Share

Bab 141

Author: Pena_yuni
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Ini Alina, istrinya putraku."

Aku mengangguk dengan senyum manis pada wanita yang sudah sah menjadi ibu mertuaku itu.

Ijab qobul sudah selesai beberapa saat yang lalu. Saat ini, kami tengah menikmati hidangan yang disajikan seraya bercengkrama dengan sanak saudara.

Acara pernikahan Papa Gun memang sangat sederhana. Hanya ijab qobul saja, selebihnya silaturahmi antara saudara, kerabat dan sahabat.

"Selamat, ya Bunda. Mudah-mudahan jadi keluarga yang sakinah," ujarku seraya memeluk wanita cantik berhijab lebar itu.

Meskipun sudah berumur, tapi kecantikan Bunda Nur, biasa orang memanggilnya tidaklah luntur. Dengan ramahnya, ibu mertuaku itu membalas pelukanku.

"Tadi, Bunda lihat ada anak kecil di sini. Ke mana sekarang?" tanya Bunda Nur padaku.

"Oh, itu Saffa putri saya, Bunda. Tadi, dibawa Abang saya ke luar. Ke ruangan anak-anak, kalau tidak salah," ujarku seraya menunjuk pintu keluar.

Bunda Nur mengangguk paham. Dia memang sengaja memisahkan ruangan anak-anak pantinya dan kera
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Nur Hidayati
mau ketawa takut dosa heeee
goodnovel comment avatar
Kamariah Ahmad
Hehehe kan dah kena
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 142

    Kakiku berhenti melangkah bertepatan dengan Papa Gun yang juga menghampiri Dokter Kamila. Dari jarak sedekat ini, wajah cantik itu terlihat lebih memerah. Bukan karena riasan makeup, melainkan karena menahan malu. "Mari, masuk, Dokter." Papa Gun mengajak Dokter Kamila. "Tidak, Pak Gunawan. Sepertinya ... saya salah pakai baju, maaf karena saya tidak tahu dengan tema acara pernikahan Pak Gunawan," tutur Dokter Kamila gugup. "Tidak apa-apa, Dokter. Saya tahu Anda sibuk dan tidak sempat membaca dengan rinci surat undangan yang saya berikan. Tidak masalah, silahkan masuk dan menikmati hidangan dari kami," ujar Papa Gun mempersilahkan. Dokter Kamila tidak menjawab, ia menggigit bibir terlihat gugup. Pandangan Dokter Kamila mengarah padaku dengan sangat tajam. Aku membalas tatapan itu dengan seulas senyum meremehkan. Kemudian kaki ini melangkah semakin mendekat ke arahnya di saat Papa sedang diajak bicara oleh tamu sekaligus temannya. "Yakin, mau masuk?" bisikku. "Dokter akan jadi sat

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 143

    Namun .... Bukan aku yang dia pukul. Melainkan Adi yang tiba-tiba datang menarik dan memeluk tubuhku. "Pak Adi! M–maaf," ujar Dokter Kamila mengusap-usap punggung suamiku yang tadi terkena tamparannya. Cukup keras, hingga terdengar suara tamparan yang mungkin akan sakit jika terkena kulit wajahku."Kamu tidak apa-apa?" Bukannya menjawab pertanyaan Dokter Kamila, Adi malah menangkup kedua pipiku seraya bertanya. Tongkat yang dia pegang jatuh ke lantai hingga membuat suamiku harus menahan kakinya agar bisa berdiri dengan tegak. "Aku tidak apa-apa, Mas." Aku melepaskan tangan Adi, kemudian mengambil tongkat dan memberikannya pada suamiku. Sekarang tatapan tajam diberikan pria berdagu belah itu pada Dokter Kamila. Yang ditatap, semakin gugup dan risau. "Pak Adi, saya akan menjelaskan—""Tidak usah dijelaskan, Dokter. Saya sudah mendengar semuanya. Awalnya, saya respect pada Anda, tapi setelah ini sepertinya saya semakin yakin untuk tidak lagi berhubungan dengan Anda. Tolong, jangan

