatus suami itu tak menyadari, bahwa semua kebohongan itu telah membawanya ke dasar jurang kehancuran yang lebih dalam.Dusta yang dia lontarkan itu sakit. Dusta yang kesekian kali telah diucapkan itu mampu memporak-porandakan kepercayaan adik iparnya. Dusta itu telah merusak rasa kepercayaan dari keluarga besarnya juga.Berkali-kali Mak Suri mengucap kata istighfar dari bibirnya yang bergetar. Sekelebat bayangan beberapa hari yang lalu mulai mengganggu pikirannya. Mak Suri teringat kembali dengan sederet perkataan menantunya di dapur kala itu."Sabar, ya, Sayang. Mulai hari ini kita berjuang bersama-sama. Hanya kita yang akan berjuang dalam pertarungan ini. Ingat! Kalian jangan mengharapkan lelaki itu lagi. Kita akan melewati badai ini hingga garis finis. Mama masih mampu untuk merawat kalian dengan tan

    Last Updated : 2022-12-27
  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 6. Ruang Operasi

    Bayu menarik kedua sudut bibirnya dengan semangat. Keputusan itulah yang sedari tadi dia tunggu. Kalau sampai keluarga pasien tak mau mengambil tindakan cesar, tentu saja dia akan sangat menyesal karena pasien terlambat ditangani. Baginya keselamatan pasien yang paling utama."Mak!" panggil Sandi pada mamaknya. Dia ingin memprotes akan keputusan sepihak itu."Apa?" ketus Mak Suri. Dia paham kenapa Sandi memanggilnya."Telpon Lanang dulu, Mak.""Untuk apa?""Dia suaminya. Mau gimana pun dia harus...,"Serta merta Sandi menelan mentah-mentah perkataannya kembali. Dia menutup rapat bibirnya karena Mak Suri melotot penuh amarah kepadanya."Dia memang suaminya! Tapi tanggung jawabnya sebagai suami mana, hah! Disuruh pulang banyak alasan dia! Sudahlah! Tak perlu tau adikmu itu! Yang penting sekarang keselamatan mantu dan cucuku yang harus diutamakan. Nggak penting ngasih kabar ke dia! Anak gak tau diuntung dia itu!"Tanpa rasa sungkan di depan perawat, Mak Suri memotong perkataan Sandi deng

    Last Updated : 2023-02-16
  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 7. Pre Eklamsia

    Lampu berwarna hijau itu telah padam sejak sepuluh menit yang lalu, namun belum ada satupun dari tim dokter yang keluar dari ruangan bernuansa putih itu. Perasaan cemas mulai menggangu pikiran Sandi. Dia mulai tak sabar menunggu kabar dari dalam ruangan yang dipakai untuk berjuang antara hidup dan mati.Sambil memejamkan mata, Sandi bersandar pada dinding dengan melipat kedua siku di dada. Jantungnya terus memompa dengan cepat. Rasa khawatirnya meningkat dengan pesat. Rasa sabarnya pun turut menipis karena pintu berlapis kaca itu tak kunjung terbuka. Ingin sekali dia mendobrak pintu kaca itu. Namun, itu jelas tak mungkin."Ckk, lama banget, sih! Nggak tahu apa yang nunggu diluar ini deg-degan banget." Sandi mulai berdecak kesal, dia kembali menegakkan punggungnya yang terasa pegal.Berulang kali juga gerakan itu dia lakukan hanya untuk mengurangi rasa takut yang kian menggebu. Kembali dia berjalan mondar-mandir di depan ruang operasi."Kenapa lama banget, sih, keluarnya! Cepat dong, D

    Last Updated : 2023-02-16
  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 8. Dendam Semerah Darah.

    Kulit keriput itu mulai tak enak dipandang dengan adanya jarum infus yang menancap di atasnya. Bahkan, sudah lima belas menit yang lalu, jarum kecil dengan ujungnya yang tajam itu telah menjadi pusat perhatian Sandi. Sedikit pun dia tak bisa membayangkan sesakit apa tusukan dari jarum itu, yang membuat netra dari wanita yang telah melahirkannya terus bergerak tak tenang, walau dalam keadaan matanya yang tertutup. Untuk meredakan gerakan netra itu, Sandi sering memberikan belaian lembut pada sisi lain dari kulitnya. Hanya usaha yang tak seberapa, namun dia berharap belaian itu bisa meredakan nyeri dari tusukan jarum kecil itu. Sungguh, Sandi tak menyangka, bahwa mamaknya akan terbaring lemah di ranjang yang sama dengan yang dimiliki oleh Nana dalam waktu sekarang ini. Mamaknya pasti akan marah besar, jika tahu ujung sikunya yang mulus sudah tertancap jarum yang tajam. Mamaknya pasti akan ngomel panjang lebar. Dia tak suka jika kulitnya berbekas karena luka. "Ah, sial! Kenapa harus b

    Last Updated : 2023-02-21
  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 9. Sebuah Pesan.

