"Al.""Eh, Papa?" kataku saat Papa Gun datang menghampiri. "Sedang apa? Papa kira, kamu makan siang, tapi ternyata cuma duduk doang. Kenapa di sini sendirian?" Papa Gun memberondongku dengan berbagai pertanyaan. Aku menggaruk tengkuk leher yang tidak gatal. Sedangkan mertuaku itu memilih duduk di kursi yang ada di sampingku. "Kenapa? Masih memikirkan yang tadi?" tanya Papa Gun lagi. "Em ... sedikit, Pah. Alina merasa bersalah saja karena sudah mengucapkan kata yang mungkin telah menyakiti hati Tante Ayu. Alina jahat, ya Pah?" "Tidak. Jangan berpikiran seperti itu. Apa yang kamu katakan, semata-mata hanya untuk mempertahankan harga dirimu sebagai seorang wanita dan istri. Menurut Papa, itu wajar. Dan kamu tidak salah. Sudah ... jangan terus dipikirkan, lagian Tante Ayu, juga sudah pergi, kok.""Pergi?" kataku kaget. Papa Gun mengangguk. Dia mengambil piring, mengisinya dengan nasi dan lauk, lalu menikmatinya tanpa terganggu dengan keberadaanku yang masih terus bertanya tentang Ta
"Ini Alina, istrinya putraku."Aku mengangguk dengan senyum manis pada wanita yang sudah sah menjadi ibu mertuaku itu. Ijab qobul sudah selesai beberapa saat yang lalu. Saat ini, kami tengah menikmati hidangan yang disajikan seraya bercengkrama dengan sanak saudara. Acara pernikahan Papa Gun memang sangat sederhana. Hanya ijab qobul saja, selebihnya silaturahmi antara saudara, kerabat dan sahabat. "Selamat, ya Bunda. Mudah-mudahan jadi keluarga yang sakinah," ujarku seraya memeluk wanita cantik berhijab lebar itu. Meskipun sudah berumur, tapi kecantikan Bunda Nur, biasa orang memanggilnya tidaklah luntur. Dengan ramahnya, ibu mertuaku itu membalas pelukanku. "Tadi, Bunda lihat ada anak kecil di sini. Ke mana sekarang?" tanya Bunda Nur padaku. "Oh, itu Saffa putri saya, Bunda. Tadi, dibawa Abang saya ke luar. Ke ruangan anak-anak, kalau tidak salah," ujarku seraya menunjuk pintu keluar. Bunda Nur mengangguk paham. Dia memang sengaja memisahkan ruangan anak-anak pantinya dan kera
Kakiku berhenti melangkah bertepatan dengan Papa Gun yang juga menghampiri Dokter Kamila. Dari jarak sedekat ini, wajah cantik itu terlihat lebih memerah. Bukan karena riasan makeup, melainkan karena menahan malu. "Mari, masuk, Dokter." Papa Gun mengajak Dokter Kamila. "Tidak, Pak Gunawan. Sepertinya ... saya salah pakai baju, maaf karena saya tidak tahu dengan tema acara pernikahan Pak Gunawan," tutur Dokter Kamila gugup. "Tidak apa-apa, Dokter. Saya tahu Anda sibuk dan tidak sempat membaca dengan rinci surat undangan yang saya berikan. Tidak masalah, silahkan masuk dan menikmati hidangan dari kami," ujar Papa Gun mempersilahkan. Dokter Kamila tidak menjawab, ia menggigit bibir terlihat gugup. Pandangan Dokter Kamila mengarah padaku dengan sangat tajam. Aku membalas tatapan itu dengan seulas senyum meremehkan. Kemudian kaki ini melangkah semakin mendekat ke arahnya di saat Papa sedang diajak bicara oleh tamu sekaligus temannya. "Yakin, mau masuk?" bisikku. "Dokter akan jadi sat
Namun .... Bukan aku yang dia pukul. Melainkan Adi yang tiba-tiba datang menarik dan memeluk tubuhku. "Pak Adi! M–maaf," ujar Dokter Kamila mengusap-usap punggung suamiku yang tadi terkena tamparannya. Cukup keras, hingga terdengar suara tamparan yang mungkin akan sakit jika terkena kulit wajahku."Kamu tidak apa-apa?" Bukannya menjawab pertanyaan Dokter Kamila, Adi malah menangkup kedua pipiku seraya bertanya. Tongkat yang dia pegang jatuh ke lantai hingga membuat suamiku harus menahan kakinya agar bisa berdiri dengan tegak. "Aku tidak apa-apa, Mas." Aku melepaskan tangan Adi, kemudian mengambil tongkat dan memberikannya pada suamiku. Sekarang tatapan tajam diberikan pria berdagu belah itu pada Dokter Kamila. Yang ditatap, semakin gugup dan risau. "Pak Adi, saya akan menjelaskan—""Tidak usah dijelaskan, Dokter. Saya sudah mendengar semuanya. Awalnya, saya respect pada Anda, tapi setelah ini sepertinya saya semakin yakin untuk tidak lagi berhubungan dengan Anda. Tolong, jangan