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 144

    Lama aku berdiri di balik gorden hanya untuk melihat suamiku. Masih sama. Dia lebih fokus pada ponsel pintarnya dengan sesekali tersenyum tanpa mengalihkan pandangan. Melihat dia seperti itu, aku jadi teringat pada masa-masa di mana Mas Haikal mulai mengenal dan dekat dengan Amira. Fokus pada ponsel, selalu tak jauh dari ponsel, lebih banyak diam dan membawa ke mana pun benda pipih itu. Dan awal aku mengetahui kebusukan dia, juga dari ponsel. Haruskah aku menyadap ponsel Adi seperti yang dulu aku lakukan pada Mas Haikal? "Mbak."Aku amat terkejut saat Bibi menepuk pundakku dari belakang. Buru-buru aku berjalan menjauhi kaca tempat aku mengintip suamiku. Bibi terlihat heran karena aku yang berjalan dengan tanpa suara. "Ada apa, Bi?" tanyaku. "Mbak Alina kenapa bisik-bisik?" Bibi balik bertanya. Aku berdehem, kemudian memberikan alasan agar wanita paruh baya itu tidak mencurigaiku yang tengah memperhatikan Adi dari kejauhan. Dan untungnya dia percaya saat aku mengatakan ingin me

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 145

    Rencana semula akan pergi ke rumah Mama sehabis maghrib, nyatanya harus pergi sekarang karena aku yang merajuk. Biarlah, Adi berpikir jika aku kesal pada dia hanya gara-gara Saffa, padahal karena dia yang mempunyai gelagat mencurigakan. "Oh, iya Mas. Tadi, kata kamu kita akan nginap di rumah Mama. Bener?" tanyaku saat kami sudah berada di mobil. "Emh ... antara benar dan tidak."Aku mengerutkan kening menatap suamiku tidak mengerti. "Maksudnya?" tanyaku lagi. "Tidak ada maksud apa-apa, Sayang .... Aduh, Nona Alina sedang sensitif sepertinya. Apa jangan-jangan kamu sedang datang bulan, ya?" "Ih, apaan, sih, gak nyambung banget, deh. Orang aku nanya seriusan, juga." Aku berucap kesal. Adi malah terkekeh melihat aku yang merengut seperti anak kecil. Tangannya menarik bahuku hingga kini aku bersandar pada pundaknya. Dia mengusap-usap kepalaku seraya meminta maaf karena telah membuatku kesal. Aku tidak menjawab maafnya, tapi juga tidak berontak dengan perlakuan manisnya. Aku sangat

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 146

    Waktu semakin beranjak malam, tapi suamiku tak kunjung keluar dari kamar. Padahal, orang tua serta anakku masih berada di ruang tengah menonton televisi. Tapi, Adi malah asik sendiri dengan dunianya. Penasaran dengan apa yang dilakukan Adi, aku pun berniat untuk melihat pria itu ke kamar. Namun, baru juga akan mengangkat bobot tubuhku, kulihat Adi berjalan menuruni anak tangga untuk sampai ke arahku. "Mah, Pah," panggil Adi membuat kedua orang tuaku menatapnya bersamaan. "Kenapa, Di?" tanya Papa. "Emm ... ini, Pah. Tadi aku dapat telepon dari pabrik, katanya ada sesuatu hal yang mengharuskan aku ke sana sekarang."Aku mengerutkan kening mendengarkan ucapan Adi. Bukankah dia ambil cuti untuk satu minggu ke depan, karena ingin fokus pada kesembuhan kakinya? Apa jangan-jangan Adi tengah berbohong dengan mengatasnamakan pekerjaan? "Oke, terus?" tanya Papa lagi. "Aku mau nitip Saffa sampai besok, soalnya ... kali ini aku akan pergi bersama Alina. Aku akan membutuhkan istriku di sana