    Teh Ayu masih terus terisak di saat dua orang dewasa lainnya hanya memilih diam, sejak Sandi menyampaikan kabar buruk itu. Rasa yang bergelung di dalam dadanya sudah tak berbentuk lagi. Remuk redam dan hancur tak tersisa.Kabar kelahiran Nana yang seharusnya menjadi kabar paling membahagiakan, malah menjadi kabar yang paling mengoyakkan hatinya.Rasanya Teh Ayu ingin menerobos masuk pada pintu kaca ICU itu, jika saja Abah Iyan dan Sandi tak menahan aksinya sekuat tenaga. Bahkan karena aksinya itu, ada satu perawat yang mengancam akan menyuntikkan obat bius padanya, jika Teh Ayu membuat keributan lagi di dekat ruangan ICU.Akibat ancaman itu, Teh ayu mengurungkan niatnya, dan lebih memilih menunggu pada kursi tunggu yang sepi pengunjungnya. Ketiganya pun sepakat akan menunggu dua pasien dari keluarganya secara bergantian."Kenapa cobaan Nana selalu datang, ya, Abah? Apa sebenarnya salah anak itu? Tak seharusnya dia menerima cobaan ini karena kesalahan orang tuanya sendiri. Justrsu haru

    Last Updated : 2023-07-29
  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 10. Tak Terima

    Seketika Sandi terduduk pada kursi tunggu saat pesan itu terbaca olehnya. Hampir saja dia mengumpat keras setelah pesan itu terpampang nyata di depan matanya sendiri. Refleks pegangannya mengerat pada ponsel yang masih ada dalam genggaman. Beruntungnya ponsel itu berada dalam jangkauannya. Kalau sampai Emak dan orang tua Nana yang mengetahui pesan itu yang pertama kali, pasti bakalan heboh isi rumah sakit ini."Brengsek! Nomer siapa ini! Berani sekali dia mengancam Nana seperti ini!"Kembali Sandi membaca pesan itu lagi. Tatapannya mulai berkilat, bertanda emosinya semakin meningkat. Deru napasnya mulai memburu. Sepertinya pesan itu bukanlah main-main."Berani sekali dia ngirim pesan ancaman kayak gini! Ternyata ada yang mau macam-macam sama keluargaku!" Berulang kali Sandi menghardik keras. Dia tak terima salah satu keluarganya diancam seperti itu.Beruntungnnya lorong rumah sakit masih dalam keadaan sepi. Tumben sekali tak ada lalu lalang manusia seperti biasanya.Setelah puas meng

    Last Updated : 2023-07-29
  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 11. Kejang-Kejang.

    Bab. 11.Tuut… Tuut… Tuut…Dua layar monitor yang terletak di samping kanan dan kiri ranjang pesakitan itu selalu mengeluarkan suara, sejak kegunaannya dipakai dari sehari yang lalu. Suara yang disebut sebagai tanda nyawa yang masih ada dalam raga itu tak pernah berhenti berbunyi. Di balik pintu kaca transparan, Teh Ayu beserta Abah Iyan menatap wajah pucat yang terhalangi oleh alat bantu pernapasan. Jemari kurus dan putih pucat itu terus mengepal, setelah tatapannya menangkap pemandangan di dalam ruangan dengan luas 4x4m. Dadanya terasa sakit tak bertepi. Pemandangan didepan matanya sangat menyayat hati. Anak yang selalu dia banggakan, kini terbaring lemah dan tak berdaya di ranjang itu. Hanya melalui pintu kaca inilah dia bisa melihat Nana yang tak bergerak sedikit pun. Rasa batinnya ingin berteriak, menghancurkan isi rumah sakit ini. Karena mereka lah yang membuat anaknya tak berdaya seperti itu.Sakit dalam relung hatinya sangat berdenyut nyeri, sesaat setelah kehadiran mereka d

    Last Updated : 2023-10-17
  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 1. BH yang menggantung.

