"Sakit, Mak. Sakit. Aku gak kuat. Tulangku rasanya sakit semua, Mak." Nana terus merengek dengan kesakitannya yang terus bertambah.
Kedua matanya sesekali terpejam karena menahan sakit yang teramat sangat. Suara rintihan itu terdengar sangat menyayat hati bagi Mak Suri dan Sandi. Keduanya merasa sangat bersalah sekali. Karena tak berhasil membujuk Lanang untuk pulang kampung barang sebentar.
"Sabar, ya, Na, sabar. Jangan ngomong begitu. Tahan dulu. Bentar lagi kita sampai rumah sakit. Sabar Nak'e. Ada Mamak disini." Mak Suri masih terus mengusap dahi Nana yang sudah basah dengan keringat.
Mesin pendingin dalam mobil itu seolah tak berguna, karena Nana terus saja berkeringat.
Dengan telaten Mak Suri juga memijat kedua kaki Nana yang lurus ke depan. Beruntungnya tas bawaan yang berisi perlengkapan bayi itu lebih besar. Jadi, bisa dipakai sebagai pijakan untuk kedua kakinya yang menjuntai ke bawah.
Mak Suri berharap dengan pijatan itu bisa membuat Nana lebih rileks. Sesekali Mak Suri tampak memejamkan kedua mata tuanya. Dia menahan sakit pada lengannya yang berbalut gamis pulkadot. Itu di karenakan Nana terlalu kuat meremas lengannya.
Rongga dadanya terasa penuh sesak yang sulit untuk diungkapkan. Rasa malu, sakit, marah, sayang dan benci telah berbaur menjadi debaran dada yang begitu menggebu.
Dia sangat mengutuk kelakuan anak lelakinya yang hidup di perantauan sana. Istrinya di kampung tengah menanggung sakit melahirkan, malah diabaikan tanpa rasa belas kasih oleh suaminya sendiri.
"San, cepat sikit! Kasian adikmu ini. Takut brojol di jalan nanti. Selamatkan cucuku."
Mak Surti memukul sandaran jok supir berulang kali. Dia gemas pada anak sulungnya yang terasa lambat membawa mobil.
"Mak, jangan marah-marah. Nanti naik tensi Mamak lagi. Entar yang ada kita berdua yang masuk ke rumah sakit. Nanti siapa yang jagain aku kalau Mamak sakit juga," kelakar Nana berusaha memecah kekhawatiran diantara keluarga mertuanya.
Di sela kesakitannya dia masih berusaha mengingatkan kesehatan mertua satu-satunya itu.
Mak Suri semakin tak kuat menahan tangis. Refleks, wanita yang berstatus janda itu memeluk menantunya dengan kasih sayang yang luar biasa.
"Eh, Mak, kenapa pulak nangis? Aku gak apa-apa. Sakitnya udah lumayan mereda. Mamak jangan khawatir."
"Makasih ya, Nak'e, terima kasih sangatlah. Apapun yang terjadi dalam pernikahanmu, Mamak akan terus membela dan menyayangimu sepenuh hati. Maafkan Lanang ya, Na."
Nana mengurai pelukan itu. Di tengah kesakitanya itu, dia tetap berusaha tersenyum. Walau sebenarnya amarah dalam dadanya telah memenuhi di setiap rongganya. Lanang pasti akan mempertanggung jawabkan rasa sakit ini semua.
"Mamak tenang, ya, aku baik-baik aja. Maafin menantu Mamak ini yang banyak salah, ya, Mak. Doain aku biar kelahiran ini lancar dan sehat semuanya ya, Mak. Sebentar lagi Mamak ketemu sama cucu kembar Mamak ini."
Nana mencium kedua tangan Mak Suri dengan penuh kasih sayang. Dia berharap besar terhadap restu Mak Suri. Karena kedua orang tuanya belum tau tentang kabar persalinannya yang akan terjadi sebentar lagi.
"Kamu tenang, ya, Na. Mamak pasti terus berdoa untuk kalian. Semoga si Utun dan mamaknya bisa gangsar keluarnya. Keluarnya pelan- pelan, ya, Cu. Jangan buat sakit mamamu. Nenekmu ini udah nggak sabar pengin gendong kau. Cepat keluar, ya!"