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 147

    Cinta. Satu kata bermakna luas. Jatuh cinta. Itulah yang saat ini sedang aku rasakan. Diriku, kembali merasakan indahnya cinta kepada seorang pria yang sekarang ini tengah terlelap di sampingku. Pria berhidung bangir, berdagu belah dan berjambang tipis itu telah mencuri hatiku. Harus aku akui, kini aku benar-benar jatuh cinta padanya. Ingin selalu bersama dia dalam keadaan apa pun. Menjadikan dia pelabuhan terkahirku, pendamping hidupku. "Emmh ...." Adi melenguh saat jari jemari ini menyentuh wajahnya dari atas hingga bawah. Aku berhenti saat melihat ada pergerakan dari si dia. Tersenyum tipis, saat tangan kekar itu menarikku semakin merapat dalam dekapan hangatnya. "Kenapa melihatku seperti itu? Ingin mengulanginya lagi?" Aku membulatkan mata mendengar pertanyaan suamiku. Jadi, dia hanya pura-pura tidur? Emh, menyebalkan. Dia telah mengerjaiku, membuatku malu sendiri karena ketahuan telah menatapnya penuh cinta. "Senyam-senyum sendiri. Kenapa, Mamanya Saffa ...?" ujar Adi la

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 148

    "Tidak adakah kesempatan untuk saya menjadi bagian dari kalian?""Tidak ada," jawab Adi cepat.Wanita yang masih memakai jas dokternya mengembuskan napas kasar. Dia mengangguk lemah, kemudian kembali menatap kami bergantian.Di sinilah saat ini aku berada. Di restoran mewah untuk memenuhi undangan Dokter Kamila.Beberapa waktu yang lalu dia sempat menghubungi Adi meminta kami bertemu bertiga. Tujuannya tidak lain untuk menagih sesuatu yang tidak pernah Adi ucapkan. Dokter Kamila terang-terangan meminta suamiku untuk menikahinya. Di depan mataku, dia memohon agar aku mengijinkan dia menjadi istri kedua Adi.Mengatasnamakan wasiat ayahnya, Dokter Kamila terus membujuk Adi untuk mengabulkan permintaan terakhir Dokter Burhan. Namun, Adi menolak mentah-mentah permintaan Dokter Kamila.Dia dengan tegas mengatakan tidak akan melakukan apa yang akan menyakitiku."Dokter, lebih baik Anda fokuskan diri untuk melanjutkan pendidikan Anda, daripada terus mengejar laki-laki yang tidak akan Anda da

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 149 (Aruna) Membalas Kesombongan Mantan Suami Sahabatku

    "Alina Martadinata, Aldi Wiratmadja ...." Kusebut dua nama itu dengan tangan meremas dan menggenggam rumput yang tumbuh di kuburan sahabatku. Pandangan ini lurus ke depan, pada luasnya tanah dengan batu nisan sebagai hiasannya. Dan di sini, tepat di bawahku, ada jasad seseorang yang sudah kuanggap saudara telah terkubur. Dia pergi, mati akibat dua orang tak punya hati dan empati. Seandainya saja dulu aku berada di kota ini bersamanya, mungkin ceritanya tidak akan seperti ini. Sahabatku tidak akan mati muda dengan membawa luka. "Langit sudah menggelap, Runa. Sampai kapan kamu akan di sini?" Aku menoleh pada pria yang berdiri di sampingku, kemudian mengembuskan napas berat seraya menepuk-nepuk telapak tangan yang sedikit kotor. Kini tanganku menggenggam bunga yang kubawa, kemudian menaburkannya di atas makam sahabatku. "Aku akan di sini sampai hujan turun. Jika kamu ingin pulang, pulang saja. Aku masih ingin tetap di sini," ujarku tanpa mengalihkan pandangan dari nisan bertulis

Latest chapter

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 408 Ending season 2

    "Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 407

    Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 406

    Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 405

    Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb

  • Membalas Kesombongan Mantan   404

    Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 403 tidak marah lagi

    "Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 402 gara-gara membahas anak

    Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 401 maaf dan permintaan laki-laki di balik jeruji besi

    "Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 400 menggoda Syafiq

    "Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan

DMCA.com Protection Status