Namun .... Bukan aku yang dia pukul. Melainkan Adi yang tiba-tiba datang menarik dan memeluk tubuhku. "Pak Adi! M–maaf," ujar Dokter Kamila mengusap-usap punggung suamiku yang tadi terkena tamparannya. Cukup keras, hingga terdengar suara tamparan yang mungkin akan sakit jika terkena kulit wajahku."Kamu tidak apa-apa?" Bukannya menjawab pertanyaan Dokter Kamila, Adi malah menangkup kedua pipiku seraya bertanya. Tongkat yang dia pegang jatuh ke lantai hingga membuat suamiku harus menahan kakinya agar bisa berdiri dengan tegak. "Aku tidak apa-apa, Mas." Aku melepaskan tangan Adi, kemudian mengambil tongkat dan memberikannya pada suamiku. Sekarang tatapan tajam diberikan pria berdagu belah itu pada Dokter Kamila. Yang ditatap, semakin gugup dan risau. "Pak Adi, saya akan menjelaskan—""Tidak usah dijelaskan, Dokter. Saya sudah mendengar semuanya. Awalnya, saya respect pada Anda, tapi setelah ini sepertinya saya semakin yakin untuk tidak lagi berhubungan dengan Anda. Tolong, jangan
Lama aku berdiri di balik gorden hanya untuk melihat suamiku. Masih sama. Dia lebih fokus pada ponsel pintarnya dengan sesekali tersenyum tanpa mengalihkan pandangan. Melihat dia seperti itu, aku jadi teringat pada masa-masa di mana Mas Haikal mulai mengenal dan dekat dengan Amira. Fokus pada ponsel, selalu tak jauh dari ponsel, lebih banyak diam dan membawa ke mana pun benda pipih itu. Dan awal aku mengetahui kebusukan dia, juga dari ponsel. Haruskah aku menyadap ponsel Adi seperti yang dulu aku lakukan pada Mas Haikal? "Mbak."Aku amat terkejut saat Bibi menepuk pundakku dari belakang. Buru-buru aku berjalan menjauhi kaca tempat aku mengintip suamiku. Bibi terlihat heran karena aku yang berjalan dengan tanpa suara. "Ada apa, Bi?" tanyaku. "Mbak Alina kenapa bisik-bisik?" Bibi balik bertanya. Aku berdehem, kemudian memberikan alasan agar wanita paruh baya itu tidak mencurigaiku yang tengah memperhatikan Adi dari kejauhan. Dan untungnya dia percaya saat aku mengatakan ingin me
Rencana semula akan pergi ke rumah Mama sehabis maghrib, nyatanya harus pergi sekarang karena aku yang merajuk. Biarlah, Adi berpikir jika aku kesal pada dia hanya gara-gara Saffa, padahal karena dia yang mempunyai gelagat mencurigakan. "Oh, iya Mas. Tadi, kata kamu kita akan nginap di rumah Mama. Bener?" tanyaku saat kami sudah berada di mobil. "Emh ... antara benar dan tidak."Aku mengerutkan kening menatap suamiku tidak mengerti. "Maksudnya?" tanyaku lagi. "Tidak ada maksud apa-apa, Sayang .... Aduh, Nona Alina sedang sensitif sepertinya. Apa jangan-jangan kamu sedang datang bulan, ya?" "Ih, apaan, sih, gak nyambung banget, deh. Orang aku nanya seriusan, juga." Aku berucap kesal. Adi malah terkekeh melihat aku yang merengut seperti anak kecil. Tangannya menarik bahuku hingga kini aku bersandar pada pundaknya. Dia mengusap-usap kepalaku seraya meminta maaf karena telah membuatku kesal. Aku tidak menjawab maafnya, tapi juga tidak berontak dengan perlakuan manisnya. Aku sangat
Waktu semakin beranjak malam, tapi suamiku tak kunjung keluar dari kamar. Padahal, orang tua serta anakku masih berada di ruang tengah menonton televisi. Tapi, Adi malah asik sendiri dengan dunianya. Penasaran dengan apa yang dilakukan Adi, aku pun berniat untuk melihat pria itu ke kamar. Namun, baru juga akan mengangkat bobot tubuhku, kulihat Adi berjalan menuruni anak tangga untuk sampai ke arahku. "Mah, Pah," panggil Adi membuat kedua orang tuaku menatapnya bersamaan. "Kenapa, Di?" tanya Papa. "Emm ... ini, Pah. Tadi aku dapat telepon dari pabrik, katanya ada sesuatu hal yang mengharuskan aku ke sana sekarang."Aku mengerutkan kening mendengarkan ucapan Adi. Bukankah dia ambil cuti untuk satu minggu ke depan, karena ingin fokus pada kesembuhan kakinya? Apa jangan-jangan Adi tengah berbohong dengan mengatasnamakan pekerjaan? "Oke, terus?" tanya Papa lagi. "Aku mau nitip Saffa sampai besok, soalnya ... kali ini aku akan pergi bersama Alina. Aku akan membutuhkan istriku di sana
