Share

Bab 148

Author: Pena_yuni
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Tidak adakah kesempatan untuk saya menjadi bagian dari kalian?"

"Tidak ada," jawab Adi cepat.

Wanita yang masih memakai jas dokternya mengembuskan napas kasar. Dia mengangguk lemah, kemudian kembali menatap kami bergantian.

Di sinilah saat ini aku berada. Di restoran mewah untuk memenuhi undangan Dokter Kamila.

Beberapa waktu yang lalu dia sempat menghubungi Adi meminta kami bertemu bertiga. Tujuannya tidak lain untuk menagih sesuatu yang tidak pernah Adi ucapkan.

Dokter Kamila terang-terangan meminta suamiku untuk menikahinya. Di depan mataku, dia memohon agar aku mengijinkan dia menjadi istri kedua Adi.

Mengatasnamakan wasiat ayahnya, Dokter Kamila terus membujuk Adi untuk mengabulkan permintaan terakhir Dokter Burhan. Namun, Adi menolak mentah-mentah permintaan Dokter Kamila.

Dia dengan tegas mengatakan tidak akan melakukan apa yang akan menyakitiku.

"Dokter, lebih baik Anda fokuskan diri untuk melanjutkan pendidikan Anda, daripada terus mengejar laki-laki yang tidak akan Anda da
Pena_yuni

Ikuti terus ceritanya ya, Teman-teman! Setelah ini, akan diceritakan tentang seseorang yang menyimpan dendam kepada keluarga Alina dan Aldi. Siapakah dia dan kenapa bisa memiliki dendam kepada keluarga Alina? Yuk, lanjut ke bab berikutnya!

| 12
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP
Comments (27)
goodnovel comment avatar
Jenny Jane
Rindu is back. Mantan isteri aldi ingin balas dendam
goodnovel comment avatar
Ni nyoman Sukarti
akhirnya.....ending yg membuat pembaca ikut happy....alur cerita yg sangat bagus, di tunggu sesion 2 nya ya author Terima kasih, dan semakin sukses.... ......
goodnovel comment avatar
Ni nyoman Sukarti
happy ending.... jadi ikut bahagia juga, teeima kasih author, alur cerita yg sangat bagus.... tetap semangat dan sukses selalu............
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 149 (Aruna) Membalas Kesombongan Mantan Suami Sahabatku

    "Alina Martadinata, Aldi Wiratmadja ...." Kusebut dua nama itu dengan tangan meremas dan menggenggam rumput yang tumbuh di kuburan sahabatku. Pandangan ini lurus ke depan, pada luasnya tanah dengan batu nisan sebagai hiasannya. Dan di sini, tepat di bawahku, ada jasad seseorang yang sudah kuanggap saudara telah terkubur. Dia pergi, mati akibat dua orang tak punya hati dan empati. Seandainya saja dulu aku berada di kota ini bersamanya, mungkin ceritanya tidak akan seperti ini. Sahabatku tidak akan mati muda dengan membawa luka. "Langit sudah menggelap, Runa. Sampai kapan kamu akan di sini?" Aku menoleh pada pria yang berdiri di sampingku, kemudian mengembuskan napas berat seraya menepuk-nepuk telapak tangan yang sedikit kotor. Kini tanganku menggenggam bunga yang kubawa, kemudian menaburkannya di atas makam sahabatku. "Aku akan di sini sampai hujan turun. Jika kamu ingin pulang, pulang saja. Aku masih ingin tetap di sini," ujarku tanpa mengalihkan pandangan dari nisan bertulis

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 150 Permintaan Damar

    "Tante?" "Kamu benar Aruna temannya Rindu, 'kan?" "Iya, Tante. Saya Aruna. Tante apa kabar?" tanyaku sangat senang bisa bertemu wanita yang tak lain ibu dari Rindu. Tante Arini, wanita berhijab yang cantik dan anggun itu menjawab pertanyaanku dengan mata yang berkaca-kaca. Dia membawaku ke sebuah kafe yang tak jauh dari sini, kemudian kami mengobrol membahas masa laluku bersama mendiang putri sulungnya. "Lihat kamu, Tante jadi ingat Rindu, lagi. Kamu ke mana saja, Aruna? Kenapa tidak kelihatan?" tanya Tante Arini mengusap-usap punggung tanganku. "Aruna kembali ke kampung untuk mengurus Ibu, Tante. Waktu mendengar kabar Rindu meninggal, saya kaget, ingin ke sini tapi tidak bisa karena Ibu terkena stroke, tidak bisa ditinggal." Lagi pula saat itu, kabar tersebut terlambat datang. "Maafkan Runa, ya Tante." Mata yang tadi berkaca-kaca, kini meneteskan air mata. Wajah keriput Tante Arini terlihat begitu sedih mengenang putrinya yang telah tiada. Aku menguatkan diriku, turut menginga