Nana semakin tersenyum lebar. Rejeki yang sangat luar biasa ketika seorang menantu mendapatkan ibu mertua yang baiknya luar biasa.
Perjalanan antara rumah dan RS Awal bros yang seharusnya bisa ditempuh dalam kurun waktu 30 menit itu terpaksa harus molor menjadi 45 menit karena macet dimana-mana. Jalanan yang biasa lengang, kini berubah seperti lautan kendaraan dengan beraneka macam bentuk dan merknya.
Memang benar, saat pagi seperti ini waktunya lalu lalang berbagai kendaraan untuk keluar dari rumah.
Helaan napas tedengar lega. Mobil yang hanya berisi tiga orang itu berhenti tepat di depan ruangan UGD. Sandi Sasmono segerq keluar dari mobil dengan gerakan buru-buru.
"Tunggu di mobil, Mak! Aku panggil dokternya dulu." Lelaki dengan kedua alis tebal itu lari ke dalam UGD yang terlihat sepi.
Sekuat tenaga Sandi melawan rasa sakit dalam dada bidangnya itu. Mendadak rasa trauma beberapa tahun lalu muncul di permukaan. Akan tetapi hanya itu yang mampu dilakukannya untuk keselamatan wanita yang pernah ada di masa lalunya itu.
Mak Suri berdecak. Netranya awas ketika anak lelaki yang selalu bisa diandalkan itu keluar dari mobil. Kepanikan dalam aura wajah sulungnya itu terpampang nyata. Ada trauma terdalam dalam tatapan sendu itu.
"Rupanya masih ada trauma Abang mu itu, Na. Dia belum bisa tenang kalau ada orang lahiran. Pasti panik terus. Entah kapan hilangnya trauma itu." Mak Suri bergumam dengan kedua netranya yang terus mengikuti langkah anak sulungnya itu.
Nana tersenyum disela rintihan kesakitannya. Dia paham betul dengan rasa khawatir mertuanya.
"Biarkan aja, Mak. Pasti Bang Sandi sulit sekali melupakan kenangan pahit itu. Mau gimana pun kenangan itu sangat membekas dalam ingatannya. Siapapun akan merasakan kesedihan yang sama dan mendalam saat ada di posisi Bang Sandi."
Nana membuang pandangan ke luar jendela. Dia pun turut memandang punggung tegak itu dari balik pintu kaca bening yang tertutup. Tatapan itu berubah sendu ketika kenangan pahit itu hadir dalam bayangan ingatannya.
Kenangan itu masih terpatri dengan jelas walau sudah bertahun lamanya terkubur dalam kenangan masa lalu. Masa lalu takkan luput dalam ingatan walau sudah berlalu sekian lama.
"Aww. Sakit, Mak, sakit." Lagi, Nana mengerang kesakitan. Pembukaan rahimnya terus berjalan tanpa mengenal waktu yang terasa lambat.
"Astaga. Sepertinya kau sudah pembukaan lagi, Na. Tunggu Mamak keluar dulu, ya!" Tanpa menunggu jawaban dari Nana, Mak Suri keluar dari mobil.
Dengan cekatan Mak Suri membuka pintu mobil dengan lebar agar Nana bisa leluasa keluar dari mobil. Bertepatan dengan itu, Sandi datang dengan beberapa perawat berseragam hijau tua. Mereka juga membawa bangkar setinggi 1,5 m. Semua bekerja dengan cepat. Nana berhasil di baringkan di ranjang pesakitan itu.
"Ayo cepat Sus, anakku sudah kesakitan dari tadi. Ini bayinya kembar." Mak Suri berseru diantara keheningan dua sejoli yang pernah memiliki masa lalu itu.
"Baik, Bu. Mari ikuti kami ke ruangan yang sudah di disiapkan," sahut salah satu perawat yang memakai kacamata. Lima perawat itu mulai mendorong bangkar ke dalam UGD.
Pertolongan pertama pada ibu yang akan melahirkan harus segera dilakukan. Karena jika terlambat sedikit saja bisa fatal akibatnya. Apalagi janin yang ada dalam kandungan Nana itu kembar. Resiko yang terjadi pasti lebih besar dari kehamilan satu janin.