Lama aku berdiri di balik gorden hanya untuk melihat suamiku. Masih sama. Dia lebih fokus pada ponsel pintarnya dengan sesekali tersenyum tanpa mengalihkan pandangan. Melihat dia seperti itu, aku jadi teringat pada masa-masa di mana Mas Haikal mulai mengenal dan dekat dengan Amira. Fokus pada ponsel, selalu tak jauh dari ponsel, lebih banyak diam dan membawa ke mana pun benda pipih itu. Dan awal aku mengetahui kebusukan dia, juga dari ponsel. Haruskah aku menyadap ponsel Adi seperti yang dulu aku lakukan pada Mas Haikal? "Mbak."Aku amat terkejut saat Bibi menepuk pundakku dari belakang. Buru-buru aku berjalan menjauhi kaca tempat aku mengintip suamiku. Bibi terlihat heran karena aku yang berjalan dengan tanpa suara. "Ada apa, Bi?" tanyaku. "Mbak Alina kenapa bisik-bisik?" Bibi balik bertanya. Aku berdehem, kemudian memberikan alasan agar wanita paruh baya itu tidak mencurigaiku yang tengah memperhatikan Adi dari kejauhan. Dan untungnya dia percaya saat aku mengatakan ingin me
Rencana semula akan pergi ke rumah Mama sehabis maghrib, nyatanya harus pergi sekarang karena aku yang merajuk. Biarlah, Adi berpikir jika aku kesal pada dia hanya gara-gara Saffa, padahal karena dia yang mempunyai gelagat mencurigakan. "Oh, iya Mas. Tadi, kata kamu kita akan nginap di rumah Mama. Bener?" tanyaku saat kami sudah berada di mobil. "Emh ... antara benar dan tidak."Aku mengerutkan kening menatap suamiku tidak mengerti. "Maksudnya?" tanyaku lagi. "Tidak ada maksud apa-apa, Sayang .... Aduh, Nona Alina sedang sensitif sepertinya. Apa jangan-jangan kamu sedang datang bulan, ya?" "Ih, apaan, sih, gak nyambung banget, deh. Orang aku nanya seriusan, juga." Aku berucap kesal. Adi malah terkekeh melihat aku yang merengut seperti anak kecil. Tangannya menarik bahuku hingga kini aku bersandar pada pundaknya. Dia mengusap-usap kepalaku seraya meminta maaf karena telah membuatku kesal. Aku tidak menjawab maafnya, tapi juga tidak berontak dengan perlakuan manisnya. Aku sangat
Waktu semakin beranjak malam, tapi suamiku tak kunjung keluar dari kamar. Padahal, orang tua serta anakku masih berada di ruang tengah menonton televisi. Tapi, Adi malah asik sendiri dengan dunianya. Penasaran dengan apa yang dilakukan Adi, aku pun berniat untuk melihat pria itu ke kamar. Namun, baru juga akan mengangkat bobot tubuhku, kulihat Adi berjalan menuruni anak tangga untuk sampai ke arahku. "Mah, Pah," panggil Adi membuat kedua orang tuaku menatapnya bersamaan. "Kenapa, Di?" tanya Papa. "Emm ... ini, Pah. Tadi aku dapat telepon dari pabrik, katanya ada sesuatu hal yang mengharuskan aku ke sana sekarang."Aku mengerutkan kening mendengarkan ucapan Adi. Bukankah dia ambil cuti untuk satu minggu ke depan, karena ingin fokus pada kesembuhan kakinya? Apa jangan-jangan Adi tengah berbohong dengan mengatasnamakan pekerjaan? "Oke, terus?" tanya Papa lagi. "Aku mau nitip Saffa sampai besok, soalnya ... kali ini aku akan pergi bersama Alina. Aku akan membutuhkan istriku di sana
Cinta. Satu kata bermakna luas. Jatuh cinta. Itulah yang saat ini sedang aku rasakan. Diriku, kembali merasakan indahnya cinta kepada seorang pria yang sekarang ini tengah terlelap di sampingku. Pria berhidung bangir, berdagu belah dan berjambang tipis itu telah mencuri hatiku. Harus aku akui, kini aku benar-benar jatuh cinta padanya. Ingin selalu bersama dia dalam keadaan apa pun. Menjadikan dia pelabuhan terkahirku, pendamping hidupku. "Emmh ...." Adi melenguh saat jari jemari ini menyentuh wajahnya dari atas hingga bawah. Aku berhenti saat melihat ada pergerakan dari si dia. Tersenyum tipis, saat tangan kekar itu menarikku semakin merapat dalam dekapan hangatnya. "Kenapa melihatku seperti itu? Ingin mengulanginya lagi?" Aku membulatkan mata mendengar pertanyaan suamiku. Jadi, dia hanya pura-pura tidur? Emh, menyebalkan. Dia telah mengerjaiku, membuatku malu sendiri karena ketahuan telah menatapnya penuh cinta. "Senyam-senyum sendiri. Kenapa, Mamanya Saffa ...?" ujar Adi la