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 151 Hadiah Kecil dari Aldi

    "Apa perkataanku kurang jelas?" Damar menatapku semakin tajam seperti elang yang akan menerkam mangsanya. "Gila. Apa tidak ada cara lain selain itu?" tanyaku kembali. "Apa kamu punya ide lain? Itu satu-satunya cara agar pernikahan mereka batal. Si Naima dan keluarganya pasti akan kecewa berat, lalu memutuskan pernikahan mereka. Dan si Aldi, dia pasti—""Akan membenciku, kemudian habislah riwayatku sampai saat itu. Kita tidak bisa menikmati uangnya, seperti yang kamu inginkan, Dam. Kita tidak akan dapat apa-apa dari ide gila kamu itu!" "Kamu akan menikah dengannya, Aruna.""Dengan suami yang membenciku, dengan keluarganya yang merendahkanku? Tidak, tidak seperti itu, Damar!"Aku berdiri seraya berkacak pinggang. Damar pun melakukan hal yang sama. Kaki pincangnya berjalan mendekatiku dan masih dengan tatapan nyalang. Di bawahku, Luna duduk seraya menikmati makanannya. Dia tidak terganggu sama sekali dengan perdebatanku dan Damar. Hal yang sudah biasa dia lihat, sejak kami tinggal b

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 152 Pergi Bersama Musuh

    "Ah, iya, hanya hadiah kecil." Aldi menjawab santai. Aku menunduk, membungkukkan badan ke arah wanita dengan perut buncitnya itu. Kemudian kembali ke mejaku dan membiarkan Alina menghampiri meja kakaknya. "Hadiah kecil apa?" tanya Alina lagi masih belum puas dengan jawaban kakaknya. "Lipstik. Punya dia yang ketinggalan di mobil Abang buang, soalnya." Alina membulatkan mulut, mengangguk-anggukkan kepala. Kemudian, pertanyaan diberikan Aldi pada Alina atas maksud kedatangannya ke sini. "Aku mau ajak Aruna buat pergi menemaniku, Bang."Aku yang mendengar ucapan Alina, langsung melihat ke arah kakak beradik itu. Entah untuk apa dia memintaku pergi bersamanya, tapi jujur saja aku tidak akan menolak jika Aldi memerintahkanku untuk pergi. Selain karena aku pesuruh yang tidak boleh menolak perintah atasan, juga karena aku akan memiliki kesempatan untuk mengenal wanita itu lebih dekat lagi. Syukur-syukur bisa mencelakai dia untuk membuat hati Damar bahagia. "Pergi ke mana? Kamu sedang h

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 153 Pertanyaan Alina dan Pesan dari Pria Buruk Rupa

    [Aku tahu kamu sedang bersama Alina. Celakai dia selagi ada kesempatan, Aruna.]Pesan yang dikirim Damar terbayang-bayang, membuatku beberapa kali membuang napas dengan kasar. Aku tahu ini kesempatan, tapi apa harus mencelakai diriku sendiri? Itu tindakan bodoh yang pasti akan merugikanku. Kenapa ia begitu sembrono dan gegabah?"Ada apa, Aruna? Sepertinya kamu tidak baik-baik saja setelah melihat ponsel?" ujar Alina membuatku menoleh ke arahnya. "Ah, tidak apa-apa, Bu. Tadi adik saya yang mengirimkan pesan." Aku berdusta dengan lancar. "Apa ada masalah?" tanyanya lagi. Aku menggelengkan kepala dengan senyum tipis. Namun, Alina tidak diam dan terus bertanya tentang asal-usul keluargaku. Menanyakan bersama siapa aku tinggal dan apakah adikku laki-laki atau perempuan. Sambil terus memikirkan perintah Damar, aku menjawab semua yang dia tanyakan agar tidak menimbulkan kecurigaan. Alina hanya mengangguk pelan setelah aku menceritakan tentang aku dan Luna yang sudah tidak memiliki oran