♤♤♤♤♤"Ya Tuhan, aku mohon selamatkanlah bayi dan mamanya. Permudah dan lancarkan proses kelahirannya. Tolong jangan persulit keadaannya ya, Tuhan. Kamu pasti kuat, Nana. Amin." Sandi mengusap dua telapak tangan pada wajahnya yang masih basah.Setelah memarkirkan mobil, dia melaksanakan sholat dhuha di mushola yang ada di rumah sakit. Menurutnya, di saat pagi inilah waktu yang mustajab untuk meminta kepada-Nya.Tanpa diduga, kedua pipinya telah basah. Lelaki berusia tiga puluhan itu memang tak kuat jika melihat seorang wanita yang akan melahirkan. Hatinya bisa mendadak gerimis jika melihat dengan mata sendiri. Terlebih wanita itu adik iparnya sendiri.Rasa haru dan senang berbaur menjadi perasaan sedih yang tak terkira. Sandi merasa gagal menjadi kakak lelaki satu-satunya karena tak bisa membawa pulang adiknya ke kampung.Dia jadi teringat akan percakapannya dengan Lanang. Beberapa hari lalu, Sandi terus menghubunginya. Kegiatan itu sering dia lakukan ketika kehamilan Nana memasuki usia tu
Sungguh, kali ini harapan mereka sudah sirna. Adik satu-satunya itu telah berdusta untuk kesekian kalinya. Kebohongan demi kebohongan telah dia ciptakan sendiri. Lelaki yang masih berstatus suami itu tak menyadari, bahwa semua kebohongan itu telah membawanya ke dasar jurang kehancuran yang lebih dalam.Dusta yang dia lontarkan itu sakit. Dusta yang kesekian kali telah diucapkan itu mampu memporak-porandakan kepercayaan adik iparnya. Dusta itu telah merusak rasa kepercayaan dari keluarga besarnya juga.Berkali-kali Mak Suri mengucap kata istighfar dari bibirnya yang bergetar. Sekelebat bayangan beberapa hari yang lalu mulai mengganggu pikirannya. Mak Suri teringat kembali dengan sederet perkataan menantunya di dapur kala itu."Sabar, ya, Sayang. Mulai hari ini kita berjuang bersama-sama. Hanya kita yang akan berjuang dalam pertarungan ini. Ingat! Kalian jangan mengharapkan lelaki itu lagi. Kita akan melewati badai ini hingga garis finis. Mama masih mampu untuk merawat kalian dengan tan
Bayu menarik kedua sudut bibirnya dengan semangat. Keputusan itulah yang sedari tadi dia tunggu. Kalau sampai keluarga pasien tak mau mengambil tindakan cesar, tentu saja dia akan sangat menyesal karena pasien terlambat ditangani. Baginya keselamatan pasien yang paling utama."Mak!" panggil Sandi pada mamaknya. Dia ingin memprotes akan keputusan sepihak itu."Apa?" ketus Mak Suri. Dia paham kenapa Sandi memanggilnya."Telpon Lanang dulu, Mak.""Untuk apa?""Dia suaminya. Mau gimana pun dia harus...,"Serta merta Sandi menelan mentah-mentah perkataannya kembali. Dia menutup rapat bibirnya karena Mak Suri melotot penuh amarah kepadanya."Dia memang suaminya! Tapi tanggung jawabnya sebagai suami mana, hah! Disuruh pulang banyak alasan dia! Sudahlah! Tak perlu tau adikmu itu! Yang penting sekarang keselamatan mantu dan cucuku yang harus diutamakan. Nggak penting ngasih kabar ke dia! Anak gak tau diuntung dia itu!"Tanpa rasa sungkan di depan perawat, Mak Suri memotong perkataan Sandi deng