Cinta. Satu kata bermakna luas. Jatuh cinta. Itulah yang saat ini sedang aku rasakan. Diriku, kembali merasakan indahnya cinta kepada seorang pria yang sekarang ini tengah terlelap di sampingku. Pria berhidung bangir, berdagu belah dan berjambang tipis itu telah mencuri hatiku. Harus aku akui, kini aku benar-benar jatuh cinta padanya. Ingin selalu bersama dia dalam keadaan apa pun. Menjadikan dia pelabuhan terkahirku, pendamping hidupku. "Emmh ...." Adi melenguh saat jari jemari ini menyentuh wajahnya dari atas hingga bawah. Aku berhenti saat melihat ada pergerakan dari si dia. Tersenyum tipis, saat tangan kekar itu menarikku semakin merapat dalam dekapan hangatnya. "Kenapa melihatku seperti itu? Ingin mengulanginya lagi?" Aku membulatkan mata mendengar pertanyaan suamiku. Jadi, dia hanya pura-pura tidur? Emh, menyebalkan. Dia telah mengerjaiku, membuatku malu sendiri karena ketahuan telah menatapnya penuh cinta. "Senyam-senyum sendiri. Kenapa, Mamanya Saffa ...?" ujar Adi la
"Tidak adakah kesempatan untuk saya menjadi bagian dari kalian?""Tidak ada," jawab Adi cepat.Wanita yang masih memakai jas dokternya mengembuskan napas kasar. Dia mengangguk lemah, kemudian kembali menatap kami bergantian.Di sinilah saat ini aku berada. Di restoran mewah untuk memenuhi undangan Dokter Kamila.Beberapa waktu yang lalu dia sempat menghubungi Adi meminta kami bertemu bertiga. Tujuannya tidak lain untuk menagih sesuatu yang tidak pernah Adi ucapkan. Dokter Kamila terang-terangan meminta suamiku untuk menikahinya. Di depan mataku, dia memohon agar aku mengijinkan dia menjadi istri kedua Adi.Mengatasnamakan wasiat ayahnya, Dokter Kamila terus membujuk Adi untuk mengabulkan permintaan terakhir Dokter Burhan. Namun, Adi menolak mentah-mentah permintaan Dokter Kamila.Dia dengan tegas mengatakan tidak akan melakukan apa yang akan menyakitiku."Dokter, lebih baik Anda fokuskan diri untuk melanjutkan pendidikan Anda, daripada terus mengejar laki-laki yang tidak akan Anda da
"Alina Martadinata, Aldi Wiratmadja ...." Kusebut dua nama itu dengan tangan meremas dan menggenggam rumput yang tumbuh di kuburan sahabatku. Pandangan ini lurus ke depan, pada luasnya tanah dengan batu nisan sebagai hiasannya. Dan di sini, tepat di bawahku, ada jasad seseorang yang sudah kuanggap saudara telah terkubur. Dia pergi, mati akibat dua orang tak punya hati dan empati. Seandainya saja dulu aku berada di kota ini bersamanya, mungkin ceritanya tidak akan seperti ini. Sahabatku tidak akan mati muda dengan membawa luka. "Langit sudah menggelap, Runa. Sampai kapan kamu akan di sini?" Aku menoleh pada pria yang berdiri di sampingku, kemudian mengembuskan napas berat seraya menepuk-nepuk telapak tangan yang sedikit kotor. Kini tanganku menggenggam bunga yang kubawa, kemudian menaburkannya di atas makam sahabatku. "Aku akan di sini sampai hujan turun. Jika kamu ingin pulang, pulang saja. Aku masih ingin tetap di sini," ujarku tanpa mengalihkan pandangan dari nisan bertulis
"Tante?" "Kamu benar Aruna temannya Rindu, 'kan?" "Iya, Tante. Saya Aruna. Tante apa kabar?" tanyaku sangat senang bisa bertemu wanita yang tak lain ibu dari Rindu. Tante Arini, wanita berhijab yang cantik dan anggun itu menjawab pertanyaanku dengan mata yang berkaca-kaca. Dia membawaku ke sebuah kafe yang tak jauh dari sini, kemudian kami mengobrol membahas masa laluku bersama mendiang putri sulungnya. "Lihat kamu, Tante jadi ingat Rindu, lagi. Kamu ke mana saja, Aruna? Kenapa tidak kelihatan?" tanya Tante Arini mengusap-usap punggung tanganku. "Aruna kembali ke kampung untuk mengurus Ibu, Tante. Waktu mendengar kabar Rindu meninggal, saya kaget, ingin ke sini tapi tidak bisa karena Ibu terkena stroke, tidak bisa ditinggal." Lagi pula saat itu, kabar tersebut terlambat datang. "Maafkan Runa, ya Tante." Mata yang tadi berkaca-kaca, kini meneteskan air mata. Wajah keriput Tante Arini terlihat begitu sedih mengenang putrinya yang telah tiada. Aku menguatkan diriku, turut menginga