"Tidak adakah kesempatan untuk saya menjadi bagian dari kalian?""Tidak ada," jawab Adi cepat.Wanita yang masih memakai jas dokternya mengembuskan napas kasar. Dia mengangguk lemah, kemudian kembali menatap kami bergantian.Di sinilah saat ini aku berada. Di restoran mewah untuk memenuhi undangan Dokter Kamila.Beberapa waktu yang lalu dia sempat menghubungi Adi meminta kami bertemu bertiga. Tujuannya tidak lain untuk menagih sesuatu yang tidak pernah Adi ucapkan. Dokter Kamila terang-terangan meminta suamiku untuk menikahinya. Di depan mataku, dia memohon agar aku mengijinkan dia menjadi istri kedua Adi.Mengatasnamakan wasiat ayahnya, Dokter Kamila terus membujuk Adi untuk mengabulkan permintaan terakhir Dokter Burhan. Namun, Adi menolak mentah-mentah permintaan Dokter Kamila.Dia dengan tegas mengatakan tidak akan melakukan apa yang akan menyakitiku."Dokter, lebih baik Anda fokuskan diri untuk melanjutkan pendidikan Anda, daripada terus mengejar laki-laki yang tidak akan Anda da
"Alina Martadinata, Aldi Wiratmadja ...." Kusebut dua nama itu dengan tangan meremas dan menggenggam rumput yang tumbuh di kuburan sahabatku. Pandangan ini lurus ke depan, pada luasnya tanah dengan batu nisan sebagai hiasannya. Dan di sini, tepat di bawahku, ada jasad seseorang yang sudah kuanggap saudara telah terkubur. Dia pergi, mati akibat dua orang tak punya hati dan empati. Seandainya saja dulu aku berada di kota ini bersamanya, mungkin ceritanya tidak akan seperti ini. Sahabatku tidak akan mati muda dengan membawa luka. "Langit sudah menggelap, Runa. Sampai kapan kamu akan di sini?" Aku menoleh pada pria yang berdiri di sampingku, kemudian mengembuskan napas berat seraya menepuk-nepuk telapak tangan yang sedikit kotor. Kini tanganku menggenggam bunga yang kubawa, kemudian menaburkannya di atas makam sahabatku. "Aku akan di sini sampai hujan turun. Jika kamu ingin pulang, pulang saja. Aku masih ingin tetap di sini," ujarku tanpa mengalihkan pandangan dari nisan bertulis
"Tante?" "Kamu benar Aruna temannya Rindu, 'kan?" "Iya, Tante. Saya Aruna. Tante apa kabar?" tanyaku sangat senang bisa bertemu wanita yang tak lain ibu dari Rindu. Tante Arini, wanita berhijab yang cantik dan anggun itu menjawab pertanyaanku dengan mata yang berkaca-kaca. Dia membawaku ke sebuah kafe yang tak jauh dari sini, kemudian kami mengobrol membahas masa laluku bersama mendiang putri sulungnya. "Lihat kamu, Tante jadi ingat Rindu, lagi. Kamu ke mana saja, Aruna? Kenapa tidak kelihatan?" tanya Tante Arini mengusap-usap punggung tanganku. "Aruna kembali ke kampung untuk mengurus Ibu, Tante. Waktu mendengar kabar Rindu meninggal, saya kaget, ingin ke sini tapi tidak bisa karena Ibu terkena stroke, tidak bisa ditinggal." Lagi pula saat itu, kabar tersebut terlambat datang. "Maafkan Runa, ya Tante." Mata yang tadi berkaca-kaca, kini meneteskan air mata. Wajah keriput Tante Arini terlihat begitu sedih mengenang putrinya yang telah tiada. Aku menguatkan diriku, turut menginga
"Apa perkataanku kurang jelas?" Damar menatapku semakin tajam seperti elang yang akan menerkam mangsanya. "Gila. Apa tidak ada cara lain selain itu?" tanyaku kembali. "Apa kamu punya ide lain? Itu satu-satunya cara agar pernikahan mereka batal. Si Naima dan keluarganya pasti akan kecewa berat, lalu memutuskan pernikahan mereka. Dan si Aldi, dia pasti—""Akan membenciku, kemudian habislah riwayatku sampai saat itu. Kita tidak bisa menikmati uangnya, seperti yang kamu inginkan, Dam. Kita tidak akan dapat apa-apa dari ide gila kamu itu!" "Kamu akan menikah dengannya, Aruna.""Dengan suami yang membenciku, dengan keluarganya yang merendahkanku? Tidak, tidak seperti itu, Damar!"Aku berdiri seraya berkacak pinggang. Damar pun melakukan hal yang sama. Kaki pincangnya berjalan mendekatiku dan masih dengan tatapan nyalang. Di bawahku, Luna duduk seraya menikmati makanannya. Dia tidak terganggu sama sekali dengan perdebatanku dan Damar. Hal yang sudah biasa dia lihat, sejak kami tinggal b