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 154 Gagal

    "Apa harus di sini?" tanyaku seraya mengeratkan gigi. "Lakukan sekarang, bodoh!" umpatnya seraya berlalu. Aku memejamkan mata sejenak, kemudian membukanya kembali dan bergegas pergi mengikuti langkah kaki Alina. Wanita itu benar-benar membuat hidupku menjadi sulit. Aku harus segera melenyapkannya agar Rindu dan Damar bisa tersenyum bahagia. Jadi aku juga bisa turut berbahagia.Bunyi pantofel yang bersentuhan dengan lantai menghadirkan suara layaknya genderang perang yang memberikan kobaran semangat untukku bertindak cepat dalam menyingkirkan Alina. Membuat wanita itu celaka, bahkan sampai tiada. Aku menarik napas dalam-dalam, kemudian menghampiri Alina yang tengah duduk di kursi dengan pandangan lurus ke depan melihat beberapa perhiasan yang terpajang indah di sana. Otakku langsung memiliki pikiran buruk saat melihat posisi Alina yang akan mudah sekali untuk aku celakai. Dengan tekad yang kuat, kulangkahkan kaki semakin cepat seraya kedua tangan memegang kepala layaknya orang yan

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 155 Bersandiwara

    Aku memekik kaget saat tangan seseorang menampar sebelah pipiku hingga rasa panas menjalar ke seluruh aliran tubuh. Pandangan ini kupertajam menatap seorang pria yang berdiri dengan wajah buruk penuh amarah. "Damar? Sedang apa kamu di toilet wanita?" tanyaku masih memegangi pipi yang tadi ditamparnya. Ah, bodohnya aku. Harusnya pertanyaan itu tidak aku berikan pada Damar. Sudah pasti kedatangan dia ke sini untuk membahas kegagalan yang kulakukan tadi. Damar pasti melihatnya. Damar mendorong dadaku dengan kasar hingga saat ini aku dan dia benar-benar berada di dalam ruangan kecil dan sempit ini. Aku tidak berani bertanya lagi hingga akhirnya tangan besar Damar mencengkram rahangku dengan kuat. "Bodoh!" semprotnya di depan wajahku hingga hembusan napas dia terasa hangat menerpa kulitku. "Aku hampir berhasil, tapi tiba-tiba—""Makanya melek, lihat dulu sebelum bertindak! Kedatangan Adikara satu langkah di belakangmu. Dan kamu tidak menyadari itu?!" "Jika pun aku tahu dia ada di sa

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 156 Menjadi Obat Nyamuk

    "Permisi, Pak," ucapku hormat seraya membuka pintu. "Masuk." Aldi memberikan perintah. Dengan dagu yang terangkat sedikit, dia menyuruhku untuk duduk di kursi yang ada di depannya. Hatiku waswas, takut jika dia akan bertanya soal Alina. Pasalnya, pada saat di telepon tadi dia tidak mengatakan apa pun padaku. Aldi hanya menyuruhku agar segera datang jika Alina dan Adi sudah tidak bersamaku. Tanpa menunggu nanti, aku pun langsung tancap gas agar bisa sampai ke sini. Dan di sinilah aku berada sekarang. Di depan pria dingin yang belum mengatakan apa pun sejak kedatanganku beberapa menit yang lalu. "Gimana jalan-jalannya?" tanya Aldi membuatku sedikit sesak napas. "Apakah Alina bahagia?" "Tidak tahu, Pak," jawabku asal. "Tidak tahu? Bukannya tadi kamu dengan dia?" "Iya, tapi saya tidak bisa menebak apakah dia bahagia atau tidak. Kadang, hati dan wajah seseorang tidak sama. Mereka sering menutupi rasa duka dengan tawa, pun sebaliknya. Dan saya tidak bisa memastikan apakah seseorang b

Latest chapter

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 408 Ending season 2

    "Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 407

    Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 406

    Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 405

    Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb

  • Membalas Kesombongan Mantan   404

    Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 403 tidak marah lagi

    "Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 402 gara-gara membahas anak

    Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 401 maaf dan permintaan laki-laki di balik jeruji besi

    "Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 400 menggoda Syafiq

    "Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan

DMCA.com Protection Status