"Tante?" "Kamu benar Aruna temannya Rindu, 'kan?" "Iya, Tante. Saya Aruna. Tante apa kabar?" tanyaku sangat senang bisa bertemu wanita yang tak lain ibu dari Rindu. Tante Arini, wanita berhijab yang cantik dan anggun itu menjawab pertanyaanku dengan mata yang berkaca-kaca. Dia membawaku ke sebuah kafe yang tak jauh dari sini, kemudian kami mengobrol membahas masa laluku bersama mendiang putri sulungnya. "Lihat kamu, Tante jadi ingat Rindu, lagi. Kamu ke mana saja, Aruna? Kenapa tidak kelihatan?" tanya Tante Arini mengusap-usap punggung tanganku. "Aruna kembali ke kampung untuk mengurus Ibu, Tante. Waktu mendengar kabar Rindu meninggal, saya kaget, ingin ke sini tapi tidak bisa karena Ibu terkena stroke, tidak bisa ditinggal." Lagi pula saat itu, kabar tersebut terlambat datang. "Maafkan Runa, ya Tante." Mata yang tadi berkaca-kaca, kini meneteskan air mata. Wajah keriput Tante Arini terlihat begitu sedih mengenang putrinya yang telah tiada. Aku menguatkan diriku, turut menginga
"Apa perkataanku kurang jelas?" Damar menatapku semakin tajam seperti elang yang akan menerkam mangsanya. "Gila. Apa tidak ada cara lain selain itu?" tanyaku kembali. "Apa kamu punya ide lain? Itu satu-satunya cara agar pernikahan mereka batal. Si Naima dan keluarganya pasti akan kecewa berat, lalu memutuskan pernikahan mereka. Dan si Aldi, dia pasti—""Akan membenciku, kemudian habislah riwayatku sampai saat itu. Kita tidak bisa menikmati uangnya, seperti yang kamu inginkan, Dam. Kita tidak akan dapat apa-apa dari ide gila kamu itu!" "Kamu akan menikah dengannya, Aruna.""Dengan suami yang membenciku, dengan keluarganya yang merendahkanku? Tidak, tidak seperti itu, Damar!"Aku berdiri seraya berkacak pinggang. Damar pun melakukan hal yang sama. Kaki pincangnya berjalan mendekatiku dan masih dengan tatapan nyalang. Di bawahku, Luna duduk seraya menikmati makanannya. Dia tidak terganggu sama sekali dengan perdebatanku dan Damar. Hal yang sudah biasa dia lihat, sejak kami tinggal b
"Ah, iya, hanya hadiah kecil." Aldi menjawab santai. Aku menunduk, membungkukkan badan ke arah wanita dengan perut buncitnya itu. Kemudian kembali ke mejaku dan membiarkan Alina menghampiri meja kakaknya. "Hadiah kecil apa?" tanya Alina lagi masih belum puas dengan jawaban kakaknya. "Lipstik. Punya dia yang ketinggalan di mobil Abang buang, soalnya." Alina membulatkan mulut, mengangguk-anggukkan kepala. Kemudian, pertanyaan diberikan Aldi pada Alina atas maksud kedatangannya ke sini. "Aku mau ajak Aruna buat pergi menemaniku, Bang."Aku yang mendengar ucapan Alina, langsung melihat ke arah kakak beradik itu. Entah untuk apa dia memintaku pergi bersamanya, tapi jujur saja aku tidak akan menolak jika Aldi memerintahkanku untuk pergi. Selain karena aku pesuruh yang tidak boleh menolak perintah atasan, juga karena aku akan memiliki kesempatan untuk mengenal wanita itu lebih dekat lagi. Syukur-syukur bisa mencelakai dia untuk membuat hati Damar bahagia. "Pergi ke mana? Kamu sedang h
[Aku tahu kamu sedang bersama Alina. Celakai dia selagi ada kesempatan, Aruna.]Pesan yang dikirim Damar terbayang-bayang, membuatku beberapa kali membuang napas dengan kasar. Aku tahu ini kesempatan, tapi apa harus mencelakai diriku sendiri? Itu tindakan bodoh yang pasti akan merugikanku. Kenapa ia begitu sembrono dan gegabah?"Ada apa, Aruna? Sepertinya kamu tidak baik-baik saja setelah melihat ponsel?" ujar Alina membuatku menoleh ke arahnya. "Ah, tidak apa-apa, Bu. Tadi adik saya yang mengirimkan pesan." Aku berdusta dengan lancar. "Apa ada masalah?" tanyanya lagi. Aku menggelengkan kepala dengan senyum tipis. Namun, Alina tidak diam dan terus bertanya tentang asal-usul keluargaku. Menanyakan bersama siapa aku tinggal dan apakah adikku laki-laki atau perempuan. Sambil terus memikirkan perintah Damar, aku menjawab semua yang dia tanyakan agar tidak menimbulkan kecurigaan. Alina hanya mengangguk pelan setelah aku menceritakan tentang aku dan Luna yang sudah tidak memiliki oran