Lampu berwarna hijau itu telah padam sejak sepuluh menit yang lalu, namun belum ada satupun dari tim dokter yang keluar dari ruangan bernuansa putih itu. Perasaan cemas mulai menggangu pikiran Sandi. Dia mulai tak sabar menunggu kabar dari dalam ruangan yang dipakai untuk berjuang antara hidup dan mati.Sambil memejamkan mata, Sandi bersandar pada dinding dengan melipat kedua siku di dada. Jantungnya terus memompa dengan cepat. Rasa khawatirnya meningkat dengan pesat. Rasa sabarnya pun turut menipis karena pintu berlapis kaca itu tak kunjung terbuka. Ingin sekali dia mendobrak pintu kaca itu. Namun, itu jelas tak mungkin."Ckk, lama banget, sih! Nggak tahu apa yang nunggu diluar ini deg-degan banget." Sandi mulai berdecak kesal, dia kembali menegakkan punggungnya yang terasa pegal.Berulang kali juga gerakan itu dia lakukan hanya untuk mengurangi rasa takut yang kian menggebu. Kembali dia berjalan mondar-mandir di depan ruang operasi."Kenapa lama banget, sih, keluarnya! Cepat dong, D
Kulit keriput itu mulai tak enak dipandang dengan adanya jarum infus yang menancap di atasnya. Bahkan, sudah lima belas menit yang lalu, jarum kecil dengan ujungnya yang tajam itu telah menjadi pusat perhatian Sandi. Sedikit pun dia tak bisa membayangkan sesakit apa tusukan dari jarum itu, yang membuat netra dari wanita yang telah melahirkannya terus bergerak tak tenang, walau dalam keadaan matanya yang tertutup. Untuk meredakan gerakan netra itu, Sandi sering memberikan belaian lembut pada sisi lain dari kulitnya. Hanya usaha yang tak seberapa, namun dia berharap belaian itu bisa meredakan nyeri dari tusukan jarum kecil itu. Sungguh, Sandi tak menyangka, bahwa mamaknya akan terbaring lemah di ranjang yang sama dengan yang dimiliki oleh Nana dalam waktu sekarang ini. Mamaknya pasti akan marah besar, jika tahu ujung sikunya yang mulus sudah tertancap jarum yang tajam. Mamaknya pasti akan ngomel panjang lebar. Dia tak suka jika kulitnya berbekas karena luka. "Ah, sial! Kenapa harus b
Teh Ayu masih terus terisak di saat dua orang dewasa lainnya hanya memilih diam, sejak Sandi menyampaikan kabar buruk itu. Rasa yang bergelung di dalam dadanya sudah tak berbentuk lagi. Remuk redam dan hancur tak tersisa.Kabar kelahiran Nana yang seharusnya menjadi kabar paling membahagiakan, malah menjadi kabar yang paling mengoyakkan hatinya.Rasanya Teh Ayu ingin menerobos masuk pada pintu kaca ICU itu, jika saja Abah Iyan dan Sandi tak menahan aksinya sekuat tenaga. Bahkan karena aksinya itu, ada satu perawat yang mengancam akan menyuntikkan obat bius padanya, jika Teh Ayu membuat keributan lagi di dekat ruangan ICU.Akibat ancaman itu, Teh ayu mengurungkan niatnya, dan lebih memilih menunggu pada kursi tunggu yang sepi pengunjungnya. Ketiganya pun sepakat akan menunggu dua pasien dari keluarganya secara bergantian."Kenapa cobaan Nana selalu datang, ya, Abah? Apa sebenarnya salah anak itu? Tak seharusnya dia menerima cobaan ini karena kesalahan orang tuanya sendiri. Justrsu haru
Seketika Sandi terduduk pada kursi tunggu saat pesan itu terbaca olehnya. Hampir saja dia mengumpat keras setelah pesan itu terpampang nyata di depan matanya sendiri. Refleks pegangannya mengerat pada ponsel yang masih ada dalam genggaman. Beruntungnya ponsel itu berada dalam jangkauannya. Kalau sampai Emak dan orang tua Nana yang mengetahui pesan itu yang pertama kali, pasti bakalan heboh isi rumah sakit ini."Brengsek! Nomer siapa ini! Berani sekali dia mengancam Nana seperti ini!"Kembali Sandi membaca pesan itu lagi. Tatapannya mulai berkilat, bertanda emosinya semakin meningkat. Deru napasnya mulai memburu. Sepertinya pesan itu bukanlah main-main."Berani sekali dia ngirim pesan ancaman kayak gini! Ternyata ada yang mau macam-macam sama keluargaku!" Berulang kali Sandi menghardik keras. Dia tak terima salah satu keluarganya diancam seperti itu.Beruntungnnya lorong rumah sakit masih dalam keadaan sepi. Tumben sekali tak ada lalu lalang manusia seperti biasanya.Setelah puas meng