    "Halo, Bang, hallo, alhamdulillah akhirnya tersambung juga. Abang susah banget, sih, dihubungi. Macam nunggu aku lahiran aja, loh, lama banget nyambungnya. Abang sehat-sehat, kan, disana?" Nana tersenyum lebar ketika sambungan video call-nya dijawab oleh suaminya."Berisik, Na! Jangan teriak-teriak gitulah! Malu sama temen Abang disini, ah!"Nana mencebik kesal. Suaminya yang bernama Lanang Pardede itu menjawab video call-nya dengan rasa malas. Jawaban yang tak enak di dengar itu membuyarkan semangatnya yang menggebu ketika telepon itu tersambung."Apanya Abang ini? Ditelepon binik bukannya senang malah malas gitu suaranya! Tak sukanya kau aku telepon?"Wanita yang memiliki nama lengkap Nana Sudrina itu tak kalah ketus untuk membalas ucapan suaminya. Dia langsung kesal. Lanang tak menghargai usahanya yang susah payah menelponnya di ujung sana yang katanya susah sinyal.Lanang mengusap kasar wajahnya karena kelepasan. Hampir saja dia emosi saat istrinya yang di kampung menelpon. "Bukan

    Last Updated : 2022-12-27

Latest chapter

  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 11. Kejang-Kejang.

    Bab. 11.Tuut… Tuut… Tuut…Dua layar monitor yang terletak di samping kanan dan kiri ranjang pesakitan itu selalu mengeluarkan suara, sejak kegunaannya dipakai dari sehari yang lalu. Suara yang disebut sebagai tanda nyawa yang masih ada dalam raga itu tak pernah berhenti berbunyi. Di balik pintu kaca transparan, Teh Ayu beserta Abah Iyan menatap wajah pucat yang terhalangi oleh alat bantu pernapasan. Jemari kurus dan putih pucat itu terus mengepal, setelah tatapannya menangkap pemandangan di dalam ruangan dengan luas 4x4m. Dadanya terasa sakit tak bertepi. Pemandangan didepan matanya sangat menyayat hati. Anak yang selalu dia banggakan, kini terbaring lemah dan tak berdaya di ranjang itu. Hanya melalui pintu kaca inilah dia bisa melihat Nana yang tak bergerak sedikit pun. Rasa batinnya ingin berteriak, menghancurkan isi rumah sakit ini. Karena mereka lah yang membuat anaknya tak berdaya seperti itu.Sakit dalam relung hatinya sangat berdenyut nyeri, sesaat setelah kehadiran mereka d

  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 10. Tak Terima

    Seketika Sandi terduduk pada kursi tunggu saat pesan itu terbaca olehnya. Hampir saja dia mengumpat keras setelah pesan itu terpampang nyata di depan matanya sendiri. Refleks pegangannya mengerat pada ponsel yang masih ada dalam genggaman. Beruntungnya ponsel itu berada dalam jangkauannya. Kalau sampai Emak dan orang tua Nana yang mengetahui pesan itu yang pertama kali, pasti bakalan heboh isi rumah sakit ini."Brengsek! Nomer siapa ini! Berani sekali dia mengancam Nana seperti ini!"Kembali Sandi membaca pesan itu lagi. Tatapannya mulai berkilat, bertanda emosinya semakin meningkat. Deru napasnya mulai memburu. Sepertinya pesan itu bukanlah main-main."Berani sekali dia ngirim pesan ancaman kayak gini! Ternyata ada yang mau macam-macam sama keluargaku!" Berulang kali Sandi menghardik keras. Dia tak terima salah satu keluarganya diancam seperti itu.Beruntungnnya lorong rumah sakit masih dalam keadaan sepi. Tumben sekali tak ada lalu lalang manusia seperti biasanya.Setelah puas meng

  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 9. Sebuah Pesan.