"Apa harus di sini?" tanyaku seraya mengeratkan gigi. "Lakukan sekarang, bodoh!" umpatnya seraya berlalu. Aku memejamkan mata sejenak, kemudian membukanya kembali dan bergegas pergi mengikuti langkah kaki Alina. Wanita itu benar-benar membuat hidupku menjadi sulit. Aku harus segera melenyapkannya agar Rindu dan Damar bisa tersenyum bahagia. Jadi aku juga bisa turut berbahagia.Bunyi pantofel yang bersentuhan dengan lantai menghadirkan suara layaknya genderang perang yang memberikan kobaran semangat untukku bertindak cepat dalam menyingkirkan Alina. Membuat wanita itu celaka, bahkan sampai tiada. Aku menarik napas dalam-dalam, kemudian menghampiri Alina yang tengah duduk di kursi dengan pandangan lurus ke depan melihat beberapa perhiasan yang terpajang indah di sana. Otakku langsung memiliki pikiran buruk saat melihat posisi Alina yang akan mudah sekali untuk aku celakai. Dengan tekad yang kuat, kulangkahkan kaki semakin cepat seraya kedua tangan memegang kepala layaknya orang yan
Aku memekik kaget saat tangan seseorang menampar sebelah pipiku hingga rasa panas menjalar ke seluruh aliran tubuh. Pandangan ini kupertajam menatap seorang pria yang berdiri dengan wajah buruk penuh amarah. "Damar? Sedang apa kamu di toilet wanita?" tanyaku masih memegangi pipi yang tadi ditamparnya. Ah, bodohnya aku. Harusnya pertanyaan itu tidak aku berikan pada Damar. Sudah pasti kedatangan dia ke sini untuk membahas kegagalan yang kulakukan tadi. Damar pasti melihatnya. Damar mendorong dadaku dengan kasar hingga saat ini aku dan dia benar-benar berada di dalam ruangan kecil dan sempit ini. Aku tidak berani bertanya lagi hingga akhirnya tangan besar Damar mencengkram rahangku dengan kuat. "Bodoh!" semprotnya di depan wajahku hingga hembusan napas dia terasa hangat menerpa kulitku. "Aku hampir berhasil, tapi tiba-tiba—""Makanya melek, lihat dulu sebelum bertindak! Kedatangan Adikara satu langkah di belakangmu. Dan kamu tidak menyadari itu?!" "Jika pun aku tahu dia ada di sa
"Permisi, Pak," ucapku hormat seraya membuka pintu. "Masuk." Aldi memberikan perintah. Dengan dagu yang terangkat sedikit, dia menyuruhku untuk duduk di kursi yang ada di depannya. Hatiku waswas, takut jika dia akan bertanya soal Alina. Pasalnya, pada saat di telepon tadi dia tidak mengatakan apa pun padaku. Aldi hanya menyuruhku agar segera datang jika Alina dan Adi sudah tidak bersamaku. Tanpa menunggu nanti, aku pun langsung tancap gas agar bisa sampai ke sini. Dan di sinilah aku berada sekarang. Di depan pria dingin yang belum mengatakan apa pun sejak kedatanganku beberapa menit yang lalu. "Gimana jalan-jalannya?" tanya Aldi membuatku sedikit sesak napas. "Apakah Alina bahagia?" "Tidak tahu, Pak," jawabku asal. "Tidak tahu? Bukannya tadi kamu dengan dia?" "Iya, tapi saya tidak bisa menebak apakah dia bahagia atau tidak. Kadang, hati dan wajah seseorang tidak sama. Mereka sering menutupi rasa duka dengan tawa, pun sebaliknya. Dan saya tidak bisa memastikan apakah seseorang b
"Abang, ada apa dengan Mbak Alina?" Naima kembali bertanya, tapi tidak dijawab oleh Aldi. Pria yang tengah mengendarai mobil seraya berbicara lewat telepon itu memelankan laju mobilnya, kemudian perlahan menepi di pinggir jalan. Jika aku perhatikan, sepertinya ada yang gawat. Dan tadi, Aldi menyebut nama Alina dan bayinya. Apa terjadi sesuatu dengan wanita itu? "Nai, kita tidak bisa ke butik sekarang. Aku harus ke rumah sakit." Aldi menyimpan ponsel ke dashboard mobil. "Mama memberi kabar jika Alina kecelakaan," ujar Aldi panik. "Innalillahi .... Aku ikut ke rumah sakit, Bang," tutur Naima. Aldi mengangguk dan kembali melajukan mobilnya. Di sini, aku diam dengan pikiran berkelana jauh. Mungkinkah Damar dibalik kecelakaan itu? Kecelakaan seperti apa hingga membuat wajah Aldi yang tadinya tenang mendadak berubah menjadi tegang? Aku merogoh ponsel untuk mengirimkan pesan pada Damar. Jika kabar yang kudapat sekarang memang ada hubungannya dengan Damar, maka dia sudah mulai berani