Bab. 11.Tuut… Tuut… Tuut…Dua layar monitor yang terletak di samping kanan dan kiri ranjang pesakitan itu selalu mengeluarkan suara, sejak kegunaannya dipakai dari sehari yang lalu. Suara yang disebut sebagai tanda nyawa yang masih ada dalam raga itu tak pernah berhenti berbunyi. Di balik pintu kaca transparan, Teh Ayu beserta Abah Iyan menatap wajah pucat yang terhalangi oleh alat bantu pernapasan. Jemari kurus dan putih pucat itu terus mengepal, setelah tatapannya menangkap pemandangan di dalam ruangan dengan luas 4x4m. Dadanya terasa sakit tak bertepi. Pemandangan didepan matanya sangat menyayat hati. Anak yang selalu dia banggakan, kini terbaring lemah dan tak berdaya di ranjang itu. Hanya melalui pintu kaca inilah dia bisa melihat Nana yang tak bergerak sedikit pun. Rasa batinnya ingin berteriak, menghancurkan isi rumah sakit ini. Karena mereka lah yang membuat anaknya tak berdaya seperti itu.Sakit dalam relung hatinya sangat berdenyut nyeri, sesaat setelah kehadiran mereka d
Bab. 11.Tuut… Tuut… Tuut…Dua layar monitor yang terletak di samping kanan dan kiri ranjang pesakitan itu selalu mengeluarkan suara, sejak kegunaannya dipakai dari sehari yang lalu. Suara yang disebut sebagai tanda nyawa yang masih ada dalam raga itu tak pernah berhenti berbunyi. Di balik pintu kaca transparan, Teh Ayu beserta Abah Iyan menatap wajah pucat yang terhalangi oleh alat bantu pernapasan. Jemari kurus dan putih pucat itu terus mengepal, setelah tatapannya menangkap pemandangan di dalam ruangan dengan luas 4x4m. Dadanya terasa sakit tak bertepi. Pemandangan didepan matanya sangat menyayat hati. Anak yang selalu dia banggakan, kini terbaring lemah dan tak berdaya di ranjang itu. Hanya melalui pintu kaca inilah dia bisa melihat Nana yang tak bergerak sedikit pun. Rasa batinnya ingin berteriak, menghancurkan isi rumah sakit ini. Karena mereka lah yang membuat anaknya tak berdaya seperti itu.Sakit dalam relung hatinya sangat berdenyut nyeri, sesaat setelah kehadiran mereka d
Seketika Sandi terduduk pada kursi tunggu saat pesan itu terbaca olehnya. Hampir saja dia mengumpat keras setelah pesan itu terpampang nyata di depan matanya sendiri. Refleks pegangannya mengerat pada ponsel yang masih ada dalam genggaman. Beruntungnya ponsel itu berada dalam jangkauannya. Kalau sampai Emak dan orang tua Nana yang mengetahui pesan itu yang pertama kali, pasti bakalan heboh isi rumah sakit ini."Brengsek! Nomer siapa ini! Berani sekali dia mengancam Nana seperti ini!"Kembali Sandi membaca pesan itu lagi. Tatapannya mulai berkilat, bertanda emosinya semakin meningkat. Deru napasnya mulai memburu. Sepertinya pesan itu bukanlah main-main."Berani sekali dia ngirim pesan ancaman kayak gini! Ternyata ada yang mau macam-macam sama keluargaku!" Berulang kali Sandi menghardik keras. Dia tak terima salah satu keluarganya diancam seperti itu.Beruntungnnya lorong rumah sakit masih dalam keadaan sepi. Tumben sekali tak ada lalu lalang manusia seperti biasanya.Setelah puas meng