    Teh Ayu masih terus terisak di saat dua orang dewasa lainnya hanya memilih diam, sejak Sandi menyampaikan kabar buruk itu. Rasa yang bergelung di dalam dadanya sudah tak berbentuk lagi. Remuk redam dan hancur tak tersisa.Kabar kelahiran Nana yang seharusnya menjadi kabar paling membahagiakan, malah menjadi kabar yang paling mengoyakkan hatinya.Rasanya Teh Ayu ingin menerobos masuk pada pintu kaca ICU itu, jika saja Abah Iyan dan Sandi tak menahan aksinya sekuat tenaga. Bahkan karena aksinya itu, ada satu perawat yang mengancam akan menyuntikkan obat bius padanya, jika Teh Ayu membuat keributan lagi di dekat ruangan ICU.Akibat ancaman itu, Teh ayu mengurungkan niatnya, dan lebih memilih menunggu pada kursi tunggu yang sepi pengunjungnya. Ketiganya pun sepakat akan menunggu dua pasien dari keluarganya secara bergantian."Kenapa cobaan Nana selalu datang, ya, Abah? Apa sebenarnya salah anak itu? Tak seharusnya dia menerima cobaan ini karena kesalahan orang tuanya sendiri. Justrsu haru

  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 8. Dendam Semerah Darah.

    Kulit keriput itu mulai tak enak dipandang dengan adanya jarum infus yang menancap di atasnya. Bahkan, sudah lima belas menit yang lalu, jarum kecil dengan ujungnya yang tajam itu telah menjadi pusat perhatian Sandi. Sedikit pun dia tak bisa membayangkan sesakit apa tusukan dari jarum itu, yang membuat netra dari wanita yang telah melahirkannya terus bergerak tak tenang, walau dalam keadaan matanya yang tertutup. Untuk meredakan gerakan netra itu, Sandi sering memberikan belaian lembut pada sisi lain dari kulitnya. Hanya usaha yang tak seberapa, namun dia berharap belaian itu bisa meredakan nyeri dari tusukan jarum kecil itu. Sungguh, Sandi tak menyangka, bahwa mamaknya akan terbaring lemah di ranjang yang sama dengan yang dimiliki oleh Nana dalam waktu sekarang ini. Mamaknya pasti akan marah besar, jika tahu ujung sikunya yang mulus sudah tertancap jarum yang tajam. Mamaknya pasti akan ngomel panjang lebar. Dia tak suka jika kulitnya berbekas karena luka. "Ah, sial! Kenapa harus b

  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 7. Pre Eklamsia

    Lampu berwarna hijau itu telah padam sejak sepuluh menit yang lalu, namun belum ada satupun dari tim dokter yang keluar dari ruangan bernuansa putih itu. Perasaan cemas mulai menggangu pikiran Sandi. Dia mulai tak sabar menunggu kabar dari dalam ruangan yang dipakai untuk berjuang antara hidup dan mati.Sambil memejamkan mata, Sandi bersandar pada dinding dengan melipat kedua siku di dada. Jantungnya terus memompa dengan cepat. Rasa khawatirnya meningkat dengan pesat. Rasa sabarnya pun turut menipis karena pintu berlapis kaca itu tak kunjung terbuka. Ingin sekali dia mendobrak pintu kaca itu. Namun, itu jelas tak mungkin."Ckk, lama banget, sih! Nggak tahu apa yang nunggu diluar ini deg-degan banget." Sandi mulai berdecak kesal, dia kembali menegakkan punggungnya yang terasa pegal.Berulang kali juga gerakan itu dia lakukan hanya untuk mengurangi rasa takut yang kian menggebu. Kembali dia berjalan mondar-mandir di depan ruang operasi."Kenapa lama banget, sih, keluarnya! Cepat dong, D

  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 6. Ruang Operasi

    Bayu menarik kedua sudut bibirnya dengan semangat. Keputusan itulah yang sedari tadi dia tunggu. Kalau sampai keluarga pasien tak mau mengambil tindakan cesar, tentu saja dia akan sangat menyesal karena pasien terlambat ditangani. Baginya keselamatan pasien yang paling utama."Mak!" panggil Sandi pada mamaknya. Dia ingin memprotes akan keputusan sepihak itu."Apa?" ketus Mak Suri. Dia paham kenapa Sandi memanggilnya."Telpon Lanang dulu, Mak.""Untuk apa?""Dia suaminya. Mau gimana pun dia harus...,"Serta merta Sandi menelan mentah-mentah perkataannya kembali. Dia menutup rapat bibirnya karena Mak Suri melotot penuh amarah kepadanya."Dia memang suaminya! Tapi tanggung jawabnya sebagai suami mana, hah! Disuruh pulang banyak alasan dia! Sudahlah! Tak perlu tau adikmu itu! Yang penting sekarang keselamatan mantu dan cucuku yang harus diutamakan. Nggak penting ngasih kabar ke dia! Anak gak tau diuntung dia itu!"Tanpa rasa sungkan di depan perawat, Mak Suri memotong perkataan Sandi deng

  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 5. Air Ketuban.