"Ah, iya, hanya hadiah kecil." Aldi menjawab santai. Aku menunduk, membungkukkan badan ke arah wanita dengan perut buncitnya itu. Kemudian kembali ke mejaku dan membiarkan Alina menghampiri meja kakaknya. "Hadiah kecil apa?" tanya Alina lagi masih belum puas dengan jawaban kakaknya. "Lipstik. Punya dia yang ketinggalan di mobil Abang buang, soalnya." Alina membulatkan mulut, mengangguk-anggukkan kepala. Kemudian, pertanyaan diberikan Aldi pada Alina atas maksud kedatangannya ke sini. "Aku mau ajak Aruna buat pergi menemaniku, Bang."Aku yang mendengar ucapan Alina, langsung melihat ke arah kakak beradik itu. Entah untuk apa dia memintaku pergi bersamanya, tapi jujur saja aku tidak akan menolak jika Aldi memerintahkanku untuk pergi. Selain karena aku pesuruh yang tidak boleh menolak perintah atasan, juga karena aku akan memiliki kesempatan untuk mengenal wanita itu lebih dekat lagi. Syukur-syukur bisa mencelakai dia untuk membuat hati Damar bahagia. "Pergi ke mana? Kamu sedang h
[Aku tahu kamu sedang bersama Alina. Celakai dia selagi ada kesempatan, Aruna.]Pesan yang dikirim Damar terbayang-bayang, membuatku beberapa kali membuang napas dengan kasar. Aku tahu ini kesempatan, tapi apa harus mencelakai diriku sendiri? Itu tindakan bodoh yang pasti akan merugikanku. Kenapa ia begitu sembrono dan gegabah?"Ada apa, Aruna? Sepertinya kamu tidak baik-baik saja setelah melihat ponsel?" ujar Alina membuatku menoleh ke arahnya. "Ah, tidak apa-apa, Bu. Tadi adik saya yang mengirimkan pesan." Aku berdusta dengan lancar. "Apa ada masalah?" tanyanya lagi. Aku menggelengkan kepala dengan senyum tipis. Namun, Alina tidak diam dan terus bertanya tentang asal-usul keluargaku. Menanyakan bersama siapa aku tinggal dan apakah adikku laki-laki atau perempuan. Sambil terus memikirkan perintah Damar, aku menjawab semua yang dia tanyakan agar tidak menimbulkan kecurigaan. Alina hanya mengangguk pelan setelah aku menceritakan tentang aku dan Luna yang sudah tidak memiliki oran
"Apa harus di sini?" tanyaku seraya mengeratkan gigi. "Lakukan sekarang, bodoh!" umpatnya seraya berlalu. Aku memejamkan mata sejenak, kemudian membukanya kembali dan bergegas pergi mengikuti langkah kaki Alina. Wanita itu benar-benar membuat hidupku menjadi sulit. Aku harus segera melenyapkannya agar Rindu dan Damar bisa tersenyum bahagia. Jadi aku juga bisa turut berbahagia.Bunyi pantofel yang bersentuhan dengan lantai menghadirkan suara layaknya genderang perang yang memberikan kobaran semangat untukku bertindak cepat dalam menyingkirkan Alina. Membuat wanita itu celaka, bahkan sampai tiada. Aku menarik napas dalam-dalam, kemudian menghampiri Alina yang tengah duduk di kursi dengan pandangan lurus ke depan melihat beberapa perhiasan yang terpajang indah di sana. Otakku langsung memiliki pikiran buruk saat melihat posisi Alina yang akan mudah sekali untuk aku celakai. Dengan tekad yang kuat, kulangkahkan kaki semakin cepat seraya kedua tangan memegang kepala layaknya orang yan
Aku memekik kaget saat tangan seseorang menampar sebelah pipiku hingga rasa panas menjalar ke seluruh aliran tubuh. Pandangan ini kupertajam menatap seorang pria yang berdiri dengan wajah buruk penuh amarah. "Damar? Sedang apa kamu di toilet wanita?" tanyaku masih memegangi pipi yang tadi ditamparnya. Ah, bodohnya aku. Harusnya pertanyaan itu tidak aku berikan pada Damar. Sudah pasti kedatangan dia ke sini untuk membahas kegagalan yang kulakukan tadi. Damar pasti melihatnya. Damar mendorong dadaku dengan kasar hingga saat ini aku dan dia benar-benar berada di dalam ruangan kecil dan sempit ini. Aku tidak berani bertanya lagi hingga akhirnya tangan besar Damar mencengkram rahangku dengan kuat. "Bodoh!" semprotnya di depan wajahku hingga hembusan napas dia terasa hangat menerpa kulitku. "Aku hampir berhasil, tapi tiba-tiba—""Makanya melek, lihat dulu sebelum bertindak! Kedatangan Adikara satu langkah di belakangmu. Dan kamu tidak menyadari itu?!" "Jika pun aku tahu dia ada di sa