Teh Ayu masih terus terisak di saat dua orang dewasa lainnya hanya memilih diam, sejak Sandi menyampaikan kabar buruk itu. Rasa yang bergelung di dalam dadanya sudah tak berbentuk lagi. Remuk redam dan hancur tak tersisa.Kabar kelahiran Nana yang seharusnya menjadi kabar paling membahagiakan, malah menjadi kabar yang paling mengoyakkan hatinya.Rasanya Teh Ayu ingin menerobos masuk pada pintu kaca ICU itu, jika saja Abah Iyan dan Sandi tak menahan aksinya sekuat tenaga. Bahkan karena aksinya itu, ada satu perawat yang mengancam akan menyuntikkan obat bius padanya, jika Teh Ayu membuat keributan lagi di dekat ruangan ICU.Akibat ancaman itu, Teh ayu mengurungkan niatnya, dan lebih memilih menunggu pada kursi tunggu yang sepi pengunjungnya. Ketiganya pun sepakat akan menunggu dua pasien dari keluarganya secara bergantian."Kenapa cobaan Nana selalu datang, ya, Abah? Apa sebenarnya salah anak itu? Tak seharusnya dia menerima cobaan ini karena kesalahan orang tuanya sendiri. Justrsu haru
Kulit keriput itu mulai tak enak dipandang dengan adanya jarum infus yang menancap di atasnya. Bahkan, sudah lima belas menit yang lalu, jarum kecil dengan ujungnya yang tajam itu telah menjadi pusat perhatian Sandi. Sedikit pun dia tak bisa membayangkan sesakit apa tusukan dari jarum itu, yang membuat netra dari wanita yang telah melahirkannya terus bergerak tak tenang, walau dalam keadaan matanya yang tertutup. Untuk meredakan gerakan netra itu, Sandi sering memberikan belaian lembut pada sisi lain dari kulitnya. Hanya usaha yang tak seberapa, namun dia berharap belaian itu bisa meredakan nyeri dari tusukan jarum kecil itu. Sungguh, Sandi tak menyangka, bahwa mamaknya akan terbaring lemah di ranjang yang sama dengan yang dimiliki oleh Nana dalam waktu sekarang ini. Mamaknya pasti akan marah besar, jika tahu ujung sikunya yang mulus sudah tertancap jarum yang tajam. Mamaknya pasti akan ngomel panjang lebar. Dia tak suka jika kulitnya berbekas karena luka. "Ah, sial! Kenapa harus b
Lampu berwarna hijau itu telah padam sejak sepuluh menit yang lalu, namun belum ada satupun dari tim dokter yang keluar dari ruangan bernuansa putih itu. Perasaan cemas mulai menggangu pikiran Sandi. Dia mulai tak sabar menunggu kabar dari dalam ruangan yang dipakai untuk berjuang antara hidup dan mati.Sambil memejamkan mata, Sandi bersandar pada dinding dengan melipat kedua siku di dada. Jantungnya terus memompa dengan cepat. Rasa khawatirnya meningkat dengan pesat. Rasa sabarnya pun turut menipis karena pintu berlapis kaca itu tak kunjung terbuka. Ingin sekali dia mendobrak pintu kaca itu. Namun, itu jelas tak mungkin."Ckk, lama banget, sih! Nggak tahu apa yang nunggu diluar ini deg-degan banget." Sandi mulai berdecak kesal, dia kembali menegakkan punggungnya yang terasa pegal.Berulang kali juga gerakan itu dia lakukan hanya untuk mengurangi rasa takut yang kian menggebu. Kembali dia berjalan mondar-mandir di depan ruang operasi."Kenapa lama banget, sih, keluarnya! Cepat dong, D
Bayu menarik kedua sudut bibirnya dengan semangat. Keputusan itulah yang sedari tadi dia tunggu. Kalau sampai keluarga pasien tak mau mengambil tindakan cesar, tentu saja dia akan sangat menyesal karena pasien terlambat ditangani. Baginya keselamatan pasien yang paling utama."Mak!" panggil Sandi pada mamaknya. Dia ingin memprotes akan keputusan sepihak itu."Apa?" ketus Mak Suri. Dia paham kenapa Sandi memanggilnya."Telpon Lanang dulu, Mak.""Untuk apa?""Dia suaminya. Mau gimana pun dia harus...,"Serta merta Sandi menelan mentah-mentah perkataannya kembali. Dia menutup rapat bibirnya karena Mak Suri melotot penuh amarah kepadanya."Dia memang suaminya! Tapi tanggung jawabnya sebagai suami mana, hah! Disuruh pulang banyak alasan dia! Sudahlah! Tak perlu tau adikmu itu! Yang penting sekarang keselamatan mantu dan cucuku yang harus diutamakan. Nggak penting ngasih kabar ke dia! Anak gak tau diuntung dia itu!"Tanpa rasa sungkan di depan perawat, Mak Suri memotong perkataan Sandi deng