    Sungguh, kali ini harapan mereka sudah sirna. Adik satu-satunya itu telah berdusta untuk kesekian kalinya. Kebohongan demi kebohongan telah dia ciptakan sendiri. Lelaki yang masih berstatus suami itu tak menyadari, bahwa semua kebohongan itu telah membawanya ke dasar jurang kehancuran yang lebih dalam.Dusta yang dia lontarkan itu sakit. Dusta yang kesekian kali telah diucapkan itu mampu memporak-porandakan kepercayaan adik iparnya. Dusta itu telah merusak rasa kepercayaan dari keluarga besarnya juga.Berkali-kali Mak Suri mengucap kata istighfar dari bibirnya yang bergetar. Sekelebat bayangan beberapa hari yang lalu mulai mengganggu pikirannya. Mak Suri teringat kembali dengan sederet perkataan menantunya di dapur kala itu."Sabar, ya, Sayang. Mulai hari ini kita berjuang bersama-sama. Hanya kita yang akan berjuang dalam pertarungan ini. Ingat! Kalian jangan mengharapkan lelaki itu lagi. Kita akan melewati badai ini hingga garis finis. Mama masih mampu untuk merawat kalian dengan tan

  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 4. Membujuk Lanang.

    "Ya Tuhan, aku mohon selamatkanlah bayi dan mamanya. Permudah dan lancarkan proses kelahirannya. Tolong jangan persulit keadaannya ya, Tuhan. Kamu pasti kuat, Nana. Amin." Sandi mengusap dua telapak tangan pada wajahnya yang masih basah.Setelah memarkirkan mobil, dia melaksanakan sholat dhuha di mushola yang ada di rumah sakit. Menurutnya, di saat pagi inilah waktu yang mustajab untuk meminta kepada-Nya.Tanpa diduga, kedua pipinya telah basah. Lelaki berusia tiga puluhan itu memang tak kuat jika melihat seorang wanita yang akan melahirkan. Hatinya bisa mendadak gerimis jika melihat dengan mata sendiri. Terlebih wanita itu adik iparnya sendiri.Rasa haru dan senang berbaur menjadi perasaan sedih yang tak terkira. Sandi merasa gagal menjadi kakak lelaki satu-satunya karena tak bisa membawa pulang adiknya ke kampung.Dia jadi teringat akan percakapannya dengan Lanang. Beberapa hari lalu, Sandi terus menghubunginya. Kegiatan itu sering dia lakukan ketika kehamilan Nana memasuki usia tu

  • Membalas Suami Selingkuh   Bab. 3. Unit Gawat Darurat.

    "Sakit, Mak. Sakit. Aku gak kuat. Tulangku rasanya sakit semua, Mak." Nana terus merengek dengan kesakitannya yang terus bertambah.Kedua matanya sesekali terpejam karena menahan sakit yang teramat sangat. Suara rintihan itu terdengar sangat menyayat hati bagi Mak Suri dan Sandi. Keduanya merasa sangat bersalah sekali. Karena tak berhasil membujuk Lanang untuk pulang kampung barang sebentar."Sabar, ya, Na, sabar. Jangan ngomong begitu. Tahan dulu. Bentar lagi kita sampai rumah sakit. Sabar Nak'e. Ada Mamak disini." Mak Suri masih terus mengusap dahi Nana yang sudah basah dengan keringat.Mesin pendingin dalam mobil itu seolah tak berguna, karena Nana terus saja berkeringat.Dengan telaten Mak Suri juga memijat kedua kaki Nana yang lurus ke depan. Beruntungnya tas bawaan yang berisi perlengkapan bayi itu lebih besar. Jadi, bisa dipakai sebagai pijakan untuk kedua kakinya yang menjuntai ke bawah.Mak Suri berharap dengan pijatan itu bisa membuat Nana lebih rileks. Sesekali Mak Suri tam

DMCA.com Protection Status