Sungguh, kali ini harapan mereka sudah sirna. Adik satu-satunya itu telah berdusta untuk kesekian kalinya. Kebohongan demi kebohongan telah dia ciptakan sendiri. Lelaki yang masih berstatus suami itu tak menyadari, bahwa semua kebohongan itu telah membawanya ke dasar jurang kehancuran yang lebih dalam.Dusta yang dia lontarkan itu sakit. Dusta yang kesekian kali telah diucapkan itu mampu memporak-porandakan kepercayaan adik iparnya. Dusta itu telah merusak rasa kepercayaan dari keluarga besarnya juga.Berkali-kali Mak Suri mengucap kata istighfar dari bibirnya yang bergetar. Sekelebat bayangan beberapa hari yang lalu mulai mengganggu pikirannya. Mak Suri teringat kembali dengan sederet perkataan menantunya di dapur kala itu."Sabar, ya, Sayang. Mulai hari ini kita berjuang bersama-sama. Hanya kita yang akan berjuang dalam pertarungan ini. Ingat! Kalian jangan mengharapkan lelaki itu lagi. Kita akan melewati badai ini hingga garis finis. Mama masih mampu untuk merawat kalian dengan tan
"Ya Tuhan, aku mohon selamatkanlah bayi dan mamanya. Permudah dan lancarkan proses kelahirannya. Tolong jangan persulit keadaannya ya, Tuhan. Kamu pasti kuat, Nana. Amin." Sandi mengusap dua telapak tangan pada wajahnya yang masih basah.Setelah memarkirkan mobil, dia melaksanakan sholat dhuha di mushola yang ada di rumah sakit. Menurutnya, di saat pagi inilah waktu yang mustajab untuk meminta kepada-Nya.Tanpa diduga, kedua pipinya telah basah. Lelaki berusia tiga puluhan itu memang tak kuat jika melihat seorang wanita yang akan melahirkan. Hatinya bisa mendadak gerimis jika melihat dengan mata sendiri. Terlebih wanita itu adik iparnya sendiri.Rasa haru dan senang berbaur menjadi perasaan sedih yang tak terkira. Sandi merasa gagal menjadi kakak lelaki satu-satunya karena tak bisa membawa pulang adiknya ke kampung.Dia jadi teringat akan percakapannya dengan Lanang. Beberapa hari lalu, Sandi terus menghubunginya. Kegiatan itu sering dia lakukan ketika kehamilan Nana memasuki usia tu
"Sakit, Mak. Sakit. Aku gak kuat. Tulangku rasanya sakit semua, Mak." Nana terus merengek dengan kesakitannya yang terus bertambah.Kedua matanya sesekali terpejam karena menahan sakit yang teramat sangat. Suara rintihan itu terdengar sangat menyayat hati bagi Mak Suri dan Sandi. Keduanya merasa sangat bersalah sekali. Karena tak berhasil membujuk Lanang untuk pulang kampung barang sebentar."Sabar, ya, Na, sabar. Jangan ngomong begitu. Tahan dulu. Bentar lagi kita sampai rumah sakit. Sabar Nak'e. Ada Mamak disini." Mak Suri masih terus mengusap dahi Nana yang sudah basah dengan keringat.Mesin pendingin dalam mobil itu seolah tak berguna, karena Nana terus saja berkeringat.Dengan telaten Mak Suri juga memijat kedua kaki Nana yang lurus ke depan. Beruntungnya tas bawaan yang berisi perlengkapan bayi itu lebih besar. Jadi, bisa dipakai sebagai pijakan untuk kedua kakinya yang menjuntai ke bawah.Mak Suri berharap dengan pijatan itu bisa membuat Nana lebih rileks. Sesekali Mak Suri tam